Warisan intelektual

untuk perkhidmatan

dan pencerahan pemikiran

0
Quotes
0
Articles
0
Videos
0
Audios

Jalan Rahmat

Misi Kami

Di Jalan Rahmat, kami berusaha menghadirkan kembara intelektual itu. Perjalanan dan pengelanaan beliau mengarungi ‘jagat’ semesta itu. Ada dokumentasi karya beliau. Puluhan buku, ratusan artikel, ribuan ceramah. Ada rekaman audio dan video. Ada pula karya-karya para guru bangsa, baik sahabat karib Allah yarham, para intelektual sezaman, maupun karya-karya para ulama besar yang mempengaruhi jagat kembara intelektual beliau. Jalan Rahmat adalah sebuah digital library yang ingin menghadirkan kembali semangat intelektual itu.

Jalaludin Rakhmat - Tauziah
Digilib

Donasi dan Beasiswa

Donasi dan Beasiswa untuk sekolah, madrasah, klinik, dan ragam kegiatan lainnya.

tauziyah

Digital Library

Kumpulan Ceramah, Artikel, Buku, Video dari para Guru Bangsa.

healthcare

Jalan Kecintaan

Warisan terutama dan teramat berharga dari Allah yarham adalah mengantarkan kami dan kita semua pada jalan menuju kerinduan dan kecintaan Sang Rahmatan lil ‘alamin. Itulah makna Jalan Rahmat yang sesungguhnya.

Latest Post

Taqwa: Tujuan Ibadah PuasaMarch 15, 2025Orang yang bertaqwa dalam Al-Quran adalah manusia yang ideal, kekasih Tuhan. “Ketahuilah, sungguh para kekasih-Nya itu adalah orang-orang yang taqwa.” (QS.Al-Anfal: 34) Ibadah diwajibkan agar orang menjadi bertaqwa. Derajat manusia ditentukan ketaqwaannya. Sebagian ‘arifin berkata: “Sesungguhnya kebaikan dunia dan akhirat dihimpun dalam satu kata, taqwa. Karena itu banyak ayat Al-Quran yang menjanjikan segala kebaikan –dunia dan ukhrawi− lahir dan batin untuk orang taqwa. Sayyid Qasim Syubbar, secara singkat beberapa keutamaan orang taqwa: Pertama, pujian dan penghargaan dari Allah Swt: “Jika kamu bersabar dan bertaqwa, maka demikian itu termasuk perkara yang sangat menentukan.” (QS.Ali Imran (3):186) Kedua, penjagaan dan Pemeliharaan : “Jika kamu bersabar dan bertaqwa, tidak akan memperdayakan kamu tipuan mereka sedikitpun.” (QS.Ali Imran (3):120) Ketiga, bantuan dan Pertolonghan: “Sesungguhnya Tuhan bersama orang-orang yang bertaqwa.”  (QS.Al-Nahl (16):128) Ketiga, jalan keluar dari segala kesulitan dan rezeki yang halal: “Barangsiapa  yang bertaqwa kepada Allah, Allah jadikan baginya jalan keluar dan Allah beri dia rezeki dari tempat yang tidak terduga.” (QS.Al-Thalaq (65):2-3) Keempat, memperbaiki amal: “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Alah dan ucapkan ucapan yang benar. Nanti Allah memperbaiki amal-amal kamu.” (QS.Al-Ahzab (33):70-71). Kelima, ampunan Dosa: lanjutan ayat di atas:“….dan mengampuni dosa-dosa kamu.” Keenam, memperoleh dan memastikan kecintaan Allah: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaqwa.” (QS.Al-Tawbah (9): 47) Ketujuh, amal-amal diterima: “Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertaqwa.” (QS.Al-Maidah (5):27) Kedelapan, kemuliaan dan ketinggian derajat : “Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling taqwa.” (QS.Al-Hujurat (49):13) Kesembilan, diberikan kabar gembira di dunia dan akhirat: “Orang-orang yang beriman dan keadaan mereka bertaqwa. Bagi mereka kabar gembira dalam kehidupan dunia dan akhirat.” (QS.Yunus (10):63-64) Kesepuluh, keselamatan dari neraka: “Kemudian kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertaqwa dan membiarkan orang-orang yang zalim di dalam neraka dalam keadaan berlutut.”   (QS. Maryam (19):68) Kami ingin menambah lima keutamaan lainnya yang dianugerahkan Tuhan bagi orang-orang yang bertaqwa. Sebelas, kekekalan di surga : “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan Allah dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang bertaqwa,” (QS. Ali Imran (3): 133) Dua belas, bantuan ghaib berupa kedatangan malaikat : “Ya, bila kamu bersabar dan bertaqwa dan mereka menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu malaikat yang memakai tanda,” (QS.Ali Imran (3):125) Tiga belas, kemudian dalam  berbagai urusan : “Maka barang siapa yang memberikan hartanya dan bertaqwa; dan membenarkan pahala yang baik; maka kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (QS.Al-Layl (92):5-7) Empat belas, dibukakan keberkahan dari langit: “Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah kami akan limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS.Al-A’raf(7):96) Lima belas, tidak takut dan tidak berduka cita : “Sebagian di berinya petunjuk dan sebagian lagi telah pasti kesesatan bagi mereka. Sesungguhnya mereka menjadikan syaitan-syaitan pelindung (mereka) selain Allah, dan mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk.” (QS.Al-A’raf (7):30) Enam belas, diberikan ilmu dan pemisah antar benar dan salah: “hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqon dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar” (QS.Al-Anfal(8):29); “dan bertaqwalah kepada Allah, Allah akan mengajarimu. Dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS.Al-Baqarah (2):282) Tujuh belas, dibukakan keberkahan dari langit dan bumi : “Jika sekiranya penduduk negeri itu beriman dan bertaqwa, Kami bukakan pintu keberkahan dari langit dan  bumi.” (QS.Al-A’raf (7):96) Karena begitu mulianya orang yang bertaqwa, Tuhan memberikan banyak penjelasan dalam Al-Quran berkenaan dengan karakteristik Taqwa. Taqwa tidak dilambangkan menjadi kata abstrak yang penafsirannya diserahkan kepada definisi para ulama’. Paling tidak, dalam empat tempat dalam Al-Quran, Tuhan memperinci makna taqwa, hampir-hampir sangat operasional.  Karakteristik Orang Taqwa Dalam Al-Quran Sangat menakjubkan bahwa ayat-ayat pertama yang menjelaskan karakteristik taqwa dalam Al-Quran adalah ayat-ayat yang paling komprehensif. Ayat-ayat lainnya hanya memberikan penjelasan tambahan. Karena itu, pembahasan dalam makalah ini dipusatkan pada tafsir Al-Baqarah (2):1-4 : Alif Lam Mim. Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi mereka yang taqwa. (Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib yang mendirikan  shalat dan menafkahkan sebagian rezeki  yang kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada kitab yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu serta mereka yakin adanya kehidupan akhirat. Dari rangkaian ayat di atas kita dapat menyebutkan tiga karakteristik utama manusia taqwa: keimanan kepada yang ghaib, hubungan akrab dengan Tuhan, dan perkhidmatan kepada manusia. Keimanan Kepada Yang Ghaib Seluruh perilaku orang yang bertaqwa ditegakkan diatas sebuah pandangan dunia, bahwa dibalik dunia yang materiil ini ada dunia yang lebih luas lagi. Tidak ada makna apapun bagi perbuatan manusia yang baik seperti shalat, zakat dan kebajikan lainnya tanpa pijakan pada keyakinan akan yang ghoib. Bahkan keimanan kepada Tuhan sekalipun harus dimulai dengan pandangan dunia ini. Peringatan Tuhan dan Petunjuk Tuhan – hanya akan diterima oleh orang yang percaya kepada yang Ghaib. “Sungguh kami telah berikan kepada Musa, Harun, Furqon, dan penerangan serta perigatan bagi orang yang bertaqwa; yakni, orang-orang yang takut kepada (Allah) Tuhan mereka berdasarkan keimanan kepada yang ghoib dan mereka merasa takut akan tibanya hari kiamat.” (QS.Al-Anbiya’(21): 48-49) “Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan hanya orang yang takut kepada adzab Tuhannya berdasarkan keimanan kepada yang Ghaib, dan mendirikan shalat dan barang siapa mensucikan dirinya sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri dan kepada Allah-lah kembalimu.” (QS. Fathir (35):18) “Sesungguhnya kamu hanya memberi peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan dan yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah berdasrkan keimanannya kepada Yang Ghoib. Maka berilah mereka kabar gembira dengan ampunan dan pahala yang mulia.” (QS.Yasin (36):11) “…….yaitu orang yang takut kepada Tuhan  Yang Maha Pemurah berdasarkan keimanan kepada yang Ghoib dan dia datang dengan hati yang bertaubat.” (QS.Qaf (50):33). Dr. Muhammad Shodiqi menjelaskan, “orang-orang yang beriman kepada yang Ghoib” sebagi berikut: Iman secra harfiyah berarti meletakkan dirimu dalam ketenangan dan ketentraman. Kehidupan dunia dan segala perhiasannya selalu berubah dan berakhir dengan kebinasaan. Beriman kepada kehidupan dunia saja akan menambah kecemasan dan kegelisahan. Sedangkan keimanan kepada yang Ghaib −Keghaiban Uluhiyah hari akhir dan wahyu−  adalah keimanan yang menentramkan  manusia yang memberikannya ketenangan dari segala kecemasan: Ketahuilah dengan dzikir kepada Allah hati menjadi tenteram. Percaya kepada  yang Ghaib artinya keimanan kepada yang Ghaib dari pancaindera mereka berupa hal-hal yang mengharuskan kita mempercayainya seperti kebangkitan, perhitungan, surga, neraka, tauhid, dan semua hal yang tidak diketahui dengan kesaksian, tetapi diketahui dengan petunjuk (dalil-dalil). Keimanan kepada yang Ghaib dari panca indera hewani adalah hal yang membedakan manusia dari binatang yang lain. Diatas alat indranya, manusia mempunyai akal. Dengan akal dia mengetahui apa yang tidak diketahui alat indra. Sesungguhnya akal dan alat indra bekerja sama untuk membenarkan yang ghaib dari pancaindera sebagaimana keduanya juga bekerjasama dalam pengetahuan yang empiris. Pengetahuan indra saja tidak mencukupi bahkan untuk membenarkan yang Ghaib sekalipun kecuali sedikit saja. Membatasi persepsi hanya kepada alat-alat indra sangat reduksionis. Membatasi pada akal saja terlalu berlebihan. Karena itulah kita melihat ayat-ayat yang menghimpun antara akal dan indra untuk mencapai keimanan kepada yang Ghaib; berdasarkan petunjuk ayat-ayat yang indrawi dan ayat-ayat dari yang tidak indrawi….. “…….akan kami perlihatkan kepada mereka ayat-ayat kami dialam semesta dan dalam diri mereka sampai jelaslah bagi mereka bahwa Dia itu benar” (QS.Fush Shilat (41):53). Tafsir Al-Shadiqi ini mengingatkan kita pada konsep evolusi manusia. Ia membedakan antar “Five-sensory Human” dan “Multy-sensory Human”. Kita berevolusi dari Five-sensory human (manusia berpanca indra lima) menjadi Multy-sensory (manusia bermulti indra). Kelima indra kita secara bersama-sama membentuk sebuah system indra tunggal yang dirancang untuk mencerap realita fisik. Multy sensory human mencerap tidak saja realitas fisik, tetapi juga realitas dinamis yang jauh lebih besar, dimana realitas fisik itu hanyalah salah satu bagiannya. Multy sensory human mampu mencerap dan merasa, peranan yang dimainkan oleh realitas fisik kita dalam kerangka besar evolusi, dan dinamika dimana realitas fisik kita diciptakan dan dipertahankan. Semua ini tak dapat dilihat oleh Five sensory human. Dalam dataran yang tidak terlihat inilah, dapat ditemukan asal dari setiap moral dasar kita. Dilihat dari perspektif ini, kita dapat mengerti motivasi orang-orang yang dengan sadar mengorbankan hidup mereka untuk tujuan yang lebih agung, kita mampu memahami kekuatan seorang Ghandi, dan kita pun mengerti kemurah-hatian seorang kristus, semua hal yang tidak dapat dipahami oleh Five-sensory human (manusia berpanca indra lima). Dari persepsi Five-sensory human, secara fisik, manusia adalah sendirian di alam semesta. Namun dari persepsi Multy-sensory human (manusia bermulti indra), manusia tak pernah sendiri. Sementara ini, hidup, sadar, cerdas, dan murah hati. Dilihat dari sudut pandang Five-sensory human, dunia fisik kita adalah suatu tempat dimana manusia menemukan dirinya sendiri, manusia berusaha untuk mendominasi dunia ini agar dapat mempertahankan hidupnya. Dilihat dari sudut pandang Multi Sensory Human, dunia fisik kita adalah sebuah tempat untuk belajar, yang diciptakan bersama oleh para jiwa yang menghuninya, dan oleh setiap hal yang terjadi di dalamnya, yang menunjang proses belajar itu. JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Puasa BicaraMarch 14, 2025Rasulullah saw bersabda dalam sebuah hadis bahwa dengan puasa kita belajar mengendalikan hawa nafsu serta mengendalikan setan yang menipu dan menjebak kita. Pada waktu kita puasa, kita membelenggu setan, membuka pintu surga dan menutup pintu neraka. Kita belajar menahan setan supaya tak masuk ke dalam tubuh kita. Salah satu pintu masuk setan ke dalam tubuh kita adalah melalui makan dan minum. Kita tutup pintu-pintu itu pada waktu siang hari. Kita melemahkan setan; membuatnya tidak berdaya. Puasa adalah latihan mengendalikan hawa nafsu. Di dalam tarekat, puasa adalah upaya mengendalikan diri kita secara lahiriah dan secara batiniah. Secara lahiriah, kita mengendalikan diri dengan mempuasakan seluruh panca indera kita. Dalam ilmu kebatinan, ketika kita melakukan semedi, kita harus menutup tujuh pintu masuk setan. Tujuh pintu itu adalah tujuh lubang dalam tubuh kita. Di antaranya mata, telinga, mulut, dan hidung. Dengan cara itu, kita dapat masuk ke dalam alam kesucian. Secara lahiriah, puasa yang pertama di dalam tarekat adalah puasa menutup mulut kita atau puasa bicara. Puasa bicara bukan saja berarti meninggalkan pembicaraan yang kotor atau menggunjingkan orang lain. Dalam hadis Shahih Bukhari, Rasulullah saw bersabda, “Tidak dihitung mukmin, orang yang suka melaknat orang lain, suka menyakiti hati orang lain, atau berkata kotor.” Ketika kita tak berpuasa pun, hal itu tidak boleh dilakukan, apalagi ketika kita sedang berpuasa. Yang dimaksud dengan puasa bicara adalah setelah meninggalkan pembicaraan tersebut di atas, kita menambah atau memperlebar puasa bicara kita dengan tidak membicarakan hal-hal yang tidak perlu. Kita tidak berbicara yang tidak berguna. Ciri mukmin yang sejati adalah menghindarkan pembicaraan yang tidak ada manfaatnya. Yang dimaksud dengan manfaat di dalam hal ini adalah mendekatkan diri kepada Allah swt. Perkataan yang tidak membawa kita dekat kepada Allah swt adalah perkataan yang tidak bermanfaat. Hentikanlah perkataan seperti itu di dalam bulan puasa. Sebaiknya kita gantikan obrolan kita dengan memperbanyak dzikrullah, zikir kepada Allah swt. Mengobrol tanpa menggunjingkan atau menyakiti orang lain memang diperbolehkan dalam agama. Tidak ada salahnya dalam hal itu. Tapi alangkah lebih baiknya bila waktu mengobrol itu kita ganti dengan berzikir kepada Allah. Kita mengurangi suara mulut kita. Jika mulut kita terlalu banyak bicara, kita takkan sanggup lagi mendengarkan suara hati nurani kita. Siti Maryam as dalam Al-Quran dikisahkan pernah berpuasa tidak bicara. Ketika Maryam hilang dari kampung halamannya dan kembali setelah sekian lama dengan seorang bayi, orang-orang bertanya, “Hai saudara perempuan Harun, kau pulang dengan sesuatu yang aneh. Padahal kami mengenal engkau bukan sebagai perempuan nakal, melainkan perempuan saleh. Mengapa tiba-tiba kau pulang membawa anak?” (QS. Maryam: 28). Siti Maryam sa diperintahkan Allah untuk puasa bicara. Ia disuruh untuk tidak menanggapi tuduhan yang macam-macam itu. Maryam hanya menjawab, “Aku sudah bernadzar kepada Allah yang Mahakasih bahwa hari ini aku tidak akan berbicara kepada seorang manusia pun.” Maryam berjanji kepada Allah untuk berpuasa bicara. Karena Maryam puasa bicara, maka ia mampu mendengar suara bayi dalam kandungannya. Waktu itu juga, ketika Maryam membawa anak kecil, bayi itulah yang menjawab hujatan orang-orang. Bayi itu menjawab, “Salam bagiku ketika aku dilahirkan ketika aku mati dan pada waktu aku dibangkitkan nanti” (QS. Maryam: 33). Menurut Sayyid Haidar Amuli, bila kita terlalu banyak bicara, kita takkan mampu untuk mendengarkan isyarat-isyarat gaib yang datang kepada kita. Kita juga menjadi tak sanggup mendengar kata-kata hati nurani kita. Suara mulut kita terlalu riuh sehingga isyarat-isyarat dari alam malakut (alam ruh) tak terdengar oleh batin kita. Kita terlalu banyak mendengarkan suara kita sendiri. Puasa bicara diajarkan di dalam Al-Quran khusus kepada orang-orang saleh yang tidak hanya menjalankan syariat saja tetapi juga ingin memperindah syariatnya dengan usaha lebih lanjut. Puasa tarekat tidak berarti meninggalkan puasa syariat. Puasa tarekat adalah memperindah puasa syariat; menghiasnya agar lebih bagus. Ketika kita berpuasa, setelah kita meninggalkan kata-kata kotor dan menyinggung perasaan orang, kita juga meninggalkan kata-kata yang biasa-biasa. Hanya supaya pembicaraan kita tidak mengambil alih zikir yang seharusnya kita lakukan di bulan Puasa. Nabi Zakaria as, ketika diberitahu bahwa ia akan mempunyai anak yang bernama Yahya, merasa amat bahagia karena dalam usianya yang amat tua, ia belum juga dikaruniai seorang putra. Zakaria as sering berdoa, “Tuhanku, sudah rapuh tulang-tulangku, sudah penuh kepalaku dengan uban, tapi aku tak putus asa berdoa kepada-Mu” (QS. Maryam: 4). Satu saat, Tuhan menjawab, “Aku akan memberi kepadamu seorang anak” (QS. Maryam: 7). Zakaria as hampir tidak percaya, “Bagaimana mungkin aku punya anak, ya Allah. Padahal istriku mandul dan aku pun sudah tua renta.” (QS. Maryam: 8) Lalu Tuhan menjawab, “Hal itu mudah bagi Allah. Bukankah kamu pun asalnya tiada lalu Aku ciptakan kamu.” (QS. Maryam: 9) Zakaria masih penasaran dan ia minta kepada Allah, “Apa tandanya, ya Allah?” Tuhan menjawab, “Tandanya ialah kau harus puasa bicara. Kau tidak boleh berkata kepada seorang manusia pun selama tiga hari berturut-turut” (QS. Maryam: 10). Zakaria as diperintahkan Tuhan untuk mensyukuri nikmat yang diterimanya dengan berpuasa bicara. Itulah juga nasihat kepada seorang suami yang istrinya sedang mengandung; belajarlah puasa bicara. Usahakan sesedikit mungkin berbicara. Insya Allah, jika selama istri kita mengandung, kita berpuasa bicara, maka Allah akan memberikan kepada kita seorang anak seperti Yahya yang cerdas, arif, berhati lembut dan suci, bertakwa kepada Allah swt, dan sangat berkhidmat kepada orang tuanya, tak pernah memaksakan kehendaknya. Itulah ganjaran kepada orang yang puasa bicara. ​Puasa bicara adalah puasa tarekat. Hanya dengan puasa bicara, batin kita menjadi lebih tajam untuk mendengarkan isyarat-isyarat gaib, mendengarkan hati nurani. Ketika kita terlalu banyak bicara, kita menjadi tuli. Dalam peristiwa mikraj diceritakan ketika Nabi Muhammad saw isra dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, beliau melihat di pertengahan jalan ada seorang yang mengguntingi lidahnya berulang kali. Malaikat Jibril menjelaskan, “Itulah tukang-tukang ceramah yang suka memberikan nasihat kepada orang banyak tetapi ia tidak mempraktikkan apa yang ia khotbahkan.” JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Puasa dan Perkembangan RuhaniMarch 13, 2025Puasa tidak saja ada dalam agama Islam, tetapi juga di dalam agama Yahudi, Nasrani, bahkan agama-agama lainnya. Saya percaya bahwa semua agama itu pada dasarnya agama langit. Agama terbagi dua: agama samawi dan agama thabi’i. Agama samawi adalah agama yang turun dari langit, misalnya agama Islam, Nasrani, dan Yahudi. Sedangkan agama thabi’i adalah agama yang lahir secara alamiah. Contohnya agama Hindu, Buddha, Shinto, dan Konghucu. Menurut saya, seluruh agama pada awalnya agama Samawi. Seluruh agama pada permulaannya datang dari Allah, tetapi dalam perkembangannya terjadilah perubahan yang merupakan campur tangan manusia. Karena seluruh agama pada awalnya adalah agama samawi, tidak heran kalau seluruh agama mensyariatkan puasa. Apa pun bentuknya. Bahkan pada masyarakat yang tidak mengenal agama, seperti pada bangsa-bangsa primitif, kita temukan adanya kebiasaan berpuasa. Mengapa puasa itu disyariatkan Allah swt pada seluruh agama? Pertama, puasa adalah alat untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Hakikat keberagamaan adalah upaya untuk mendekati Allah sehingga kita menemukan puasa terdapat pada seluruh agama di dunia ini. Kedua, agama memenuhi kebutuhan spiritual atau kebutuhan rohani kita. Jika Anda seorang Antropolog, Anda tahu bahwa banyak lembaga-lembaga sosial dibentuk untuk memenuhi kebutuhan manusia. Untuk memenuhi kebutuhan manusia akan pemuasan seksual, masyarakat membentuk lembaga pernikahan. Untuk memenuhi kebutuhan manusia akan kekuasaan, masyarakat menciptakan sistern politik. Untuk memenuhi kebutuhan ruhaniah manusia, pada masyarakat lahir agama. Agama adalah institusi untuk rnemenuhi kebutuhan ruhaniah. Secara filosofis, kita percaya bahwa yang membedakan kita dari makhluk-makhluk lain adalah ruh. Sebagian orang menyatakan bahwa hakikat kemanusiaan seseorang terletak di dalam ruhnya. Ada suatu penelitian tentang puasa di Barat. Penelitian itu mengamati sekelompok orang yang berpuasa. Setelah beberapa hari puasa, terjadi sesuatu yang aneh. Pikiran mereka menjadi lebih filosofis. Mereka jadi bisa berfilsafat. Seperti seorang filusuf, orang yang berpuasa itu mulai berfikir yang abstrak. Fikiran mereka tidak terbatas pada hal-hal yang konkret lagi. Di dalam ilmu Psikologi Perkembangan (Development Psychology), kita ketahui bahwa dalam perkembangan kepribadiannya, manusia mengubah-ubah bentuk kebutuhannya. Dengan kata lain, kenikmatan manusia ini berganti-ganti sesuai dengan perkembangan kepribadiannya. Pada tingkat yang masih awal sekali dalam perkembangan kepribadian, kebutuhan manusia itu hanya berkaitan dengan hal-hal yang konkret atau hal-hal yang berwujud dan kelihatan. Pada tingkat ini, kebutuhan itu memerlukan pemuasan yang sesegera mungkin (Immediate Gratification). Sigmund Freud bercerita tentang kesenangan anak-anak di masa kecil mereka. Menurutnya, ada tiga tahap perkembangan kenikmatan anak-anak itu. Ketiga tahap itu memiliki persamaan. Semuanya bersifat konkret, bisa dilihat, dan pemenuhannya sesegera mungkin. Kalau orang itu lapar, ia makan. Segera dia dipuaskan dengan kesenangannya pada makan dan minum. Menurut Freud, dalam periode paling awal pada perkembangan kepribadian anak, letak kenikmatan adalah pada mulut mereka. Freud menyebutnya Periode Oral. Anak-anak menemukan kenikmatan ketika memasukkan sesuatu ke mulutnya. Kesenangan ini diperoleh dalam pengalaman pertama ketika dia menyusu pada ibunya. Dia lalu belajar untuk memasukkan apa saja ke dalam mulutnya. Pada tingkat Oral ini, jika anak-anak diperintahkan untuk berjalan, dia akan berusaha mengambil sesuatu dan mencoba untuk memasukkannya ke mulut. Bila tidak ada sesuatu yang bisa diraih untuk diletakkan ke dalam mulutnya, dia akan memasukkan tangannya sendiri. Pada perkembangan selanjutnya, kenikmatan itu tidak hanya terletak pada mulut. Dia mendapatkan kenikmatan ketika mengeluarkan sesuatu dari tubuhnya. Seperti ketika dia buang air besar atau buang air kecil. Masa itu disebut Masa Anal. Pada periode ini, seorang anak bisa berlama-lama di atas toilet. Dia senang melihat tumpukan kotorannya dan kadang-kadang ia mempermainkannya. Sesudah itu, kepribadian anak berkembang lagi. Kenikmatannya sekarang bergeser. Dia memasuki satu periode yang akan mempersiapkan diri untuk menjadi orang yang lebih dewasa. Periode ini dinamakan Periode Genital. Dia senang mempermainkan alat kelaminnya dan memperlihatkannya pada orang tuanya. Kalau teori Freud benar, maka seluruh kebutuhan pada masa kanak-kanak itu bersifat fisik. Tidak ada kebutuhan ruhaniah sedikit pun di situ. Kebutuhan kita ini berkembang. Semakin dewasa kita, semakin abstraklah kebutuhan kita. Pada orang-orang tertentu, kepribadiannya itu terhambat dan tidak bisa berkembang. Hambatan kepribadian itu disebut Fiksasi. Misalnya ada orang yang terhambat pada pemenuhan kebutuhan oral saja. Walaupun dia sudah dewasa, dia hanya memperoleh kenikmatan pada makan dan minum saja. Perbedaannya ialah bahwa dia mengubah makan dan minum itu ke dalam bentuk simbol, misalnya dalam bentuk pemilikan kekayaan. Saya pernah diwawancarai sebuah radio di Jakarta. Saya ditanya tentang relevansi puasa dalam kehidupan modern. Saya jawab dengan merujuk kepada teori Freud. Orang-orang modern dalam pandangan Freud adalah orang-orang yang sakit jiwa, orang-orang yang terhambat dalam perkembangan kepribadiannya. Mereka hanya mengejar kenikmatan dalam makan dan minum saja atau paling tidak mereka terhambat pada tingkat Genital. Mereka seperti anak-anak, masih mencari kenikmatan dalam mempermainkan alat kelaminnya. Lembaga-lembaga modern dibuat untuk memenuhi kebutuhan itu; makan, minum, dan seks. Bisnis makanan sampai sekarang adalah bisnis yang paling banyak menyedot uang di dunia modern. Saya dengar asset bulanan suatu restoran fast food di Indonesia itu adalah puluhan milyar rupiah. Jadi, puluhan milyar rupiah dikeluarkan oleh orang Indonesia hanya untuk membeli sepotong burger saja. Rata-rata orang Indonesia mengeluarkan lebih dari tujuh puluh lima persen dari penghasilannya untuk makan dan minum. Orang modern adalah orang yang kerjanya menumpuk kekayaan. Ia akan memperoleh kenikmatan dengan melihat banyaknya kekayaan yang dimilikinya. Saya ingin memberikan contoh yang sederhana. Dahulu, di salah satu kampung yang bertetangga dengan kampung saya, ada seorang ibu yang dikenal sebagai orang kaya (kaya dalam ukuran kampung). Tetapi, sehari-hari dia hanya makan dengan nasi yang amat sedikit. Lauk pauknya pun ia cari sendiri dengan merendam dirinya di sungai untuk memperoleh ikan. Pakaian yang biasa dipakainya pun sangat sederhana. Ketika ia meninggal dunia, lemarinya dibuka. Herannya, lemari itu penuh berisi dengan pakaian yang bagus-bagus. Orang tidak pernah melihat ia memakai pakaian-pakaian itu. Ia juga meninggalkan uang yang bertumpuk-tumpuk. Orang-orang bingung. Ia menderita sepanjang hidupnya padahal ia memiliki harta yang banyak. Orang tidak tahu bahwa ibu itu memperoleh kenikmatan tidak dalam mempergunakan seluruh harta dan barangnya, tapi ia memperoleh kenikmatan ketika ia membuka lemari dan memandang hartanya itu seraya berkata pada dirinya, “Semua ini milikku.” Orang kota juga banyak yang seperti itu. Dia memperoleh kenikmatan dalam membaca laporan depositonya di bank. Kalau dia ingat, dia membuka lemari dan menyibak lembaran-lembaran depositonya. Ia tidak ingin menggunakan depositonya karena takut jumlah uang itu akan berkurang. Ada juga orang yang membeli barang-barang dan memperoleh kenikmatan dengan melihat tumpukan barang-barang itu. Sebetulnya sebagian barang itu saja sudah cukup baginya tetapi dia memperoleh kenikmatan dalam pemilikan semua barang itu. Menurut Sigmund Freud, orang yang seperti itu bertahan dalam tahap yang kedua, yaitu tahap kenikmatan melihat kotoran. Penumpukan kekayaan yang dibeli dengan pengeluarannya itu sebetulnya adalah pemuliaan atau simbolisasi dari kenikmatan melihat kotoran. Freud juga memandang bahwa kekayaan-kekayaan yang ditumpuk itu sebetulnya adalah kotoran. Dia terhambat pada periode Anal. Manusia yang tidak mengalami Fiksasi akan memasuki kepada tahap kebutuhan yang lebih abstrak, antara lain kebutuhan intelektual, kebutuhan akan informasi, kenikmatan dalam mengumpulkan informasi, atau kenikmatan dalam menyampaikan informasi. (Informasi itu sesuatu yang abstrak) Abraham Maslow membuat piramida kebutuhan manusia. Semakin tinggi bagian piramida, semakin abstrak pula kebutuhannya. Pada tingkat yang paling bawah, manusia hanya memenuhi kebutuhan makan dan minum saja atau kebutuhan biologis saja. Bila kebutuhan biologis itu sudah terpenuhi, kebutuhannya akan naik pada tingkat selanjutnya. Kebutuhan di atasnya itu adalah kebutuhan akan kasih sayang, ketenteraman, dan rasa aman. Lebih atas lagi adalah kebutuhan akan perhatian dan pengakuan. Lebih tinggi dari itu adalah kebutuhan akan self actualization atau aktualisasi diri. Dalam Islam, hal itu disebut kebutuhan akan Al-Takämul Al-Rühäni, proses penyempurnaan spiritual. Itulah tingkat yang paling tinggi dalam kebutuhan itu. Dari uraian yang panjang itu kita bisa menyimpulkan; semakin dewasa seseorang, semakin abstrak kebutuhannya. Kebutuhan yang paling tinggi ialah ketika orang berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan ruhaniahnya bukan kebutuhan-kebutuhan jasmaniahnya. Itulah orang yang sudah sangat dewasa. Di bulan Ramadhan kita dilatih untuk mengembangkan kepribadian kita. Kita meninggalkan tingkat Oral, Anal, dan Genital ke tingkat ruhaniah yang lebih tinggi. Pada siang hari di bulan Puasa, kita berlatih untuk meninggalkan masa kanak-kanak kita. Kita mencoba menahan diri untuk tidak memenuhi kebutuhan Oral kita dengan tidak makan dan minum. Kita pun mencoba untuk meninggalkan tahap Genital dengan mengendalikan nafsu seks kita. Pada bulan Ramadhan, kita belajar menjadi dewasa. Di bulan itu kita berusaha untuk memenuhi kebutuhan ruhaniah kita. Kita meninggalkan keterikatan pada tubuh kita dan mulai mendekati ruh kita. Kita adalah gabungan antara ruh dan tubuh tapi dalam kenyataan sehari-hari kita ini terikat sekali dengan tubuh kita. Seseorang yang sudah sampai pada tingkat di mana keterikatan pada ruhnya lebih besar daripada keterikatan pada tubuhnya, akan mampu untuk mengendalikan tubuhnya sendiri. Orang yang sangat terikat dengan tubuh akan mudah sekali dipengaruhi oleh perubahan cuaca. Dia bisa kedinginan kalau suhu udara turun. Dia bisa kegerahan kalau suhu udara naik. Sedangkan orang yang sudah lebih terikat kepada ruh akan bisa menciptakan tubuhnya sejuk ketika udara sangat panas. Dia pun bisa membuat tubuhnya hangat ketika udara amat dingin. Menurut Murtadha Muthahhari, salah satu tahap dalam wilayäh atau kewalian seseorang adalah tahap di mana ia sudah bisa mengendalikan hawa nafsunya. Dia tidak akan marah ketika seharusnya marah. Dia tidak ingin membalas dendam ketika semestinya ia membalas dendam. Dia tidak sakit hati ketika orang menyakiti hatinya. Nafsunya sudah terkendalikan. Menahan makan dan minum serta menahan diri dari hubungan suami istri sudah termasuk tingkat wilayah yang paling awal. Jadi di dalam bulan Puasa, Insya Allah, kita akan menjadi wali-wali Allah pada tingkat yang paling elementer. Jika orang sudah berhasil mengendalikan seluruh hawa nafsunya, dia akan naik kepada Wilayäh yang kedua, yaitu ketika ruhnya sudah bisa mengendalikan tubuhnya. Tingkat yang ketiga, ialah ketika ruhnya sudah bisa mengendalikan gerakan alam semesta. Kalau dia menyatakan sesuatu itu jadi, maka terjadilah sesuatu itu. Kalau dia meminta supaya pohon itu berbunga, maka berbungalah pohon itu. Dari dirinya memancar sesuatu yang menggerakan dan menggoncangkan seluruh molekul di sekitarnya. Menurut Iqbal, orang seperti itu adalah orang yang sudah bisa menentukan takdirnya. “Kembangkan dirimu begitu rupa,” kata Iqbal, “sehingga kalau Allah akan menetapkan takdirnya, Dia akan berkonsultasi dulu dengan kamu. Kalau Allah akan mematikan kamu, Dia akan bertanya dulu: Apakah kamu akan mati sekarang atau nanti.” Orang tersebut sudah mencapai tingkat kewalian yang ketiga. Ketika dia bisa menentukan takdir, menggenggam takdir ditangannya, dan tidak lagi tunduk kepada takdir. Bahkan Allah menentukan takdir dengan berkonsultasi terlebih dahulu kepadanya. Bulan Puasa adalah suatu bulan ketika kita -paling tidak- dihantarkan untuk mengendalikan hawa nafsu. Lalu bagaimana kalau di bulan Puasa ada orang yang berhasil mengendalikan makan, minum, dan seksnya tetapi dia tidak bisa mengendalikan hawa nafsunya? Itu berarti orang itu tidak masuk ke tingkat wali yang paling elementer sekali pun. Orang seperti ini tidak makan dan minum tapi mudah tersinggung. Ia mudah marah dan mencaci maki orang lain. Ia tidak bisa mengendalikan mulutnya. Ketika ceramah di bulan Puasa, dia menghantam golongan lain yang tidak sepaham dengannya. Sebenarnya orang itu menderita Fiksasi. Dia terhambat dalam perkembangan kepribadiannya, dia belum bisa mengendalikan hawa nafsunya. Hadis Qudsi tentang Puasa. Bagaimana kita meningkatkan tingkat kewalian atau wiläyah kita ini? Kita dapat berpedoman pada hadits-hadits Qudsi. Hadits Qudsi adalah petunjuk Allah bagi yang ingin mendekati-Nya. Dengan latar belakang psikologis yang panjang di atas, saya akan mengantarkan Anda kepada hadits-hadits Qudsi yang membimbing kita untuk menjalankan ibadah puasa. Dalam satu hadits Qudsi tersebut, Allah berfirman: “Demi keagungan-Ku, kebesaran-Ku, kemuliaan-Ku, cahaya-Ku, ketinggian-Ku, dan ketinggian kedudukan-Ku, tidaklah seorang hamba mendahulukan kehendaknya di atas kehendak-Ku kecuali Aku cerai beraikan urusannya. Aku kacaukan dunianya. Aku sibukkan hatinya dengan dunianya. Dan dunia tidak mendatanginya kecuali yang sudah Aku tentukan baginya.” “Demi keagungan-Ku, kebesaran-Ku, kemuliaan-Ku, cahaya-Ku, ketinggian-Ku, dan ketinggian kedudukan-Ku, tidaklah seorang hamba mendahulukan kehendaknya di atas kehendak-ku kecuali akan Aku perintahkan para malaikat untuk menjagaNya. Aku akan jaminkan langit dan bumi sebagai rizkinya. Aku akan menyertai setiap usaha dagang yang dilakukannya. Dan dunia akan datang sambil merendahkan diri kepadanya.” Menurut hadis Qudsi ini, terdapat dua golongan manusia. Pertama, golongan manusia yang mendahulukan kehendaknya di atas kehendak Allah. Kedua, golongan manusia yang mendahulukan kehendak Allah di atas kehendaknya. Orang yang berpuasa adalah orang yang termasuk ke dalam golongan kedua. Ia menempatkan kehendak Tuhan di atas kehendaknya sendiri. Ketika siang hari, keinginannya ialah untuk makan dan minum tetapi keinginan Allah adalah supaya ia tidak makan dan tidak minum. Orang yang berpuasa akan mengutamakan keinginan Allah itu. Meskipun lapar, ia tidak akan penuhi keinginannya. Ketika kita lapar, umumnya kita mudah sekali tersinggung. Kalau kita diganggu orang, kita ingin sekali untuk marah. Namun Allah menghendaki kita di bulan Ramadhan ini untuk mengekang amarah kita. Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang mengendalikan marahnya di bulan Ramadhan, Allah akan menahan murka-Nya pada Hari Kiamat nanti.” Kita menahan amarah kita demi memenuhi kehendak Allah. Sebetulnya setiap hari kita dihadapkan pada dua pilihan. Apakah kita akan memenuhi kehendak Allah atau memenuhi kehendak diri kita sendiri. Allah berkehendak agar kita mencari nafkah yang halal untuk membiayai keluarga kita. Bila kita memiliki kelebihan harta, Allah berkehendak agar kelebihan itu dibagikan kepada hamba-hambaNya. Tapi jika kita mempunyai kelebihan rizki, kehendak kita adalah memakai kelebihan itu untuk memenuhi keperluan konsumtif kita. Kita tumpuk makanan berlebih untuk kita santap ketika berbuka puasa. Seakan suatu kompensasi akan ketidakmakanan dan ketidakminuman kita di siang hari. Di bulan Puasa ini, mari kita kesampingkan kehendak kita itu. Kita utamakan kehendak Allah Swt; kita bersedekah sebanyak-banyaknya kepada para fakir miskin dan mustadh’afin. Itulah puncak perkembangan kejiwaan manusia. JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Puasa: Dari Syariat ke HakikatMarch 11, 2025Pada jaman Nabi Syuaib, seseorang menemui sang Nabi: “Tuhan telah melihat semua perbuatan buruk yang aku lakukan. Tetapi karena kasih sayangNya, Ia tidak menghukumku”. Tuhan kemudian bicara kepada Syuaib: “Jawablah dia. Kamu berkata Tuhan tidak menghukummu. Sebaliknyalah yang terjadi. Tuhan telah menjatuhkan hukuman, tetapi kamu tidak menyadarinya. Kamu sudah berputar-putar tanpa arah di rimba belantara. Tangan dan kakimu terbelenggu. Kamu adalah poci yang terus menumpuk karat. Makin lama kamu makin buta dari hal-hal rohaniah. Ketika asap menjilati poci tembaga yang baru, orang akan segera melihat bekasnya. Tetapi dengan permukaan yang segelap kamu, siapa yang tahu kapan ia menjadi lebih hitam. Dikala kau berhenti tafakur, tumpukan karat menembus masuk ke cermin jiwamu. Tak ada lagi gemerlap di dalamnya. “Jika kamu menulis sekali di atas selembar kertas, tulisanmu terbaca jelas. Jika kamu terus menerus mencoreti kertas yang sama, tulisanmu takkan terbaca. Tenggelamkan dirimu dalam asam yang membersihkan tembaga. Kikis habis noda-noda hitammu”. Begitulah Syuaib berkata, dan dalam satu tarikan nafas bunga-bunga mawar merekah di dada orang itu. Tetapi masih juga ia berkata: “Aku tetap minta tanda bahwa Tuhan sudah menghukumku”. Tuhan berkata melalui Syuaib: Tak akan Kuungkapkan rahasiaKu. Akan Aku berikan padamu tanda supaya kamu mengerti. Kamu telah melakukan banyak ibadah, puasa, salat, dan zakat; tetapi tak satupun kau rasakan lezat! Banyak sekali kulit kacang tetapi tidak ada kacang manis di dalamnya. Mesti ada rasa, mesti ada biji kenikmatan. Tanpa itu biji arbei tak akan melahirkan benih yang kelak menjadi pohon yang berbuah. Amal gersang tanpa rasa tidak berguna. Bentuk tanpa jiwa hanyalah khayalan hampa”. Surat bijan nabasyad juz khayal. Bentuk tanpa jiwa hanyalah khayalan hampa. Dengan itu, Jalaluddin Rumi mengakhiri satu paragraph puisinya dalam Matsnawi II, 3420-3450. Jika Anda sudah tidak bisa menikmati ibadah Anda, Anda sedang mendapat hukuman Tuhan. Ketika kemaksiatan terus menerus dilakukan, yang pertama kali diambil oleh Tuhan dari para penyembah-Nya adalah “jiwa” keberagamaan. Shalat hanya tinggal gerak badan tanpa getaran hati. Masjid berubah dari tempat beribadah menjadi saluran pengerahan massa (dan dana). Ibadah haji dan umrah menjadi salah satu dari sejumlah wisata. Baitullah hanya tampak sebagai seonggok batu dari jaman purba; tidak berbeda dengan Tembok Cina atau Menara Pisa. Zakat dikeluarkan sama beratnya dengan pajak. Dan puasa menjadi rangkaian upacara kesalehan yang lewat begitu saja setelah usai bulan Ramadhan. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Banyak sekali yang berpuasa yang tidak memperoleh apapun dari puasanya kecuali lapar dan dahaga”. Ketika seorang perempuan mencaci-maki pembantunya, Nabi menyuruhnya berbuka “Bagaimana mungkin kamu berpuasa sedangkan kamu mencaci-maki hamba Tuhan?” Apa yang ditegaskan Nabi dalam sabdanya itu adalah puasa tanpa jiwa, dan karena itu tanpa kelezatan. Lalu apa jiwa dari puasa? HAKIKAT PUASA Nabi Muhammada SAW bersabda, “Semua amal anak Adam dilipat gandakan. Kebaikan dilipat gandakan sepuluh sampai seratus kali. Kecuali puasa, kata Tuhan. Puasa untuk Aku dan aku yang akan memberikan pahalanya. Orang yang berpuasa meninggalkan keinginannya dan makanannya hanya karena Aku. Bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan : kebahagiaan ketika ia berbuka dan kebahagiaan ketika ia berjumpa dengan Tuhannya” (Bukhari dan Muslim). Sayyed Hossein Nasr, dalam Ramadan : Motivating Believers to Action: An Interfaith Perspective, yang disunting Laleh Bakhtiar, menulis tentang puasa dengan sangat menyentuh, tetapi mendalam: “Aspek paling sulit dari puasa ialah ujung pedang pengendalian diri yang diarahkan pada jiwa hewani, the carnal soul, al-nafs al-ammarah seperti disebutkan dalam Al Quran”. Dalam puasa, kecenderungan jiwa hewani untuk memberontak perlahan-lahan dijinakkan dan ditenangkan melalui penaklukan kecenderungan ini secara sistematis pada kehendak Ilahi. Setiap saat merasakan lapar, jiwa seorang muslim diingatkan bahwa demi mematuhi perintah Ilahi, gejolak jiwa hewani harus dikesampingkan. Itulah sebabnya, puasa bukan hanya menahan diri dari makan, tetapi juga menahan diri dari semua dorongan hawa nafsu. Sebagai akibat dari pengendalian sistematis ini, jiwa manusia menjadi sadar bahwa ia tidak tergantung pada lingkungan alam di sekitarnya. Ia sadar bahwa ia berada di dunia ini tetapi bukan merupakan bagian daripadanya. Orang yang puasa dengan penuh keimanan segera menyadari bahwa ia hanyalah peziarah di dunia ini dan ia diciptakan sebagai makhluk yang ditakdirkan untuk mencapai tujuan di seberang wujud material ini. Lebih-lebih lagi, sifat segala sesuatu yang semula kosong dan fana sekarang muncul sebagai anugerah Ilahi. Makan dan minum yang kita anggap sebagai biasa sepanjang tahun, pada waktu puasa, tampak sebagai karunia dari surga (ni’mah) dan mencapai makna rohaniah seperti sebuah sakramen. Berpuasa adalah memakai perisai kesucian menghadapi hawa nafsu duniawi. Puasa bahkan secara fisik memasukkan kedalam tubuh kesucian kematian yang tentu saja digabungkan dengan kelahiran spiritual. Dalam puasa manusia diingatkan bahwa ia telah memilih Tuhan di atas hawa nafsu. Oleh karena itulah, Nabi SAW sangat mencintai puasa. Inilah unsur dasar dari apa yang kita kenal sebagai kefakiran spiritual Muhammad, seperti dalam sabdanya: “kefakiran rohaniah adalah kemuliaanku.” Kematian nafsu membersihkan jiwa manusia dan mengosongkan air kotor dari residu psikisnya yang negatif. Sang individu – dan melalui dia umat Islam – direnovasi dengan puasa dan diingatkan akan kewajiban dan tujuan moral dan spiritual. Oleh karena itulah kedatangan bulan penuh berkah ini disambut dengan gembira. Di bulan ini pintu-pintu surga dibuka lebar-lebar bagi kaum beriman dan rakhmat Tuhan turun kepada para pencarinya. Melaksanakan puasa berarti mengalami peremajaan dan kelahiran kembali yang mempersiapkan setiap Muslim menghadapi tahun berikutnya dengan tekad untuk hidup dan bertindak sesuai kehendak Ilahi. Puasa juga menaburkan wewangian rohaniah kepada jiwa manusia, yang harumnya akan terus tercium lama sesudah periode menahan diri berakhir. Puasa memberikan jiwa sumber energi yang akan menggerakkannya sepanjang tahun. Walhasil, hanya puasa dengan hakikatnya, puasa dengan rohnya yang memberikan kelezatan rohaniah; yang menjadi sumber kekuatan Muslim dalam menghadapi gelombang kehidupan. Ketika ia berpuasa sebenarnya, yakni menundukkan seluruh dirinya pada kehendak Ilahi, ia menyerap tenaga yang tak terhingga. Puasa menjadi sumber energi yang membersihkan jiwa dan raganya. Larry Dossey, seorang dokter, menghabiskan usianya untuk meneliti pengaruh doa terhadap kesehatan tubuh. Doa seperti apakah yang mempunyai pengaruh besar bagi penyembuhan penyakit, fisikal maupun psikologis? Ia sampai pada kesimpulan bahwa healing words yang kemudian menjadi judul bukunya hanya terjadi jika orang yang menyampaikan doa itu melakukan “centering”. Centering adalah meniadakan diri dan melenyapkan diri kita pada Pusat Wujud, central core of being. Dossey mengutip psikolog Lawrence Le Shan yang menulis: “Orang hanya sampai pada modus ini, jika ia sudah berhasil, walaupun untuk sekejap, menyerahkan semua keinginan dan hasrat dirinya . . . dan orang lain . . . dan membiarkan dirinya berada, dan karenanya berada bersama, dan menjadi satu dengan semua wujud.” Meniadakan diri dan menenggelamkan diri pada Yang Maha Ada adalah hakikat puasa. Sebelum sampai ke situ, seorang Muslim harus menjalankan tarekat puasa. Di sini ia mengendalikan semua alat inderanya – yang lahir dan bathin – dari melakukan hal-hal yang tidak dikehendaki Tuhan. Ia bukan saja mengendalikan mulutnya dari menyebarkan gossip, intrik, makian, dan ancaman, tetapi juga mengendalikan daya khayalnya dari rencana-rencana jahat atau niat-niat buruk. Ia tidak saja menutup mata lahirnya dari pandangan yang dilarang Tuhan, tetapi juga juga menutup daya pikirnya dari melakukan kelicikan, pengkhianatan, dan penyelewengan. Jauh sebelum sampai ke tarekat puasa, seorang Muslim tentu saja harus memenuhi syariat puasa, paling tidak menahan diri untuk makan, minum, dan seks sejak terbit fajar sampai tenggelam matahari. Pada tingkat syariat pun, para ahli fiqih menegaskan bahwa puasa harus disertai dengan niat yang berdasarkan keimanan dan keinginan untuk memperoleh ridho Tuhan. Tanpa imanan wahtisaban, puasa kita tidak sah. Jadi, termasuk yang menentukan sah tidaknya puasa adalah niat. “Sesungguhnya setiap amal itu bergantung kepada niatnya” sabda Nabi SAW, yang dikutip Bukhari, sebagai hadis pertama dalam kumpulan hadisnya. Berdasarkan niatnya ada dua macam puasa. Pertama, Puasa yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dirinya di atas kebutuhan untuk mendapatkan ridho dan ampunan Tuhan. Kedua, puasa yang dilakukan untuk memperoleh ridho Tuhan di atas kebutuhan-kebutuhan dirinya. Secra syariat, yang pertama dihitung tidak syah. Secra psikologis, ia juga dianggap keberagamaan yang tidak dewasa. KEBERAGAMAAN EKSTRINSIK DAN INTRINSIK Para psikolog pernah berdebat tentang apa yang mereka sebut sebagai the great paradoxes of the psychology of religion. Mereka tidak mengerti mengapa agama yang mengajarkan persaudaraan diantara sesama manusia melahirkan para pemeluk yang memiliki tingkat prasangka yang tinggi. Penelitian demi penelitian menunjukkan ada hubungan yang erat antara perilaku beragama (seperti rajin beribadah, pergi ke gereja atau masjid) dengan prasangka, prejudice. Secara sederhana, penelitian-penelitian menunjukkan bahwa makin rajin orang beribadah, makin besar prasangkanya pada kelompok manusia yang lain. Prasangka adalah pandangan menghina terhadap kelompok lain. Anggota-anggota kelompok lain dianggap inferior, lebih rendah derajadnya, tidak sepenuhnya dianggap manusia. Untuk itu, kepada kelompok lain itu digunakan label-label atau gelar-gelar yang melepaskan mereka dari sifat kemanusiaannya. Kita menyebut mereka munafik, sesat, pengikut setan, atau bangsa lain (tidak sebangsa dengan kita). Setelah dicabut dari segala sifat manusianya, mereka tidak patut lagi dikasihani dan karena itu boleh saja difitnah, dirampas haknya, dianiaya, atau sedikitnya dicampakkan kehormatannya. Mereka dianggap sebagai sumber segala sifat buruk: malas, immoral, tidak jujur, bodoh, jahat, kejam, dan sebagainya. Penelitian klasik tentang prejudice dilakukan oleh Adorno et al. (1950). Waktu itu, Adorno mengidentifikasi beberapa karakteristik prejudice (perasangka), kepribadian otoriter, fanatisme kesukuan (etnosentrisme), konservatisme politik dan ekonomi, dan anti Semitisme. Jadi, sangat mengherankan, orang-orang saleh sering menampakkan prejudice lebih besar dari orang yang kurang saleh. Allport berusaha menjawab paradoks ini dengan membagi dua macam keberagamaan: tidak dewasa dan dewasa. Keberagamaan yang tidak dewasa, agamanya anak-anak, memandang Tuhan sebagai “Bapak” yang bertugas melayani kehendaknya: merawat, menjaga, mengurus segala keperluannya. Keberagamaan seperti ini cocok untuk masa kanak-kanak, tetapi menjadi disfungsional ketika orang beranjak dewasa. Kelak Allport merevisi teorinya dengan menyebutnya keberagamaan ekstrinsik dan keberagamaan intrinsik. Menurut Allport, dalam orientasi ekstrinsik, orang menggunakan agama untuk tujuan-tujuan pribadi. Nilai-nilai ekstrinsik bersifat instrumental dan utilitarian. Agama digunakan untuk berbagai tujuan – mendapatkan rasa aman, status, atau pembenaran diri. Dalam bahasa teologi, tipe eksrinsik menghadap Tuhan tanpa berpaling dari dirinya. Buat orang yang berorientasi intrinsik, motif keagamaan diletakkan di atas segala motif pribadi. Sekedar contoh, ketika seorang Muslim berjuang, ia meletakkan ke-ridho-an Tuhan di atas segala kebutuhan-kebutuhan pribadinya. “Ridho dari Allah lebih besar” (Al-Quran 9:72). Ia akan mengorbankan kepentingan kelompoknya jika kepentingan itu menyebabkan ia tidak dapat lagi memenuhi kehendak Ilahi. Dengan sangat mengagumkan “survey membuktikan” bahwa prejudice memang hanya berkaitan dengan orientasi keberagamaan yang ekstrinsik. Dalam istilah syariat puasa, prejudice dan juga penyakit-penyakit psikologis lainnya hanya berkaitan dengan orang yang menjalankan puasa untuk kehendak dirinya. Orang yang menikmati puasa hanyalah orang yang melakukan puasa karena keimanan dan karena memenuhi kehendak Ilahi, imanan wahtisaban. Inilah puasa yang difirmankan Tuhan: “Puasa hanyalah untuk Aku dan Aku sendiri yang akan memberikan pahalanya”. Puasa yang dilakukan bukan untuk Tuhan adalah puasa tanpa jiwa. Surat bijaan nabasyad juz khayal. Bentuk tanpa jiwa hanyalah khayalan hampa. JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
BERBUKA DENGAN RACUNMarch 9, 2025Setengah abad yang lalu, aku adalah anak kecil yang tinggal di kampung. Pada bulan puasa, aku menghabiskan waktu dengan “berburu” makan untuk berbuka. Aku memetik puluhan buah jambu dari pohon-pohon jambu yang tumbuh di pinggir kali. Aku juga mengantongi beberapa buah mangga yang kupetik dari pohon mangga di halaman rumah nenekku.  Menjelang maghrib, bersama anak-anak kampung lainnya aku berbaris menunggu pembagian nagasari dari kakekku. Nagasari itu tepung yang di dalamnya ada pisang, manis dengan gula aren, dan dibungkus dengan daun pisang. Buah-buahan plus makanan-makanan yang home made adalah menu berbuka kami. Minuman kami cukup dengan air teh saja atau sekali-sekali air aren. Lauk-pauknya biasanya sayuran, tempe, dan ikan asin. Kami mengubah fasting menjadi feasting, puasa menjadi pesta, kalau kami melihat daging ayam (kampung) dan ikan (dari sungai atau kolam) pada tikar jamuan kami. Puluhan tahun setelah itu, aku membangun keluarga. Tinggal di kota besar sebagai anggota kelas menengah. Tentu saja aku memandang rendah menu makanku dulu. Aku tidak ingin anak-anakku makan yang sama seperti yang dahulu aku makan. Mereka harus makan makanan orang kota . Bersamaan dengan kenaikan status sosial ekonomiku, menu buka puasa kami makin lama makin “internasional”. Minuman kami terdiri dari soft drinks, aneka jus, dan susu. Di kulkas tersimpan jenis-jenis minuman dan makanan dalam kaleng atau kantong plastik. Di atas meja dihidangkan berbagai jenis makanan -termasuk daging-dagingan- yang sebagian besar diproduksi di pabrik-pabrik industri makanan. Semua makanan itu –baik bahannya atau sudah jadi- dibeli di pasar swalayan atau mal-mal yang terdekat. Jenis-jenisnya beragam, tapi rasanya sama: lezat-lezat! Ada yang lupa aku sebut. Sebagai pengganti daun pisang, pembungkus makanan kami sekarang plastik atau alumunium foil. Pola makan yang moderen ini makin kuat setelah semua keluargaku sering berada di luar negeri. Sekali-sekali kami berbuka bersama di restoran-restoran internasional, sejak McDonald, Kentucky Fried Chicken, sampai Hokka-hokka Bento, Pizza Huts, atau … Mercantile. Kami cuma berpuasa siang hari. Malam hari kami menjadi pelahap makanan yang rakus. Kebiasaan ini terus berlangsung sampai aku menemukan bahwa makanan moderen ternyata membunuh kami sekarang dengan malnutrisi dan keracunan. Makanan yang “kampungan” itu ternyata makanan Adam dan Hawa di surga Aden. Makanan yang menghidupkan kami dahulu dalam kebugaran dan kesehatan.Tom McGregor, dalam The Perfect Diet, menulis: “Kita telah jauh meninggalkan keindahan surga Aden . Telah lama kita lupakan diet sempurna yang bergantung matang dari setiap cabang pohon. Buah-buahan segar yang dirancang dengan susunan molekul yang tepat untuk memelihara tubuh sudah digantikan dengan makanan yang dikemas secara kreatif, diawetkan secara kimiawi, diberi rasa buatan, ditingkatkan teksturnya, diberi warna, diberi lemak (fattened), dimaniskan, difortifikasi secara sintetik, dan dapat dihangatkan di mikrowiv. Dengan begitu, dalam beberapa menit, makanan sudah pindah dari kulkas ke meja makan. “Makanan itu begitu enak sehingga kita lupa pada unsur-unsur bahannya (ingredients). Begitu lezat sehingga kita bersedia memasukkan ke dalam perut kita ribuan zat-zat kimia dengan nama-nama aneh seperti preservatives, chemical flavors, buffers, noxious sprays, alkalizers, acidifiers, deodorants, moisteners, drying agents, expanders, modifiers, emulsifiers, stabilizers, thickeners, clarifiers, disinfectants, defoliants, fungicides, neutralizers, anticaking and antifoaming agents, hydrolyzers, hydrogenators, herbicides, pesticides, synthetic hormones, antibiotics, dan steroid. “Sekiranya kita membawa Adam ke pusat kota moderen, ia pasti akan syok. Reaksi pertamanya mungki batuk-batuk dan mata yang berair karena buangan karbon monoksida. Bunyi lalu lintas akan mengganggu pendengarannya. Orang-orang berwajah pucat dan muram lalu lalang di hadapannya. Iklan-iklan neon yang menawarkan makanan yang dibakar api dan penuh minyak pasti tidak akan dipahaminya. Apotik akan membuatnya bingung. Begitu banyak pil untuk begitu banyak penyakit, padahal Adam hanya tahu kesehatan. Ketika ia berdiri di depan rumah sakit yang dipenuhi orang-orang yang sakit karena tubuh-tubuh mereka yang makin rusak, ia akan merindukan kembali ke Aden .” Menurut McGregor, yang membedakan makanan moderen dengan makanan Adam adalah banyak bahan kimia yang ditambahkan pada makanan. Bahan-bahan penambah itu disebut additif. Ada ribuan bahan kimia di dalamnya. Ambil satu jenis makanan di pasar swalayan. Baca tulisan di bungkusnya. Anda membaca unsur-unsur kimia yang lebih pantas untuk meluncurkan roket daripada membentuk makanan. Additif dimasukkan ke dalam makanan supaya makanan terasa lebih enak, lebih tahan lama, dengan ongkos produksi semurah mungkin. Untuk menyedapkan makanan, produsen memasukkan MSG, monosodium glutamat. MSG adalah asam amino yang dipergunakan untuk otak. Dr. John W. Olany dari the University School of Medicine, St. Louis , mengetes MSG dengan menginjeksikannya pada anak tikus. Sel-sel syaraf tikus, terutama pada hipothalamus, membengkak secara dramatis. Dalam beberapa jam, sel-sel itu mati. Karena laporan penelitian ini, Gerber, Beech-Nut, dan Heinz menghilangkan MSG dari produk makanan bayi mereka. Produsen-produsen lainnya memasang iklan agar ibu-ibu memasukkan racun itu ke mulut bayi-bayinya. Untuk mengawetkan sayuran dan daging ditambahkan sodium nitrat. Itulah bahan yang membuat sosis dan bologna awet dan kelihatan merah. Tanpa pengawet itu, daging akan membusuk dan kelihatan jelek. Dalam perut kita, sodium nitrat itu diubah menjadi asam nitrat, yang keras diduga sebagai penyebab kanker perut. Jerman dan Norwegia sudah melarangnya. Negara-negara lain masih menggunakannya. Agar “ayam sayur” tumbuh subur dan berkulit kuning, arsenikum dimasukkan ke dalam pakannya. Arsenikum masuk ke dalam makanan dan minuman kita melalui perkakas masak, kaleng minuman, dan alumunium foil. Sekarang diketahui bahwa pada otak penderita Alzheimer bertumpuk arsenikum. Menurut kamus, arsenikum adalah zat kimia beracun dengan nomor atom 33. Supaya minuman Anda segar, ke dalam botol jus buah, produsen memasukkan minyak brominat. Dengan minyak itu minuman tahan sampai enam bulan. Penelitian menunjukkan bahwa minyak ini menimbulkan perubahan pada jaringan hati, pembesaran thiroid, kerusakan ginjal, menurunnya metabolisme liver, dan merusak testikel. Kanada, Belanda, dan Jerman sudah melarang semua produk dengan kandungan brominat di negeri-negeri mereka. Tetapi mereka mengizinkan produsen untuk mengimpornya terutama ke negara-negara dunia ketiga. Diperlukan berlembar-lembar tulisan lagi untuk menjelaskan hampir tiga ribu bahan kimia yang ada pada makanan orang moderen. Pendeknya, makanan kita sekarang merusak kita dan menggemukkan kaum kapitalis. Ya Allah, kurindukan kembali makanan berbuka puasa di kampung dulu, makanan Nabi Adam di surga Aden. JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Puasa dan Dua PengkhianatanMarch 8, 2025Dalam rangkaian ayat tentang puasa, terungkap dalam Surah Al-Baqarah, mulai dari ayat 183, 184, -dan 185, sampai ayat 187 terselip satu ayat, yaitu ayat 186, yang tidak berbicara tentang puasa. Akan tetapi, setelah itu pada ayat 187, Allah Swt. berbicara lagi tentang puasa. Seolah-olah ayat 186 ini “disisipkan” di antara ayat tentang puasa. Allah Swt. berfirman, “Dan apabila hamba-hamba- Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku, dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran,” (QS. Al-Baqarah : 186). Menurut para ahli tafsir, ada lebih dari enam ribu ayat Al-Quran, akan tetapi hanya dalam ayat ini Allah Swt. menyebut diri-Nya sampai tujuh kali. Allah menyebut kata “Aku” di sini sampai tujuh kali. Pada saat yang sama, ayat ini menunjukkan Allah menyebut hamba-Nya juga tujuh kali. Mari kita lihat, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku, dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” Jadi, Allah menyebut diri-Nya tujuh kali dan menyebut hamba-Nya tujuh kali juga. Untuk doa saja Allah menyebut tiga kali. Dakwah artinya doa atau seruan, atau panggilan. Berdoa artinya memanggil. Di sini, Tuhan menggambarkan doa sebagai panggilan dari seorang hamba kepada diri-Nya. Dalam ayat tentang doa ini, karena merupakan hubungan antara Allah dengan hamba-Nya, maka Allah menyebut dirinya tujuh kali dan menyebut hamba-Nya juga tujuh kali. Dalam dialog ini, seakan-akan kita meletakkan diri kita dalam posisi yang sama dengan Allah Swt. Atau, dari kasih sayang-Nya yang luas, Allah merendahkan diri-Nya sampai pada posisi yang sama agar bisa berdialog dengan hamba-Nya. Dialog seperti ini terjadi dalam doa. Hal ini menunjukkan betapa dekatnya Allah dengan hamba-Nya itu. Ayat ini juga menyebutkan, kalau doa kita ingin diijabah, mintalah dan berimanlah kepada-Nya. Doa hanya akan diijabah apabila kita beriman kepada Allah. Masih dalam ayat ini, disebutkan pula bahwa doa itu harus mengikuti prosedur atau tatacara yang telah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya, “Agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” Ada sebuah hadits dari Imam Ja’far Ash-Shâdiq tentang doa. Beliau bersabda, “Doa itu bisa menolak qadha, bisa menolak ketentuan Allah setelah ditetapkan seteguh-teguhnya. Maka, perbanyaklah oleh kamu berdoa, karena doa itu adalah kunci dari segala kasih sayang. Doa adalah keberuntungan untuk segala keperluan. Tidaklah diperoleh apa yang ada di sisi Allah kecuali dengan doa. Tidak ada sebuah pintu yang sering diketuk, kecuali hampir-hampir pintu segera dibukakan kepada pengetuknya.” Doa Mengubah Qadha Menurut hadits ini, salah satu manfaat dari doa adalah mengubah ketentuan Allah Swt. Di antara ketentuan Allah, misalnya, adalah apabila kita bertengkar atau memutuskan silaturahmi, maka kita akan mendapatkan bencana. Bencana itu bisa kita tolak dengan doa, “Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku yang mempercepat datangnya bencana.” Sudah menjadi ketentuan Allah juga bahwa orang yang sel-sel otaknya sulit mengalami perkembangan pada masa kecilnya, akan mengalami kesulitan belajar, apalagi kalau dengan situasi seperti itu diperparah dengan kekurangan gizi yang memadai. Besar kemungkinan, orang itu akan mengalami kesulitan dalam belajar, kecuali kalau ia berdoa. Sekali lagi, doa itu bisa mengubah qadha, bisa mengubah ketentuan Allah Swt. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas, dikatakan bahwa rencana tidak dapat mengubah qadha, hanya doalah yang dapat mengubahnya. Jadi, andaikan kita sudah memiliki rencana yang bagus, akan tetapi jika Allah sudah menetapkan ketentuan yang buruk untuk kita, rencana itu tidak akan berpengaruh apa-apa, kecuali kalau kita berdoa. Hal ini juga menentukan bahwa ternyata takdir kita itu adalah “hasil” interaksi antara kita dengan Allah Swt. Mungkin inilah “rahasia” mengapa dalam ayat tersebut Allah menyebut diri-Nya dan hamba-Nya sampai tujuh kali. Melalui doa pula dibentuklah aneka peristiwa di alam semesta ini. Saya teringat kepada seorang kyai NU dari Madura. Biasanya, seluruh anak kyai itu menjadi kyai lagi. Satu saat seseorang menceritakan tentang kyai itu kepada saya. Kemudian, ia bertanya di mana dahulu saya nyantri, pesantren mana tempat saya belajar, dan siapa kyai yang saya ikuti. Saya tidak menjawab semua pertanyaan itu, karena saya tidak pernah masuk pesantren, dalam artian menuntut ilmu secara khusus di sana. Lalu, kyai itu mengangguk-angguk sambil berkata, “Kalau sekarang Anda bisa mengaji, pastilah karena doa ayah Anda dahulu.” Artinya, menurut ketentuan Allah, kalau tidak masuk pesantren tentu tidak bisa membaca kitab kuning. Itu sudah menjadi ketentuan yang berlaku umum. Kalau tidak mengikuti pelajaran bahasa Inggris, kita tidak akan bisa ngomong dalam bahasa Inggris. Masih kata kyai itu kepada saya, “Pastilah saya juga tidak bisa membaca kitab kuning kalau tidak masuk pesantren.” Kalau ternyata saya bisa membaca kitab kuning—katanya—pastilah itu karena doa. Beliau menuding ayah saya sebagai pembawa berkah dalam hidup saya karena doa-doanya. Saya mengangguk karena merasa apa yang saya sampaikan benar adanya. Lalu, dia bercerita tentang seorang kyai Madura yang memiliki banyak anak. Semua anak-anaknya—baik yang laki-laki maupun yang perempuan—menjadi kyai lagi. Katanya, setiap selesai shalat, Pak Kyai itu selalu mendoakan anaknya satu per satu. Jadi, doa dialah yang kemudian mengubah qadha. Dalam berdoa kita dilarang berputus asa. Kita pun dianjurkan untuk terus menerus berdoa. Bagaimana kalau ternyata doa kita tidak diijabah? Boleh jadi, kita sering menyaksikan bahwa setelah berdoa, qadha kita tidak berubah-ubah. Pernah seseorang bertanya kepada saya, “Pak Ustadz, saya ini sudah menjalankan puasa sebaik-baiknya, melakukan shalat malam, menjalankan cara-cara berdoa sebagaimana yang diajarkan Ustadz, tetapi sampai sekarang Allah belum juga memenuhi doa-doa saya. Mengapa doa saya tidak diijabah?” Mengapa Doa Tidak Diijabah? Menurut ayat di awal, setidaknya ada dua syarat supaya doa kita diijabah Allah Swt. Pertama, kita harus menunjukkan doa kita kepada Allah. Kedua, doa tersebut harus disertai dengan keimanan. Boleh jadi, saya berdoa kepada Allah, akan tetapi—kerena begitu inginnya khusyuk—kita malah memusyrikkan segala macam tawasul, sehingga doa kita tidak diijabah-Nya. Mungkin saja kita sudah beriman kepada Allah, akan tetapi doa kita tetap tidak diijabah. Orang seperti ini pernah datang kepada Imam Ali. Saat itu, ia mengadu kepada Imam mengapa doanya tidak pernah diijabah. Lalu, Imam Ali menjawab, “Doa kamu tidak diijabah karena hati kamu itu berkhianat (melaku- kan pengkhianatan) dengan delapan macam pengkhianatan, Allah pun tidak mengijabah doa-doa kalian, karena kalian mengkhianati-Nya dengan delapan pengkhianatan.” Dalam Al-Quran, ada ayat yang mengingatkan kita untuk tidak melakukan pengkhianatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Hati yang mengandung bibit-bibit pengkhianatan akan menutup pintu-pintu ijabahnya doa. Hati itu bisa mengetuk Tuhan, akan tetapi pintu itu tidak akan terbuka. “Sesungguhnya, hati kamu berkhianat dengan delapan hal (di sini hanya disebutkan dua saja). Yang pertama, kalian itu sudah mengenal Allah, sudah tahu tentang Allah, tetapi kalian tidak memenuhi hak-Nya atas kalian. Kalian tidak memenuhi kewajiban yang Allah bebankan kepada kalian. Maka, pengetahuan kalian tentang Allah itu tidak ada manfaatnya sama sekali. Yang kedua, sesungguhnya kalian mengaku beriman kepada Rasul-Nya, akan tetapi kalian menentang sunnahnya, kalian matikan syariatnya, maka di mana buah dari iman kalian itu?” Jadi, pengkhianatan yang kedua adalah ketika kita menentang sunnah Rasulullah Saw. Saya ingin mengingatkan kembali bahwa yang disebut dengan sunnah adalah apa yang beliau ajarkan kepada kita, baik melalui ucapannya maupun melalui contoh perbuatannya, juga melalui ketentuan-ketentuannya walaupun beliau tidak melakukannya tetapi beliau mengajarkannya. Nabi Saw. tidak selalu memberikan contoh untuk sunnah itu dengan melakukannya, seperti ketika beliau bersabda, “Carilah ilmu sampai ke negeri Cina.” Kalau sekarang ada orang yang belajar sampai ke Cina, kita jangan mengatakan bid’ah karena tidak ada contohnya dari Nabi Saw. dengan pergi ke Cina. Memang, beliau tidak mencontohkannya, akan tetapi beliau mengajarkannya lewat perkataan. Jadi, yang disebut sunnah tidak harus selalu dicontohkan sebelumnya oleh Nabi Saw. Tahlilan itu pun tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. sepanjang yang saya ketahui, akan tetapi beliau pernah mengajarkan kepada kita untuk berzikir dalam jamaah agar kita ikut memasukkan ketenangan dan ketenteraman ke dalam hati orang-orang yang berzikir tersebut. Karena alasan itulah, kita ingin menenteramkan orang yang mendapat musibah dengan melakukan tahlilan. Yang disebut bid’ah adalah setiap perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Rasulullah Saw. Salah satu ajaran beliau yang mulia adalah mengisi Ramadhan dengan menyayangi anak-anak yatim, dengan membantu orang-orang miskin, menggembirakan orang-orang yang sedang menderita dan terkena musibah. Kalau kita mengisi Ramadhan dengan pesta, dalam bentuk berbuka puasa bersama dengan orang-orang yang kenyang perutnya, sebagaimana banyak dilakukan di Jakarta dan sekitarnya sekarang ini, itu bid’ah hukumnya. Kalau setiap hari saya memenuhi undangan buka puasa bersama, maka Ramadhan ini bukan lagi bulan puasa tetapi bulan pesta. Karena, rata-rata yang diundang dalam pesta itu umumnya orang-orang yang kenyang perutnya. Rasulullah Saw. bersabda, “Tidak ada pesta yang paling dibenci Allah, tidak ada pesta yang mengundang laknat Allah, kecuali pesta yang hanya mengundang orang-orang yang kenyang perutnya dan membiarkan orang-orang yang lapar.” Jadi sekarang, kalau saya diundang makan bersama, saya suka bertanya dulu, apakah ada orang-orang miskin atau anak yatim piatu yang dihadirkan dalam buka puasa tersebut. Memang, kita ini semua lapar, akan tetapi lapar kita itu karena berpuasa. Yang dibutuhkan untuk hadir adalah adalah orang yang laparnya abadi, dalam arti laparnya tidak hanya pada bulan Ramadhan saja, tetapi pada sebelas bulan lainnya. Nah, untuk mengikuti sunnah Rasulullah Saw. kita harus mulai mendekati kaum fukara dan masâkin, terlebih pada bulan Ramadhan. Insya Allah, dengan mengikuti sunnah-sunnah beliau tersebut, doa kita akan cepat diijabah. JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Lapar Bagi Perkembangan RuhaniMarch 8, 2025Jalaluddin Rumi pernah bercerita tentang keledai yang terus-menerus mengeluh karena perutnya yang lapar. Banyak manusia yang juga mengeluh karena lapar. Untuk keledai dan manusia yang seperti keledai, Rumi menggoreskan bait-bait puisinya dalam Matsnawi, 5: 2829-2839: Sekiranya tidak ada lapar, selain kegagalan pencernaan Ratusan musibat lainnya akan muncul di permukaaan Sungguh musibat lapar lebih baik dari semua musibat Lapar melembutkan, meringankan, dan memudahkan taat Musibat lapar lebih jernih dari semua musibat Di dalamnya ada ratusan faidah dan manfaat Lapar itu raja segala obat, dengarkan Simpan lapar dalam hatimu, jangan kau hinakan Karena lapar, menjadi manis semua yang tak enak Kalau tak lapar semua yang manis terasa apak Seseorang makan roti yang bulukan Orang tanya, “Mengapa yang seperti ini kau makan?” Ia menjawab, “Ketika lapar bertambah karena puasa Aku pikir roti kasar lebih manis dari halwa” Sebenarnya tidak semua orang dalam lapar bisa bertahan Karena di dunia makanan datang berlimpahan Lapar hanya anugerah Tuhan bagi orang istimewa Dengan lapar mereka menjadi singa yang berwibawa Mana mungkin lapar diberikan kepada setiap gelandangan Karena di hadapan matanya teronggok banyak makanan Menurut Rumi, dalam lapar ada ratusan faidah dan manfaat. Selain menyehatkan secara fisik, lapar juga menyembuhkan penyakit-penyakit jiwa dan membersihkan kotoran-kotoran batin. Ratusan tahun yang lalu, Al-Ghazali dengan sangat mengagumkan menunjukkan ketiga manfaat itu, yaitu fisik, psikologis, dan spiritual. Secara fisik, kata Al-Ghazali, puasa menyehatkan tubuh dan menolak penyakit. Pernyataan Al-Ghazali ini, yang didasarkan pada sabda Nabi Saw., dibuktikan dalam kedokteran modern. Saya ingin melengkapi komentar Al-Ghazali dengan hasil penelitian mutakhir tentang manfaat puasa bagi kesehatan. Manfaat pertama puasa ialah membersihkan tubuh dari racun. Puasa adalah teknik detoksifikasi yang paling murah dan paling efektif. Detoksifikasi adalah proses mengeluarkan atau menetralkan racun dalam tubuh (toksin) melalui usus, hati, ginjal, paru-paru, dan kulit. Bukan hanya racun yang terbentuk karena kelebihan makanan, tetapi juga racun yang diserap dari lingkungan. Seorang dokter yang menganjurkan puasa, mengetes urin, feces, dan keringatnya pada waktu puasa. Ia menemukan “jejak-jejak” DDT yang diserap dari lingkungan. Manfaat kedua puasa ialah menjalankan proses penyembuhan alami. Ketika puasa energi untuk mencerna makanan dialihkan ke metabolisme dan sistem imun. Pada saat yang sama, dalam tubuh kita terjadi sintesis protein yang sangat efisien dan memungkinkan tumbuhnya sel-sel dan organ-organ yang lebih sehat. Karena produksi protein yang lebih efisien, tingkat metabolisme yang lebih lambat, dan sistem imun yang lebih baik, orang yang berpuasa memperoleh manfaat yang ketiga: awet muda dan panjang usia. HGH atau the human growth hormone (hormon untuk pertumbuhan manusia) dikeluarkan lebih sering dalam keadaan berpuasa. Dalam sebuah eksperimen cacing tanah diisolasi dan ditempatkan dalam siklus puasa dan tidak —puasa semacam satu harti puasa satu hari buka. Cacing itu terbukti bertahan hidup sampai 19 generasi dengan karakteristik tubuh yang tetap muda. Ini berarti telah terjadi perpanjangan hidup cacing yang setara dengan perpanjangan umur manusia sampai 600 atau 700 tahun. Secara psikologis, menurut Al-Ghazali, kebiasaan melaparkan diri berfaidah untuk mengurangi mu’nah, atau dengan istilah mutakhir, menyembuhkan penyakit konsumerisme. Orang yang terbiasa makan sedikit akan puas dengan kehidupan yang sederhana. Dari kebersahajaan dalam makanan, ia akan melanjutkannya ke dalam kebersahajaan dalam pakaian, rumah, kendaraan, dan hajat-hajat hidup lainnya. Sudah terbukti secara ilmiah, tetapi tetap saja tidak dipercayai orang, bahwa orang yang hidup sederhana jauh lebih bahagia dari orang yang hidup mewah. Al-Ghazali menulis hampir 900 tahun yang lalu seperti para ahli psikologi positif pada abad ini: “Secara singkat, penyebab kehancuran manusia ialah kerakusannya terhadap kesenangan dunia. Kerakusan terhadap dunia disebabkan oleh syahwat farji dan syahwat perut. Dengan mengurangi makan, kita menutup pintu neraka dan membuka pintu surga, sebagaimana disabdakan Nabi Saw., “Biasakan mengetuk pintu surga dengan lapar.” Jika orang sudah merasa cukup dengan makan sekadarnya, ia juga akan merasa cukup dengan keinginan-keinginan yang sekadarnya juga. Ia akan merdeka dan mandiri. Ia akan hidup tenteram. Ia akan mempunyai waktu lebih banyak untuk beribadah dan berdagang untuk Hari Akhir. Ia akan termasuk “orang yang perda- gangan dan jual beli tidak melalaikannya dari berzikir kepada Allah,” (QS. An-Nûr : 37). Bersamaan dengan kebiasaan hidup bersahaja, kita mempunyai peluang untuk memberikan kelebihan harta buat membantu kaum lemah—fakir miskin dan anak-anak yatim. Semua agama sepakat, kita hanya dapat mendekati Tuhan dan menyempurnakan perjalanan ruhaniah kita dengan memberi, dengan ber- bagi, dengan berkhidmat kepada sesama. Pada satu sisi, lapar mendorong perbuatan baik. Pada sisi lain, lapar mematikan keinginan untuk berbuat maksiat dan mengalahkan nafsu amarah (diri yang memerintahkan keburukan). Dalam keadaan kenyang, kita punya kekuatan untuk melakukan kemaksiatan. Makan dan minum adalah bensin yang menggerakkan mobil hawa nafsu kita. Kata Al-Ghazali, kenyang dapat menggerakkan dua syahwat (keinginan) yang berbahaya, yaitu syahwat farji dan syahwat bicara. Pada saat yang sama perut lapar dapat mendorong kita untuk mengurangi tidur dan membiasakan jaga. Kurang tidur sering dipraktikkan orang untuk mempertajam pengalaman ruhaniah. Dengan perut lapar, kita mudah bangun tengah malam. Dahulu, kalau para guru sufi menyajikan makanan untuk para muridnya, mereka berkata, “Jangan berikan ilmu kepada perut-perut yang kenyang, karena mereka akan mengubahnya menjadi mimpi. Jangan berikan sajadah kepada mereka, karena mereka akan mengubahnya menjadi kasur.” Jadi lapar secara ruhaniah memudahkan menjalankan ibadah. Untuk makan dan mempersiapkan makan kita memerlukan waktu. Waktu adalah anugerah Tuhan yang sangat berharga. Jika perhatian kita terpusat pada makanan, kita akan menghabiskan waktu untuk mencari tempat makan, menunggu makanan terhidang, dan menikmati makanannya. Perhatikan ketika kita berpuasa. Pada waktu pagi, kita bisa pergi ke kantor dengan segera tanpa harus makan pagi lebih dahulu. Pada waktu istirahat tengah hari, kita bisa melanjutkan kerja atau membaca Al-Quran, karena kita tidak keluar untuk makan siang. Abu Sulayman Ad-Darani berkata, “Dalam keadaan kenyang, dalam diri kita masuk enam penyakit, yaitu hilangnya kelezatan munajat, berkurangnya kemampuan menyimpan hikmat, memudarnya empati pada penderitaan rakyat, tubuh akan terasa berat untuk melakukan ibadah, bertambahnya gelora syahwat, dan ketika kaum Mukmin bolak-balik ke masjid, mereka bolak-balik ke toilet.  JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Lapar Menajamkan Mata BatinMarch 7, 2025Hawa nafsu sebetulnya ular naga berkepala dua. Lelaki yang berhasil menghindari maksiat dalam kisah Nabi, seperti yang diriwayatkan Bukhari, berhasil membunuh salah satu di antara kepala naga, yaitu seks. Kepala ini menyemburkan api yang panasnya bisa membakar orang sampai ke ulu hati. Kepala lainnya adalah perut. Imam Ali berkata,” Jarak yang terjauh antara seorang hamba dengan Allah ialah ketika urusannya hanyalah perut dan seksnya saja”. Al-Ghazali menulis dalam Ihya ‘Ulum al-Din sebuah kitab dengan judul Kitâb Kasr al-Syahwatayn, Buku tentang Menghancurkan Kedua Syahwat. Ia menyebut hawa nafsu sebagai syahwat. Dalam bahasa Indonesia tampaknya syahwat hanya berarti nafsu seks. Dalam bahasa Arab, dua syahwat itu terdiri dari syahwat seks dan syahwat perut. Yang kedua itu tentu saja termasuk tapi tidak terbatas pada makan dan minum. Ke dalamnya masuk segala cara untuk memuaskan kesenangan-kesenangan fisik dengan menggunakan –pada zaman moderen sekarang ini- duit. Mungkin istilah paling tepat di masa kini untuk syahwat perut adalah konsumerisme, perilaku konsumtif. Simaklah bagaimana Nabi saw dan sahabat-sahabatnya berusaha menaklukkan “syahwat perut”. Pada suatu hari, Fatimah salamullah ‘alaiha datang dengan membawa potongan roti untuk Rasulullah saw. Beliau bertanya: Potongan apakah ini? Fatimah berkata: Potongan roti. Aku merasa tidak enak kalau aku tidak membawanya untukmu. Rasulullah saw bersabda; Ketahuilah, ini makanan pertama yang masuk ke mulut ayahmu selama tiga hari.” Dari manusia suci yang –kata ‘Aisyah—tidak pernah makan kenyang tiga hari berturut-turut itu keluar perintah, “Biasakan mengetuk pintu surga, supaya pintu itu terbuka bagimu?” Aisyah bertanya, “Bagaimana kami membiasakan mengetuk pintu surga?” “Dengan lapar dan dahaga,” kata Nabi (Ihya, 3:119). Lebih dari 30 tahun setelah itu, seorang rakyat biasa menemui khalifah di istananya. Di depan khalifah ada secangkir susu dan pada tangannya ada beberapa potong roti. Dari susu itu keluar bau apek. Sedangkan roti itu tampak keras dan kasar. Khalifah berusaha mematah-matahkannya dan memasukkan serpihan-serpihannya pada susu dalam cangkir. Rakyat kecil itu takjub melihat pemimpinnya makan begitu sederhana. Ia bertanya kepada pembantu khalifah, “Apakah kamu tidak kasihan pada orangtua ini? Kenapa tidak kau minyaki rotinya supaya lunak?” Pembantunya berkata, “Bagaimana aku bisa kasihan padanya; ia sendiri tidak kasihan pada dirinya. Ia memerintahkan kami untuk tidak menambahkan apa pun pada rotinya. Kami sendiri makan roti yang lebih baik dari roti yang dimakannya. Khalifah berkata: Wahai Suwaydah, kamu tidak tahu apa yang biasa dimakan Nabi saw. Dia pernah tidak makan tiga hari berturut-turut.” Khalifah itu adalah anak didik Nabi Muhammad saw, lulusan madrasah Rasulullah yang tumbuh dalam asuhan wahyu, Ali bin Abi Thalib. Ketika ia mau berbuka puasa, ia menginginkan daging bakar dengan roti yang lunak. Sudah lama ia menginginkannya. Akhirnya ia berbiacara pada putranya, Hasan. Hasan pun mempersiapkannya. Ketika makanan itu sudah terhidang menjelang waktu buka, seorang pengemis berdiri di depan pintu. Imam berkata pada Hasan, “Anakku, berikan daging bakar itu padanya. Jangan sampai dalam catatan amal kita tertulis Adzhabtum thayyibātikum fi hayātikum al-dunyā wastamta’tum bihā. Kamu sudah menghabiskan yang baik-baik bagimu dalam kehidupan kamu di dunia saja dan kamu sudah bersenang-senang dengannya.” Adi bin Hatim al-Thaiy menyaksikan juga Imam Ali makan dengan sangat sederhana. Ia bertanya: Tuanku, aku melihat engkau berpuasa dan berjihad pada siang harimu, serta banyak salat pada waktu malammu, sedangkan engkau makan dengan potongan roti seperti ini?” Imam Ali menjawab, “Hai Adi, dengarkan. Sesungguhnya kalau kamu memperturutkan nafsumu, ia akan mendorong kamu kepada kekecewaan dan ketidakpuasan. Seperti kata penyair Hatim bin Abdillah: Sungguh, jika kau ikuti nafsumu dan farjimu, keduanya akan menjerumuskanmu pada puncak kehinaan.” (Syaikh Ahmad al-Hayri, Tahdzib al-Nafs 1:238). Apa yang kita peroleh jika kita mengendalikan syahwat perut dengan lapar? Apa yang akan kita peroleh bila kita berlatih melaparkan perut kita, mengendalikan nafsu konsumtif kita? Al-Ghazali menyebutkan sepuluh faidah. Hari ini, kita menyebutkan empat di antaranya: Pertama, membersihkan hati dan menajamkan mata batin. Kata Al-Syibli: Setiap hari aku melaparkan perutku, pintu hikmah dan ‘ibrah (pelajaran) terbuka bagiku. Kata Yazid al-Bisthami: Lapar itu mega. Bila perut lapar dari hati akan terucrah hujan hikmah. Bila lapar memancarkan kearifan, kenyang akan melahirkan kedunguan. Nabi saw bersabda: Cahaya kearifan adalah lapar, menjauh dari Allah adalah kenyang, mendekati Allah ialah mencintai fakir dan miskin dan akrab dengan mereka. Jangan kenyangkan perutmu, nanti padam cahaya hikmah dalam hatimu.” Kedua, melembutkan hati dan membersihkannya sehingga mampu merasakan kelezatan berzikir. Kadang-kadang kita berzikir dengan kehadiran hati, tetapi kita tidak menikmatinya dan hati kita tidak tersentuh sama sekali. Pada waktu yang lain, hati kita sangat lembut dan kita merasakan kelezatan berzikir dan kenikmatan bermunajat. Menurut para sufi, sebab utama dari hilangnya kelezatan zikir adalah perut yang kenyang. Kata Abu Sulayman: Apabila orang lapar dan haus, hatinya akan terang dan lembut. Bila orang kenyang, hatinya akan buta dan kasar. Ketiga, meluluhkan dan merendahkan hati, menghilangkan kesombongan dan keliaran jiwa. Ketika kita lapar, kita merasakan kelemahan tubuh kita di hadapan kekuasaan Allah. Betapa ringkihnya kita, kalau Tuhan memisahkan kita dari makanan dan minuman hanya untuk beberapa waktu saja. Karena itu, ketika Nabi saw ditawari semua kenikmatan dunia, ia menolaknya dan berkata, “Tidak, aku ingin lapar sehari dan kenyang sehari; pada waktu lapar aku bisa bersabar dan mernedahkan diriku, pada waktu kenyang aku bisa bersyukur.” Keempat, mengingatkan kita pada ujian dan azab Allah. Ketika orang kenyang, ia tidak akan ingat pedihnya kelaparan dan kehausan. Seorang yang arif akan mengenang derita –lapar dan haus- pada hari akhirat atau pada waktu sakratul maut, ketika ia merasakan lapar dan haus di dunia ini. Orang yang selalu kenyang dan sehat tidak akan merasakan pedihnya hari kiamat. Begitu pula, orang yang tidak pernah lapar akan lupa pada sebagian masyarakat yang diuji Tuhan dengan kelaparan. Ia akan kehilangan imannya; karena ia tidur kenyang sementara tetangganya kelaparan di sampingnya. Ketika Nabi Yusuf as menjadi menteri logistik, ia membiasakan puasa setiap hari. Orang bertanya kepadanya: Mengapa Anda lapar padahal perbendaharaan bumi di tangan Anda? Yusuf menjawab: Aku takut kenyang dan melupakan orang yang lapar. JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Dan Berpuasalah KamuMarch 6, 2025Dalam Biharul Anwar, juz 96 halaman 255, tertulis sebuah hadits yang sangat popular, “Berpuasalah kamu agar kamu menjadi sehat.” Menurut para ulama, apabila ada ayat-ayat Al-Quran atau hadits yang menyebutkan satu kata, kita harus mengartikannya secara umum dan tidak boleh membatasi secara, khusus kecuali ada dalil yang menegaskannya. Saya ingin memberikan contoh, yaitu pada Surah Al-Baqarah ayat 183, Allah Swt. berfirman, “Kutiba ‘alaikum as-shyâm; diwajibkan atas kamu berpuasa.” Kata “kamu” di situ bersifat umum, boleh buat laki-laki dan perempuan. Artinya, kita tidak boleh membatasi puasa hanya bagi laki-laki saja kecuali ada keterangan. Tidak ada keterangan pula bahwa puasa hanya dikhususkan untuk laki-laki saja. Dalam Surah Al-Isra’ ayat 82 misalnya, “Kami turunkan dalam Al-Quran sesuatu yang dapat menjadi obat bagi kaum Mukminin dan merupakan kasih sayang Allah kepada kaum Mukminin.” Ayat ini bermaksud, kalau kita sudah merasa sakit yang luar biasa pada bagian-bagian tubuh tertentu, semakin dokter jauh, obat-obatan tidak ada, bacakanlah ayat tersebut dan sentuhkan tangan kita pada tempat yang sakit. Praktik pengobatan semacam ini pernah dilakukan Rasulullah Saw., sehingga tidak terlarang bagi kita untuk melakukannya. Kesimpulannya, Al-Quran itu adalah obat. Waktu saya menyampaikan hal ini di Malaysia, ada hadirin yang berkata, “Itukan untuk penyakit batin.” Lalu, saya katakan, “Dari mana keterangannya kalau itu hanya khusus untuk penyakit batin?” Sesungguhnya, makna “obat” dalam ayat tersebut harus diartikan secara umum. Al-Quran bisa kita jadikan obat, baik untuk penyakit lahir maupun untuk penyakit batin. Al-Quran hanya dikhususkan untuk penyakit batin apabila ada keterangannya. Dalam Surah Yunus ayat 57 misalnya, Allah Swt. berfirman, “Dia menjadi obat untuk penyakit di dalam hati.” Nah, kalau ayat ini khusus untuk penyakit hati. Akan tetapi, ayat sebelumnya berlaku umum. Kembali kepada hadits, “Puasalah supaya kamu sehat.” Sehat apa? Tentunya sehat jasmani maupun ruhani. Kalau kita berpuasa, Allah Swt. akan menganugerahkan kepada kita kesehatan jasmani dan kesehatan ruhani. Kita tidak boleh mengartikan hadits ini, bahwa puasa hanya menyehatkan ruhani saja sedangkan jasmani tidak; atau puasa itu hanya menyehatkan jasmani saja, sedangkan ruhani tidak. Saya pernah memiliki buku kecil yang ditulis oleh dua orang, bapak dan anak. Bapaknya berusia seratus tahun lebih dan anaknya berusia sekitar 85 tahun. Dalam buku ini, terpampang pula foto mereka berdua, keduanya terlihat sehat. Apa resepnya sehingga mereka bisa panjang umur? Ternyata, keduanya gemar menjalankan puasa. Mereka mempraktikkan puasa sepanjang hidupnya, sehingga kesehatan tubuhnya senantiasa terjaga. Dari mana mereka belajar hal ini? Mereka belajar dari bintang. Pada tahap-tahap tertentu, biasanya binatang melakukan puasa. Ular misalnya, sebelum berganti kulit, ia terlebih dahulu melakukan puasa selama berbulan-bulan. Harimau pun demikian, ia mampu memelihara kekuatannya dengan puasa, yang lamanya bisa berminggu-minggu. Binatang-binatang itu tidak hanya puasa pada bulan Ramadhan saja, walaupun ada ayat yang menyebutkan, “Siapa yang menyaksikan bulan Ramadhan hendaklah dia puasa,” (QS. Al- Baqarah : 185). Biasanya, binatang-binatang yang menjalani hidupnya dengan puasa, akan berusia panjang. Jadi, kalau kita rajin puasa Senin dan Kamis, insya Allah tubuh kita akan sehat. Kita memiliki harapan hidup lebih panjang dibandingkan dengan orang-orang yang jarang berpuasa. Saya termasuk orang yang paling jarang puasa. Alasannya, saya ini menderita penyakit maag. Kalau tidak puasa, dan telat makan, mata saya langsung sudah berkunang-kunang. Beberapa waktu yang lalu, saya coba melaksanakan puasa sunnat, padahal saya mau pergi ke Jakarta. Ternyata, saya bisa bertahan sampai lewat siang, belum keluar keringat. Mungkin karena kasih sayang Allah itu meliputi langit dan bumi, apalagi bagi orang berpuasa. Jadi ketika saya dalam pesawat, seperti biasa ada orang yang menyajikan permen. Karena biasa, saya ambil dua. Langsung saya nikmati. Setelah dua permen itu habis, saya baru teringat kalau saya sedang puasa. Untungnya, ada hadits yang menunjukkan bahwa orang yang berpuasa kemudian ia makan karena lupa, hal itu tidak dihitung batal. Semua ahli fikih pun sepakat kalau makan saat berpuasa karena lupa, tidak membatalkan puasa. Lumayan, puasa saya tidak batal dan energi bertambah. Di Jakarta saya memberikan ceramah sampai jam lima sore. Di mimbar sudah disediakan minum. Sedikit-sedikit saya minum, luar biasa karena ini baru pertama terjadi, minuman itu habis. Akhirnya tambah lagi, saya minum lagi. Sampai menjelang Maghrib saya baru ingat kalau saya sedang puasa. Sebagaimana orang-orang yang menderita maag, saya pun susah buang air. Kalau menggosok gigi, saya muntah karena ada gas yang keluar melalui tenggorokan. Akan tetapi, waktu saya puasa itu, semuanya berjalan lancar. Jadi, “Berpuasalah supaya kamu lebih sehat.” Secara fisik, puasa telah terbukti mampu menyehatkan kita. Tentunya, puasa di sini adalah dalam arti puasa yang benar menurut ajaran Islam, bukan puasa yang terus menerus tidak makan. Orang yang berusia seratus tahun itu puasanya bukan tidak makan sama sekali. Mereka puasa menurut aturan agama. Dalam periode tertentu dia makan. Dia mengutamakan makanan tumbuhan untuk berbuka. Sekarang diketahui bahwa alat pencernaan ini sering kita paksa untuk bekerja keras, untuk mengolah makanan yang tidak hentinya masuk ke dalam tubuh. Padahal, dalam satu kali makanan saja, diperlukan periode pencernaan empat jam. Jadi kalau kita sarapan, selama empat jam ke depan pencernaan kita bekerja. Sayangnya, kebanyakan dari kita, sebelum habis empat jam, perut sudah diisi kembali. Dimulai lagi proses pengolahan berikutnya. Akibatnya, dalam dua puluh empat jam, tubuh kita tidak berhenti bekerja untuk mengolah makanan. Sistem pencernaan kita pun terus “dipaksa” untuk mengolah makanan. Sebagaimana mesin-mesin alam lainnya, kalau dipaksa bekerja terlalu keras, mesin itu akan cepat rusak. Puasa mengistirahatkan alat pencernaan kita untuk waktu yang cukup lama. Walaupun begitu, seringkali ketika kita berbuka puasa, pencernaan dipaksa bekerja secara lebih keras lagi. Hal ini bisa berbahaya. Karena itu, kita harus perlahan-lahan menyuruh pencernaan bekerja. Makanan yang mengandung energi tetapi tidak terlalu sulit untuk dicerna adalah manis- manisan. Boleh jadi, inilah hikmahnya mengapa kita dianjurkan, bahkan disunnahkan, untuk mengonsumsi korma atau yang manis-manis ketika berbuka puasa. Jenis makanan itu bisa mengenyangkan dan tidak memerlukan proses pencernaan yang lama. Ada banyak penyakit fisik yang bisa disembuhkan dengan cepat melalui puasa, salah satunya adalah darah tinggi. Jadi puasa dapat menyembuhkan penyakit jasmani. Di Rusia telah dikembangkan metode puasa untuk membantu proses penyembuhan orang-orang yang mempunyai penyakit mental. Terbukti, puasa dapat menyembuhkan penyakit mental atau gangguan kejiwaan, misalnya tahap yang paling ringan, sebutlah, influenzanya gangguan kejiwaan, neurosis atau stres. Anda mudah tersinggung, mudah marah, itu adalah gangguan kejiwaan. Gelisah, tidak bisa tidur, kadang-kadang disertai gejala-gejala fisik, seperti jantung berdebar, badan dan tangan keluar keringat. Yang paling menganggu ialah sulit tidur. Atau kalau tidur, mimpinya selalu menakutkan. Itu adalah gangguan kejiwaan yang ringan. Jika sudah berat, seseorang bisa menjadi sangat agresif. Ia bisa mengamuk tanpa alasan yang jelas. Ia pun bisa menyaksikan pemandangan-pemandangan yang tidak bisa disaksikan orang lain, atau mendengar bisikan-bisikan yang tidak didengar oleh orang di sekitarnya. Kalau Anda merasa “sedikit cerdas”, gejala kecil kejiwaan itu dianggap sebagai tanda kesucian: bahwa dirinya adalah seorang wali, bisa melihat alam gaib dan melihat muka setan. Itulah sebabnya, sampai sekarang, banyak orang berlomba-lomba menjadi wali dengan belajar sedikit gila. Di negeri antah berantah ada seorang anak muda yang merasa setiap kali dibacakan doa tawasul, seluruh Imam datang. Rasulullah Saw. dan orang-orang suci mendatanginya. Keluarganya merasa senang karena anaknya didatangi para Imam. Saya mengajak anak itu berbicara, karena saya tahu kalau dia mengalami gangguan kejiwaan. Saya menganggapnya begitu, keluarganya menganggapnya orang suci. Jadi, di Indonesia ini banyak orang gila dianggap orang suci. Kalau di Amerika sebaliknya, banyak orang suci dianggap orang gila. Kedua-duanya jelas keliru. Kalau Anda mengalami gangguan jiwa, seperti stres, cemas, sukar tidur, mudah tersinggung, mudah marah, untuk mengobati semua gejala itu Anda dapat menjalankan puasa sebagaimana yang dicontohkan Nabi Saw. Puasa membantu proses penyembuhan penyakit mental. Sebagaimana telah saya sebutkan, beberapa rumah sakit mental di Rusia, memanfaatkan metode berpuasa, periode-periode atau cara-cara puasa, untuk menyembuhkan para penderita penyakit jiwa. Selanjutnya, puasa pun dapat membantu kesehatan ruhani atau kesehatan spiritual. Menurut tasawuf, tubuh kita ini terdiri dari tiga bagian. Bagian paling luar disebut nafs. Jadi fisik kita adalah nafs. Itulah yang dikenai kematian. Kullu nafsin dzâiqatul maût. Pada bagian tengah ada yang disebut qalb, yang dalam istilah modern kita sebut mind. Dan, pada bagian terdalam adalah ruh. Kesehatan juga bisa meliputi kesehatan tubuh, kesehatan jiwa, dan kesehatan ruh. Praktik puasa dapat menyehatkan ketiga-tiganya. “Shummu tashihhu; berpuasalah kamu supaya kamu sehat.” Apa tanda-tanda orang yang sehat ruhani? Apa pula tanda-tanda orang yang sakit ruhani? Orang yang sehat ruhani misalnya mudah tersentuh dengan ayat-ayat Al-Quran. Mudah bergetar hatinya apabila disebut asma’ Allah. Orang yang sehat ruhaninya akan mudah mendengar nasihat, untuk kemudian mengikuti nasihat itu sepenuh hati. Sebaliknya, orang yang sakit ruhaninya, akan mudah tersinggung manakala mendengarkan nasihat. Jadi, kalau ada di antara Anda yang tersinggung dengan ucapan saya ketika saya memberikan nasihat ini, berhati-hatilah, boleh jadi Anda menderita penyakit ruhani. Penyakit ruhani itu sulit disembuhkan, karena sulit mencari dokternya. Kalau gatal-gatal, kita pergi ke apotek membeli salep. Kalau batuk-batuk, kita tinggal membeli OBH. Jadi, untuk hal-hal yang fisik mudah dicarikan obatnya. Untuk penyakit mental pun ada dokternya. Namun, untuk penyakit ruhani hampir tidak ada dokternya. Karena dokternya pun seringkali menderita penyakit ruhani juga. Jadi agak sulit penyembuhannya. Puasa adalah salah satu teknik untuk menyembuhkan penyakit ruhani. Apa tanda-tanda orang terkena penyakit ruhani? Di antaranya adalah malas beribadah. Membaca Al-Quran satu lembar saja rasanya lama sekali, bagaikan membaca Al-Quran satu juz. Itu penyakit ruhani. Rasulullah Saw. menyebutnya jumudul ‘ain atau “mata yang beku”. Tanda lainnya adalah sulit merasakan penderitaan orang-orang disekitarnya. Kalau itu tandanya, mungkin sekarang saya termasuk yang agak sehat ruhani. Ketika mendengar cerita anak saya, saya sempat menangis sendirian. Ceritanya, di Bandung ini ada seorang tukang becak yang berusia di atas enam puluh tahun. Beliau membawa penumpang dengan bawaan barangnya yang berat-berat. Setelah mengangkut, dia kembali lagi ke terminal. Ternyata, di sana, ada lagi orang yang minta bantuan dia. Karena ini berhubungan dengan duit, akhirnya dia menarik becak lagi. Bayangkan, dalam umur setua itu, ia masih menarik becak. Setelah kembali lagi ke terminal, dia pun beristirahat di dalam becaknya, dan ternyata, itulah istirahatnya yang terakhir, istirahat untuk selama-lamanya. Dia beristirahat dalam penuh kedamaian. Saya katakan kepada anak saya bahwa dia syahid, karena masih berjuang untuk mencari nafkah pada usia yang sudah tua. Ceritanya yang lebih mengharukan lagi terjadi pada malam harinya, saat para abang becak temannya berkumpul, dan membacakan Yâsîn di tempat syahidnya. Bagi saya, peristiwa ini sangat mengharukan. Kisah ini mengingatkan saya pada Undang-Undang Dasar 1945 yang sedang diperbaiki. Di sana disebutkan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar diperlihara oleh negara. Sebagai ilustrasi, kalau Anda berjalan di kota Berlin jam sepuluhan pagi, Anda akan menyaksikan banyak orang tua membawa anjing naik bus keliling kota. Mereka kemudian singgah di kebun-kebun dan di taman-taman kota untuk menikmati masa tuanya. Pemerintah setempat menjamin kehidupan mereka. Tidak peduli apakah mereka bekerja untuk pemerintah atau swasta, atau bahkan tidak bekerja sekalipun. Semua, pada akhir hayatnya, mendapatkan bantuan yang memadai dari pemerintah. Di Indonesia, orang-orang tua seperti itu, tukang becak yang sudah enam puluh tahun, masih harus mengayuh becaknya. Sekarang kita mendengar pajak kita akan dinaikkan lagi lebih tinggi lagi. Satu prestasi pemerintah yang menakjubkan adalah menaikkan pajak dan harga-harga. Untuk apa pajak itu? Untuk menjamin kita, menjamin keamanan kita, dan menjamin masa tua kita. Sayangnya, setelah kita membayar pajak, pemerintah tidak pernah memberikan jaminan. Kalau saya katakan “jangan bayar pajak!” saya pasti ditangkap karena melanggar undang-undang. Akan tetapi, sekiranya ada yang tidak mau membayar pajak, hal tersebut masih masuk akal karena pemerintah tidak mengembalikan pajak itu kepada kita. Akibatnya, meninggallah tukang becak yang berusia tua itu dan meninggalnya pun di atas becaknya. Orang yang masih bisa terharu karena penderitaan orang lain adalah orang yang sehat secara ruhaniah. Karena itu, orang yang tidak bisa terharu dengan penderitaan orang lain harus hati-hati. Orang yang berdarah dingin, yang tidak bisa merasakan derita orang lain, adalah orang yang mengalami gangguan ruhaniah. Orang yang memendam rasa dengki yang berkepanjangan, yang berusaha untuk menjatuhkan orang lain yang didengkinya, disinyalir menderita penyakit ruhaniah juga. Secara ruhaniah, ruhnya itu sudah tidak karuan lagi karena gangguan penyakitnya. Orang yang menderita penyakit ruhaniah, hatinya akan sulit menerima pancaran cahaya Ilahi. Mengapa? Karena hatinya, sebagaimana disebutkan dalam QS Muthaffifîn : 14, “Bal râna ala qulûbihim.” (Artinya), “Tetapi sudah kotorlah hati mereka karena apa-apa yang mereka lakukan.” Sesungguhnya, puasa akan membersihkan dan menyehatkan ruhani kita. Benar sabda Rasulullah Saw. bahwa puasa dapat menyehatkan kita, jasmani maupun ruhani. Itulah sebabnya, Abu Muhammad Al-Askari berkata, bahwa salah satu sebab diwajibkan puasa, adalah agar orang kaya bisa merasakan penderitaan orang miskin, sehingga ia memiliki rasa simpati yang mendalam kepada kaum dhuafa’ di sekitarnya. Artinya, agar ruhaninya senantiasa sehat. JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Sambut Ramadhan dengan Tarekat PuasaMarch 4, 2025Saya pernah membaca sebuah buku. Dalam buku ini diceritakan bahwa orang-orang Islam di dunia sekarang ini, menjalankan agamanya itu lebih sulit dari orang-orang Islam pada zaman dahulu. Zaman sahabat dulu, mereka hanya menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya. Sekarang, orang Islam itu harus menjalankan perintah Allah, Rasul-Nya, dan perintah para ulama. Kadang-kadang, rumusan para ulama tentang fikih—yang sering kita sebut syariah—lebih bertele-tele dibandingkan dahulu. Jadi, kalau kita berbicara tentang syariat, kita akan menemukan banyak keanehan dan juga kesulitan- kesulitannya, hukum-hukum yang sering tidak terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw. Dalam puasa syariat menurut Al-Quran, yang membatalkan saum itu hanya ada tiga, yaitu makan, minum, dan hubungan seks. Itu saja yang membatalkan puasa. Akan tetapi, para ulama kemudian menambahkan hal-hal yang lainnya. Misal, ada yang menambahkan kalau muntah itu membatalkan puasa, memasukkan kepala ke bawah air itu juga membatalkan puasa. Kalau kita sedang masak, lalu mencicipinya, batal atau tidak? Kalau mencicipinya sampai tenggorokan, itu batal katanya. Kalau tidak sampai tenggorokan itu tidak batal. Karena ahli fikih terlalu memerhatikan hal-hal seperti itu, akhirnya mereka lupa kepada puasa Tarekat, yang justru harus lebih kita perhatikan. Saya ingin bacakan hadits-hadits tentang keutamaan puasa. Kita tahu betapa mulianya menjalankan ibadah puasa itu. Misalnya, tidurnya orang yang berpuasa, Allah catat sebagai ibadah, napasnya menjadi tasbih, doanya diijabah, dan amalnya dilipatgandakan. Ketika orang yang berpuasa itu berbuka, ia memperoleh doa yang tidak akan pernah ditolak oleh Allah Swt. Orang yang berpuasa pun akan mendapatkan dua kebahagiaan, yaitu kebahagiaan ketika ia berbuka dan kebahagiaan ketika ia berjumpa dengan Tuhannya. Rasulullah Saw. bersabda, “Orang yang berpuasa terus menerus dihitung dalam keadaan beribadah kepada Allah, walaupun ia tidur di atas ranjangnya.” Jadi, kita tahu betapa mulianya orang yang berpuasa itu. Dalam hadits lain disebutkan, “Kalau seseorang yang tengah berpuasa menghadiri sebuah jamuan makan dari orang-orang yang tidak berpuasa…,” kita bisa bayangkan, pada saat-saat seperti itu, tentunya hidung kita akan mencium makanan itu lebih. harum dibandingkan orang yang tidak berpuasa. Pada saat itu, kata Rasulullah, kalau dia mampu mempertahankan puasanya, seluruh anggota badannya akan bertasbih dan seluruh malaikat akan membacakan shalawat baginya, dan seluruh shalawat itu menjadi istighfar baginya. Akan tetapi—kata Rasulullah—ada banyak orang yang berpuasa, tetapi ia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya itu, selain lapar dan dahaga. Ada juga orang yang shalat malam pada bulan Ramadhan, akan tetapi ia tidak mendapatkan apa-apa dari shalat malamnya itu, selain rasa lelah dan ngantuk saja. Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Betapa banyak orang yang lapar saja dan betapa sedikitnya orang yang benar-benar berpuasa.” Jadi, ada beberapa perbuatan yang dapat menghancurkan puasa kita. Boleh jadi, secara fikih p puasa kita sah, selama memenuhi syarat-syarat syariatnya. Namun, apabila kita melanggar pesan moral (tarekat) puasa, kita kehilangan seluruh kemuliaan puasa tersebut, kita kehilangan doa yang diijabah oleh Allah Swt., kita pun kehilangan tidur yang dihitung sebagai amal ibadah. Yang kita bicarakan dalam puasa tarekat atau saum tarekat adalah saum yang berusaha memelihara kesucian diri kita, sehingga kita tidak kehilangan seluruh pahala dan kemuliaan puasa yang kita jalani. Dalam sebuah hadits, Nabi Saw. bersabda, “Seseorang yang berpuasa dihitung dalam keadaan ibadah kepada Allah walaupun dia tidur di atas ranjang sepanjang ia tidak mempergunjingkan seorang Muslim pun.” Artinya, ketika dia mempergunjingkan seorang Muslim, hilanglah seluruh keutamaan puasa yang ada pada dirinya. Puasa tarekat adalah bagaimana kita menjaga lidah dari membicarakan kejelekan, sehingga tidak menghapuskan keutamaan puasa kita; bagaimana kita menjaga telinga supaya tidak ikut mendengarkan keburukan yang dapat menghapuskan seluruh keutamaan ibadah kita. Ketika kita menyakiti hati seorang Muslim—dengan perbuatan atau dengan ucapan—kita bisa termasuk ke dalam golongan orang yang disebutkan dalam Al-Quran, “Sesungguhnya, orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah akan melaknat mereka di dunia dan di akhirat, dan Allah siapkan bagi mereka azab yang sangat menghinakan. Begitu juga laknat Allah di dunia dan di akhirat ditimpakan kepada orang-orang yang menyakiti orang-orang Mukmin, baik laki-laki maupun perempuan dengan menuduhnya melakukan sesuatu yang tidak mereka lakukan. Sesungguhnya, ia sudah memikul dosa berbuat fitnah yang keji dan melakukan dosa yang nyata,” (QS. Al-Ahzab : 57-58). Tarekat Puasa Sebetulnya, tarekat puasa ditegakkan di atas upaya agar kita tidak merusakkan amal ibadah puasa kita, antara lain, dengan menyakiti hati sesama manusia, terutama tidak menyakiti kaum Mukminin dan Mukminat yang disebutkan dalam Surah Al- Ahzab di atas. Pada bulan Ramadhan, pada zaman Nabi Saw., seorang perempuan memaki-maki pembantunya (budaknya). Kemudian, Rasulullah Saw. memanggil perempuan tersebut dan menyediakan makanan untuknya. “Makanlah kamu.” lalu, kata perempuan itu, “Aku sedang berpuasa ya Rasulullah.” Nabi Saw. menjawab, “Bagaimana mungkin kamu berpuasa, tetapi kamu menyakiti sesama hamba Allah.” Jadi, memaki-maki pada bulan Ramadhan itu menghilangkan seluruh keutamaan puasa kita. Dalam penafsiran Surah Al-Ahzab tersebut, yang dimaksud menyakiti Allah adalah membuat Allah murka. Saya pernah mendapatkan cerita dari istri saya, istri saya menerimanya dari anaknya, dan anaknya menerima cerita itu dari tetangganya. Itu silsilah sanadnya. Katanya, di suatu tempat di kota Bandung, ada seorang ustadz yang memberikan pengajian. Ibu-ibu jamaah pengajian itu terpingkal-pingkal. Mereka senang betul mendengarkan pengajian itu, karena sang ustadz membacakan ayat-ayat Al-Quran dengan berbagai lagu sambil mempermainkannya. Dia membaca Al-Fatihah dengan lagu “Manuk Dadali”. Lalu, tiba-tiba speaker di masjid itu mengeluarkan suara yang tidak dikenal oleh semua orang yang hadir. “Ustadz, ke sini kamu!” Suara itu sangat keras, dan seluruh jamaah dicekam dalam ketakutan. Lari juga tidak bisa. Lalu, setelah itu pengajian dihentikan dan diselidiki barangkali di sekitar itu ada orang yang iseng menakut-nakuti. Sekarang, ibu-ibu itu tidak ingin lagi hadir dalam pengajian sang ustadz, karena takut ada suara aneh lagi yang datang. Mungkin, ini perwujudan dari “menyakiti” Allah, yaitu mempermainkan ayat-ayat Allah sebagai hiburan. Orang yang menyakiti Allah dengan cara seperti itu, akan dilaknat oleh Allah di dunia dan di akhirat. Sedangkan yang termasuk menyakiti Rasulullah Saw., misalnya, dengan menjadikan beliau sebagai olok-olok dan sebagai bahan permainan, termasuk pula memanggil beliau seperti memanggil sesama kita. Di dalam Al-Quran disebutkan, “Janganlah kamu memanggil Nabi sebagaimana kamu memangil sesama kamu. Nanti terhapus amal-amal kamu dan kamu tidak merasakannya.” Saya pernah membaca sebuah tafsir mutakhir Al-Amstål. Dalam tafsir itu disebutkan bahwa perbuatan yang termasuk menyakiti Allah dan Rasul-Nya adalah menyakiti hati kekasih Allah. Akan tetapi, kekasih Allah itu Dia sembunyikan di dunia ini. Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan kekasih-kekasih Allah, wali-wali Allah itu disembunyikan di tengah-tengah manusia. Mengapa? Agar manusia berhati-hati untuk tidak merendahkan manusia mana pun. Agar kita berhati-hati untuk tidak menyakiti hati seorang pun, karena boleh jadi dia itu seorang wali Allah. Dalam hadits qudsi pula, Allah Swt. berfirman, “Sudah menyatakan perang kepada-Ku orang-orang yang menyakiti hamba-Ku yang Mukmin.” Termasuk menyakiti Allah dan Rasul-Nya adalah menyakiti hati fakir miskin, kerena mereka termasuk kelompok orang yang dicintai Rasulullah Saw. Kepada ‘Aisyah, beliau berpesan, “Cintailah orang-orang miskin supaya Allah dekat kepadamu pada Hari Kiamat nanti.” Itulah sebabnya, kalau Nabi Saw. ditanya, “Di mana kami bisa temukan engkau ya Rasulullah?” Beliau akan menjawab, “Carilah aku di tengah-tengah orang miskin diantara kamu.” Masih dalam hadits qudsi, Allah Swt. berfirman, “Katakan kepada orang-orang yang zalim, jangan datang ke tempat peribadahan-Ku, karena setiap kali dia menyebut nama-Ku, Aku melaknat dia.” Kalau ada orang zalim datang ke masjid pada bulan Ramadhan untuk shalat Tarawih misalnya, setiap kali ia menyebut nama Allah, setiap itu pula Allah melaknatnya. Jadi, semakin banyak ia berdoa pada bulan Ramadhan, semakin banyak pula ia memperoleh laknat Allah Swt. “Orang-orang yang menyakiti seorang Mukmin dengan menyebarkan fitnah tentang perbuatan yang tidak dilakukan oleh orang Mukmin tersebut, dia memikul dosa besar karena menyebarkan fitnah, dan dia melakukan dosa yang nyata.” Jadi, pada bulan Ramadhan, kita harus berjuang ekstra dalam menjaga setiap tindakan dan perkataan, jangan sampai kita menghina atau menuduh saudara kita dengan sesuatu yang tidak diperbuatnya. Termasuk ke dalamnya adalah perintah untuk menjaga pendengaran untuk tidak menyimak berita-berita semacam itu. Indra Batiniah dalam Puasa Sekarang, kita akan membicarakan tentang mengendalikan indera batiniah kita. Indra batiniah itu terdiri atas quwwah mufakkirah (kemampuan berpikir kita), itu kan termasuk bagian dari batin kita. Mata yang melihat tetapi batin yang berpikir. Dahulu, saya pernah menulis sebuah artikel yang didasarkan pada sebuah buku kecil. Buku itu membicarakan betapa dahsyatnya kekuatan berpikir. Bahwa kita bisa seperti sekarang ini, karena berawal dari pikiran. Kalau kita berpikir bahwa kita ini orang malang, selalu mendapatkan kesialan, insya Allah kita akan selalu mendapatkan kesialan dalam hidup. Dalam teori pendidikan, ada yang disebut Theory of Labelling. Kalau kepada anak akan terpengaruh juga oleh perkataan orangtuanya itu. Akhirnya, ia betul-betul menjadi bodoh. Itu semua terjadi karena kekuatan berpikir. Ada yang disebut self-fulfilling prophecy, ramalan yang dipenuhi sendiri. Misalnya, semalam kita bermimpi buang hajat, siangnya kita berpikir bahwa kalau mimpi buang hajat akan memperoleh kecelakaan. Dengan berpikir semacam itu, sepanjang hari kita akan dihantui pikiran bahwa kita akan mendapatkan celaka, dan insya Allah, hari itu juga kita akan tertimpa musibah. Di daerah lain, mimpi buang hajat itu, artinya akan mendapatkan rezeki. Kalau kita berpikir seperti itu, setiap kali kita mimpi BAB kita akan berpikir mendapat rezeki. Mungkin hari itu juga kita memperoleh uang. Kekuatan berpikir harus kita kendalikan, karena dia bisa menciptakan kenyataan. Boleh jadi, kenyataannya bukan kenyataan yang kita kehendaki. Pada bulan Ramadhan, gunakanlah daya pikir kita hanya untuk tafakur. Kalau tidak dipakai untuk itu, kita akan berpikir yang macam-macam. Sebaiknya, kita pun harus berusaha mencari hal-hal positif yang dapat kita pikirkan. Misalnya memikirkan tentang ilmu. Dengan memikirkan ilmu, kita bisa sehat dan pintar. Akan tetapi, kalau yang dipikirkannya itu kedendaman, kemarahan, atau aneka kekecewaan, maka kita akan mengalami sakit. Berpikir yang semacam itu tidak dihitung sebagai tafakur. Tafakur bisa mendatangkan ilmu dan mendekatkan kita kepada Allah Swt. Tafakur yang mendekatkan kita kepada Allah disebut sebagai tadzakur. Tafakur menghasilkan ilmu, tadzakur menghasilkan hikmah, kearifan, dan kebijaksanaan. Arti sebenarnya dari tadzakur adalah mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa yang kita saksikan di dunia ini. Dalam puasa tarekat, kita harus mampu mengendalikan diri, kita harus melawan bisiskan-bisikan setan. Bagaimana kita tahu ada bisikan setan atau tidak? Bisikan setan adalah aneka dorongan untuk memenuhi hawa nafsu. Dalam Al-Quran disebutkan bahwa di antara bisikan setan itu adalah yang selalu menakut-nakuti kita dengan kemiskinan. Setan selalu membisikkan kepada kita untuk tidak bersedekah atau memberi bantuan, dan mendorong kita melakukan aneka maksiat dan kekejian. Jadi, kalau kita punya rencana untuk melakukan maksiat, maka itu adalah bisikan setan. Ada cerita menarik dari Al-Fakhrurazi dalam Tafsir Mafâtih Al-Ghaib. Dia bercerita tentang seorang jamaah yang hadir dalam sebuah pengajian. Dia mendengar dari ustadznya, kalau kita akan bersedekah, tujuh puluh setan akan bergelantungan di tangan kita, menahan kita untuk tidak bersedekah, atau sekurangnya menangguhkan sedekah kita sampai hari yang tidak bisa ditentukan. Jadi, orang yang tetap bisa bersedekah, dia mengalahkan tujuh puluh setan. Jamaah itu pun merasa tertantang. Dia segera pulang ke rumah. Dia berjanji kepada ustadznya bahwa ia akan bersedekah dengan satu karung gandum. Tidak lama kemudian, ia kembali lagi ke pengajian, tetapi dia tidak membawa sekarung gandum yang dijanjikannya itu. “Apa yang terjadi?” tanya ustadz. “Tadi saya sudah berniat, saya bawa satu karung gandum untuk saya sedekahkan dengan niat untuk mengalahkan tujuh puluh setan yang bergelantungan di tangan saya. Tiba-tiba di pintu rumah, istri saya datang dan marah-marah, ‘Mengapa kita harus bersedekah sekarang ini, bukankah kita juga punya banyak keperluan”?” jawabnya. Rupanya, orang ini bisa mengalahkan tujuh puluh setan, akan tetapi ia tidak bisa mengalahkan “induk” dari semuanya. Yang harus kita hindari juga menggunakan pikiran kita adalah berburuk sangka kepada Allah Swt. Berburuk sangka (su’udzhan) kepada Allah itu misalnya, dengan mengatakan bahwa Allah tidak sayang lagi kepada kita, atau “mengapa Allah berikan musibah itu kepadaku,” dan sebagainya. Allah Swt. berfirman dalam hadits qudsi, “Aku akan menyesuaikan diri- Ku sesuai dengan prasangka hamba-Ku kepada-Ku.” Jadi, kalau kita berpikir bahwa Allah akan mendatangkan kecelakan kepada kita, pasti kecelakaan yang kita dugakan itu akan terjadi. Kalau kita memikirkan Tuhan dengan kasih sayang-Nya, bahwa sepanjang hidup Allah tidak pernah menghentikan rahmat- Nya kepada kita, maka kita akan memperoleh kebahagiaan dan limpahan kasih sayang dari-Nya. Su’udzan yang paling banyak adalah su’udzan kepada saudara sendiri; kepada umat Islam. Kita lebih mudah berburuk sangka kepada saudara sendiri daripada kepada musuh-musuh Islam. Kita masih diperbolehkan berburuk sangka, tetapi hanya dalam tiga hal. Pertama, berburuk sangka kepada orang-orang yang memusuhi Islam. Kalau dia menyampaikan berita, kita harus mencurigai berita tersebut. Berburuk sangka terhadap ustadz itu haram hukumnya, dan itu termasuk yang dilaknat oleh Allah Swt., baik di dunia maupun di akhirat. Su’udzan yang kedua adalah dalam ilmu hadits. Jadi, kalau ada orang yang meriwayatkan hadits, kita jangan langsung percaya akan validitas hadits tersebut. Kita harus meneliti kredibilitas dan kepribadian orang yang bersangkutan. Sebab, kalau kita langsung berprasangka baik kepada periwayat hadits, nanti orang akan dengan seenaknya berdusta atas nama Rasulullah Saw. Di Baghdad dulu, ada orang yang sangat saleh, malam hari ia shalat tahajud, siang hari ia berpuasa. Setelah shalat Subuh, ia menyampaikan hadits-hadits Nabi kepada jamaah. Ketika meninggal dunia, orang menemukan bahwa dia membuat sedikitnya tiga puluh ribu hadits palsu. Dia pernah dikritik, “Mengapa kamu berdusta kepada Nabi, ‘Barangsiapa yang berdusta dengan mengatasnamakan aku, siapkanlah tempat duduknya di neraka”.” Lalu, orang itu menjawab, “Aku tidak berdusta kepada Nabi, aku berdusta untuk Nabi supaya orang-orang menjadi taat beribadah.” Hadits-hadits itu bisa tersebar luas karena orang terlalu berbaik sangka kepadanya. Kalau hadits palsu itu beredar, berarti kita menjalankan agama yang palsu. Kita menganggap sesuatu itu sunnah Nabi, padahal itu sunnah palsu. Di Indonesia ini menyebar banyak sekali hadits palsu. Karena itu, su’udzan kedua yang diperbolehkan adalah su’udzan kepada periwayatan hadits. Yang ketiga, kita boleh berburuk sangka bahkan dianjurkan dalam urusan keuangan. Jadi, kalau ada orang menyimpan amanah orang lain dalam urusan uang, dalam urusan amanah, kita tidak boleh langsung percaya, harus kita periksa. Asumsinya, kita takut terjadi penyelewengan. Sebab, kalau kita berbaik sangka kepada semua orang yang menyimpan uang, dan tidak kita mintai pertanggung-jawabannya, kacaulah kita. Rusaknya umat ini adalah karena kita terlalu berbaik sangka kepada orang-orang yang kita titipi zakat, infak, sedekah, dan sebagainya tanpa pernah meminta transparansi dan pertanggungjawaban. Akibatnya, harta umat digunakan untuk kepentingan diri dan kelompoknya. JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...

Buku Karya KH. Jalaluddin Rakhmat

« of 2 »

Videografi

This error message is only visible to WordPress admins

Unable to retrieve new videos without an API key.

Error: No videos found.

Make sure this is a valid channel ID and that the channel has videos available on youtube.com.

Audiografi

UJR-MFR

“Jangan remehkan racun walau setetes. Jangan remehkan dosa sekecil apapun”

​KH. Jalaluddin Rakhmat
@katakangjalal

Contact Jalan Rahmat

Jl. Kampus II No. 13-15. Kiaracondong. Bandung