Warisan intelektual

untuk perkhidmatan

dan pencerahan pemikiran

0
Quotes
0
Articles
0
Videos
0
Audios

Jalan Rahmat

Misi Kami

Di Jalan Rahmat, kami berusaha menghadirkan kembara intelektual itu. Perjalanan dan pengelanaan beliau mengarungi ‘jagat’ semesta itu. Ada dokumentasi karya beliau. Puluhan buku, ratusan artikel, ribuan ceramah. Ada rekaman audio dan video. Ada pula karya-karya para guru bangsa, baik sahabat karib Allah yarham, para intelektual sezaman, maupun karya-karya para ulama besar yang mempengaruhi jagat kembara intelektual beliau. Jalan Rahmat adalah sebuah digital library yang ingin menghadirkan kembali semangat intelektual itu.

Jalaludin Rakhmat - Tauziah
Digilib

Donasi dan Beasiswa

Donasi dan Beasiswa untuk sekolah, madrasah, klinik, dan ragam kegiatan lainnya.

tauziyah

Digital Library

Kumpulan Ceramah, Artikel, Buku, Video dari para Guru Bangsa.

healthcare

Jalan Kecintaan

Warisan terutama dan teramat berharga dari Allah yarham adalah mengantarkan kami dan kita semua pada jalan menuju kerinduan dan kecintaan Sang Rahmatan lil ‘alamin. Itulah makna Jalan Rahmat yang sesungguhnya.

Latest Post

NILAILAH ORANG DARI AMALNYAApril 28, 2025Saya ingin memulai tulisan ini dengan menjelaskan konsep saya tentang pesantren (yaitu Pesantren Muthahhari) yang saya dirikan sekarang ini. Untuk itu, lebih dahulu saya mengidentifikasi tantangan yang dihadapi oleh kaum Muslim di kota-kota besar di Indonesia. Tantangan pertama adalah adanya gap (kesenjangan) yang makin lebar antara orang-orang yang dibesarkan dalam sistem pendidikan Barat dan orang-orang yang dibesarkan dalam sistem pendidikan Islam tradisional. Kedua sistem pendidikan ini melahirkan dua kutub pemikiran. Pada satu sisi lahir para cendekiawan Islam yang paham betul dalam menganalisis masyarakat di sekitarnya tetapi tidak punya dasar yang kuat pada ilmu-ilmu Islam tradisional. Mereka berbicara tentang ekonomi Islam, politik Islam, ilmu pengetahuan Islam, tetapi mereka tidak punya dasar yang kuat dalam ilmu-ilmu Islam tradisional. Yang saya maksudkan dengan ilmu-ilmu Islam tradisional ialah ilmu-ilmu Al-Quran (‘ulum Al-Qur’an), ilmu-ilmu hadis (‘ulum al-hadits), ushul fiqh, bahasa Arab, dan lain-lain. Apa akibatnya? Para cendekiawan itu kemudian berhasil menganalisis masalah umat tetapi tidak berhasil mencari jawabannya di dalam Islam. Kalaupun ada, jawaban yang diberikan seringkali merupakan teori-teori modern yang diberi kemasan Islam; yaitu dengan mencantumkan ayat Al-Quran dan hadis Nabi yang mulia untuk pemecahan-pemecahan itu. Akhirnya, kita menemukan ada Marxisme yang dasarnya Al-Quran dan hadis, dan ada pula Kapitalisme yang dasarnya Al-Quran dan hadis. Sebetulnya saya termasuk dalam kelompok cendekiawan ini atau maunya disebut kelompok cendekiawan. Walaupun di ICMI pun saya tidak terpakai, saya masih ingin disebut sebagai cendekiawan; karena salah satu ciri cendekiawan adalah lemahnya dasar-dasar ilmu keislaman. Pada sisi lain, ada ulama yang dibesarkan dalam ilmu- ilmu Islam tradisional, tetapi kurang bisa menganalisis tantangan-tantangan zaman, kurang dapat menganalisis perubahan-perubahan yang terjadi. Kita lihat saja misalnya buku-buku lama yang merupakan jawaban Islam untuk zaman dahulu masih dipergunakan untuk menjawab masalah-masalah yang muncul sekarang. Kitab kuning misalnya masih sering disakralkan sehingga dipaksakan untuk menjawab masalah-masalah aktual sekarang. Tak jarang di antara kedua kutub pemikiran ini bukan saja ada kerenggangan tetapi juga ketegangan. Para santri (sebutlah begitu) mencurigai kelompok cendekiawan sebagai agen-agen Barat, bahkan tidak jarang menuduhnya sebagai agen Zionisme Internasional yang akan merusak Islam; sementara para cendekiawan juga balik menuduh para ulama beku dalam pemikiran dan tidak sanggup menjawab tantangan zaman. Inilah tantangan yang dihadapi oleh umat sekarang ini. Oleh sebab itu saya berpikir untuk mendirikan sebuah pesantren, yang bukan pesantren Islam tradisional dan juga bukan sebuah universitas; tetapi lebih merupakan sebuah jembatan yang menghubungkan antara pelbagai kelompok tersebut. Pesantren ini saya dirikan untuk memberikan ilmu-ilmu Islam tradisional kepada orang-orang yang dididik di kampus-kampus dalam sistem pendidikan Barat. Kami ajarkan kepada para mahasiswa ITB, Unpad, IKIP, dan lain sebagainya, ilmu-ilmu Islam tradisional. Karena itu kami berikan kepada mereka kuliah ushul fiqh, ilmu tasawuf, ‘ulum Al-Qur’an, ‘ulum al-hadits. Dan pada saat yang sama, kami juga mengajarkan program khusus untuk para santri dari pesantren tradisional. Kami ajarkan kepada mereka misalnya pengantar komputer, sosiologi, filsafat Barat, retorika. teori komunikasi, dan lain-lain. Kami memang ingin menjadi jembatan penghubung antara kedua kelompok ini. Apakah upaya itu berhasil atau tidak adalah tantangan yang mesti kami hadapi. Tentunya yang dikatakan tantangan itu berbeda-beda dan amat tergantung pada sudut pandang setiap orang. Tantangan pesantren Darut-Tauhid Bandung, misalnya, adalah gersangnya rasa beragama dan tidak adanya kenikmatan di dalam menjalankan ibadah. Oleh sebab itu di pesantren ini lebih banyak dihidupkan zikir daripada pikir, walaupun asas Darut-Tauhid adalah ahli zikir, ahli pikir, dan ahli ikhtiar. Akan tetapi pikimya masih belum banyak dikembangkan dibandingkan dengan zikir. Di tempat kami dimensi pikirnya makin banyak dikembangkan dan zikirnya kurang. Karena itu pesantren kami berusaha bersaing dengan pesantren Darut-Tauhid. Dalam persaingan ini kami kalah, khususnya di bidang zikir. Kami kurang sekali berzikir dan lebih banyak berpikir. Sedangkan dalam ikhtiarnya, Pesantren Muthahhari dan Darut-Tauhid sama –yaitu sama-sama susah. Kemudian tantangan yang kami hadapi (yang dihadap oleh umat Islam sekarang), diakui atau tidak, ialah masalah sektarianisme (pemecahbelahan umat kepada beberapa golongan). Sebetulnya jika timbul pendapat yang berbeda-beda, maka hal itu sesuatu yang wajar saja dan tidak menjadi masalah. Bahkan hal itu harus kita hidupkan dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan. Akan tetapi persoalan ini menjadi suatu tantangan manakala setiap orang memutlakkan pendapatnya dan menganggap pendapatnya sendiri yang paling benar, dan kemudian tidak menghargai pendapat orang lain. Atau ia merasa bahwa mazhabnya sajalah yang paling benar, lalu ia dengan mudah mengkafirkan mazhab orang lain. Sikap semacam itu, diakui atau tidak, ada di antara kita dan tidak jarang menjadi picu timbulnya perpecahan di antara kaum Muslim. Kalau saya boleh menyebutkan salah satu indikatornya yang jelas ialah suatu kasus di sebuah kampung. Di sana ada masjid yang baru didirikan. Hanya karena ada perbedaan berkenaan dengan azan Jumat, maka dibikinlah dua masjid yang berdampingan. Saya melihat hal ini sebagai sebuah tantangan. Saya kira, dalam rangka globalisasi dan keterbukaan informasi sekarang ini, kita tidak bisa tidak akan ditempa dengan berbagai pendapat. Kita akan diserbu oleh berbagai pemikiran; dan saya pikir umat Islam harus siap dengan serbuan itu. Menurut saya, persiapan yang paling utama ialah menanamkan sikap menghargai perbedaan pendapat itu dan mengurangi keyakinan yang terlalu berat terhadap pendapat kita sendiri. Hal ini boleh jadi tidak menyenangkan bagi sebagian orang. Tidak enak untuk mengakui bahwa boleh jadi orang lain itu benar juga. Saya sering mengatakan: “Mari kita membiasakan untuk berkata, ‘inilah yang sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah sepanjang pemahaman saya.” Saya sering menganjurkan agar ditambah dengan kata sepanjang pemahaman saya. Sebab kalau kita hanya memakai kalimat, “Menurut Al-Quran dan Sunnah,” dan kemudian ada orang yang mempunyai pemahaman yang berbeda dengan kita, maka kita anggap pendapat itu tidak sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah. Jadi ungkapan yang lebih tepat untuk menyampaikan persoalan itu ialah kalimat, “Tidak sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah, sepanjang pengetahuan saya.” Oleh karena itu, di pesantren kami, kami hidupkan suasana perbedaan pendapat itu. Misalnya, kami undang ke situ anggota jamaah Al-Arqam yang kontroversial untuk memberikan pengajian di tempat kami. Kami undang juga ulama dari pengikut tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah yang juga kontroversial. Ketika NU mengadakan muktamar di Yogyakarta beberapa waktu yang lalu, kami undang juga tokoh NU untuk berbicara tentang NU saja di pesantren kami. Ketika Muhammadiyah juga mengadakan muktamar, kami juga meminta orang Muhammadiyah untuk bercerita tentang khiththah perjuangan Muhammadiyah. Dan bahkan pernah kami mencoba, dalam peringatan maulid, mengundang beberapa pastor Katolik untuk berbicara tentang Rasulullah Saw. yang mulia. Mungkin orang akan mengatakan bahwa tindakan itu keterlaluan. Tetapi kami percaya bahwa Islam adalah ajaran yang benar. Karena itu tidak usah takut dengan pemikiran yang lain. Kalau kita merasa bahwa diri kita benar, maka kita harus siap menguji pendapat kita dengan berbagai pendapat yang lain. Oleh karena itu kami hidupkan di dalam pesantren kami istilah nonsektarianisme (kami sebut demikian), walaupun tentu saja nonsektarianisme kami tidak persis sama dengan nonsektarianisme Gus Dur atau Cak Nur. Nonsektarianisme kami tercermin dalam program-program kami. Misalnya, kalau di dalam fiqih, kami tidak mengajarkan satu mazhab fiqih saja, tetapi kami ajarkan fiqih perbandingan mazhab. Kalau kami diminta untuk memberikan fatwa tentang suatu masalah, kami kemukakan pendapat dari pelbagai mazhab itu dan tidak kami tunjukkan hanya satu mazhab saja. Pernah ada di antara jamaah pengajian kami yang berkomentar: “Wah kami tanya ini dan hasilnya adalah sejumlah pertanyaan lagi. Jadi ini namanya tidak memberikan fatwa tetapi malah membingungkan.” Boleh jadi begitu, tetapi kami tidak ingin mengemukakan satu pendapat saja. Kita ingin belajar menghargai pendapat orang lain, dan menghormati pendapat yang berlainan itu. Itulah iklim yang kami hidupkan dalam pesantren kami dan mendasari kegiatan-kegiatan kami. Walhasil, kami ingin menjadi jembatan bagi kelompok intelektual dan kelompok pesantren, serta mengembangkan sikap nonsektarianisme. Nonsektarianisme itu istilah yang berbau Barat. Hal itu mungkin karena kesalahan saya yang dibesarkan dalam sistem pendidikan Barat yang agak kafir bila dibandingkan dengan saudara-saudara. Atas dasar itu misi kami yang kedua kami sebut ukhuwwah Islamiyyah dan bukan nonsektarianisme, supaya kelihatan agak nyantri. Kedua misi itu jembatan dan nonsektarianisme mendasari program-program pesantren yang kami laksanakan sekarang ini. Kemudian tantangan terakhir yang dihadapi adalah kecenderungan kita untuk menilai orang dari pendapatnya. Kalau pendapatnya sama dengan pendapat kita, ia termasuk ikhwan, dan kalau pendapatnya tidak sama dengan kita, orang itu bukan ikhwan. Di pesantren kami, kami mulai menanamkan kepada para santri untuk tidak menilai orang dari pendapatnya kecuali untuk tujuan ilmiah. Kalau menilai orang, kami anjurkan untuk melihat segi amal perbuatannya. Bukankah hal seperti itulah yang diajarkan oleh Al-Quran? Dan masing-masing orang memperoleh derajat yang seimbang dengan apa yang dikerjakannya… (QS 6: 132). Setiap orang diukur derajatnya sesuai dengan amal perbuatannya. Karena itu apa pun golongan orang yang kami lihat, asal ia mau berbuat baik untuk Islam, kami akan bantu dan kami dukung. Kami mendukung Golkar, misalnya, kalau program-program Golkar itu amalnya untuk Islam. Seandainya amal-amal Golkar tidak untuk Islam, kami tidak memberikan dukungan. Kami juga mendukung PPP kalau amal-amalnya untuk Islam dan meninggikan Islam. Kami juga mau mendukung PDI kalau program PDI membesarkan Islam. Jadi, ukuran kami, sekali lagi bukan golongan, bukan pendapat, tapi amal. Begitulah kami menilai orang; begitu kami menilai suatu organisasi, dan begitu pula kami menilai bangsa-bangsa di dunia ini. Yang kami nilai adalah amalnya; apa sumbangan yang diberikan untuk Islam, apa kontribusinya untuk Islam, dan apa jasanya untuk pengembangan kebesaran Islam dan kaum Muslim. Karena kami sangat percaya terhadap sabda Rasulullah yang mulia ketika beliau ditanya tentang apa yang disebut dengan jihad fi sabilillah itu, dan apa definisinya? Nabi yang mulia memberikan definisi singkat bahwa jihad fi sabilillah itu ialah jihad litakuna kaliimatullah hiyal-‘ulya —yakni perjuangan untuk menegakkan kalimat Allah. Siapa pun yang melakukannya, apa pun golongannya, apa pun pendapat yang mereka kemukakan, selama dia berjuang untuk menegakkan kalimat Allah, maka mereka adalah saudara kami dalam agama; yang untuk mereka kami beri bantuan dan dukungan sepenuhnya. Semampu kami. JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
TAK CUKUP HANYA AL-QURAN DAN HADISApril 26, 2025Dalam upaya memahami Islam, kita tidak bisa hanya dengan menguasai Al-Quran dan hadis saja. Kita juga perlu mempelajari ilmu-ilmu bantu Islam. Kedudukan ilmu bantu Islam terhadap Islam dapat kita analogikan dengan kedudukan ilmu bantu astronomi terhadap ilmu astronomi. Jika seseorang ingin mempelajari astronomi, ada beberapa ilmu yang bukan termasuk ilmu astronomi, tetapi ia harus menguasainya. Dalam astronomi, kita harus mengetahui benda- benda astral atau benda-benda yang berada di luar angkasa. Kita juga harus mempelajari kecepatan cahaya. Untuk memahami itu, ilmu fisika merupakan keharusan. Dalam ilmu astronomi juga kita akan dihadapkan pada perhitungan-perhitungan yang astronomis. Maka kita pun harus mempelajari ilmu matematika. Seperti itulah ilmu-ilmu Islam yang saya bayangkan. Jadi, untuk mempelajari Islam, kita memerlukan ilmu bantu yang mesti kita pelajari jika kita ingin memahami Islam dengan benar. Orang yang mempelajari astronomi tanpa mengetahui matematika, fisika, dan ilmu-ilmu bantu lainnya, bisa saja mempelajari astronomi tetapi pengetahuannya akan sangat terbatas. Paling-paling ia hanya bisa menyebutkan jumlah planet dalam tata surya; tidak akan bisa menyebutkan hal-hal yang lebih mendalam dari itu. Begitu pula halnya dengan orang yang ingin mempelajari Al-Quran dan Sunnah Rasul Saw tetapi tidak mempelajari ilmu-ilmu bantu. Dia kemungkinan akan menjadi penafsir dan lain. Kita berlindung menyesatkan orang yang sesat kepada Allah dari keadaan ini. Saya berikan sebuah contoh bagaimana orang yang tidak memiliki ilmu bantu Islam akan terjebak dalam kesesatan. Dalam Al-Quran surat Al-Qalam ayat 42 Allah Swt berfirman: “Pada hari ketika betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa.” Bila Anda mempunyai kitab Shahih Bukhari, akan Anda lihat bagaimana penafsiran ayat ini menurut hadis tersebut. Begitu juga dapat ditemukan dalam Shahih Muslim pada kitab Al-Iman, bab Ma’rifat Al-Thariq Al-Ru’yat, hadis nomor 299. Penafsiran dalam Shahih Bukhari ialah sebagai berikut: “Di hari akhirat nanti, Allah akan berfirman, “Siapa yang menyembah sesuatu, maka ikutilah sesuatu itu.” Di antara manusia ada yang mengikuti matahari, bulan; ada juga yang mengikuti thaghut. Tinggallah umat Islam, yang di dalamnya terdapat juga orang munafik. Lalu, datanglah Allah dalam bentuk yang tidak mereka kenal. Allah berfirman, “Aku Tuhanmu.” Mereka berkata, “Kami berlindung kepada Allah darimu. Ini tempat kami di sini sampai Tuhan kami datang kepada kami. Nanti kalau Tuhan kami datang, kami akan mengenali-Nya.” Kemudian datanglah tuhan dalam bentuk yang mereka ketahui. Tuhan kembali berfirman, ‘Aku Tuhanmu. Dan mereka berkata, “Engkau Tuhan kami.” Adapun dalam hadis riwayat Muslim, penafsiran ayat di atas ialah sebagai berikut: … sampai tidak ada yang tersisa kecuali orang-orang yang menyembah Allah, baik orang yang durhaka maupun orang yang saleh. Kemudian Tuhan Rabbul Alamin datang dalam bentuk yang paling rendah yang pernah mereka lihat. Dikatakan kepada mereka, ‘Apa yang kalian nantikan?” Setiap umat mengikuti apa yang disembahnya. Mereka berkata, “Kami menunggu Tuhan yang kamu sembah.” Lalu Allah berfirman, ‘Aku Tuhanmu.”Mereka berkata, “Kami tidak musyrik kepada Allah sedikit pun.”Kemudian Allah bertanya, Apa perlu Aku tunjukkan satu ciri yang membedakan Aku dengan kamu, yang dengan itu kamu kenal Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘As-Saq; betis.’ Dan disingkapkanlah betis itu.” Bayangkan, jika Anda membaca hadis itu, boleh jadi penafsiran Anda keliru. Bahkan, tidak mustahil, Anda sampai berkata, “Siapa bilang Al-Quran tidak pornografi?” Jika Anda lebih maju sedikit, dengan membaca hadis tentang penafsiran ayat ini, boleh jadi Anda mengatakan bahwa Tuhan mempunyai betis. Tuhan datang tetapi tidak dikenal umat-Nya, sehingga terpaksa Tuhan menyingkapkan betis-Nya supaya orang mengenal-Nya. Hadis ini, menurut riwayat Muslim, termasuk sahih. Contoh-contoh itu saya berikan untuk menunjukkan betapa tidak cukupnya kita mempelajari Islam hanya dengan merujuk kembali kepada Al-Quran dan hadis Rasulullah Saw. Sekarang banyak orang yang begitu bangga mengajak orang “Kembali kepada Al-Quran dan hadis”. “Tidak perlu kembali kepada ulama, lebih baik kepada sumbernya yang asli!” Bahkan, ada yang berpendapat lebih hebat lagi: “Cukuplah Al-Quran saja! Dengan Al-Quran saja, kita bisa belajar tentang Islam.” Setiap kali bertemu, mereka membawa Al-Quran dengan daftar silsilah ayat. Al-Quran tertentu. Ayat ini merangkai ke sini dan ayat itu merangkai ke sana. Demikian seterusnya. Kalau mereka memberi pengajian, setelah 20 atau 30 kali, rangkaian ayat itu sudah habis. Sekali lagi, betapa tidak cukupnya kita mempelajari Islam hanya dengan Al-Quran dan hadis, tanpa memiliki ilmu-ilmu bantu Islam dengan baik. Ternyata ilmu-bantu itu tidak sedikit, seperti yang akan diuraikan selanjutnya. Walaupun demikian, bukan berarti kita harus berhenti membaca dan mempelajari Al-Quran dan hadis, tetapi kita perlu menggunakan ilmu-ilmu bantu itu untuk mempelajari Al-Quran dan hadis dengan baik. Apabila ilmu-ilmu bantu itu tidak kita miliki, maka bertanyalah kepada orang-orang yang memiliki ilmu-ilmu bantu itu. Kita boleh merenungkan (tadabbur) Al- Quran, tetapi jangan coba-coba berijtihad dan memberikan fatwa kepada orang lain bila kita tidak memiliki ilmu-ilmu bantu itu. Dewasa ini banyak pemikir Islam yang hadir di panggung pemikiran Islam Indonesia dengan ilmu bantu yang minimal. Ada yang datang mempelajari Islam dengan latar belakang ilmu ekonomi, ilmu kedokteran dan sebagainya. Ilmu-ilmu itu bukan ilmu-ilmu bantu Islam, walaupun kita bisa juga memahami Al- Quran dengan baik lewat ilmu kedokteran untuk ayat-ayat tertentu. Ilmu-Ilmu bantu dalam mempelajari Islam itu adalah ‘ulûm Al-Quran, ‘ulûm al-hadîts, ushl al-fiqh, bahasa Arab, dan tarikh Islam. Saya akan berikan contoh beberapa hadis yang menjelaskan mengapa ‘ulûm Al-Quran perlu dipelajari. Hadis yang pertama: “Suatu hari, Marwan bin Hakam menemukan ayat Al-Quran yang artinya, “Janganlah sekali-kali engkau menyangka orang-orang yang senang dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka senang dipuji atas perbuatan yang belum mereka kerjakan; janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa. Dan untuk mereka siksa yang pedih.” (QS Ali-Imran :188). Marwan berpikir, “Semua orang itu senang dengan apa yang telah mereka kerjakan dan semua orang senang dipuji. Kalau begitu, semua orang tidak akan selamat dari siksa Allah.” Ayah Marwan adalah Hakam. Ia mempunyai penyakit yang agak aneh. Hakam masuk Islam pada peristiwa Futuh Makkah. Ia termasuk kelompok yang diberi amnesti oleh Rasulullah Saw. Ia juga ikut ke Madinah dan sering menghadiri pengajian Rasulullah Saw. Namun, ia datang ke pengajian itu hanya untuk mencemoohkan Rasulullah. Ketika Rasulullah Saw berbicara, ia suka meniru-niru pembicaraan Rasulullah atau mencibirnya. Ia hanya berani bertindak semacam itu tatkala Rasulullah Saw tidak melihatnya. Satu waktu, ketika ia sedang mencibir, Rasulullah Saw mengetahui perbuatannya. Pada saat bibirnya bergerak mengejek, Rasulullah Saw bersabda, “Kun kadzâlik. Jadilah engkau seperti itu.” Sampai akhir hayatnya, bibirnya mencibir-cibir terus. Meskipun demikian, ia belum kapok. Ia sering mengintip apa yang dilakukan Rasulullah Saw bersama istri-istrinya. Ia buntuti Rasulullah Saw ke mana pun beliau pergi. Hasil intipannya ia sebarkan kepada orang banyak. Rasulullah Saw marah dan mengusir Hakam beserta anaknya, Marwan, dari Madinah. Pada zaman Abu Bakar, Utsman bin Affan datang menemui Abu Bakar —Hakam masih bersaudara dengan Utsman— dan meminta supaya Marwan dan ayahnya dipanggil ke Madinah, Abu Bakar tidak mengizinkannya. Ketika Umar memerintah, Utsman datang lagi dan mengajukan permohonan yang sama. Umar marah, “Kamu melanggar sesuatu yang telah ditetapkan Rasulullah.” Baru pada zaman kekhalifahan Utsman bin Affan, Marwan bin Hakam dipanggil lagi ke Madinah dan diangkat menjadi orang penting. Ia menjadi sekretaris negara. Menurut Thaha Husein, dalam bukunya, Malapetaka Terbesar dalam Sejarah Islam, Marwan termasuk orang yang mempunyai andil dalam menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam di zaman Utsman bin Affan. Dengan latar belakang tersebut, kita ketahui bahwa ilmu Marwan tentang Islam sangatlah minim walaupun ia sahabat Nabi. Hal ini dikarenakan Marwan tidak sempat belajar dengan Rasulullah. Boleh jadi seorang aktivis masjid UNPAD lebih tinggi ilmunya daripada Marwan. Saya tidak bermaksud mencela sahabat dan tidak pula untuk memujinya. Kembali kepada ayat di atas. Setelah membaca ayat itu, Marwan pergi ke tempat Ibn Abbas, dan berkata, “Kalau setiap orang yang senang dengan apa yang diberikan Tuhan dan senang dipuji untuk sesuatu yang tidak ia lakukan akan disiksa, maka kita semua akan disiksa.” Ibn Abbas digelari Turjumânul Qurân (Penerjemah Al-Quran). Rasulullah Saw pernah membacakan doa untuknya, “Ya Allah, fakihkan dia dalam agama, dan pahamkan dia terhadap tafsir” Dialah yang menyusun Tafsir Ibn Abbas. Ia menjelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang Yahudi yang datang kepada Nabi Saw. Nabi Saw bertanya kepada mereka tentang sesuatu. Namun, mereka menyembunyikan walaupun mereka mengetahuinya. Mereka kabarkan kepada Nabi Saw hal lain selain itu. Mereka senang dengan apa yang telah mereka miliki, yaitu kitab Taurat. Mereka menyembunyikan hal itu dari Rasulullah Saw. Mereka ingin dipuji dengan mengatakan kabar lain yang dari apa yang Rasulullah Saw maksud. Mereka ingin dianggap ahli dalam agama. Itulah yang dimaksud Al-Quran dengan “Yuhmadu bimâ lam yaf’alû; Ingin dipuji atas sesuatu yang tidak mereka lakukan.” (QS Ali-Imran : 188). Jadi, ayat ini turun untuk mencela orang-orang Yahudi. Demikian kata Ibn Abbas seperti diriwayatkan dalam Bukhari dan Muslim. Contoh lain yang menyatakan pentingnya pengetahuan tentang ‘ulûm al-Quran adalah hadis tentang Urwah Ibn Jubair: Suatu waktu, ia membaca ayat yang berbunyi, “Innash shafâ wal marwata min sya’âirillah. Fa man hajjal baita awi’tamara fa lâ junâha ‘alaihi ayyatawwafa bihimâ.” (QS Al-Baqarah : 158). Ayat ini biasa diucapkan oleh jamaah haji ketika sa’i di antara Shafa dan Marwah. Arti ayat itu ialah, “Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah syiar- syiar Allah. Dan barang siapa yang berhaji ke Al-Bait atau umrah, maka tidak ada dosa baginya untuk tawaf di antara Shafa dan Marwah.” Secara zahir, ayat ini menunjukkan bahwa sa’i itu tidak wajib, karena ada kata la junaha, “tidak ada dosa.” Jadi, sa’i itu hukumnya sunnah. Urwah bin Jaubari datang kepada Aisyah, bibi Urwah. la berkata, “Wahai Bibi, Allah Swt berfirman bahwa tidak ada dosa untuk berkeliling di antara Shafa dan Marwah. Kalau begitu, tidak apa-apa kalau kita meninggalkan sa’i.” Aisyah berkata, “Jelek sekali ucapanmu itu, Urwah. Seandainya perkara seperti itu yang kamu putuskan, tentu Allah tidak akan berkata. “Tidak ada dosa bagi orang yang berkeliling di antaranya.” Dan Allah akan berkata, “Tidak ada dosa bagi orang yang tidak berkeliling diantaranya.” Kemudian Aisyah menceritakan asbabun nuzûl ayat ini: “Dahulu, ketika zaman Jahiliyah, orang-orang melakukan sa’i di antara Shafa dan Marwah. Mereka sa’i untuk dua berhala yang bernama Isaq dan Nailah. Setelah mereka masuk Islam, para sahabat berpikir bahwa melakukan sa’i di antara Shafa dan Marwah adalah dosa. Maka turunlah ayat, fa la junâha ‘alaihi ayyatawwafa bihimâ.” (QS. Al-Baqarah : 158) Ada pula ayat yang berbunyi, “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi di antara perempuan-perempuanmu, jika kamu ragu tentang masa iddah-nya, maka iddah mereka adalah bulan.” (QS tiga Al-Thalaq :4). Terhadap ayat ini, suatu kelompok Zhahiriyyah menafsirkan bahwa ketentuan iddah yang 3 bulan itu berlaku kalau kita ragu-ragu. Jika tidak ragu-ragu, kita tidak memerlukan iddah; padahal tidak demikian. Sebetulnya, ayat ini berkenaan dengan para sahabat Nabi yang semula ragu-ragu tentang wanita haid. Semua keterangan di atas menunjukkan kepada kita tentang pentingnya memahami asbabun nuzûl yang ada dalam Al-Quran. Ilmu bantu yang kedua setelah ‘ulûm Al-Quran adalah ‘ulûm al-hadîts. Dalam ‘ulûm al-hadits ada yang disebut dengan musthalah al-hadits atau Ilmu Dirayah, yaitu bidang ilmu untuk mengetahui keotentikan sebuah hadis. Misalnya, hadis-hadis yang menyatakan bahwa Abu Thalib itu seorang kafir. Jika Anda belajar ilmu musthalah al-hadits dan menyelidiki para perawi hadisnya, Anda akan menemukan bahwa hadis-hadis itu sangat dha’if. Kalau Anda tidak mempelajari ilmu ini, boleh jadi Anda berpegang kepada hadis-hadis dha’if hanya karena hadis itu ada dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Lihat saja bagaimana para jamaah haji Indonesia mati-matian mengejar shalat 40 kali di Masjid Nabawi, hanya karena ada Hadits Arba’in yang mengharuskannya; padahal hadis itu dha’if. Ilmu bantu ketiga adalah ushl al-fiqh. Ilmu ini mempelajari bagaimana mengambil kesimpulan hukum dari sebuah hadis. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa hadis itu bermacam-macam. Ada hadis yang mujmal, ada juga hadis yang mubayyan. Ada ayat yang ‘am dan ada yang khash. Contohnya bila kita menemukan satu ayat yang artinya, “Pada hari itu tidak ada jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafaat.” (QS Al-Baqarah : 254). Tapi kemudian kita juga menemukan ayat, “Pada hari akhir tidak ada persaudaraan, kecuali orang yang bertakwa.” (QS Al-Zukhruf : 67) Teman- teman pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian lain kecuali orang-orang yang bertakwa. Bagaimana kita “mendamaikan” kedua ayat ini? Kita memerlukan ushl al-fiqh yang di dalamnya menjelaskan kaidah- kaidah ushl al-fiqh. Salah satu dari kaidah itu ialah prinsip “mâ lâ yudraku kulluh lâ yudraku kulluh; jika tidak bisa dicapai seluruhnya, janganlah meninggalkan seluruhnya.” Maksudnya, bila seluruh kaidah yang ideal itu tidak bisa terpenuhi, maka janganlah meninggalkan seluruh kaidah itu. Misalnya, jika kita tidak sanggup berkurban satu kambing untuk satu orang, maka janganlah kita tidak berkurban sama sekali. Kita bisa berkurban dengan beriuran bersama-sama untuk membeli seekor kambing. Ilmu bantu selanjutnya ialah ilmu bahasa Arab. Kalau tahu tentang lafaz-lafaz yang hakiki dan yang majazi, orang tidak akan mudah mengkafirkan atau memusyrikkan orang lain. Contohnya kalau kita menemukan ayat yang artinya, “Janganlah kamu menyeru kepada selain Allah,” (QS Yunus : 106). Maksud ayat itu ialah bahwa di dalam shalat, kita tidak boleh memanggil atau menyeru kepada selain Allah. Bila tidak tahu ilmu bahasa Arab, kita bisa menjadi musyrik jika kita menyeru kepada selain Allah. Padahal dalam shalat pun kita menyeru kepada selain Allah, yaitu pada saat kita mengucapkan: “Assalâmu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barakatuh; Salam bagimu, wahai Nabi.” Orang yang tidak mengetahui ilmu bahasa Arab, akan menganggap pada saat attahiyat itu kita telah musyrik. Dari uraian ini kita bisa menarik kesimpulan bahwa mempelajari Islam ternyata tidak semudah yang kita duga. Kita perlu menguasai ilmu-ilmu bantu Islam seperti ‘ulûm Al-Quran, ‘ulûm al-hadîts, ushl al-fiqh, bahasa Arab, dan tarikh Islam. Apabila tidak memiliki ilmu-ilmu bantu tersebut, sebaiknya kita tidak melakukan ijtihad; ikutilah orang-orang yang menurut kita faqih. Hal itu jauh lebih aman daripada membuat kesimpulan- kesimpulan sendiri. JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
MENAATI ORANG BERAKAL DAN MEMBANTAH ORANG BODOHApril 24, 2025Athi’il ‘aqila taghnam, wa i’shil jahila taslam. Taatilah orang yang berakal (‘aqil), kamu akan beruntung; dan bantahlah orang yang jahil, kamu akan selamat. Rangkaian kalimat di atas merupakan hikmah yang dipetik dari ucapan Sayidina Ali bin Abi Thalib k.w. Orang yang berakal artinya orang yang pintar, orang yang arif, orang yang bijak dan orang yang menggunakan akalnya. Bukan ‘aqil dalam pengertian fiqih. Dalam ilmu fiqih, yang dimaksudkan dengan orang akil itu ialah orang yang tidak gila, orang yang tidak pingsan dan bukan anak kecil. Akan tetapi kata “orang yang berakal” dalam ucapan Sayidina ‘Ali tersebut adalah “orang yang berakal” dalam pengertian yang khusus; seperti yang akan dijelaskan pada baris-baris berikut ini. Taghnam (nanti kamu beruntung), berasal dari kata ghanimah yang artinya memperoleh penghasilan berlebih. Di dalam Al-Quran, juga di dalam hadis Nabi yang mulia, kata ghanimah tidak selalu berarti pampasan perang, tetapi berarti bonus atau kelebihan. Misalnya, dalam doa Nabi yang sering kita baca: “Allahumma ini as’aluka mujibati rahmatik wa ‘aza’ima maghfiratik wal ghanimata min kulli birrin” (Ya Allah aku minta kepastian rahmat-Mu dan keuntungan maghfirah-Mu, serta keuntungan pahala berlimpah dari segala kebaikan). Kata ghanimah min kulli birrin dalam doa tersebut tidak boleh diartikan barang pampasan perang dari setiap kebaikan. Di dalam Al-Quran Al-Karim terdapat ungkapan “maghanim katsirah”, sebagaimana dalam firman Allah Swt. berikut: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan “salam” kepadamu: “Kamu bukan seorang Mukmin” (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak (maghanim katsirah)…(QS 4:94). Kata “maghanim katsirah” tersebut juga tidak boleh diartikan sebagai barang pampasan perang. Sehingga kita juga tidak boleh mengartikan ungkapan Sayidina Ali k.w. di atas sebagai berikut, “Taatilah oleh kamu orang yang berakal, nanti kamu mendapat harta pampasan perang…” Akan tetapi, arti yang lebih pas adalah “Taatilah oleh kamu orang yang berakal, nanti kamu akan beruntung…” Dan lawan kata ‘aqil adalah jahil. “Bantahlah orang yang jahil, tentu kamu akan selamat.” Di dalam Al-Quran Al-Karim, seringkali kata ‘aqil dihubungkan dengan kemampuan orang-orang untuk merenungkan ayat-ayat Allah. Misalnya: Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu (QS 29: 43). Jadi, ini merupakan suatu petunjuk untuk wajib menaati orang-orang yang berilmu. Menurut Al-Ghazali, ada beberapa kekuatan yang mendorong seseorang untuk bertindak; yang dalam psikologi disebut drive (dorongan). Kekuatan tersebut dalam filsafat akhlak disebut dengan quwwah. Dan kekuatan (quwwah) itu sendiri ada bermacam- macam; pertama, kekuatan akal (quwwatul ‘aqli). Inilah yang membedakan antara yang baik dan yang buruk; kedua, kekuatan syahwat (quwwatusy syahwah), yaitu salah satu kekuatan yang juga menggerakkan manusia; ketiga, kekuatan emosi (quwwatul ghadhab), yang menggerakkan daya marah, benci, menyerang, dan agresif, dan yang keempat, quwwatul wahm, yaitu kekuatan dan kemampuan manusia untuk mencari pembenaran dari kesalahannya. Yang dikatakan orang yang ‘aqil atau orang yang berakal ialah orang yang menggunakan akalnya. Dan orang yang semua kekuatannya tunduk kepada kekuatan akalnya itu baik. Dalam sebuah hadis, disebutkan bahwa akal adalah hujjah Allah yang dititipkan kepada manusia. Sebenarnya ada dua hujah yang dititipkan oleh Allah kepada manusia. Yaitu hujah internal yang berupa akal; dan hujah eksternal yang berupa Al-Quran, para rasul, para nabi, dan lain-lain. Kalau semua kekuatan yang dimiliki oleh manusia itu tunduk kepada akalnya, maka ia akan menghasilkan sesuatu yang baik. Misalnya, kalau kekuatan emosi (ghadhab) ditundukkan kepada akalnya, maka akan lahirlah sifat pemaaf. Dan kalau kekuatan syahwat manusia dapat dikendalikan oleh akalnya, maka akan lahirlah sifat wara’ dan zuhud. Jadi, akallah yang harus menguasai seseorang. Dengan demikian, orang yang dapat disebut sebagai orang ‘aqil adalah orang yang mampu mempergunakan akalnya sebagai pengendali dirinya. Dan orang yang jahil adalah orang yang akalnya tunduk kepada kekuatan-kekuatan lain. Atas dasar itu pulalah lahir konsep taqlid/marja’iyah, yaitu kewajiban orang awam untuk menaati orang yang berilmu. Hal itu juga menunjukkan tidak bolehnya orang-orang awam untuk memberikan suatu fatwa tentang suatu hal yang ia tidak mempunyai ilmunya. Itulah sebetulnya makna firman Allah Swt., Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya… (QS 17: 36). Oleh karena itu, wajib bagi orang awam untuk menaati fatwa orang yang berilmu. Ketika Anda awam dalam urusan kedokteran, Anda harus taat kepada dokter dan jangan membuat resep sendiri. Saya kira itu adalah suatu sikap ilmiah dalam zaman modern ini sekalipun. Kita tidak boleh terlalu banyak bertanya kepada dokter kalau ia membuat resep untuk kita. Akan tetapi kita diperbolehkan untuk bertanya sedikit-sedikit saja, karena dokter pun tidak bisa menjelaskan semuanya. Kalau Anda berobat ke dokter, lalu Anda mengatakan, “Saya tidak mau taqlid, saya mau menggunakan akal saya.” Kemudian Anda diberi resep. Anda diberi analgesik yang harus Anda makan apabila sakit saja. Anda juga diberi antibiotik yang harus Anda makan tiga kali sehari. Setelah itu Anda bertanya, “Kenapa analgesik ini harus dimakan ketika sakit saja dan antibiotiknya harus dimakan tiga kali sehari?” Dokter itu mungkin hanya akan mengatakan, “Ya analgesik ini hanya digunakan untuk menghilangkan rasa sakit; dan antibiotik ini….” Sang dokter terpaksa menjelaskan agak panjang. Ketika ia mulai menggunakan istilah-istilah kedokteran dan Anda tidak paham, Anda bertanya lagi. Dan itu akan merepotkan sang dokter. Jika begitu halnya, nanti Anda tidak akan sempat berobat. Begitu pula saya kira dalam urusan agama. Di sini orang mempunyai kecenderungan selalu ingin mengetahui dalilnya dan bertanya, “Dalilnya apa? Keterangannya apa?” Dan kalau diberi keterangan yang lengkap, dia tidak akan paham juga. Pada gilirannya ulama pun akan memberikan dalil yang kira-kira dimengerti oleh si penanya, dan tidak menjelaskan mengapa kesimpulan itu yang ia ambil berdasarkan dalil tersebut. Sekarang ini, kita menderita ilusi seakan-akan kita mengerti semua masalah agama hanya karena diberi beberapa hadis saja. Kalau dalam urusan kedokteran kita harus ikut dengan dokter, walaupun dokter hanya bisa menyelamatkan dalam urusan dunia saja  ̶ dan itu pun tidak seluruh urusan dunia tetapi urusan tubuh saja ̶  maka apalagi untuk urusan agama yang sangat berguna bagi kehidupan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, Anda dibebani kewajiban untuk menaati orang yang ‘aqil. Taatilah orang yang berakal, nanti Anda akan beruntung. Tapi di sini bukan sembarang ‘aqil. Karena bila ‘aqil dalam pengertian orang yang berilmu itu tidak diimbangi dengan ‘aqil dalam pengertian orang yang akalnya menguasai hawa nafsunya, maka akan bisa berbahaya. Kalau seseorang menjadi ‘aqil dalam arti berilmu tetapi hawa nafsunya berkuasa, maka itu lebih berbahaya. Kalau orang berilmu dikuasai oleh hawa nafsunya, maka dia akan lebih banyak mendatangkan bencana daripada orang yang bodoh. Makin berilmu seseorang, tetapi makin tidak berakhlak, maka makin berbahaya dia. Oleh karena itu, di kalangan profesional sering dikembangkan kode etik. Di kedokteran ada kode etik. Sebab kalau dokter tidak mematuhi kode etik itu, ia akan lebih berbahaya daripada orang biasa. Dokter dapat saja membunuh orang tanpa dihukum. Tetapi kalau Anda berobat ke seorang dukun, diberi obat oleh dukun itu dan Anda mati, maka dukun itu dapat ditangkap dan dibawa ke pengadilan. Oleh karena itu, betapa bahayanya orang yang berilmu tetapi dia tidak dikuasai oleh akalnya. Atas dasar itu, taatilah orang yang berilmu, taatilah ulama yang hawa nafsunya sudah dikuasai oleh akalnya ̶  artinya akhlaknya baik. Dan bantahlah orang yang bodoh nanti Anda akan selamat. Oleh karena itu, amat berbahaya bila kita bersahabat dengan orang yang bodoh. Dia mungkin bermaksud untuk berbuat baik dan memberikan manfaat kepada Anda, tetapi dia justru mendatangkan bencana kepada Anda. Akan tetapi kalau orang yang berakal, dia tahu apakah tindakannya itu akan membahayakan Anda atau tidak. Misalnya, kalau saya memberikan nasihat kepada Anda dan saya tahu bahwa nasihat itu akan membahayakan Anda, maka dalam diri saya ada perasaan berdosa dengan nasihat itu. Tetapi sebaliknya, kalau orang jahil memberikan nasihat kepada Anda, dia tidak merasa membahayakan Anda, bahkan dia merasa telah berbuat baik. Seperti cerita seorang pemburu yang kesepian di hari tuanya, kemudian ia berjumpa dengan seekor beruang yang di masa tuanya juga sedang kesepian. Dua makhluk yang kesepian itu berjumpa di hutan dan dia berjanji setia untuk menjadi kawan sampai akhir hayatnya. Keduanya bersahabat dan mengembara sampai akhirnya keduanya tiba di suatu tempat yang membuat sang pemburu tertidur lelap kelelahan. Sahabatnya (si beruang) yang jahil itu menungguinya dengan setia. Selang beberapa saat si beruang melihat seekor lalat hinggap di wajah sahabatnya. Beruang menganggap lalat itu berbuat kurang ajar karena dia bertengger di hidung sahabatnya. Dia juga menganggap lalat itu mengganggu tidur sahabatnya. Maka dengan kesetiaannya, si jahil itu pergi untuk mencari batu besar. Batu itu ia angkat, kemudian lalat itu ia timpa dengan batu besar tersebut. Dan alhamdulillah, lalatnya lepas dan sahabatnya mati. Kemudian yang punya cerita mengakhiri ceritanya dengan kata-kata, “Itulah bahayanya mempunyai sahabat yang jahil. Dia merasa membantu Anda tapi sebetulnya ia membunuh Anda.” Kalau bisa, janganlah Anda dekat-dekat dengan orang jahil, kecuali untuk membimbingnya. Di dalam hadis, Nabi yang mulia menyebutkan, “Ada tiga hal yang bisa merusak agama: Pertama, imam yang zalim; kedua, penguasa yang zalim (sulthan jair); ketiga, bodoh orang-orang yang berijtihad.” Di dalam Al-Quran pun disebutkan bahwa kita harus berpaling dari orang- orang yang bodoh. Atau kalau orang-orang yang jahil itu juga mengajak bicara dengan kamu, jangan dilayani, tapi ucapkan saja salam. Oleh karena itu, kalau Anda berdiskusi, dan ternyata diskusi itu berkembang menjadi tidak ilmiah, atau orang yang berdiskusi itu banyak menggunakan hawa nafsunya ketimbang akalnya, maka berpalinglah dan jangan duduk bersama mereka, karena nanti kamu akan menjadi seperti mereka. Demikian itulah nasihat Sayidina ‘Ali k.w.: “Taatilah orang yang berakal, Anda akan beruntung; bantahlah orang bodoh, Anda akan selamat.” JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Sabar : Kecerdasan EmosionalApril 23, 2025Manusia mempunyai dua dimensi kepribadian. Pertama, yang disebut dengan al-bu’dul malakuti atau dimensi kemalaikatan yang berasal dari alam malakut. Ada satu bagian dalam diri kita yang membawa kita ke arah kesucian, yang mendekatkan diri kita kepada Allah. Dimensi ini mendorong kita untuk berbuat baik, membuat kita tersentuh oleh penderitaan orang lain, dan mengajak kita untuk membantu mereka yang memerlukan bantuan. Dengan kata lain, dimensi ini adalah sisi kebaikan yang ada dalam diri manusia. Dimensi kedua, adalah dimensi kebinatangan atau al-bu’dul bahimi. Dimensi inilah yang mendorong manusia untuk berbuat buruk, membuat hati kita keras ketika melihat penderitaan orang lain, dan menimbulkan rasa iri kepada orang lain yang lebih beruntung. Dimensi ini juga menggerakkan kita untuk marah dan dendam kepada sesama manusia. Inilah sisi buruk dalam diri manusia. Jika dimensi kemalaikatan membawa manusia dekat kepada Allah, dimensi kebinatangan membawa manusia dekat dengan setan. Setan sebenarnya tidak mempunyai kemampuan untuk menyesatkan manusia, kecuali kalau manusia membantunya dengan membuka sisi kebinatangannya. Karena itulah setan pernah berjanji di hadapan Allah, Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semua. Kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas. (QS. Shad  82-83). Sebenarnya yang bisa disesatkan oleh setan adalah hamba-hamba Allah yang membuka sisi kebinatangannya. Al-Ghazali menyebut sisi ini sebagai pintu gerbang setan atau madakhilus syaithan. Bila orang sering membuka pintu gerbang kebinatangannya, setan dapat masuk melakukan provokasi di dalamnya. Oleh karena itu, bagian kebinatangan yang ada dalam diri manusia sering disebut dengan pasukan setan. Melalui pasukan setan inilah setan dapat mengarahkan manusia untuk berbuat buruk. Dua dimensi ini, malakuti dan bahimi, terus menerus bertempur dalam satu peperangan abadi yang dalam Islam disebut dengan al-jihadul akbar, peperangan yang besar. Jihad yang agung itu adalah peperangan melawan bagian dari diri manusia yang ingin membawa kita jauh dari Allah. Tugas kita adalah memperkuat al-bu’dul malakuti itu, supaya kita memenangkan pertempuran agung. Ada dua hal yang harus dilakukan manusia agar ia dapat memenangkan pertempuran agung itu, yaitu shalat dan sabar. Minta tolonglah kamu (dalam jihad akbar ini) dengan melakukan shalat dan sabar, sesungguhnya itu berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk. (QS Al-Baqarah 45). Ada sebuah buku yang harus kita baca untuk melatih kesabaran. Buku yang ditulis oleh Daniel Goleman itu berjudul Emotional Intelligence (1). Menurut Goleman, para  psikolog telah melupakan satu bagian penting dalam jiwa manusia yang bernama emosi. Psikolog jarang membicarakan emosi, padahal emosi itu sangat menentukan kebahagiaan dan penderitaan manusia. Emosi juga melindungi manusia terhadap bebagai bahaya. Emosi adalah hasil perkembangan evolusi manusia yang paling lama, dan emosi terpusat pada salah satu bagian otak manusia di bawah sistem yang sudah berkembang dalam evolusi semenjak evolusi mamalia terjadi. Emosi sangat mempengaruhi kehidupan manusia ketika dia mengambil keputusan. Tidak jarang suatu keputusan diambil melalui emosinya. Tidak ada sama sekali keputusan yang diambil manusia murni dari pemikiran rasionya karena seluruh keputusan manusia memiliki warna emosional. Jika kita memperhatikan keputusan-keputusan dalam kehidupan manusia, ternyata keputusannya lebih banyak ditentukan oleh emosi daripada akal sehat. Emosi yang begitu penting itu sudah lama ditinggalkan oleh para peneliti padahal kepada emosi itulah bergantung suka, duka, sengsara, dan bahagianya manusia. Bukan kepada rasio. Karena itulah Goleman mengusulkan selain memperhatikan kecerdasan otak, kita juga harus memperhatkan kecerdasan emosi. Ia menyebutkan bahwa yang menentukan sukses dalam kehidupan manusia bukanlah rasio tetapi emosi. Dari hasil penelitiannya ia menemukan situasi yang disebut dengan when smart is dumb, ketika orang cerdas jadi bodoh. Ia menemukan bahwa orang Amerika yang memiliki kecerdasan atau IQ di atas 125 umumnya bekerja kepada orang yang memiliki kecerdasan rata-rata 100. Artinya, orang yang cerdas umumnya menjadi pegawai kepada orang yang lebih bodoh dari dia. Jarang sekali orang yang cerdas secara intelektual sukses dalam kehidupan. Malahan orang-orang biasalah yang sukses dalam kehidupan. Lalu apa yang menentukan sukses dalam kehidupan ini? Bukan kecerdasan intelektual tapi kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional diukur dari kemampuan mengendalikan emosi dan menahan diri. Dalam Islam, kemampuan mengendalikan emosi dan menahan diri disebut sabar. Orang yang paling sabar adalah orang yang paling tinggi dalam kecerdasan emosionalnya. Ia biasanya tabah dalam menghadapi kesulitan. Ketika belajar orang ini tekun. Ia berhasil mengatasi berbagai gangguan dan tidak memperturutkan emosi-nya. Ia dapat mengendalikan emosinya. Di dalam buku itu, diceritakan betapa fatalnya orang yang tidak memiliki kecerdasan emosional. Seperti dalam kisah nyata berikut ini: Pada satu saat, ada seorang anak meminta izin kepada orang tuanya untuk menginap di tempat kawannya. Sementara anak itu pergi, orang tuanya pergi untuk menonton opera. Tak lama dari itu, si anak kembali ke rumah karena tidak betah tinggal di rumah temannya. Pada saat itu, orang tuanya masih menonton opera. Anak nakal itu mempunyai rencana. Ia ingin membuat kejutan untuk orang tuanya ketika pulang ke rumah pada waktu malam. Ia akan diam di toilet dan jika orang tuanya datang, ia akan meloncat dari toilet itu sambil berteriak. Beberapa saat kemudian, orang tuanya pulang dari opera menjelang tengah malam. Mereka melihat lampu toilet di rumahnya menyala. Mereka menyangka ada pencuri di rumahnya. Mereka masuk ke rumah perlahan-lahan sambil membuka pintu untuk segera mengambil pistol dan lalu mengendap naik ke atas loteng tempat toilet itu berada. Ketika sampai di atas, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari toilet itu. Ditembaklah orang yang berteriak itu sampai lehernya putus. Dua jam kemudian anak itu meninggal dunia. Saya bisa bayangkan betapa menyesalnya kedua orang tua itu. Mereka bertindak terlalu cepat. Mereka mengikuti emosi takut dan kekhawatirannya sehingga panca indranya belum sempat menyampaikan informasi yang lengkap tentang orang yang meloncat dan berteriak itu. Terjadi semacam Closed Circuit. Mestinya mereka menganalisis dulu. Mereka lihat siapa orang itu. Itu menunjukkan kurang terlatihnya kecerdasan emosional. Tidak terbiasa bersabar. Mereka memperturutkan emosinya dalam bertindak. Orang ini dikategorikan sebagai orang yang memiliki kecerdasan emosional yang rendah. Sebenarnya teori Daniel ini dapat disimpulkan dalam peribahasa Arab: man shabara zhafara, barang siapa yang bersabar, ia akan sukses. Hal ini bisa dikaitkan bahwa orang yang sukses dalam hidupnya adalah orang yang memiliki kecerdasan emosional tinggi atau orang-orang yang sabar. Keadaan ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara sukses dengan kecerdasan. Kecerdasan emosional bisa dibentuk dengan melatih kesabaran dan tekun dalam menempuh perjalanan sabar. Seperti itulah seorang sufi yang menempuh perjalanan menuju Allah. Ia tempuh berbagai bencana tetapi ia tetap sabar. Itulah cara mengembangkan kecerdasan emosional. Orang-orang yang cerdas secara emosional adalah orang yang sabar dan tabah dalam menghadapi berbagai cobaan. Ia tabah dalam mengejar tujuannya. Orang-orang yang bersabar menurut Al-Quran akan diberi pahala berlipat ganda di dunia dan akhirat: Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk (QS. Al-Baqarah 157). Ada beberapa pahala yang akan diperoleh bagi orang yang bersabar yaitu shalawat (keberkatan yang sempurna), rahmat, dan hidayat. Ada tiga jenis kesabaran; Pertama, sabar dalam menghadapi musibah. Kedua, sabar dalam melakukan ibadah. Ketiga,  sabar dalam menahan diri untuk tidak melakukan maksiat. Sabar dalam menghadapi musibah pahalanya lebih besar. Bahkan menurut Al-Quran, pahalanya diberikan tanpa perhitungan: Allah beri pahala kepadanya tanpa perhitungan  (Az-Zumar 10). Sabar dalam menjalankan ibadah pahalanya lebih besar daripada sabar dalam menghadapi musibah. Dan sabar dalam menahan diri akan melakukan maksiat pahalanya jauh lebih besar daripada dua jenis sabar yang lainnya. JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum.  *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
KEUTAMAAN MENGHADIRI MAJELIS ILMUApril 22, 2025Dalam kitab Al-Targhib wa Al-Tarhib, Ibn Abbas meriwayatkan: “Rasulullah Saw telah ditanya salah seorang sahabatnya perihal siapa teman duduk yang paling baik. Rasulullah Saw menjawab, “Orang yang bila kamu lihat, dapat mengingatkan kamu kepada Allah, menambahkan ilmumu dalam pembicaraannya, dan mengingatkanmu kepada akhirat dari amal-amalnya.” Penulis kitab ini memasukkan hadis di atas dalam bab Orang yang memiliki “Dorongan untuk duduk dengan Ulama.” sifat seperti yang disebutkan dalam hadis tersebut merupakan orang yang paling pantas dijadikan teman duduk. Hampir setiap kitab hadis menyebutkan tentang pentingnya duduk bersama ulama yang dimaksud di atas. Bahkan, Nabi menyebut majelis tempat ulama duduk seperti itu sebagai “taman- taman surga”. Dalam hadis yang diriwayatkan Thabrani, dalam kitab Al-Kabir, disebutkan bahwa Rasulullah bersabda, “Apabila melewati taman surga, hendaklah engkau duduk di situ; istirahatlah kamu di situ.” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apa taman surga itu?.” Nabi Saw menjawab, “Majelis-majelis ilmu.” Rasulullah Saw juga pernah bersabda, “Barang siapa yang duduk bersama ulama, maka dia duduk bersamaku. Dan barang siapa yang duduk bersamaku, seakan-akan dia duduk bersama Allah.” Dalam hadis yang diterima dari Abu Umamah, yang diriwayatkan Al-Thabrani, disebutkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Lukman pernah menasihati anaknya: “Hai Anakku, hendaklah engkau sering duduk bersama ulama dan mendengarkan pembicaraan para ahli hikmah. Karena, sesungguhnya Allah akan menghidupkan hati yang mati dengan cahaya hikmah; seperti Allah menghidupkan bumi yang mati dengan limpahan air hujan.” Hadis-hadis di atas menunjukkan kepada kita perihal keutamaan duduk bersama ulama. Majelis-majelis pengajian yang di situ kita duduk bersama ulama disebut sebagai “taman-taman surga” yang menyirami hati kita dengan hikmah. Dalam suatu pengajian ibu-ibu, saya pernah bertanya kepada mereka, “Mengapa para ibu lebih suka menghadiri arisan daripada pengajian? Jika pengajian ini tidak menarik karena mubalignya, saya siap mencarikan mubalig yang menarik.” Salah seorang ibu menjawab, “Bukan, seringnya ketidakhadiran para ibu di pengajian dikarenakan sebagian besar dari mereka menganggap bahwa mendengarkan pengajian lewat pengeras suara masjid saja sudah cukup.” Hal itu memang diperbolehkan. Tetapi ada beberapa keuntungan jika mendengarkan pengajian secara langsung di masjid. Pertama, tempat pengajian itu mengandung berkah. Di dalam sebuah hadis, pada kitab Shahih Bukhari, diceritakan bahwa para sahabat memperebutkan rambut Rasulullah untuk mengambil berkah. Al-Quran menyebutkannya: “Kami berkati tempat di sekitar Rasulullah itu.”(QS Al-Isra : 1). Mendengarkan pengajian hanya melalui pengeras suara dapat menghilangkan berkah dari taman surga. Mungkin ada yang berkata: “Buat apa datang ke pengajian bila hanya untuk tidur saja.”Tidur di masjid ketika mendengarkan pengajian lebih baik daripada tidur dan tidak mendengarkan pengajian. Sebab, menurut sebuah penelitian, otak manusia itu sebenarnya masih merekam suara di sekitarnya walaupun dalam keadaan tidur. Di kalangan para sufi, ada sebuah tradisi bahwa pada awal penyucian jiwa, mereka diperintahkan mengunjungi para ulama untuk sekadar mengambil berkah dari mereka. Para ulama menempati tempat yang sangat tinggi dan merupakan benteng-benteng Allah di muka bumi ini. Ketika ada seorang ulama meninggal dunia, berarti satu benteng Allah telah rubuh. Sangatlah sulit mendapatkan gantinya. Rasulullah bersabda, “Ulama adalah pemegang amanah para rasul.” Keutamaan yang kedua, menghadiri majelis ilmu itu dapat menyambungkan tali kekeluargaan. Di era informasi, ketika setiap rumah sudah dilengkapi alat elektronik yang dapat menghubungkan kita dengan tetangga kita, dengan pasar atau kantor, orang akan jarang berhubungan dengan sesamanya. Mereka tidak perlu lagi datang ke kantor, dengan pakaian resmi. Mereka pun tidak perlu lagi datang ke pengajian, karena mereka dapat mendengarkannya lewat alat elektronik. Ada yang hilang dari hal seperti itu, yaitu hubungan silaturahmi antar manusia. Bersilaturahmi boleh jadi kita lakukan di tempat maksiat; seperti di hotel, bar, dan tempat-tampat lain. Bahkan, ada sebuah hadis yang menyebutkan bahwa Rasulullah berkata, “Ada seorang pendosa yang senang menyambungkan persaudaraan. Kemudian Allah menambahkan usia dan rezekinya.” Apalagi, bila perbuatan baik itu (silaturahmi) dilakukan orang yang bukan pendosa. Bar juga merupakan tempat silaturahmi yang mungkin lebih intim dari tempat lain. Silaturahmi diberkati tetapi perbuatan maksiatnya tidak. Sebenarnya banyak hadis yang menyuruh kita menghormati para ulama. Hal ini bukan merupakan kultus individu. Ini memang aneh! Bila ada orang menghormati para biduan, mereka tidak menyebutnya sebagai kultus individu; mereka menyebutnya ‘mengidolakan’. Mulai sekarang, marilah kita berusaha membiasakan untuk duduk dan menghormati para ulama yang memiliki kriteria seperti di atas. Hal itu dikarenakan ada hubungan antara tingkah laku kita dengan orang yang kita cintai; dan ulama yang kita hormati akan segera membentuk perilaku kita. Oleh sebab itu, Islam menganjurkan kepada kita untuk menghormati para ulama. Lalu, siapa ulama yang dimaksud? Seperti disebutkan di atas, ulama yang dimaksud adalah ulama yang ketika kita melihatnya, ia dapat mengingatkan kita kepada Allah. Ulama yang apabila kita mendengarkan pembicaraannya, dapat menambah ilmu kita. Ulama yang jika kita melihat amal-amalnya, akan mengingatkan kita pada hari akhirat. Sebagian ulama mengatakan, ketika melihat para ulama seperti itu, kita harus mengucapkan tasbih dan tahmid, lalu mendoakan mereka. Memang, ada tradisi di kalangan para ulama: apabila mendengar ulama lain disebutkan namanya, mereka mengucapkan doa bagi yang disebut namanya itu. Ulama seperti itulah teman duduk kita yang baik. Ulama seperti itu selain mengingatkan kita kepada Allah jika kita melihatnya, juga akan menambah ilmu kita bila kita mendengar pembicaraannya. Mereka juga akan mengantar kita pada hari akhirat jika kita melihat amal-amalnya. JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Antara Sa’adah dan SyaqawahApril 22, 2025Dalam tulisan ini akan dibicarakan hadis-hadis yang berkenaan dengan sa’adah. Sa’adah artinya “keberuntungan” atau “kebahagiaan”. Sa’id artinya “orang yang berbahagia” atau “orang yang beruntung”. Lawan kata sa’id adalah syaiy (artinya “orang yang celaka”). Dan syaqawah artinya “kemalangan”. Oleh karena itu, Sayidina Ali bin Abi Thalib k.w. (karramallahu wajhah) pernah mengatakan, “Seseorang tidak akan merasakan manisnya sa’adah (kebahagiaan) sebelum dia merasakan pahitnya syaqawah (kemalangan).” Ada sebuah doa yang diajarkan oleh Rasulullah Saw., “Ya Allah, aku memohon kepadamu kedudukan para syahid (syuhada’) dan kehidupan para penikmat kebahagiaan (su’ada’).” Di dalam Al-Quran, kata syaqiy dan sa’id ini dijelaskan dalam Surah Hud ayat 105-108, yaitu: Di kala datang hari itu, tidak ada seorang pun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada yang celaka (syaqiy) dan ada yang berbahagia (sa’id). Adapun orang orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka mengeluarkan napas dan menariknya (dengan merintih). Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki. Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya. (QS 11: 105-108) Rasulullah Saw. bersabda: “Orang yang berbahagia itu adalah orang yang takut siksaan Allah kemudian dia beriman, yang mengharapkan pahala dari Allah kemudian dia berbuat baik dan merindukan surga serta dia bekerja keras untuk mencapai surga itu. Jadi, orang yang berbahagia, kata Rasulullah Saw., adalah orang yang memilih sesuatu yang nikmatnya kekal dan meninggalkan sesuatu yang nikmatnya cepat binasa tetapi azabnya tidak habis-habis. Kata “bahagia” di dalam Al-Quran itu disebut dengan istilah al-baqiyat ash-shalihat. Jadi kalau kita memilih harta untuk berfoya-foya, itu berarti memilih sesuatu yang cepat rusaknya, sementara azabnya tidak ada habis-habisnya. Sebaliknya, kalau kita memilih menginfakkan harta kita, berarti kita memilih yang kekal yang kenikmatannya abadi. Lalu, orang yang bahagia itu adalah dia yang memberikan apa yang dia peroleh dengan kedua tangannya sebelum dia digantikan oleh orang yang beruntung karena mengeluarkan infak, sementara pemilik harta itu sendiri celaka karena dia yang mengumpulkannya. Maksudnya ialah ada orang-orang yang mengumpulkan harta, menghabiskan waktu dan umurnya sehingga dia tidak sempat beribadah, tidak sempat menginfakkan hartanya dan hanya melakukan suatu perbuatan semata untuk mengumpul-ngumpulkan hartanya. Bahkan dia tidak sempat menikmati hartanya itu, karena ia meninggal dunia dan kemudian digantikan dengan ahli warisnya. Ahli warisnya itulah orang yang beruntung karena dia bisa menginfakkan harta itu di jalan Allah Swt. Dengan demikian, said adalah orang yang berbahagia, yang memilih nikmat yang abadi di atas kenikmatan yang fana, akan tetapi nikmatnya tiada akan habis, serta menginfakkan harta yang dimilikinya sebelum datangnya waktu di mana akan digantikan oleh orang lain. Itulah tanda orang yang berbahagia. Ja’far Ash-Shadiq, penghulu para ahli sufi, menambahkan kriteria orang yang berbahagia itu dengan ilmu. Sebagaimana yang dikatakannya: “Tidak pantas seseorang yang tidak berilmu dihitung sebagai orang yang berbahagia.” Kita biasanya mengukur kriteria kebahagiaan itu dari materi dan jumlah kekayaan yang banyak, walaupun orang tersebut bodoh. Oleh karena itu, kita boleh saja iri hati (ghibthah) kepada orang yang berilmu, karena dia termasuk orang-orang yang beruntung. Hal ini bukan berarti bahwa tidak ada kriteria lain yang mendatangkan kebahagiaan. Rasulullah Saw. pernah menyebutkan tanda-tanda orang yang beruntung (sa’id) itu. Pertama, adalah sabda Rasulullah Saw. berikut: “Di antara kebahagiaan seorang Muslim adalah apabila dia mempunyai anak yang mirip dengan dia.” Konon, menurut sebuah riwayat, Siti Fatimah itu sangat mirip Rasulullah Saw. yang mulia. Oleh karena itu, mungkin Rasulullah Saw. memproyeksikan kebahagiaan kepada anaknya yang mirip dirinya. Dan rasa bahagianya bukan hanya karena itu saja, tetapi juga kemiripan yang menyeluruh dari segi penampilan (khalq) maupun dari segi akhlak (khuluq)-nya. Kalau akhlak dan kebaikan anak-anak kita sama dengan kita, maka kita akan merasakan suatu kebahagiaan. Kebanyakan orangtua pun menginginkan anak-anaknya memiliki akidah yang sama dengan akidah yang diyakininya. Walaupun kata Umar Khayam, “Janganlah kamu memaksakan anak-anakmu menjadi panah yang kamu lepaskan untuk masa depan dan bukan untuk zaman kamu.” Sayyidina Ali bin Abi Thalib k.w. juga pernah mengatakan: “Jangan kamu paksakan anak kamu seperti kamu karena dia diciptakan untuk zaman yang bukan zaman kamu.” Maksud ucapan Umar Khayam dan Sayidina Ali di atas tentu bukan suatu hal yang berkenaan dengan masalah akidah. Kalau kita yakin bahwa akidah itu benar, maka harus kita paksakan agar si anak berakidah sama dengan kita. Yang dimaksud dengan ucapan-ucapan tersebut mungkin seperti pekerjaan atau kesenangan kita sehari-hari. Seorang anak, yang merupakan amanah Allah, sering kita paksakan untuk meningkatkan status kita. Misalnya, anak tersebut kita paksa untuk belajar terus-menerus agar ia menempati ranking tertinggi di kelasnya. Karena kalau anak kita dapat menempati ranking tersebut, kita merasa memperoleh status yang tinggi. Itulah mungkin yang dimaksud dengan ucapan, “Jangan paksakan anak kamu untuk menjadi seperti kamu, karena dia diciptakan bukan untuk zaman kamu.” Kedua, “memiliki istri yang cantik dan memiliki agama.” Mencari istri yang cantik itu bisa kita rencanakan. Mencari istri yang memiliki agama juga bisa kita rencanakan. Dan saya kira kecantikan itu sangat relatif, walaupun ada standar khusus yang mengukur kecantikan itu. Jadi, beruntunglah kalau kita mendapat istri yang cantik dan agamanya juga baik. Atau sebaliknya, memperoleh suami yang tampan yang memiliki agama. Ketiga, “kendaraan yang enak dan nyaman.” Tentu saja kendaraan yang nyaman itu tidak selalu mahal, walaupun pada umumnya mahal. Dalam hadis yang lain, Rasulullah Saw. menyebutkan bahwa kebahagiaan adalah memiliki istri yang cantik dan kendaraan yang cepat. Keempat, “mempunyai rumah yang luas atau mempunyai tempat tinggal yang luas.” Oleh karena itu, jika Anda mempunyai tujuan hidup, maka cara operasionalnya adalah bagaimana Anda menciptakan anak yang bisa melanjutkan khiththah perjuangan Anda; bagaimana Anda memiliki istri yang bisa membahagiakan Anda sekaligus memiliki agama; bagaimana Anda memiliki kendaraan yang nyaman dan tempat tinggal yang luas. Dalam hadis lain disebutkan bahwa ada tiga hal yang membahagiakan seseorang, yaitu istri yang mendatangkan kebahagiaan, anak yang berbuat baik, dan rezeki yang menghidupi kehidupannya. Dan dalam hadis yang lain juga disebutkan bahwa ada empat hal yang membahagiakan, yaitu sahabat-sahabat yang saleh, anak yang berbuat baik, istri yang membahagiakan, dan mempunyai penghidupan yang diusahakan di negeri sendiri. Yang dimaksud oleh Rasulullah Saw. dengan hadis-hadis tadi tentu saja berkaitan dengan salah satu jenis sa’adah, yaitu, kebahagiaan di dunia. Orang Islam diperintahkan untuk mengejar kebahagiaan dunia dan akhirat. Untuk mengejar kebahagiaan di akhirat, Rasulullah Saw. menjelaskannya di tempat lain. JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
ILMU LEBIH UTAMA DARIPADA IBADAHApril 20, 2025Saya diingatkan oleh sebuah hadis yang bunyinya, kurang lebih, begini: 2 rakaat shalat orang alim adalah lebih baik daripada 1.000 rakaat shalat orang bodoh.” Hadis ini saya perkuat dengan hadis lain: “Tidur seorang alim lebih baik daripada ibadah seorang jahil.” Jadi, sekiranya pada tengah malam seorang alim terlelap tidur, sementara seorang jahil bangun melakukan shalat, maka tidurnya orang alim itu lebih baik daripada ibadahnya orang yang tidak berilmu. Mungkin ada yang berpikir, “Tidak adil rasanya keistimewaan yang diberikan kepada orang alim, sampai-sampai tidurnya saja menandingi ibadahnya orang jahil.” Ada orang yang mempersoalkan, menggugat hadis ini; terutama orang-orang jahil. Malah, kalau sempat, mereka ingin membuka-buka, mencari keterangan bahwa hadis Nabi di atas adalah dha’if, supaya mereka puas dalam ketidaktahuannya. Imam Ali kw pernah berkata, “Ada kelompok orang yang membuat punggungku patah. Pertama, orang bodoh yang puas dengan kebodohannya; dan kedua orang alim yang tidak mengamalkan ilmunya.” Dengan demikian, sebetulnya orang-orang berilmu juga akan menghadapi siksaan yang lebih besar daripada orang bodoh. Ketika seorang alim berbuat dosa, maka dosanya dilipatgandakan. Sebab, seorang jahil berbuat dosa karena ketidaktahuannya; sedangkan orang alim berbuat dosa karena ketahuannya. Dalam sebuah ayat Al-Quran disebutkan, Allah mengampuni orang-orang yang bodoh karena kebodohannya. Orang berilmu juga menggugat keterangan yang menyebutkan bahwa siksaan orang pintar – ketika ia berbuat dosa – dilipatgandakan, sementara orang-orang jahil tidak. Di situlah letak keadilan Ilahi. Kita harus memahami hadis di atas untuk menunjukkan betapa berharganya ilmu; bahkan, usaha untuk mencari ilmu jauh lebih dihargai daripada berzikir. Jika dibandingkan dengan berzikir, mencari ilmu itu lebih utama. Rasulullah pernah masuk ke sebuah majelis. Di majelis itu, tampak ada 2 kelompok; yang pertama sedang berzikir, dan yang kedua sedang mempelajari ilmu. Rasulullah Saw bersabda, “Kelompok pertama adalah kelompok yang baik. Mudah-mudahan Allah mengampuni mereka. Sedangkan kelompok kedua sedang mempelajari ilmu; mudah-mudahan Allah membimbing mereka ke jalan yang lurus.” Maksud Rasulullah Saw, barangkali, merujuk ayat Al-Quran yang menyatakan bahwa salah satu tugas dibangkitkannya beliau sebagai rasul ialah mengajarkan ilmu: Huwa al-ladzi ba’atsa fi al- ummiyyin rasulan yatlu ayatih. Dialah yang telah mengutus di kalangan orang-orang ummi seorang rasul untuk membacakan ayat-ayat-Nya (QS Al-Jumu’ah : 2). Rasulullah Saw bersabda, “Innama buitstu mu’alliman. Sesungguhnya aku diutus sebagai seorang yang mengajarkan ilmu.” Beliau juga bersabda, “Jika kamu bangun pagi hari dan membuka satu bab ilmu pengetahuan, itu lebih baik bagi kamu daripada ibadah semalam suntuk.” Jadi, orang yang shalat tahajud, tidak tidur satu saat pun, pahalanya kalah besar dari orang yang mempelajari satu bab ilmu. Yang paling baik adalah orang yang banyak berzikir, sekaligus banyak mempelajari ilmu. Pada perkembangan mutakhir, ternyata banyak orang yang merasa nikmat dengan menghadiri majelis zikir daripada majelis ilmu. Inilah yang menyebabkan orang Islam ketinggalan dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dari bangsa-bangsa lain. Syaikh Syaqib Arsalan menulis dalam bukunya : Limadza Taakhara Al-Muslimun wa Taqaddama Ghairahum? (Mengapa Umat Islam Terbelakang sedangkan Umat Non-Muslim maju?). Salah satu di antara jawabannya adalah karena pernah, dalam perkembangan umat Islam, kita lebih mengutamakan majelis zikir daripada majelis ilmu. Sekarang tampaknya kita harus menggeser lagi perhatian seperti itu supaya kita memerhatikan majelis ilmu, untuk menutupi kekurangan ibadah, bukan mengganti ibadah. Betapapun banyaknya ibadah-ibadah yang kita lakukan, masih banyak kekurangannya dibandingkan dengan anugerah Allah kepada kita. Untuk menutupi kekurangan itulah, kita menghadirkan majelis-majelis ilmu, membaca buku, mempelajari satu bab dari buku; bukan buku agama saja, tetapi juga berbagai buku ilmu pengetahuan. Orang sering mengatakan bahwa Islam adalah agama egalitarian, agama yang menekankan persamaan. Meskipun demikian, dalam Islam, ada yang harus dibedakan. Al-Quran menegaskan bahwa dalam hal itu kita harus “diskriminatif”. Dalam hal ilmu, kita tidak boleh memperlakukan sama. Kita tidak boleh membedakan orang karena kekayaannya, keturunannya, jabatannya, atau asal-usulnya. Kita hanya membedakan orang dari ilmunya. Dalam hal ilmu, kita harus membedakan orang. Bahkan, Allah Swt menegaskan beberapa kali: “Apakah sama orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu?” (QS Al-Zumar : 9). Pertanyaan dalam ayat itu adalah pertanyaan retoris; artinya, jawabannya sudah pasti, yaitu “tidak sama.” “Apakah sama orang- orang yang buta dengan orang yang melihat?” (QS Al-An’am : 50; Al-Ra’d : 16); “Apakah sama kegelapan dengan cahaya?” (Al- Ra’d : 16). Berulang kali Al-Quran menyebutkan bahwa tidak sama antara kebodohan dan ilmu. Kemuliaan dalam Islam terletak dalam ilmu. Karena itulah, Islam menunjukkan keutamaan majelis ilmu dibandingkan majelis zikir. JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
ANAK YATIM DALAM PANDANGAN ISLAMApril 19, 2025Di antara misi terpenting Islam, bahkan —menurut Fazlur Rahman— di antara tema-tema utama Al-Quran, ialah membela, menyelamatkan, membebaskan, melindungi, dan memuliakan kelompok dhuafa atau mustadh’afin (yang lemah atau yang dilemahkan; yang menderita atau yang dibikin menderita). Dalam sebuah hadis qudsi diriwayatkan bahwa Allah hanya menerima shalat dari orang-orang yang “menyayangi orang miskin, ibnu sabil, wanita yang ditinggalkan suaminya, dan yang menyayangi orang yang mendapat musibah.” Ketika Nabi Musa as. bertanya kepada Allah Swt., “Tuhanku, di mana aku harus mencari-Mu?” Allah Azza wa Jalla menjawab, “Carilah Aku di tengah- tengah mereka yang hancur hatinya.” Di antara kelompok dhuafa inilah posisi anak yatim. Bila Al-Quran menyebutkan daftar kaum dhuafa, sering anak yatim menduduki urutan pertama. Kata yatim, yatama, dan turunan lainnya dari kata itu disebut 23 kali dalam Al-Quran, sedangkan kata “pembesar” (kabirukum, kabiruhum, kubaraná, akabir) hanya disebut 10 kali, itu pun dikaitkan dengan sifat- sifat negatif. Karena pembicaraan di sini berkisar tentang anak yatim dalam pandangan Islam, tugas saya hanyalah menyampaikan apa adanya menurut Al-Quran dan Sunnah; sebab, hanya itulah tolok ukur Islam. Dengan begitu, tentu pembicaraan saya bersifat doktriner, konseptual, dan “legalistik”. Saya ingin menampilkan nilai-nilai Islam dalam hal anak yatim ini sedapat mungkin utuh, tanpa kehadiran pemikiran kaum modernis. Yatim dalam Al-Quran Pokok-pokok pandangan Al-Quran tentang anak yatim dapat dikelompokkan sebagai berikut: Berbuat baik kepada yatim adalah salah satu tanda orang yang benar imannya, yang takwa, dan orang-orang yang baik (al-abrár),” Menyantuni yatim adalah kewajiban sosial setiap orang Islam, segera setelah ia mengetahui jalan yang baik dan jalan yang jelek dalam kehidupan. Membela yatim adalah salah satu usaha perjuangan Islam; inilah “menaiki bukit perjuangan” yang jarang dilakukan orang.” Problema sosial timbul karena empat sebab: tidak memuliakan yatim, tidak memberi makan orang miskin, memakan warisan (kekayaan) alam dengan rakus, dan mencintai harta benda secara berlebihan.” Perhatian terhadap kepentingan anak yatim termasuk yang diajarkan Nabi Khidhir as. kepada Nabi Musa as.” Urusan anak yatimlah yang menjadi asbabunnuzul ayat tentang poligami.” Anak yatim berhak mendapatkan bagian dari “khumus”, “fai”, dan “ghanimah”. “Ghanimah” diartikan barang rampasan perang oleh kaum Sunni, dan setiap hasil usaha menurut kaum Syi’ah. “Fai” dibagi-bagikan “supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya di antara kamu” 5. Bila orang membagikan harta warisan, diperintahkan agar sebagian diberikan kepada kerabat, anak yatim, dan orang miskin yang tidak mempunyai hak waris.” 6. Orang Islam disuruh berhati-hati dalam memelihara harta anak yatim, dengan tidak mencampurkannya dengan harta mereka sendiri.” Ketika para sahabat salah mengerti dan memisahkan makanan anak yatim dari makanan mereka sendiri, Allah mengingatkan bahwa bukan itu maksudnya. Disuruh-Nya mereka mencari cara yang paling baik untuk mengurus harta anak yatim.” Memakan harta anak yatim termasuk dosa besar. 7. Orang Islam dilarang mempermalukan anak yatim secara sewenang- wenang.” dilarang menghardik.” Ibnu Katsir mengartikan fa là taghar sebagai “janganlah engkau merendahkan dia, jangan membentak dia, jangan menghinakan dia, tetapi berbuat baiklah kepadanya dan sayangilah dia.” QS 107: 2 menyebutkan bahwa orang yang menghardik anak yatim adalah pendusta agama. Yatim dalam Sunnah Menyentuh dan mengusap anak yatim dipandang sebagai ibadah, suatu amal yang dapat melembutkan kekerasan hati. “Barang siapa meletakkan tangannya di atas kepala anak yatim dengan penuh kasih sayang, maka Allah akan menuliskan kebaikan pada setiap lembar rambut yang disentuh tangannya. “Sesungguhnya, seorang laki-laki mengeluh kepada Nabi Saw, karena hatinya yang keras. Nabi Saw, berkata, “Usaplah kepala yatim dan berilah makan orang miskin.” Orang yang memelihara anak yatim dijamin masuk surga. “Aku dan pemelihara anak yatim di surga seperti ini (dan beliau memberi isyarat dengan telunjuk dan jari tengahnya, lalu membukanya), “Barang siapa mengambil anak yatim dari kalangan Muslimin, dan memberinya makan dan minum, Allah akan memasukkannya ke surga, kecuali bila ia berbuat dosa besar yang tidak terampuni. Rumah yang paling baik ialah rumah yang di dalamnya ada anak yatim yang dimuliakan. “Sebaik-baiknya rumah kaum Muslim ialah rumah yang di dalamnya anak yatim diperlakukan sebaik-baiknya, dan sejelek-jeleknya rumah orang Islam ialah rumah yang di dalamnya anak yatim diperlakukan dengan jelek. Makanan yang dihadiri anak yatim tidak akan didekati setan. “Tidak mungkin seorang yatim ikut memakan jamuan makanan, lalu setan mendekati makanan itu.” Dianjurkan agar pemelihara anak yatim dipegang oleh orang yang kuat, secara intelektual, finansial, dan mental. Orang yang lemah hendaknya tidak dipercayai untuk mengurus harta anak yatim. “Ya Aba Dzar, aku melihat engkau lemah. Aku menyenangi untuk engkau apa yang kusenangi untuk diriku. Janganlah engkau menjadi amir walau hanya untuk dua orang, dan janganlah menjadi wali untuk harta anak yatim. Kesimpulan Syaikh Muhammad Abduh, pembaru Islam di Mesir, memberikan kesimpulan untuk pembicaraan kita. Ia berkata, “Allah berkali-kali menegaskan wasiat tentang anak yatim dalam Al-Quran dan Sunnah. Cukuplah bagimu untuk diketahui bahwa Al-Quran melarang menghardik anak yatim, dan mengancam dengan ancaman yang berat kepada orang: yang memakan harta anak yatim. Andaikata yang menjadi sebab itu ialah kemiskinan, tentu cukuplah disebut dalam kelompok miskin saja. Tidak, rahasia utamanya ialah anak yatim itu memerlukan rasa kasih sayang fitriah, untuk membantu, mendidik, dan memelihara hak-haknya…. Wasiat tentang anak yatim ini menegaskan bahwa masyarakat Islam harus mengurus anak yatim seperti mengurus anak mereka sendiri, mendidiknya dalam hal din dan duniawi, supaya mereka tidak rusak dan merusak orang lain. Qatadah menyimpulkan dengan kalimat pendek: “Jadilah orangtua penyayang anak-anak yatim.” JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
TANGAN YANG DICINTAI ALLAHApril 19, 2025Bulan Rabi’ul Awwal adalah bulan ekspresi kecintaan kepada Nabi Muhammad Saw. hari-hari pada bulan ini digunakan kaum Muslim untuk mengenangnya. Nabi memang pemimpin yang sangat dicintai dan dihormati pengikutnya. Ketika berwudhu, orang memperebutkan bekas air wudhunya. Ketika bercukur, para sahabat hampir berkelahi untuk memperoleh selembar rambutnya. Orang-orang dari berbagai lapisan berdesakan untuk sekadar mencium tangannya. Para pengikutnya menyimpan dengan penuh penghormatan benda-benda apa saja yang pernah disentuhnya: pinggan, piring, sandal, cincin, jubah, maupun tongkat. Setiap tahun jutaan kaum Muslim mengucapkan salam takzim di hadapan makamnya: Assalamu ‘alaika ayyuhan Nabiyyu wa rahmatullahi wa barakatuh. Salam itu diucapkan dengan suara parau disertai isakan dan linangan air mata. Kalau tidak dihalangi oleh para petugas, ingin setiap orang mencium paling tidak dinding makamnya. Pada suatu pertempuran, seorang sahabat menjilati luka Rasulullah Saw. Menjelang wafatnya, sahabat yang lain memeluk dan menciumi perutnya. Sesudah meninggal, Abu Bakar mencium wajah Nabi seraya berkata, “Engkau tetap indah, baik ketika engkau hidup maupun sesudah engkau wafat.” Fathimah, putrinya, setiap hari mencium tanah pusara ayahnya sambil bersyair: Apakah mungkin orang yang telah mencium tanah pusara Ahmad mau mencium wewangian lain sepanjang masa. Banyak orang ingin mencium paling tidak makamnya. Tetapi, siapakah yang tangannya pernah dicium oleh Nabi yang mulia? Paling tidak, ada dua orang yang tangannya, pernah dicium Nabi. Pertama, putrinya sendiri. Bila Fathimah datang, Nabi segera berdiri. Dia menjemput Fathimah, mengambil tangannya dan menciumnya. “Fathimah belahan nyawaku. Siapa yang membuatnya marah, ia pun membuatku marah. Siapa yang menyakitinya, ia pun menyakitiku,” katanya di hadapan sahabat-sahabatnya. Ketika anak-anak perempuan dihinakan dan bahkan dapat dibunuh pada waktu kecil, Nabi malah mencium tangan putrinya. Kedua, terdapat dalam kisah ini. Sa’ad Al-Anshari bercerita: Pada suatu hari seorang sahabat Nabi memperlihatkan tangannya yang hitam dan melepuh. Ketika Nabi Saw. menanyakan hal itu, ia berkata bahwa tangannya melepuh karena bekerja keras. Sahabat itu bekerja membelah tanah keras dengan kapaknya untuk mencari nafkah yang halal bagi keluarganya. Mendengar itu, Nabi yang mulia mengambil tangannya dan menciumnya. Seakan-akan Nabi ingin mengatakan kepada seluruh pengikutnya bahwa tangan yang melepuh karena kerja keras adalah tangan yang dicintai Allah. Turunlah Anda ke bawah. Anda akan melihat jutaan tangan yang menghitam karena mencari sesuap nasi. Tangan-tangan itu Anda dapatkan di pinggir jalan, pada para pedagang asongan; di tepi pantai, pada nelayan-nelayan kecil yang mengayuh perahunya bersaing dengan kapal-kapal penangkap ikan yang besar; pada para petani yang menantang panasnya matahari dengan mencangkul tanah yang makin lama makin tak subur; pada pegawai-pegawai pabrik yang menggerakkan mesin atau peralatan besi yang kasar tanpa perlindungan asuransi; pada sopir angkutan umum yang memutar kemudi mobilnya di sela-sela pungutan liar; pada tukang-tukang becak yang mengayuh becak mereka di daerah yang makin menyempit dan di sela-sela para petugas penertiban yang makin banyak. Ya Rasulullah, setelah engkau, siapakah gerangan pemimpin yang akan mencium tangan mereka? JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Menjauhi Dosa demi Kesehatan JiwaApril 17, 2025Bertolak dari ajaran Al-Quran dan sunnah Nabi Saw., para sufi merumuskan tiga tahapan perjalanan (disebut dengan suluk) dalam mendekati Allah Swt.: takhalli, tahalli, dan tajalli. Tahapan perjalanan para sufi yang disebut dengan tajalli adalah pengalaman puncak yang dicari para pencinta Tuhan. Inilah tahapan ketika Allah tidak lagi merupakan abstraksi, bukan pula Zat yang hanya diketahui melalui ayat-ayat-Nya, melainkan “disaksikan” dan dirasakan kehadiran-Nya. Keagungan-Nya tidak lagi dibaca, tetapi “dilihat”; keindahan-Nya tidak lagi dibuktikan, tetapi “dinikmati”. Erat kaitannya dengan tajalli, Ibn ‘Arabi membagi se mua yang ada di dunia ini menjadi Huwa (Dia) dan La Huwa (Bukan Dia). Layangkan pandangan ke sekitar kita. Apa yang kita saksikan? Kita akan melihat matahari, pepohonan, hewan, bebatuan dan sebagainya. Orang awam melihat semuanya sebagai La Huwa, segala sesuatu yang tidak merupakan Allah Swt. Padahal dalam Al-Quran, Allah Swt. berfirman, ke mana pun kalian hadapkan wajah kalian, di sana ada wajah Allah (QS Al-Baqarah : 115). Seorang sufi yang melayangkan pandangan ke sekitarnya tidak akan melihat apa pun, kecuali Allah. Segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah Huwa. Karena ihwal diri kita yang kotor atau karena diri kita belum dihias dengan sifat-sifat Tuhan, kita tidak dapat menemukan penampakkan Allah pada segala sesuatu yang kita lihat. Dia menjadi tidak terlihat bagi kita. “Penampakkan” Tuhan itulah yang terjadi pada tahapan tajalli. Ketika kita sampai pada tingkatan tajalli, ke mana pun kita arahkan wajah, kita hanya akan melihat Tuhan. Oleh karena itu, bersihkan diri kita terlebih dahulu, kemudian hiasi diri kita dengan akhlak Tuhan, baru kita bisa melihat Tuhan. Membersihkan diri disebut takhalli, menghias diri dengan akhlak Tuhan disebut tahalli, dan melihat penampakkan Tuhan disebut tajalli. Untuk mampu mencapai tahapan-tahapan itu, ilmu tasawuf memberikan jalannya. Dalam literatur tasawuf, salah satu langkah pertamanya disebut dengan wara’. Wara’ merupakan langkah kecil bagi kekasih Tuhan, tetapi langkah besar bagi pemula perjalanan tasawuf. Ibn Qayyim Al-Jawziyyah, dalam Madárijus Sâlikin, membagi sikap wara’ ke dalam tiga tahap. Pertama, tahap meninggalkan kejelekan. Kedua, tahap menjauhi hal yang diperbolehkan karena khawatir jatuh pada yang dilarang. Dan ketiga, tahap menjauhi segala sesuatu yang membawa orang kepada selain Dia. Masih menurut Ibn Qayyim, tahap yang pertama, yaitu meninggalkan kejelekan, mem- punyai tiga fungsi: perlindungan diri, peningkatan ke- baikan, dan pemeliharaan iman. Marilah kita melihat secara psikologis ketiga fungsi ini. Setiap kejelekan yang kita lakukan akan berbekas ke dalam hati. la akan menjadi noktah hitam yang mengotori hati. Makin banyak kejelekan itu dilakukan — apalagi secara terus-menerus –hati bukan saja menjadi kotor, ia bahkan telah menjadi kotoran itu sendiri. Allah Swt. berfirman: Apa yang telah mereka kerjakan itu menjadi karat bagi hati mereka (QS Al-Muthaffifin : 14) Pada permulaan abad dua puluh, Sigmund Freud menemukan hal menarik dalam perkembangan manusia. la melihat anak-anak kecil bertindak secara impulsif. Mereka melakukan apa saja yang mereka inginkan, tanpa terkendali. Mereka hanya mengejar kesenangan tanpa batas. Mereka menjadi budak-budak nafsu. Setelah agak besar, anak-anak mulai memerhatikan hukuman dan ganjaran dari orang-orang dewasa di sekitarnya. Perilakunya mulai tunduk pada kontrol dari luar. Ia akan melakukan apa saja yang mendatangkan kesenangan dan menghindari apa saja yang mengakibatkan kesusahan. Setelah lebih besar lagi, anak-anak mulai mengembangkan kontrol dari dalam. la mulai menyerap dan menginternalisasikan nilai, moral, dan etika masyarakatnya. la berperilaku bukan karena takut siksaan atau karena mengharap ganjaran. Ia berperilaku karena apa yang “seharusnya” ia lakukan. Untuk ketiga tahap perkembangan ini, Freud menciptakan tiga konsep. Pada tahap pertama, anak sepenuhnya diatur oleh id, sumber hasrat, keinginan, dan nafsu. Pada tahap kedua, ia melihat realitas di sekitarnya. Perilakunya diatur oleh ego. Pada tahap yang ketiga, ia diatur oleh hati nuraninya (Freud menyebutnya superego). Setiap kali manusia menentang superegonya, setiap kali ia melakukan pelanggaran nilai-nilai etik atau moral (dalam istilah sufi, setiap kali ia melakukan kejahatan atau dosa), ia akan mengalami kegelisahan (kaum psikoanalisis menyebutnya moral anxiety). Konflik dengan superego akan menimbulkan luka psikologis yang dalam. Mungkin luka ini dibenamkan ke dalam bawah sadar kita, tetapi ia tidak akan pernah hilang. la akan menghantui seluruh hidup kita. Perasaan berdosa (guilty feeling) menimbulkan gangguan fisik dan psikologis. Pada saat demikian, diri Anda rusak. Para psikolog me nyebut kerusakan ini sebagai anxiety disorder. Seorang penderita anxiety disorder menceritakan perasaannya sebagai berikut: Aku sering terganggu dengan detak jantungku. Gangguan kecil saja merangsang sarafku dan menyiksaku. Aku sering tiba-tiba dilanda ketakutan tanpa alasan yang jelas. Aku terus-menerus cemas dan putus asa. Aku sering merasa sangat lelah dan betul-betul kehabisan tenaga. Aku selalu sulit mengambil keputusan. Sepertinya aku takut pada segala hal. Aku merasa gugup dan tegang terus-menerus. Aku tidak dapat mengatasi kesulitanku. Aku terus-menerus merasa tertekan. Bersamaan dengan gangguan psikologis tersebut, ia juga akan menderita gangguan fisik seperti kesulitan konsentrasi, keluar keringat dingin, tidak bisa tidur, kelelahan, sesak napas, kepala pusing, dan sebagainya. Jika Anda mengalami hal yang sama, berarti Anda menderita anxiety disorder. Anda sedang mempercepat kehancuran diri Anda sendiri. Salah satu penyebab semua gejala itu adalah perasaan bersalah. Perasaan bersalah timbul jika Anda banyak melakukan kesalahan, kejelekan, atau dosa. Oleh karena itu, menjauhi perbuatan jelek pada hakikatnya adalah menjaga diri dari kerusakan fisik dan psikologis. Inilah fungsi pertama menjauhi kejelekan (pada tahap pertama), yaitu pemeliharaan diri. Di samping pemeliharaan diri, upaya menjauhi kejelekan akan membantu dalam peningkatan kebaikan. Dengan melakukan banyak dosa, kebaikan Anda akan hilang. Jika Anda rajin bangun tengah malam, senang membaca Al-Quran, dan suka menghadiri majelis taklim, tetapi pada saat yang sama Anda juga senang menggunjingkan orang lain, menyebarkan cacian atau fitnah tentang orang-orang yang tidak sepaham, dan mengambil sebagian amanat tanpa hak, maka semua amal itu menjadi binasa. Menurut ajaran Islam, semua kejelekan yang Anda lakukan itu menghapus semua kebaikan. Anda membangun, sekaligus menghancurkan. Inilah yang diperingatkan Al-Quran: Janganlah kamu berperilaku seperti perempuan yang mengurai tenunannya setelah ia memintalnya dengan teguh. Oleh karena itu, jika Anda menghentikan kejelekan, perbanyaklah kebaikan. Tanaman amal saleh akan rusak karena hama kesalahan. Inilah fungsi kedua dari menjauhi kejelekan, yaitu meningkatkan kebaikan. JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...

Buku Karya KH. Jalaluddin Rakhmat

« of 2 »

Videografi

This error message is only visible to WordPress admins

Unable to retrieve new videos without an API key.

Error: No videos found.

Make sure this is a valid channel ID and that the channel has videos available on youtube.com.

Audiografi

UJR-MFR

“Jangan remehkan racun walau setetes. Jangan remehkan dosa sekecil apapun”

​KH. Jalaluddin Rakhmat
@katakangjalal

Contact Jalan Rahmat

Jl. Kampus II No. 13-15. Kiaracondong. Bandung