Warisan intelektual

untuk perkhidmatan

dan pencerahan pemikiran

0
Quotes
0
Articles
0
Videos
0
Audios

Jalan Rahmat

Misi Kami

Di Jalan Rahmat, kami berusaha menghadirkan kembara intelektual itu. Perjalanan dan pengelanaan beliau mengarungi ‘jagat’ semesta itu. Ada dokumentasi karya beliau. Puluhan buku, ratusan artikel, ribuan ceramah. Ada rekaman audio dan video. Ada pula karya-karya para guru bangsa, baik sahabat karib Allah yarham, para intelektual sezaman, maupun karya-karya para ulama besar yang mempengaruhi jagat kembara intelektual beliau. Jalan Rahmat adalah sebuah digital library yang ingin menghadirkan kembali semangat intelektual itu.

Jalaludin Rakhmat - Tauziah
Digilib

Donasi dan Beasiswa

Donasi dan Beasiswa untuk sekolah, madrasah, klinik, dan ragam kegiatan lainnya.

tauziyah

Digital Library

Kumpulan Ceramah, Artikel, Buku, Video dari para Guru Bangsa.

healthcare

Jalan Kecintaan

Warisan terutama dan teramat berharga dari Allah yarham adalah mengantarkan kami dan kita semua pada jalan menuju kerinduan dan kecintaan Sang Rahmatan lil ‘alamin. Itulah makna Jalan Rahmat yang sesungguhnya.

Latest Post

Bereskan Istilah, Cerahkan PemikiranJune 15, 2025Toshihiko Izutsu, profesor linguistik dari Jepang, pernah mengusulkan pendekatan semantik dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Bermula dari teori Sapir-Whorf yang menyatakan ada hubungan antara pikiran dengan bahasa, Izutsu menjelaskan bagaimana Al-Qur’an mengubah pemikiran orang-orang Arab dengan memperkaya makna dari kata-kata Arab. Al- Qur’an banyak menggunakan istilah-istilah yang sudah lazim dipakai oleh masyarakat Arab Jahiliah. Tetapi istilah-istilah itu diperkaya maknanya lebih dari sekadar konsep-konsep yang dipahami selama ini. Dengan memperkaya makna kata, Al-Qur’an mengubah pandangan hidup bangsa Arab. Ambillah kata ‘Allah’ . Semula bangsa Arab mengenal makna ‘Allah’ sebagai Tuhan pencipta langit dan bumi saja. Latta dan Uzza adalah juga tuhan-tuhan, hanya saja mereka tidak menciptakan langit dan bumi. Kemudian Al-Qur’an datang, memberikan makna baru pada Allah. Allah bukan saja pencipta, tetapi juga pengatur, pemelihara. Allah juga hakim, yang menetapkan sejumlah hukum untuk mengatur kehidupan hamba-hambanya. Allah juga Penguasa yang memanggil orang untuk masuk dalam wilayah kekuasaannya. Makna-makna baru ini, yang tampak dari bidang semantik yang disajikan Al-Qur’an, memperluas cakrawala pemikiran bangsa Arab. Begitu pula kata ‘taqwa. Mungkin mula-mula bangsa Arab hanya menggunakannya dalam pengertian ‘takut’ atau ‘penjagan’ (dari kata ‘wiwayah’). Al-Qur’an memperkaya makna taqwa. Dari berbagai ayat Al-Qur’an, kita menemukan orang-orang taqwa diberi kata sifat yang sangat kaya: menegakkan salat, memberikan infaq dalam suka dan duka, memaafkan orang lain, berbuat baik, dan lain-lain. Kata ‘mukmin’ bukan saja berarti orang yang percaya, tetapi juga orang yang khusyuk dalam salat, yang menghindari perbuatan yang tidak bermanfaat, yang memenuhi janji dan amanatnya, dan seterusnya. Berdasarkan pada teori ini, Al-Qur’an mengubah cara berpikir orang dengan memperkaya istilah yang dipergunakannya. Ketika kita menyaksikan berbagai masalah yang dihadapi umat Islam sekarang, mungkinkah kita melacak masalah-masalah itu dari kekacauan makna terhadap istilah-istilah yang selama ini kita pergunakan? Bila Al-Qur’an memperkaya makna, mungkinkah kita selama ini justru mempersempit makna? Atau kita telah memberikan makna lain daripada makna sebagaimana diberikan Al-Qur’an? Kata ‘taqdir’ misalnya. Dalam konteks Al-Qur’an, taqdir adalah hukum-hukum Allah dalam alam semesta yang bersifat fisik: peredaran matahari dan bulan, perputaran gemintang, penciptaan manusia. “Dan bulan kami taqdirkan posisi-posisinya. Inilah taqdir Allah yang Mahagagah dan Maha Mengetahui” (Al-Qur’an). Di tengah-tengah umat Islam sekarang ini, ‘taqdir’ berarti nasib manusia yang sudah ditentukan Allah, yang tidak bisa diubah atau diganti, yang harus diterima betapa pun jeleknya. Karena perpindahan makna ini, maka kaum muslim yang seharusnya berpikiran ilmiah menjadi kaum yang fatalis. Marilah kita lihat contoh-contoh yang lain. Bid’ah Salah satu istilah yang pernah terkenal dan cukup menggoncangkan masyarakat adalah ‘bid’ah’. Pada mulanya, dari hadis-hadis Nabi Saw. Bid’ah selalu dipertentangkan dengan sunnah, Jadi, berdasarkan pada bidang semantiknya, maka definisi bid’ah ialah segala hal yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah Saw. Bila nikah adalah sunnah, maka tidak mau menikah (bukan tidak mampu menikah) adalah bid’ah. Sunnah Nabi Saw. adalah mencintai orang-orang miskin; dan bid’ah adalah membenci mereka. Sunnah Rasul ialah berbuat baik dengan tetangga dan bid’ah ialah mengganggu tetangga. Nabi mencontohkan perilaku yang menghargai perbedaan pendapat, karena perbedaan penafsiran dan pemahaman (seperti ditunjukkan dalam kasus dua orang sahabat yang setelah melakukan salat dengan tayammum, kemudian menemukan air). Kita mengkafirkan pendapat yang berbeda dengan pendapat kita. Yang dilakukan Nabi Saw. adalah sunnah dan yang kita lakukan adalah bid’ah. Begitu makna bid’ah yang asli. Sekarang kita menyempitkan pengertian bid’ah itu. Bila semula bid’ah itu meliputi baik bidang ibadah maupun muamalah, baik berkenaan dengan hal-hal ritual maupun sosial, sekarang bid’ah itu dibatasi hanya pada urusan ibadah saja. Jemaah masjid bisa bertengkar memperebutkan apakah tarawih 23 raka’at itu bid’ah, tetapi membiarkan bid’ah dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Belakangan definisi bid’ah itu makin menyempit lagi. Bid’ah adalah paham golongan kita. Kita berpendapat bahwa qunut itu hanya dilakukan pada waktu terjadi musibah saja (yakni qunut nazilah), dan golongan lain berpendapat qunut harus dilakukan setiap kali salat subuh. Kita sebut pendapat kita sunnah dan pendapat golongan lain itu bid’ah. Kita tidak menyadari bahwa perbedaan pendapat itu terjadi karena perbedaan hadis yang dipilih saja. Kita tahu bahwa bid’ah itu sesat dan kesesatan itu di neraka. Dengan definisi bid’ah yang sudah kita sempitkan itu, kita memandang orang yang berbeda pendapatnya dengan kita sebagai orang sesat dan pasti masuk neraka. Ada sebagian orang yang mempersempit makna akidah sebagai pendapat golongannya. Jadi orang yang tidak sependapat dianggapnya tidak seakidah. Tidak jarang kita mengeluarkan ahli bid’ah’ atau yang berbeda akidahnya ‘ ̶ menurut definisi yang sempit itu ̶ dari lingkungan kaum muslim. Mereka bukan saja dipandang ‘bukan ikhwan’, tetapi juga diperlakukan sebagai musuh. Bila perlu, kita menggunakan fitnah, berita dusta, dan segala macam cacian, yang tidak layak dinisbahkan kepada sesama muslim. Sebuah majalah Islam, yang menggunakan nama yang mulia dari ayat Al-Qur’an, As-Sabiqunal Awwalun, pernah mengkhususkan seluruh isi majalah itu untuk mencaci dan mengkafirkan golongan yang tidak sepaham dengan kebijaksanaan (atau kejahilan) pengelola majalah itu. Tanpa perasaan bersalah sedikit pun, majalah itu (tentu saja berdasarkan imajinasi yang merupakan satu-satunya kepandaian penulisnya) melukiskan seorang wanita berjilbab yang menderita penyakit kelamin. Konon, menurut penulis pada majalah itu, ia menderita penyakit itu karena sering mengunjungi pengajian Jalaluddin Rakhmat. Fitnah keji itu dianggap halal hanya karena Jalaluddin dianggap ahli bid’ah, yang berbeda akidahnya dengan mereka. Ketika seorang direktur rumah sakit Islam bermaksud untuk mendirikan poliklinik bagi orang- orang yang tidak mampu, pimpinan organisasi yang mengelola rumah sakit itu melarangnya. Alasannya sederhana: poliklinik itu didirikan bekerja sama dengan sebuah pesantren yang dipandang sebagai ahli bid’ah, yang berbeda akidah dengan organisasi tersebut. Pimpinan organisasi tidak merasa beramal ‘salah’, menghalangi orang untuk beramal ‘saleh’. Mereka menganggap perbuatan itu sebagai upaya memelihara sunnah dan membasmi bid’ah. Peristiwa-peristiwa itu akan terus berulang. Kaum muslim dirugikan berkali-kali. Banyak orang menyebut krisis itu sebagai krisis ukhuwwah di kalangan Islam. Menurut Izutsu, semuanya ini bermula dari krisis berpikir, karena kerancuan makna. Dari Izutsu, kita memperoleh pelajaran berharga: Bereskan istilah, cerahkan pemikiran. JR wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Amirul Mu’minin Imam Ali bin Abi Thalib as.June 14, 2025Bila Anda membaca beberapa kitab, Anda akan menemukan banyak riwayat yang menyebutkan tentang hari kesyahidan Imam Ali. Riwayat yang paling masyhur adalah pada tanggal 19 Ramadhan. Ketika beliau sedang shalat subuh, Abdurrahman bin Muljam menebaskan pedangnya dari belakang tepat mengenai kepala beliau. Beliau lantas tersungkur di mihrabnya. Beberapa hari setelah itu, tepatnya pada tanggal 21 Ramadhan, Imam Ali menghembuskan nafasnya yang terakhir. Imam Ali adalah tokoh besar di kalangan kaum Muslimin, yang oleh George Jordac disebut sebagai “Suara Keadilan Umat Manusia”. Gibson –salah seorang sejarawan yang banyak menulis buku, salah satu bukunya adalah Kejatuhan Romawi- berkata tentang Imam Ali, “Ali adalah pahlawan yang dianugerahi oleh Allah kepiawaian dalam bermain pedang dan kepiawaian (kefasihan) dalam menggunakan bahasa.” Agak jarang hal ini terjadi. Kebanyakan prajurit yang tangguh adalah orang yang memiliki otot yang kuat, tetapi otak yang kecil. Atau orang yang memiliki otak yang cerdas, umumnya mempunyai otot yang kecil. Imam Ali adalah orang yang menggabungkan kedua-duanya. Tidak perlu kita mengisahkan secara panjang tentang kepiawaian Imam Ali dalam bermain pedang ini. Kita sudah mengetahuinya semua. Tidak ada seorang musuh pun yang melakukan perang tanding berhadapan dengan Imam Ali kembali dalam keadaan hidup, kecuali kalau Imam Ali melepaskannya dari cengkeraman maut. Dalam satu peperangan, ketika Imam Ali maju menantang untuk bertarung dengannya, Mu’awiyah yang memimpin pasukan yang lain meminta agar Amr bin Ash menghadapinya. Amr bi Ash mengatakan, “Mestinya Anda yang menghadapi dia.” Lalu Mu’awiyah berkata, “Demi Allah, Anda pun tahu, tidak seorang pun menghadapi Ali kembali dalam keadaan hidup.” Akhirnya Amr bin Ash pergi juga menghadapi Ali. Dan Amr bin Ash pun memang roboh. Tetapi ketika Imam Ali hendak memberikan pukulan terakhir, Amr bin Ash membuka auratnya dan Imam Ali membalikkan wajahnya meninggalkan Amr bin Ash dalam keadaan hidup. Imam Ali sering disebut dengan doa di belakang namanya “karramallahu wajhahu” (semoga Allah memuliakan wajahnya), karena beliau tidak pernah mau memandang aurat, bahkan menurut sebagian riwayat, auratnya sendiri. Bandingkan dengan mereka yang mengaku sebagai pengikut Imam Ali, tetapi menonton pertunjukan aurat –itu pun kadang dengan membayar. Para jago perang di seluruh dunia memanggil nama Imam Ali sebagai sumber keberanian perjuangan mereka. Kalau Imam Ali ternyata ditebas pedang dan disebut “kalah”, itu pun ketika beliau sedang melakukan shalat subuh dan diserang dari belakang. Tidak pernah ada luka di bagian depan tubuh Imam Ali. Kebanyakan lukanya karena orang menyerangnya dari belakang. Seperti diramalkan Rasulullah saw, ketika turun ayat Al-Quran Surah Al-Syams, Allah mengingatkan, “Ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka, lalu Rasul Allah berkata kepada umatnya, “Peliharalah unta betina Allah itu dan air minumnya, lalu mereka mendustakannya dan menyembelih unta itu. Maka Tuhan mereka membinasakan mereka disebabkan dosa mereka, lalu Allah menyamaratakan mereka. Dan Allah tidak takut terhadap akibatnya.” (QS. Al-Syams :12-14). Rasulullah menyebutnya, “Asyqâ al-Awwalîn” (orang yang paling celaka pada zaman dahulu), tahukah kamu “Asyqâ al-Âkhirîn” yaitu orang yang paling celaka dari umat yang akan datang? Orang itu adalah orang yang membasahi janggut Abu Al-Hasan –panggilan Imam Ali- dengan darahnya.” Jadi Abdurrahman bin Muljam adalah “Asyqâ al-Âkhirîn”. Imam Syafi’i –pemimpin mazhab besar khususnya bagi orang Muslim di Indonesia- pernah berkata, “Aku takjub menyaksikan seorang tokoh, yang keutamaannya disembunyikan oleh musuh-musuhnya karena kedengkian, dan keutamaannya disembunyikan oleh pecintanya karena ketakutan, tetapi darinya keluar kumpulan hadits yang memenuhi satu kitab.” Jadi keutamaan Imam Ali oleh para musuh-musuhnya disembunyikan karena dengki. Kadang-kadang dengan memindahkan hadits-hadits keutamaan Imam Ali kepada sahabat-sahabat yang lain. Al-Shiddiq, yang semula gelar Imam Ali pindah ke sahabat yang lain. AL-Faruq, yang semula juga adalah gelar Imam Ali pindah juga kepada sahabat yang lain. Dzun al-Nurayn, pindah dari Imam ke sahabat yang lain. Banyak gelar Imam Ali dipindahkan oleh musuh-musuhnya untuk menutupi keutamaan Imam Ali karena kedengkian musuh-musuhnya. Dan pecintanya menyembunyikan keutamaan Imam Ali, karena ketakutannya. Imam Turmudzi sempat mengumpulkan hadits tentang keutamaan Imam Ali, yang diberi nama Manâqib Imam Ali, satu jilid besar. Ketika dia sampai di suatu daerah di Iran zaman dahulu, orang-orang mengetahui bahwa beliau mengumpulkan hadits-hadits tentang keutamaan Imam Ali. Mereka mengelilinginya lalu bertanya padanya, “Katanya, engkau mengumpulkan hadits-hadits tentang keutamaan Imam Ali, coba sebutkan hadits-hadits yang mengatakan keutamaan Mu’awiyah.” Turmudzi menjawab, “Saya belum menemukan hadits tentang keutamaan Mu’awiyah kecuali satu saja.” Ketika didesak supaya yang satu itu pun disebutkan, Turmudzi lalu mengatakan, “Suatu hari Rasulullah saw menyuruh Abdullah bin Abbas memanggil Mu’awiyah. Ibnu Abbas pergi dan tidak lama dia balik lagi memberitahu kepada Nabi bahwa Mu’awiyah sedang makan. Kali yang kedua, Rasulullah menyuruhnya untuk memanggilnya lagi dan Mu’awiyah sedang makan. Sampai ketiga kalinya, Mu’awiyah tidak bisa datang karena sedang makan. Waktu itulah Rasulullah mendoakan Mu’awiyah, “Mudah-mudahan Allah tidak pernah mengenyangkan perutnya”. Itu satu-satunya hadis tentang keutamaan Mu’awiyah. Memang kelak sesudah itu, Mu’awiyah meninggal dunia karena kekenyangan. Mendengat hadits yang menyebutkan Mu’awiyah seperti itu, massa ramai-ramai menghakimi Turmudzi. Dia diinjak-injak –maaf- bahkan pada bagian vitalnya. Kemudian Turmudzi diangkut dan meninggal di suatu tempat yang bernama Rey, yang sekarang bernama Teheran. Turmudzi wafat lantaram meriwayatkan keutamaan Mu’awiyah dan keutamaan Imam Ali dengan cara yang berbeda. Jadi, dahulu orang-orang takut meriwayatkan keutamaan Imam Ali. Saking takutnya. Sampai ada seorang ahli hadits di Kufah, ketika meriwayatkan hadits dan harus menyebutkan sanadnya –diterima dari siapa hadits itu- sampai kepada Imam Ali, dia tidak menyebutkan nama Imam Ali tetapi dia menyebutkan “an Abi Zainab”, dari Bapak Zainab. Orang-orang pun penasaran siapa Abi Zainab itu? Ahli hadits itu tidak pernah memberitahukan kecuali menjelang akhir hayatnya. Dia katakan bahwa Abu Zainab yang dimaksud adalah Imam Ali. Ada juga seorang ahli ilmu yang kebetulan diberi nama oleh ayahnya dengan nama Ali. Tetapi karena dia dibenci banyak orang lantaran namanya, dan khawatir diadili, dia mengganti namanya menjadi “Uli”. Tulisannya masih tetap dengan huruf ‘ain, lam, ya, tetapi di atas huruf ‘ain dia tulis dhommah dan menjadi ‘Uli. Imam Ali adalah imam yang paling menderita. Beliau sering dikhianati oleh sahabat-sahabatnya sendiri. Beliau dimusuhi oleh sesama kaum Muslimin, sehingga dalam doa ziarah kepadanya, kita mengucapkan, “Wahai Imam, engkau telah dikhianati…” Saya tidak ingin menceritakan penderitaan Imam Ali kecuali sedikit saja. Imam Ali adalah pemimpin yang “kesepian”, karena kepandaiannya. Sementara kecenderungan umatnya waktu itu cenderung mengikuti orang-orang bodoh. Dalam setiap zaman, memang kebanyakan orang cenderung mengikuti orang yang bodoh. Mereka mengikuti para pendongeng. Padahal Imam Ali –yang disebut oleh salah seorang penulis dari Malaysia sebagai “Seorang Intelektual Muslim Pertama”- amatlah cerdas dan sekaligus cemas melihat umatnya lebih terpengaruh oleh para pendongeng. Beliau cemas lantaran melihat umatnya lebih mau bertanya kepada orang-orang yang dalam keilmuannya masih dangkal, bahkan pertemuannya dengan Rasulullah pun masih diragukan. Saking cemasnya, sampai-sampai Imam Ali berkata di hadapan jamaahnya, “Tanyakan aku sebelum kalian kehilangan aku. Aku mengetahui Al-Quran itu, apakah turun di lembah atau di bukit.” Imam Ali adalah imam yang fasih berbicara tetapi tidak pernah mengumbar kata-kata yang tidak perlu. Setiap ucapannya sangat bernilai. Pendek-pendek, puitis dan berbobot. Misalnya, “Athi’il âqila taghnam, wa’shil jâhila taslam”. Artinya, “Turutilah orang yang pintar nanti kamu beruntung, dan bantahlah orang yang bodoh nanti kamu selamat.” Atau ucapan beliau yang lain, “Man sâ’a tadbîruhu, ta’ajjala tadmîruhu”, artinya “Barangsiapa yang perencanannya jelek, pasti cepat kehancurannya.” Kalimat pendek dari Imam Ali, tetapi amat berisi ini dapat dijumpai dalam buku khusus. Buku yang mengumpulkan kata-kata hikmah Imam Ali itu bernama Ghurar al-Hikam. Imam Ali adalah orang yang paling tahu bahwa dari dahulu orang lebih senang kepada yang dangkal-dangkal saja. Orang Arab yang baru lepas dari zaman kejahilan lebih senang dengan kebodohan ketimbang ilmu pengetahuan. Karena itu, kepada para pengikutnya Imam Ali berwasiat agar selalu mencintai ilmu pengetahuan. Ketika hendak memerangi orang-orang Khawarij, Imam Ali lebih dahulu mengajak mereka dialog untuk memelihara darah kaum Muslimin. Kemudian orang Khawarij mengutus tujuh orang untuk bertanya kepada Imam Ali dengan satu pertanyaan saja. Mana yang lebih utama ilmu atau kekayaan? Orang yang pertama datang, dan dijawab Imam Ali, “Ilmu itu lebih utama, karena ilmu itu menjaga kamu, sementara kamu menjaga harta.” Yang kedua datang dengan pertanyaan sama, lalu dijawab oleh Imam Ali, “Ilmu itu lebih utama, karena ilmu akan bertambah bila dibagi-bagikan, sementara harta akan habis bila dibagi-bagikan.” Sampai orang yang ketujuh bertanya dengan pertanyaan yang sama, sementara Imam Ali menjawab dengan tujuh macam jawaban yang berbeda. Akhirnya orang Khawarij ini takjub karenanya, mereka pun memutuskan, “Orang semacam ini jangan diajak berdialog, tetapi harus diajak berperang saja.” Lalu terjadilah perang. Jadi, Imam Ali sangat menekankan akan pentingnya ilmu pengetahuan. Beliau ingin para pengikutnya menjadi pecinta-pecinta ilmu pengetahuan. Memang untuk penjadi pecinta ilmu pengetahuan dibutuhkan ketekunan dan kesabaran. Dalam Al-Quran kita tidak boleh membeda-bedakan manusia kecuali karena ilmunya. “Apakah sama orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu…” (QS. Al-Zumar :9). Dan dalam hadits disebutkan bahwa, “Memandang wajah orang yang berilmu itu adalah ibadah”. Itulah ajaran Islam yang mendidik kita untuk mencintai ilmu pengetahuan. Saya pernah menyebutkan bahwa mazhab Ali adalah mazhab cinta. Sekarang saya ingin mengatakan juga bahwa mazhab Ali adalah mazhab ilmu. Sepanjang sejarah, bila Anda membaca tulisan Sayyid Baqir Shadr, banyak tokoh ilmu pengetahuan dunia sepanjang sejarah Islam berasal dari para pengikut Imam Ali. Jabir bin Hayyan yang kelak menjadi tokoh fisika, seorang ahli optik, adalah pengikut Imam Ali. Ibnu Sina, seorang tokoh kedokteran dan tokoh ilmu pengetahuan adalah salah seorang pengikut Imam Ali. Ketika dunia Islam mengalami kehancuran akibat serangan tentara Mongol, ada sekelompok orang Islam yang mengadakan semacam tarekat secara sembunyi-sembunyi. Mereka menyebut dirinya Ikhwan al-Shafa. Di dalam Ikhwan al-Shafa, mereka mempelajari filsafat Yunani dan memperlajari ilmu pengetahuan dan menemukan penemuan-penemuan baru dalam sains dan teknologi. Mereka ini adalah para pecinta Imam Ali. Sepanjang sejarah para pecinta Imam Ali adalah pecinta ilmu pengetahuan. Imam Ali memang meminta para pengikutnya untuk mencintai ilmu pengetahuan dan menjauhi kebodohan. Menurut Imam Ali, kalau manusia di dunia tidak merasa puas dengan kebodohan, pastilah orang itu akan menjadi orang shaleh. Karena itu juga, dalam mazhab Imam Ali, untuk acara-acara keagamaan, seperti Nisfu Sya’ban, malam Laytlat al-Qadr, dan acara-acara keagamaan yang lain, diharuskan adanya majelis ilmu disamping majelis zikir. ​ Saya mengakhiri pembahasan ini dengan sebuah ucapan singkat dari Imam Ali, “Al-‘ilmu yunjîka, wa al-jahlu yurdîka”, artinya, “Ilmu itu menyelamatkanmu dan kebodohan itu menjatuhkanmu.” JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). *) Dikutip dari tulisan Mengenang syahadah Amirul Mu’minin Imam ‘Ali bin Abi Thalib as. [...] Read more...
ISLAM, SAINS, DAN TEKNOLOGIJune 13, 2025Tafakur adalah berefleksi, berpikir tentang dan menemukan hukum-hukum alam; tasykir adalah memperoleh penguasaan atas alam (dengan teknologi). Keduanya, sepanjang zaman, merupakan dorongan terpadu seluruh umat manusia. Adalah keagungan Islam bahwa Al-Quran, dengan perintah yang diulang berkali-kali, mengandung suruhan untuk bertafakur dan ber-tasykir (mengejar sains dan teknologi) sebagai kewajiban atas masyarakat Muslim.” Pernyataan di atas dikutip dari tulisan Abdus Salam, pemenang Hadiah Nobel 1979 dalam ilmu fisika. Abdus Salam adalah ilmuwan Muslim yang pada 1960-an, bersama Steven Weinberg dan Sheldon Glashow, mengembangkan “teori medan gabungan” (unified field theory); suatu teori yang menyatakan bahwa semua gaya yang ada di dunia bermula dari satu single force, bahwa pada saat terjadi Big Bang, kira-kira 15 miliar tahun yang lalu, gaya elektromagnetik pernah berpadu dengan gaya nuklir lemah. Teori ini juga meramalkan adanya serangkaian partikel, vektor boson yang membawa gaya lemah. Pada 1983, suatu tim yang dipimpin Carlo Rubbia, dari Harvard University, membuktikan kebenaran teori Abdus Salam dengan penemuan dua partikel, “W” dan “Z”. Walaupun teori unifikasi gaya ini menarik untuk dikaji, terutama karena ada hubungannya dengan tauhid dan kefanaan diri kita, saya tidak bermaksud membicarakannya sekarang. Saya hanya ingin menggarisbawahi kenyataan bagaimana Al-Quran telah mengantarkan seorang Muslim pada penemuan sains dan teknologi yang menakjubkan. Seakan-akan saya melihat Islam, sains, dan teknologi berpaut erat dalam diri Abdus Salam. Dalam diri Abdus Salam, tafakur dan tasyakur telah memperoleh makna baru. Ada lima pendekatan dalam membicarakan hubungan Islam, sains, dan teknologi: Menunjukkan bagaimana Islam mendorong, membangkitkan, merangsang, dan mengilhami penemuan sains dan teknologi. Artikel Abdus Salam yang kita kutip sebelumnya merupakan contoh pendekatan ini. Pendekatan ini sudah sering dilakukan orang. Kitab-kitab di pesantren, sejak “Kitâb Al-‘Ilmi” dalam Miftah Al-Khithâbah wa Al-Wa’zh, atau “Kitâb Al-‘Ilmi” dalam Taisir Al-Wushûl, sampai “Kitâb Al-‘Ilmi” dalam Ihya’ ‘Ulûm Ad-Din, membicarakan hal ini dengan merujuk kepada Al-Quran dan hadis. Mengulas sumbangan umat Islam bagi perkembangan sains dan teknologi. Ini pun sudah banyak dibicarakan. Mohammad Natsir, ulama pejuang kemerdekaan Indonesia, sudah melakukannya, bahkan sejak zaman penjajahan dahulu. S.I. Poeradisastra telah menulis buku khusus tentang ini (Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Kebudayaan Modern, Girimukti Pasaka, 1986), yang tentu jauh lebih baik dan lebih lengkap daripada apa yang mungkin saya sampaikan di sini. Membahas secara falsafi nisbah Islam, sains, dan teknologi. Apakah Islam hanya memberikan landasan aksiologi, atau menentukan epistemologi dan ontologi sains? Bagaimana hubungan Islam dengan teknologi? Pendekatan ini erat kaitannya dengan pendekatan keempat di bawah ini. Menentukan apakah ada sains yang islami? Bagaimana ben- tuk sains dan teknologi yang islami? Menggambarkan bagaimana perkembangan sains dan teknologi dewasa ini. Lalu, apa yang harus dilakukan oleh umat Islam? Saya akan mengambil pendekatan kelima. Di bagian pertama, saya akan memberikan gambaran singkat mengenai kemajuan sains dan teknologi, semacam “kaleidoskop”. Tentu saja, saya hanya akan memilih beberapa hal yang berkaitan dengan kehidupan kita sebagai kaum Muslim. Di bagian kedua, saya akan menawarkan kepada Anda apa yang harus dilakukan umat Islam dalam menghadapi perkembangan sains dan teknologi dewasa ini. Perkembangan Sains dan Teknologi Alvin Toffler dalam bukunya, The Third Wave, menjelaskan perubahan umat manusia dari gelombang peradaban pertama, kedua, dan ketiga, dengan menganalisis empat sistem yang saling berkaitan: techno-sphere, info-sphere, socio-sphere, dan psycho-sphere. Keempat sistem ini membentuk, memengaruhi, dan menentukan dinamika masyarakat manusia. Techno-sphere adalah lingkungan teknologi, yang meliputi sistem penggunaan energi, sistem produksi, dan sistem distribusi barang. Info-sphere adalah lingkungan informasi, yang merupakan sistem saluran informasi untuk mendistribusikan pesan-pesan individu, kelompok, atau organisasi. Socio-sphere adalah sistem sosial yang menentukan peran individu dalam hubungannya dengan sesamanya. Psycho-sphere adalah suasana kejiwaan, keadaan ruhaniah, yang meliputi seluruh anggota masyarakat. Menurut Toffler, kita sekarang berada di ambang peradaban ketiga. Gelombang peradaban kedua mulai runtuh. “Sebenarnya kita sedang mengalami bukan saja hancurnya techno-sphere, atau socio-sphere gelombang kedua, melainkan juga rontoknya psycho-sphere.” Di sini, perkembangan sains dan teknologi akan dilihat dengan menggunakan kerangka Toffler yang menyebutnya sebagai revolusi teknologi, revolusi informasi, revolusi sosial, dan revolusi psikologis. Mengapa disebut revolusi? Karena perubahan itu begitu cepat di bandingkan dengan perubahan kultural umat manusia selama ratusan tahun. Revolusi Teknologi Semua teknologi adalah pedang bermata dua. Ia dapat digunakan untuk tujuan baik dan tujuan jahat sekaligus. Tetapi, teknologi mutakhir menimbulkan manfaat yang banyak, dan mudarat yang jauh lebih banyak lagi. Teknologi nuklir dapat memberikan sumber energi ketika sumber energi lain mulai menyusut. Dunia kedokteran telah menggunakan teknologi nuklir, tidak hanya untuk mendiagnosis penyakit, tetapi juga untuk membunuh sel-sel kanker. Pion cancer therapy, misalnya, menggunakan tembakan partikel Pion untuk membunuh tumor ganas. Tetapi, seperti kita ketahui, lebih dari 50.000 senjata nuklir yang ada di dunia sekarang ini memiliki daya penghancur jutaan kali bom yang jatuh di Hiroshima. Biologi dan kimia telah melahirkan teknologi yang mempertahankan struktur kehidupan modern, seperti purifikasi air, pembuangan sampah, imunisasi, peningkatan pertanian, kesehatan, pengobatan, pengolahan, dan penyimpanan makanan. Sekarang ini, bioteknologi sudah sanggup ̶ dengan teknik pembelahan gen atau DNA rekombinan ̶ menjadikan bakteri-bakteri semacam pabrik kimia yang menghasilkan insulin dan interferon. Insulin diperlukan oleh mereka yang menderita diabetes, dan interferon diperlukan oleh mereka yang mengidap kanker. Tetapi, bioteknologi juga telah dipakai untuk mengembangkan senjata biokimia yang dapat memusnahkan ternak, tanaman, dan bahkan manusia. Karena amat erat kaitannya dengan umat Islam, maka secara khusus akan saya paparkan bioteknologi yang digunakan untuk “membuat” manusia. Teknologi ruang angkasa telah melahirkan satelit yang dapat digunakan untuk navigasi, ramalan cuaca, memonitor sumber-sumber alam, menunjukkan masalah polusi, kegagalan panen, atau penyakit hewan. Pada saat yang sama, lebih dari 1.800 satelit yang sekarang berada di ruang angkasa telah dipakai untuk tujuan-tujuan militer, di samping untuk menghancurkan sesama satelit, sehingga ruang angkasa penuh dengan sampah-sampah radioaktif. Teknologi pengubahan lingkungan dapat dipakai untuk menyelamatkan suatu daerah dari bahaya banjir, mencegah deser-tifikasi (meluasnya gurun), atau menyediakan air bagi daerah yang kekeringan. Namun, teknologi ini juga telah dapat digunakan untuk peperangan geofisis: menimbulkan kebakaran hutan, penyimpangan air sungai, gempa bumi, gelombang laut, atau ledakan vulkanis. Ada satu perkembangan teknologi yang dapat merisaukan kita, yaitu rekayasa genetika. Lewat rekayasa ini, dimungkinkan untuk “membuat” bayi manusia. Sekarang ini, ada delapan kemungkinan (cara) yang telah ditemukan ̶ empat di antaranya akan saya coba jelaskan secara ringkas: 1. Inseminasi artifisial Inseminasi artifisial (buatan) bermula setelah ditemukannya teknik pengawetan sperma. Sperma yang dibungkus dalam gliserol, kemu- dian dibenamkan ke dalam cairan nitrogen, dan dibekukan pada temperatur -321°F dapat bertahan cukup lama. Beberapa bayi telah dilahirkan dari sperma yang diawetkan selama tiga belas tahun. Bila seorang wanita diinseminasi dengan sperma suaminya, walaupun tidak melalui hubungan seksual, hal itu tidak menjadi persoalan. Persoalan timbul, misalnya, jika suami menyimpan spermanya di bank pada waktu muda (bank-bank sperma sudah banyak di Amerika), kemudian baru menggunakannya pada istrinya bertahun-tahun kemudian; atau istri menarik sperma suaminya dari bank setelah suaminya meninggal dunia. Bila terjadi kehamilan, bagaimana kedudukan anak itu? Itulah masalah yang timbul dengan kemungkinan pertama. 2. Inseminasi dengan sperma donor Hal ini lebih merisaukan lagi. Sperma boleh berasal dari donor yang diketahui identitasnya, atau dari donor di bank yang dirahasiakan. Lebih rumit lagi, seorang gadis yang ingin mempunyai anak tanpa suami dapat memesan sperma dari bank, lalu meminta dokter “menginjeksikan” sperma itu pada tuba falopinya. Berzinakah gadis itu? 3. Transplantasi Ovarium Cara ini dilakukan dengan mencangkokkan ovum seorang wanita pada wanita lain. Setelah itu, baru dilakukan inseminasi buatan. Tetapi, bagaimana hubungan anak dengan wanita itu? 4. Fertilisasi in vitro (dalam tabung) Fertilisasi terjadi di luar tubuh. Setelah embrio terbentuk, embrio dimasukkan ke dalam rahim ibu. Persoalan-persoalan terdahulu dapat terjadi lagi di sini, ditambah masalah-masalah baru. Sekarang kita dapat menanamkan embrio pada rahim siapa saja. Yang jelas, tentu pada rahim manusia, tidak selalu pada rahim ibu pemberi ovum. Di Amerika, sekarang ada ibu-ibu yang bersedia menyewakan rahimnya dengan upah tertentu. Mereka disebut surrogate mother, gestational mother, contractual baby-bearer, mercenary mother, dan sebagainya. Lalu, anak yang lahir itu anak siapa? Kini, pengertian orangtua harus didefinisikan kembali. Bahkan sekarang ini juga sudah dipikirkan untuk menanamkan embrio pada rahim binatang-sapi, misalnya. Menurut Robert T. Francoeur, embriolog, hal ini tak sulit untuk dipraktikkan, kecuali kalau ada kendala moral dan agama. Keempat cara yang lain adalah extracorporeal gestation (bayi tabung), parthenogenesis (pengembangan sel telur yang tak dibuahi), cloning, dan embryo fusion (menggabungkan dua embrio yang memiliki empat orangtua). Menurut Lederberg, semua rekayasa ini belum dapat dijalankan sekarang, namun dalam tempo sepuluh atau tiga puluh tahun dapat dipraktikkan. Revolusi Informasi Revolusi teknologi juga telah menimbulkan saluran-saluran komunikasi yang baru. Radio dapat dihubungkan dengan pesawat telepon, sehingga sinyal dapat dikirimkan ke kantor, rumah. mobil, atau ke beeper portabel, telepon genggam. Telepon dapat digunakan untuk telekonferensi, atau dikombinasikan dengan rekaman dan komputer untuk menyebarluaskan informasi. Televisi dapat disetel ke stasiun-stasiun luar negeri melalui siaran langsung lewat satelit (DBS). Dalam tempo singkat, kaset video dan disk akan menjadi lebih murah, sehingga dapat dimiliki banyak orang. Komputer akan banyak digunakan untuk kegiatan-kegiatan keseharian manusia. Disambungkan dengan pusat informasi, komputer dapat menggantikan surat kabar, perpustakaan, sekolah, pengajian, dan sebagainya. Melebarnya perluasan dan intensitas jaringan-jaringan informasi akan mengubah banyak perilaku manusia. Sudah siapkah kita, umat Islam, menyambut perubahan-perubahan ini? Revolusi Sosial Akibat-akibat revolusi teknologi dan revolusi informasi ialah revolusi sosial. Revolusi teknologi, pada umumnya, akan menempatkan negara-negara adidaya pada kedudukan yang menguntungkan secara politis, ekonomis, dan kultural. Banyak bangsa di negeri terbelakang akan memandang negara-negara Barat sebagai rujukan nilai. Akan terjadi bukan saja kebergantungan politis dan ekonomis, melainkan juga kultural. Di sini nilai-nilai Islam akan banyak bertabrakan dengan nilai-nilai Barat. Arus informasi yang satu pihak (one-sided) akan membanjiri umat Islam dengan nilai-nilai bawaan yang tidak relevan. Barangkali akan terjadi benturan nilai antara anak-anak muda dan orangtua. Kontrol orangtua terhadap anak akan makin sukar. Revolusi informasi juga menyebabkan massa sangat rapuh terhadap persuasi massa. Mereka yang menguasai media akan menjadi agen-agen sosialisasi, pendidik, pengarah, dan pengatur tingkah laku. Kedudukan orangtua dan guru akan berkurang. Tidak seluruhnya revolusi sosial ini bersifat negatif. Penyebaran jaringan informasi akan melancarkan proses demokratisasi informasi. Ini berarti meningkatkan pengetahuan masyarakat kelas bawah. Pengetahuan menjadi relatif lebih terbuka bagi semua orang. Revolusi Psikologis Tidak sebagaimana Toffler ̶ yang menganalisis guncangan psikologis sebagai akibat sekaratnya gelombang peradaban kedua ̶ saya melihat hal-hal menarik dalam sikap para ilmuwan dewasa ini. Marilyn Ferguson melaporkan secara terperinci perubahan sikap ini dalam bukunya, The Aquarian Conspiracy: Personal and Social Transformation in Our Time. Sejak 1970-an, dan makin intensif pada awal 1980-an, muncul gerakan yang memandang sains dengan sikap skeptis. Everett Mendelsohn, seorang ahli biologi Harvard, berkata, “Sains sebagaimana yang kita ketahui telah melewati masa gunanya.” Theodore Roszak, dalam Where the Wasteland Ends, mengejek rasionalitas ilmiah, dan mengajak orang pada kepekaan agama. Menurut Roszak, objektivitas ilmiah telah menurunkan pengalaman manusia dari tabiat alaminya, dan menghilangkan misteri dan kesucian dari kehidupan. Akal hanyalah kemampuan manusia yang terbatas. Di samping akal, ada lagi spiritual knowledge. Kalangan ahli ilmu jiwa melontarkan serangan-serangan kepada metode ilmiah, “Kita selalu menganggap ilmu hanya pada hal-hal yang verbal, eksplisit, rasional dan logis, realistis, serta ada hubungannya dengan pancaindra. Tak kalah pentingnya adalah misteri, kesamaran, kontradiksi tidak logis, dan pengalaman transendental.” Ahli fisika, Werner Heisenberg, melontarkan prinsip ketidakpastian (principle of uncertainty). Menurut prinsip ini, ilmu pengetahuan yang rasional hanya dapat sampai pada kemungkinan statistik saja. Kini, di kalangan ilmuwan mulai disadari pentingnya memandang alam sebagai suatu sistem utuh, melihat kekuatan-kekuatan suprarasional, metaempiris di balik semua kekuatan materialistis entah karena kekecewaan terhadap sains, atau karena penemuan- penemuan baru dalam sains yang membawa mereka pada tingkat kesadaran baru. “Kita sedang berjalan menghampiri ambang agama,” kata Roberto Assagioli, seorang psikolog terkenal dari Italia. Apa yang Harus Kita Lakukan? Dunia kini dan masa depan adalah dunia yang dikuasai sains dan teknologi. Mereka yang memiliki keduanya akan menguasai dunia. Bila ̶ dengan meminjam istilah Marx ̶ sains dan teknologi merupakan infrastruktur, keduanya akan menentukan suprastruktur dunia internasional termasuk kebudayaan, moral, hukum, bahkan agama. Bila Islam ingin kembali memainkan perannya, tidak bisa tidak ia harus menguasai sains dan teknologi. Bukan upaya yang mudah, memang, apalagi di tengah-tengah berbagai kemelut yang melanda Dunia Islam dewasa ini. Tetapi kita dapat memulai dari lingkungan yang paling dekat dengan kita. Kecintaan terhadap ilmu harus disosialisasikan kepada anggota keluarga kita, jamaah kita, dan saudara-saudara kita seagama. Kegiatan-kegiatan ini mungkin dapat dimulai dari sikap positif untuk mencari informasi, mempermasalahkannya, mengoreknya, dan menelitinya. Ini berarti kita harus membiasakan umat bersikap terbuka  ̶ mendidik mereka berpikir luas. Mungkin kita dapat memulainya dari topik-topik bahasan yang tidak berkenaan dengan ilmu-ilmu keras atau ilmu-ilmu alamiah. Sains dan teknologi sebagai perangkat keras mudah dibeli. Tetapi mengubah keduanya menjadi milik yang fungsional memerlukan perubahan mentalitas. Bukan mengada-ada, kalau kita mengatakan, kebiasaan menghidupkan perbedaan pendapat (atau berijtihad bagi yang berkualifikasi) merupakan prasyarat tumbuhnya sikap ilmiah. Secara institusional, mungkin harus sudah mulai dipikirkan menyalurkan dana kaum Muslim ̶ infak, zakat, sedekah, wakaf, dan sebagainya ̶ untuk kegiatan pengembangan sains dan teknologi. Menggunakan uang untuk pengembangan sistem informasi mungkin lebih bernilai daripada mengulangi naik haji yang melulu ritual. Begitu pula, lebih baik membuat perpustakaan ilmiah yang lengkap ketimbang melebarkan masjid yang jarang dipenuhi jamaah. Perluasan wawasan ilmiah tentu akan memaksa kita untuk merekonstruksi pemahaman kita tentang Islam. Fikih yang dirumuskan para mujtahid abad ke-9 tentu saja sudah tidak memadai lagi sekarang. Masalah istinja, tayamum, qunut, haji tamattu’, dan sejenisnya harus dikesampingkan untuk memberi tempat pada inseminasi, eutanasia, perbankan, pendidikan Islam, media Islam, dan sebagainya. Ilmu dakwah seharusnya tidak lagi membicarakan makna “hikmah” dan “mujadalah”, tetapi mengupas psikologi komunikasi, penggunaan media massa, atau pengembangan analisis sistem informasi. Ilmu hadis mungkin bisa “computerized” dan diajarkan seperti kita mengajarkan “computerized architecture“. Pendeknya, kita harus memikirkan rekonstruksi ilmu-ilmu Islam selama ini. Untuk itu, buat Indonesia, barangkali diperlukan kerja sama yang erat antara lembaga-lembaga pendidikan Islam, seperti IAIN dan pesantren-pesantren, dengan perguruan-perguruan tinggi dan lembaga sains dan teknologi, seperti ITB, LIPI, dan sebagainya. Mungkin diperlukan sejenis lembaga yang menampung dan mempertemukan cendekiawan Islam dari berbagai disiplin ilmu. Selain harus mengkaji ilmu-ilmu Islam dalam sorotan sains dan teknologi mutakhir, lembaga ini pun dapat berfungsi sebagai badan yang memberikan petunjuk pemilihan teknologi mana yang paling tepat, penelitian mana yang patut diprioritaskan, atau hal- hal lain yang menyangkut keputusan etis terhadap penerapan sains dan teknologi. Bersamaan dengan itu semua, kita patut mendukung upaya global untuk mengislamkan sains dan teknologi; di samping mencari alternatif Islam dalam ekonomi, pendidikan, politik, rekayasa sosial-budaya, dan sebagainya. JR wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Konsep Dakwah Islam Dalam PendidikanJune 12, 2025Dalam Muhammad the Educator, Robert L. Gulick, Jr. menulis: “Muhammad betul-betul seorang pendidik yang membimbing manusia menuju kemerdekaan dan kebahagiaan yang lebih besar …. Tidak dapat dibantah lagi bahwa Muhammad sungguh telah melahirkan ketertiban dan stabilitas yang mendorong perkembangan budaya Islam, suatu revolusi sejati yang memiliki tempo tidak tertandingi dan gairah yang menantang …. Hanya konsep pendidikan yang paling dangkallah yang berani menolak keabsahan meletakkan Muhammad di antara pendidik-pendidik besar sepanjang masa, karena ̶ dari sudut pragmatis ̶ seorang yang mengangkat perilaku manusia adalah seorang pangeran di antara para pendidik.” Kutipan di atas diambil dari sebuah ensiklopedia yang melukiskan Muhammad Saw. sebagai nabi, pemimpin militer, negarawan, yang bermacam-macam dan pendidik umat manusia. Peran Nabi itu sebenarnya bersumber dari satu peran yang sama: yakni da’i (juru dakwah). Semua peran itu dilakukan untuk melaksanakan dakwahnya. Katakan (olehmu, Muhammad), inilah jalan hidupku. Aku berdakwah menuju Allah, berdasarkan keterangan (hujjah); aku dan orang yang mengikuti aku. Mahasuci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik (QS 12: 108). Ketika memberikan komentar tentang ayat ini, Ibnu Katsir berkata bahwa Allah Taala berfirman kepada Rasul-Nya Saw. agar menyampaikan kepada manusia bahwa inilah jalan hidupnya, yaitu cara hidupnya dan Sunnahnya ̶ dakwah (mengajak) kepada kesaksian bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah Yang Esa dan tidak ada serikat bagi-Nya. Mengajak menuju Allah dengan kesaksian itu adalah atas dasar keterangan, keyakinan, dan bukti. Ia dan semua pengikutnya menyeru juga kepada apa yang didakwahkan Rasulullah Saw. berdasarkan keterangan, keyakinan, dan pembuktian ‘aqli dan syar’i. Sebagaimana Nabi Muhammad, pengikut-pengikutnya harus memandang pendidikan sebagai bagian dari dakwah yang merupakan jalan hidup mereka. Bila pendidikan diartikan secara luas sebagai upaya mengubah orang dengan pengetahuan tentang sikap dan perilakunya, sesuai dengan kerangka nilai tertentu, maka pendidikan Islam identik dengan dakwah Islam. Jadi, setiap Muslim selayaknya adalah da’i dan sekaligus pendidik. Ia menjadi saksi di tengah-tengah umat manusia tentang kebenaran Islam (QS 22: 78; 2: 143), dan mendidik manusia yang lain dengan seluruh kepribadian dan perilakunya. Dengan meminjam konsep Johann Friedrich Herbart (1776-1841), filsuf dan ahli pendidikan dari Jerman, seorang Muslim adalah erzieher (pendidik) dan miterzieher (co-edukator). Karena itu, Nabi Muhammad Saw. pada satu kesempatan berkata, “Sesungguhnya, aku diutus untuk menyempurnakan kebaikan akhlak.” Pada kesempatan-kesempatan lain, ia berkata, “Sesungguhnya, Allah mengutusku sebagai mubalig.” Dan “Sesungguhnya, aku diutus sebagai pendidik.” Dalam pengertian ini, pendidikan berlangsung tanpa dibatasi ruang dan waktu. Di sini, saya akan membatasi pendidikan dalam pengertian sebagai upaya mengubah pengetahuan, sikap, dan perilaku orang secara progresif melalui lembaga-lembaga formal. Dengan sekali lagi meminjam konsep Herbart, maka pendidikan yang dimaksud di sini adalah Erziehung dan bukan Miterziehung. Karena judul bab ini “Konsep Dakwah Islam dalam Pendidikan”, di sini hanya berisi uraian yang bersifat konseptual. Saya akan mengemukakan prinsip-prinsip yang melandasi dakwah Islam dalam pendidikan, dan bentuk-bentuk usaha dakwah yang dapat dilakukan dalam bidang pendidikan. Bila ada ulasan yang tampaknya operasional, hendaknya itu dilihat sebagai contoh-contoh ilustratif saja. Dakwah Islam dalam Pendidikan Dr. Muhammad Javad As-Sahlani, dalam At-Tarbiyah wa At-Ta’lim fi Al-Qur’an Al-Karim, mendefinisikan pendidikan Islam sebagai “proses mendekatkan manusia kepada tingkat kesempurnaan, dan mengembangkan kemampuannya.” Definisi ini menunjukkan bahwa prinsip-prinsip dakwah Islam dalam pendidikan didasarkan pada ayat-ayat Al-Quran. Marilah kita perinci prinsip-prinsip ini: Dakwah Islam yang dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan harus membantu proses pencapaian tingkat kesempurnaan. Gambaran tentang manusia sempurna ialah manusia yang sudah mencapai ketinggian iman dan ilmu (QS 58: 11). Tingkat ini ditunjukkan dengan kemampuan melahirkan amal terbaik. Dialah yang menciptakan kematian dan kehidupan, untuk menguji kamu semua siapakah di antara kamu yang paling baik amalnya (QS 67: 2). Sebagaimana kata “iman” sering kali dikaitkan dengan “amal saleh” (lebih dari 70 kali dalam Al-Quran), “ilmu” juga selalu diberi sifat “yang bermanfaat” (dalam hadis-hadis Nabi Saw.). Pendidikan Islam harus diarahkan untuk mengembangkan iman, sehingga melahirkan amal saleh dan ilmu yang bermanfaat. Prinsip ini juga mengajarkan bahwa dalam Islam, yang menjadi perhatian bukan kuantitas, melainkan kualitas. Al-Quran tidak pernah menyebut aktsaru ‘amalâ atau ‘amalan katsîrâ, tetapi menegaskan ahsan amalan atau ‘amalan shâlihâ. Sebagai model untuk orang yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan, Islam menjadikan Rasulullah Saw. sebagai uswatun hasanah (QS 33: 21). Ia dijamin Allah memiliki akhlak mulia (QS 68: 4). Ia diutus melalui perintah membaca dengan nama Allah yang menjadikan, membaca dengan mengagungkan Allah Yang Mahamulia, yang mengajarkan kepada manusia berbagai ilmu yang tidak diketahuinya melalui pena (QS 96: 1-5). Muhammad-lah yang berkata bahwa “Manusia terbaik ialah mukmin yang berilmu. Jika diperlukan, ia bermanfaat bagi orang lain. Jika tidak diperlukan, ia dapat mengurus dirinya.” Ia wajibkan umatnya menuntut ilmu, seraya berkata, “Satu bab ilmu yang dipelajari seseorang adalah lebih baik daripada dunia dan segala isinya.” Ia memuji orang berilmu sebagai orang yang paling dekat kedudukannya dengan derajat kenabian, yang tintanya di- timbang sama dengan darah syuhada. Ia memuji proses ilmu, dan mengatakan bahwa Allah memberikan ganjaran kepada semua yang terlibat di dalamnya: yang bertanya, yang ditanya, yang mendengarkan, dan yang mencintai kegiatan itu.” Pada saat yang sama, ia juga bersabda, “Manusia yang paling sempurna imannya ialah yang paling baik akhlaknya; “Sebaik-baik manusia ialah yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain;” “Sebaik-baik manusia ialah yang panjang umurnya dan baik amalnya.” Atas dasar ini, maka dakwah dalam pendidikan harus sanggup memperkenalkan Muhammad Saw. sebagai teladan, menanamkan kecintaan dan perasaan takzim terhadapnya. Al-Quran menunjukkan bahwa pada diri manusia ada potensi berbuat baik dan berbuat jahat sekaligus (QS 91: 7-8). Di banyak ayat Al-Quran disebutkan potensi-potensi negatif dalam diri manusia, seperti lemah (QS 4: 28), tergesa-gesa (QS 21: 37), selalu berkeluh kesah (QS 70: 19), dan sebagai- nya. Di samping itu, disebutkan juga bahwa manusia dicip- takan dengan bentuk yang paling baik, dan bahwa ruh Tuhan ditiupkan kepadanya pada saat penyempurnaan pencipta- annya (QS 15: 29; 38: 72). Karena itu, dakwah Islam harus ditujukan untuk membangkitkan potensi-potensi baik yang ada dalam diri orang terdidik dan mengurangi potensinya yang jelek. Bentuk-Bentuk Dakwah Islam dalam Pendidikan Bentuk-bentuk dakwah Islam dalam pendidikan dapat ditarik dari dua ayat Al-Quran yang berkenaan dengan tugas Nabi Saw. sebagai da’i: Orang-orang yang mengikuti Nabi yang ummi, yang nama- nya mereka temukan termaktub dalam Taurat dan Injil di sisi mereka: memerintahkan yang ma’rûf, melarang yang mungkar, menghalalkan yang baik, mengharamkan yang jelek, dan mele- paskan beban dari mereka dan belenggu-belenggu yang (memasung) mereka. Maka barang siapa beriman kepadanya, memuliakannya, membantunya, serta mengikuti cahaya yang diturunkan besertanya, mereka itulah orang-orang yang ber- bahagia. (QS 7: 157) Sesungguhnya, Allah telah memberikan karunia kepada orang- orang yang beriman, ketika Dia mengutus di tengah mereka Rasul dari kalangan mereka sendiri, (yang) membacakan ayat-ayat- Nya kepada mereka, menyucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah, walaupun mereka sebelumnya berada dalam kesesatan yang nyata. (QS 3: 164; 2: 129; 62:2) Dari ayat pertama, kita melihat ada tiga bentuk dakwah: amar ma’ruf nahi munkar, menjelaskan yang halal dan yang haram (syariat Islam), meringankan beban penderitaan dan melepaskan umat dari belenggu-belenggu. Dari ayat kedua, kita melihat ada tiga bentuk dakwah: tilawah (membacakan ayat-ayat Allah), tazkiyah (menyucikan diri sendiri), dan ta’lim (mengajarkan Al-Kitab dan Al-Hikmah). Seperti akan saya jelaskan nanti, amar ma’ruf dan nahi munkar dapat dimasukkan ke dalam tazkiyah, dan menjelaskan yang halal dan yang haram termasuk ta’lim. Dengan demikian, dakwah Islam dapat disimpulkan dengan empat bentuk: tilâwah, tazkiyah, ta’lim, dan ishlâh (yang saya pakai untuk meringkaskan pengertian tentang “melepaskan beban dan belenggu-belenggu”). Keseluruhan konsep ini digambarkan pada tabel berikut: Tulisan ini merupakan pengantar untuk pembahasan yang lebih serius. Saya berharap, kalaupun tidak melahirkan gagasan-gagasan kreatif, tulisan ini mengingatkan kita semua bahwa dakwah dalam pendidikan tidaklah sesederhana yang kita duga. Pendidikan (dalam pengertian formal) disepakati sebagai bidang strategis dakwah. Yang kita perlukan ialah bagaimana membentuk pola dakwah yang secara naqli dapat dipertanggungjawabkan, dan secara ‘aqli dapat dilaksanakan. Dakwah adalah tugas nabi dan pengikut para nabi. Berkiprah dalam dakwah adalah usaha besar yang membentuk peradaban manusia. JR wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Keutamaan HajiJune 11, 2025Sekarang saya akan menyebutkan beberapa hadis yang berkenaan dengan ibadah haji. ​ Hadis pertama “Pada suatu hari datanglah kepada Rasulullah saw dua orang, satu dari anshar, satu dari Safiq (dusun yang agak jauh dari Madinah). Berkata orang dari Safiq: “Ya Rasulullah saya punya keperluan.”Rasulullah berkata: “Sudah lebih dulu datang ke sini saudaramu orang Anshar”. Ia berkata: “Ya Rasulullah, saya ini sedang dalam perjalanan dan saya dalam keadaan tergesa-gesa”. Berkata orang Anshar: “Ya Rasulullah aku sudah izinkan dia untuk bertanya.” Rasulullah saw berkata kepada orang Safiq itu: “Jika kamu mau silahkan kamu bertanya kepadaku, jika kamu tidak mau aku akan kabarkan permohonan kamu itu.” “Ya Rasulullah kabarkanlah kepadaku dari engkau sendiri” Lalu Rasulullah saw berkata: “Engkau bertanya kepadaku tentang shalat, tentang wudhu, dan tentang sujud”. Berkata orang itu: “Memang benar begitu, demi yang mengutus engkau dengan kebenaran.” Kemudian Rasulullah berkata: “Sempurnakanlah wudhu kamu dan kalau engkau ruku, penuhkan tanganmu dengan kedua lututmu dan kalau engkau sujud, ratakan dahimu di atas tanah dan shalatlah, seperti shalat yang terakhir (perpisahan)”. Setelah itu orang itu berkata:  “Ya Rasulullah ini keperluanku sekarang.” Rasulullah berkata: “Kalau kamu mau, boleh kamu bertanya kepadaku, kalau kamu tidak mau aku akan kabarkan juga kepada kamu”. “Ya Rasulullah kabarkanlah kepadaku”, “Kamu mau bertanya kepadaku tentang haji, thawaf, sa’i melempar jumrah, mencukur rambut dan hari Arafah”.  Berkata orang itu: “Benar demi yang mengutus kamu dengan kebenaran”. Rasulullah berkata: “Ketahuilah, setiap kali unta kamu mengangkat kakinya, Allah tuliskan kebaikan bagi kamu dan setiap kali unta itu meletakan kakinya, Allah hapuskan dari kamu satu keburukan dan thawaf di Baitullah dan Sa’i antara Safa dan Marwah, menyebabkan kamu keluar dari dosa-dosamu, seperti ketika ibumu melahirkan kamu. Kalau kamu melempar jumrah, lemparan jumrah itu, jadi tabungan kamu untuk hari kiamat. Kalau kamu mencukur rambut, maka bagi setiap lembar rambut yang jatuh, akan menjadi cahaya pada hari kiamat, dan hari Arafah adalah hari ketika Allah Azza wa jalla membanggakan para jamaah di antara para malaikatnya. Kalau kamu hadir pada hari itu dengan membawa dosa sebanyak butir-butir pasir di Sahara atau sebanyak butir-butir hujan dari langit atau sebanyak hari-hari di dalam dunia ini. Semua itu akan menghapuskan seluruh dosa itu”.  Itu salah satu keutamaan ibadah haji, tentu saja sekarang tidak akan dihitungkan dari langkah unta, boleh jadi dihitungnya oleh putaran ban, naik mobil. Karena Nabi berbicara kepada orang yang sezaman dengan Nabi Muhammad SAW. Hadis Kedua Kalau seorang mu’min masuk ke dalam kuburnya, masuk juga bersama dia enam makhluk. Di antara makhluk itu ada yang paling bagus wajahnya, paling cerah penampilannya, paling semerbak harumnya, paling bersih keadaannya. Maka berhentilah, yang bagus di sebelah kanannya, dan yang lain disebelah kirinya, ada yang dihadapannya dan ada yang dibelakangnya, ada yang di dekat kedua kakinya dan yang paling bagus duduk di dekat kepalanya. Kemudian berkata yang paling bagus wajahnya “Siapa kalian ini? Semoga Allah memberikan balasan kepada kamu semua”. Maka berkatalah orang yang di sebelah kanannya “Sayalah shalat yang dia lakukan” Berkata yang di sebelah kirinya: “Saya Zakat”. Berkata yang dihadapannya: “Saya shaum dia”. Berkata yang di belakangnya: ”Saya haji dan umrah dia”. Berkatalah yang dekat kedua kakinya “Sayalah silaturahmi yang dia sambungkan dengan saudara-saudaranya.” Kemudian mereka yang ditanya itu, serempak bertanya lagi: “Siapa anda? wajahmu adalah yang paling baik dan paling indah di antara kami semua, harummu yang paling semerbak dan penampilanmu yang paling cemerlang”.  Maka berkatalah dia: “Sayalah kecintaan dia kepada keluarga Muhammad.” Hadis tersebut sebetulnya menjelaskan ayat Al-Quran yang berbunyi: “Barang siapa yang melakukan kebaikan walaupun sedikit, dia akan melihatnya”. Allah akan mengubah seluruh kebaikan itu, dari sesuatu yang abstrak menjadi bentuk yang konkrit yang akan anda saksikan nanti, kalau anda masuk ke alam kubur. Semua amal yang kita lakukan itu akan kita saksikan di alam kubur. Amal-amal shaleh kita akan membantu kita, menemani kita di alam kubur. Di antara wasiat Rasulullah saw kepada Abu Dzar adalah agar Abu Dzar selalu memelihara shalat malamnya karena shalat malamnya akan menghilangkan kesepian dia di alam kuburnya nanti, kesunyian dia di alam kubur nanti.  Hadis Ketiga  Hadis yang lain: diriwayatkan oleh Ibrahim bin Maimun (sanadnya panjang) dia berkata: “Aku ini berhaji satu tahun, kemudian satu tahun lagi sahabatku saja yang haji”. ”Mengapa engkau tidak melakukan haji, hai Ibrahim”. Ibrahim berkata: “Aku tidak punya kesempatan untuk itu, tapi aku bersedekah sebesar ongkos haji itu, 500 dirham”. Abu Abdillah berkata:  Haji itu lebih utama” Ibrahim berkata: “Bagaimana kalau aku keluarkan 1000 dirham”. “Haji masih lebih utama” Ibrahim berkata: “Bagaimana kalau aku keluarkan 1500 dirham?”. “Haji lebih utama”, “2000 dirham”? Kemudian Abu Abdillah berkata: “Apakah dalam 2000 dirham yang engkau sedekahkan itu, ada thawaf di Baitullah? “Tidak” “Apakah di dalam 2000 dirham itu ada Sa’i di antara shafa dan marwah? “Tidak”. Apakah dalam 2000 dirham itu ada wukuf di Arafah? “Tidak” Apakah dalam 2000 dirham itu ada melempar jumrah?” “Tidak” Apakah dalam 2000 dirham itu ada manasik? “Tidak”, “Haji lebih utama”.  Pernah terjadi perdebatan di antara para ulama, di antara rukun-rukun Islam itu, mana yang paling utama shalat, shaum, zakat dan haji. Sebagian jumhur ulama berpendapat, haji yang paling utama. Alasannya di dalam shalat tidak ada ibadah hajinya, tetapi di dalam haji ada shalatnya, dalam thawaf anda wajib melakukan shalat sunat thawaf. Sebelum berangkat anda dianjurkan shalat safar. Anda dianjurkan shalat di masjidil Haram. Jadi dalam haji ada shalatnya. Di dalam haji juga ada shaumnya. Kalau orang yang tidak bisa membayar dam, harus melakukan shaum 10 hari (3 hari pada musim haji dan 7 hari ketika dia pulang). Orang yang sedang berada dalam perjalanan tidak boleh berpuasa, kecuali orang yang sedang melakukan haji.  Jadi ketika berada di Madinah, dianjurkan untuk banyak berpuasa. Ketika berziarah ke makam Rasulullah Saw, amal-amal yang paling utama di Madinah adalah berpuasa, walaupun sedang dalam perjalanan.  Hadis Keempat Kepada Abu Abdillah ditanyakan juga keutamaan haji, dibandingkan dengan ibadah yang lain. Beliau berkata: “Haji itu lebih utama daripada shalat dan shaum, karena kalau seorang itu shalat, dia meninggalkan keluarganya sebentar saja, kalau dia berpuasa dia meninggalkan keluarga pada waktu siang saja dan kalau dia haji, dia melelahkan badannya, merepotkan dirinya, menginfakkan hartanya dan melamakan perpisahan dari kelurganya, bukan karena harta yang diinginkannya, bukan karena perdagangan”. Jadi haji adalah ibadah yang paling baik dibandingkan dengan ibadah yang lain. Pernah ditanyakan juga kepada para Imam, tentang hal yang baik, apakah haji yang berkendaraan atau haji yang berjalan? dan beliau mengatakan: “Tidak pernah Allah disembah dengan sesuatu yang lebih utama daripada Haji dalam keadaan berjalan dan tidak ada yang lebih utama dari itu semua”.  Karena itu, kita saksikan sepanjang sejarah sampai sekarang, ada puluhan ribu kaum muslimin yang berangkat melakukan ibadah Haji dengan berjalan. Dari sudut negeri Afrika yang jauh, menyusuri jalan, mungkin hanya di laut saja mereka berkendaraan, setelah itu mereka berjalan lagi. Nanti kalau sampai di Masjidil Haram mereka tidak tinggal di hotel, mereka berkumpul di sekitar halaman Masjidil Haram, dengan langit sebagai atapnya dan tanah sebagai tempat tidurnya. Tapi ditemani oleh burung-burung merpati yang biasanya sering thawaf di sekeliling Ka’bah. Ketika mereka thawaf di sekeliling Ka’bah burung-burung merpatipun ikut thawaf bersama mereka dan burung-burung merpati itu menyertai mereka di tempat tidur mereka. Saya ingin sekali berhaji seperti mereka, berbaring ditemani burung-burung merpati. Imam Al Ghazali dalam Adab Al Hajj berkata, kalaupun kita punya duit, kita memperbanyak berjalan di tanah suci itu, dan duitnya daripada dipakai untuk membayar kendaraan, pakailah untuk bersedekah kepada kaum muslimin.  Sebetulnya, paling tidak untuk beberapa ibadah Haji, kita harus berjalan atau lebih baik berjalan. Misalnya dari Arafah ke Mudzdalifah ke Mina, dari Mina ke Mekkah. Ada usul dari Ziauddin Sardar, ketika terjadi kemacetan di terowongan Mina, Ziauddin Sardar mengusulkan agar di daerah di tempat melakukan ibadah Haji yaitu: Arafah, Mudzdalifah, Mina dan Mekkah dilarang ada kendaraan bermotor. Kalaupun berkendaraan pakai unta lagi, supaya memenuhi hadits itu, tapi yang paling penting sebetulnya untuk menjaga kekhusukan Haji itu. Bagaimana anda bisa khusuk pada Haji, kalau anda dengar suara klakson yang keras, kalau macet, kalau anda disesakkan oleh asap yang keluar dari kendaraan bermotor.  Pada Haji sekarang ini banyak yang tidak persis dengan Haji Rasulullah saw, misalnya orang dianjurkan bubar dari Arafah bersama-sama, tetapi sekarang tidak bisa bareng-bareng, karena kendaraan, giliran, sampai ada yang baru bubar dari Arafah tengah malam. Yang kedua, dalam Haji Rasulullah saw, kalau sampai di Mudzdalifah kita harus shalat Jama’ dan qashar, maghrib dan isya di Mudzdalifah. Sekarang kebanyakan jemaah Haji tidak shalat jama’ dan qashar di Mudzdalifah karena kendaraan juga. Mereka akhirnya shalat jama’ dan qashar itu di Arafah. Kemudian dalam Haji Rasulullah saw, di Mudzdalifah beliau tidur di bukit-bukit itu, di Masy’aril Haram. Kemudian beliau shalat subuh dan setelah shalat subuh beliau berangkat bersama-sama, berdzikir, sesuai ayat Al-Quran: “Fadzkurullaha ‘indal masyaril Haram”. Itu tidak pernah dilakukan oleh jemaah Haji Indonesia. Jadi Haji dengan berjalan lebih utama.  Hadis Kelima Kita teruskan dengan hadits-hadits tentang pahala Haji. Dari Ali bin Husain as: “Haji dan umrahlah kamu, nanti Allah sehatkan badan kamu, Allah luaskan rizqi kamu dan Allah cukupkan keperluan keluarga kamu”. Orang yang Haji diampuni dosanya, diwajibkan baginya surga, dibimbing di dalam amal-amal sesudahnya dan dipelihara keluarganya dan hartanya. Orang Haji itu dijaminkan kepada Allah, jika Allah memanjangkan usianya, Allah kembalikan dia kepada keluarganya, jika Allah matikan dia, Allah masukan dia ke surga. Kalau seseorang itu melakukan Haji, paling tidak dia akan mendapat tiga hal: Pertama, dikatakan kepadanya “Allah ampuni dosa-dosamu yang lalu dan dosa-dosamu yang kemudian” atau dikatakan kepadanya: “Allah akan ampuni dosa-dosamu yang lalu dan perbaikilah amal kamu sesudahnya” Atau dikatakan kepada-nya: “Dipelihara keluargamu dan hartamu”. Dalam riwayat yang lain, semua yang beribadah Haji akan memperoleh pahala, yang tidak sah pun mendapat pahala, yaitu dipelihara keluarganya dan hartanya dan digantikan nafkah yang pernah dikeluarkannya. Di dalam sebuah hadis disebutkan kalau orang sudah tiga kali haji, Allah lepaskan dia dari kemiskinan. Kalau orang sudah Thawaf Ifadhah, thawaf yang terakhir dari ibadah haji, malaikat akan menepuk bahunya seraya berkata: “Jangan risaukan dosa-dosamu yang telah lalu karena Allah telah ampuni semua, sekarang perbaikilah amalmu yang akan datang.” Barang siapa yang Haji satu kali, Allah lepaskan belenggunya dari api neraka, dua kali, Allah ampuni dosa-dosanya, kalau tiga kali, Allah menghitungnya sebagi orang yang terus-menerus melakukan ibadah haji. Barang siapa yang membiayai atau membekali orang yang naik Haji, maka pahalanya sama dengan orang yang melakukan ibadah haji itu, tidak dikurangi sedikit pun. Sama seperti orang yang memberi buka kepada orang yang berpuasa. Karena itu disunahkan, kalau ada orang yang mau naik Haji, bekali dia semampu kamu. Jangan malu memberi sedikit, karena kata Sayyidina Ali, “Berilah walaupun sedikit, karena tidak memberi itu lebih memalukan lagi”. Atau kalau tidak, peliharalah keluarga yang ditinggalkannya, dan menurut Nabi saw: “Barang siapa yang menjaga kepentingan keluarga yang haji dalam hartanya, dalam keluarganya, maka baginya pahala seakan-akan dia ikut mencium Hajar Aswad”. Dan terakhir sekali, ketika orang yang Haji itu pulang, bersegeralah anda mengucapkan salam kepadanya dan menyalami dia. “Hai orang-orang yang tidak haji, sambutlah dengan gembira kedatangan orang yang haji, salami mereka, muliakan mereka supaya disaksikan kalian juga berserikat dengan mereka dalam pahala haji mereka. JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Haji: Akhir Khutbah Pertama Nahjul BalaghahJune 10, 2025“Dan Allah sudah mewajibkan atas kamu untuk berkunjung ke rumah-Nya Yang Mulia. Yang Allah jadikan rumah-Nya itu sebagai kiblat umat” manusia. Mereka datang kepada-Nya seperti datangnya binatang-binatang ternak. Mereka merindukan-Nya untuk berkumpul di sekitarnya, seperti rindunya burung-burung merpati. Allah jadikan haji itu sebagai pertanda dari kerendahan manusia di hadapan kebesaran-Nya dan sebagai ketundukan mereka dihadapan keagungan-Nya. Allah telah memilih di antara hamba-hamba-Nya para pendengar yang menjawab seruan-Nya ketika Dia menjawab seruan-Nya. Membenarkan kalimat-Nya, berhenti di tepian para nabi-Nya, menyerupai para malaikat yang ber-thawaf di ‘Arasy-Nya. Mengumpulkan keuntungan dalam niaga ibadahnya. Berlomba-lomba di hadapan-Nya untuk mencapai janji ampunan-Nya. Allah Swt. menjadikan Islam sebagai pertanda, Allah menjadikan haji ini sebagai tanda keislaman dan sebagai tempat berlindung bagi orang-orang yang mencari perlindungan. Allah wajibkan haknya, Allah tetapkan hajinya, dan Allah tuliskan bagi mereka keberangkat- annya, maka berfirmanlah Dia, ‘Dan bagi manusia haji ke Baitullah, orang-orang yang mampu memperoleh bekal di perjalanannya. Barangsiapa yang kafir, sesungguhnya Allah tidak membutuhkan alam semesta’.” Inilah khutbah pertama dalam Nahjul Balaghah. Terjemahan saya mungkin agak berbeda dengan terjemahannya Puncak Kefasihan. Yang menarik, khutbah ini diakhiri dengan masalah yang berkenaan dengan ibadah haji. Imam Ali berkata, “Allah wajibkan kepada kalian supaya pergi ke rumah-Nya yang mulia.” Dalam bahasa Arab, hajja artinya menuju atau bermaksud menuju sesuatu. Karena itu, dalam bahasa Arab, setelah hajja biasanya disusul dengan pertanyaan, “Ke mana?” Di sini disebut hajja bait al-haram, “Untuk pergi menuju rumah-Nya yang penuh kemuliaan.” Kata “haram” dalam bahasa Arab berarti kemuliaan. Arti lainnya adalah haram. Haram berasal dari kata hurmah yang berarti kemuliaan. Dalam bahasa Indonesia, dari kata hurmah itu lahir kata hormat, kehormatan. Baitullah disebut Baitul Haram atau Masjidil Haram, artinya rumah yang sangat dimuliakan, rumah yang sangat terhormat. Mengapa terhormat? Karena di tempat ini diharamkan semua hal yang tercela. Imam Ali Zainal Abidin ketika berkata kepada Asy-Syibli yang baru pulang dari berhaji, “Pernahkah engkau berkunjung ke Masjidil Haram, ke rumah Allah Al-Haram?” Asy-Syibli menjawab, “Tentu wahai putra Rasulullah.” “Apakah ketika engkau berkunjung ke Masjidil Haram, engkau haramkan bagi dirimu untuk menjatuhkan kehormatan sesama kaum Muslim dengan lidahmu, tanganmu, dan perbuatanmu.” Iman Ali Zainal Abidin menghubungkan kata haram yang artinya hormat,mulia, dengan kehormatan kaum Muslimin. Yang juga di dalam bahasa Arab disebut haram karena dimuliakan Allah Swt. dan dihubungkan dengan kata, “Haramkan bagi dirimu.” Tempat itu disebut tempat haram, tempat yang dimuliakan, karena di situ diharamkan mengganggu kaum Muslimin. Dalam ayat Al-Quran disebutkan, “Barangsiapa memasukinya (Baitullah) menjadi amanlah dia,” (QS. Ali Imran : 97). Dalam ayat lain disebutkan, “Bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman,” (QS. Al-Fath : 27). Jadi, Masjidil Haram adalah masjid yang penuh dengan kemuliaan, penuh dengan kehormatan, karena di masjid itu diharamkan segala perbuatan yang menjatuhkan kehormatan kaum Muslimin. Imam Ali Zainal Abidin mengulangi pertanyaannya kepada Asy-Syibli, “Apakah saat masuk Masjidil Haram kamu berniat untuk memelihara kehormatan kaum Muslimin dan tidak akan menjatuhkan kehormatan mereka dengan lidah, tangan, dan perbuatan kamu?” Asy-Syibil berkata, “Tidak, wahai putra Rasulullah.” Imam Zainal Abidin pun mengungkapkan, “Kalau begitu, engkau belum masuk ke Masjidil Haram.” Maksudnya, apabila ada orang yang berangkat haji kemudian pulang ke tanah airnya, akan tetapi dia masih menggunjingkan orang-orang beriman, masih juga mencemoohkan, mengejekatau menyakiti orang Islam dengan menjatuhkan kehormatannya, merendahkan kemuliannya, pada hakikatnya dia sama sekali belum berhaji. Dia belum pernah datang ke Masjidil Haram. Masjid ini disebut Masjidil Haram karena masjid ini dibangun untuk menegakkan kehormatan manusia. Rasulullah Saw. sendiri mengajarkan makna haram. Di dalam buku Tafsir bil Matsur disebutkan, “Ketika Rasulullah thawaf mengelilingi Kabah, beliau berhenti di Multazam, beliau bergantung di tirai Kabah kemudian beliau bersabda, “Duhai Kabah, betapa mulianya engkau, betapa agungnya engkau, betapa luhurnya engkau. Namun, demi Zat yang diriku ada di tangan-Nya, kehormatan seorang Muslim lebih tinggi dari kehormatan Kabah.” Karena itu, dalam Islam, menjatuhkan kehormatan seorang Muslim termasuk dosa besar. Meruntuhkan kemuliaan. seorang Muslim dosanya lebih besar daripada meruntuhkan kemuliaan Kabah. Belakangan, saya sering mengulang-ngulang pesan Al-Quran yang sangat agung ini karena saya menemukan kenyataan yang sangat menyedihkan, khususnya di kalangan aktivis masjid. Orang-orang yang sudah mulai mengaji, mungkin kalau perempuannya sudah memakai jilbab-jilbab, kadang- kadang merasa jilbabnya jauh lebih sempurna dari jilbabnya Ibu Theresa. Mungkin para aktivis laki-lakinya, ke mana pun pergi selalu membawa dan membaca Al-Quran. Mereka menjadi panitia untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan pengajian di berbagai tempat. Sayangnya, saya menemukan ada semacam kebiasaan untuk mempergunjingkan sesama kaum Muslim. Ada kebiasaan, bahkan kesenangan untuk menyebarkan kejelekkan sesama hamba Allah, membongkar aibnya, kemudian menyebarkannya. Padahal, hal itu menjatuhkan kehormatan kaum Muslimin. Ketika sampai berita kepada Imam Muhammad Baqir, “Imam, dilaporkan kepada saya oleh orang yang saya percayai bahwa si Fulan menjelek-jelekkan saya di belakang. Dan orang yang melaporkan itu adalah orang yang saya percayai. Namun ketika saya cek kepadanya, dia tidak mengakuinya. Dia merasa tidak pernah menjelek-jelekkan saya. Apa yang harus saya lakukan?” Imam Baqir berkata, “Sekiranya orang yang kamu percayai itu membawa empat puluh orang lagi dan melaporkan kepada kamu pembicaraannya dan dia menolaknya, bohongkanlah yang empat puluh orang itu dan terimalah penolakan itu.” Jadi, bohongkanlah orang yang menuduh macam-macam kepada saudara kita dan benarkanlah penolakan dia. Karena sekiranya engkau membenarkan para pelapor keburukan itu, engkau akan termasuk orang yang dikutuk Allah karena menyebarkan aib kaum Muslimin di tengah-tengah umat manusia. Mengapa menyebarkan aib termasuk dosa besar? Sebab, dia menjatuhkan kehormatan Muslim, dan menjatuhkan kehormatan Muslim itu, dosanya jauh lebih besar daripada menjatuhkan kehormatan Kabah yang disebut Baitul Haram. Nabi Saw. juga menjelaskan arti haram ini sebagai kehormatan ketika beliau berkhutbah pada khutbahnya yang terakhir saat Haji Wada. Menurut riwayat, khutbah Rasulullah Saw, itu disampaikan di Arafah. Ada juga yang menyebut kalau beliau khutbah sekali lagi di Mina. Beliau memulai khutbahnya dengan bertanya, “Ini negeri apa menurut kalian?” “Baladul Haram ya Rasulullah, Ini negeri haram.” “Bulan apa ini menurut kalian?” “Syahrul Haram.” “Hari apa ini menurut kalian?” “Yaumul Haram.” Rasulullah Saw. bersabda, “Ketahuilah oleh kalian, sebagaimana haramnya negeri ini, sebagaimana haramnya hari ini, maka haram jugalah kemuliaan kaum Muslimin.” Maksudnya, sebagaimana mulianya bulan ini, tahun ini, tempat ini, dan ibadah yang mulai ini, begitu juga mulianya kehormatan kaum Muslimin. Rasulullah Saw, bersabda, “Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya, darah dan kehormatannya diharamkan atas kamu.” Lalu, Rasulullah Saw. menghubungkan kata kehormatan ini dengan diharamkannya kehormatan seorang Muslim untuk dijatuhkan, dan diharamkan darahnya untuk ditumpahkan. Ketika kita memuliakan Baitullah Al-Haram kita juga sekaligus memuliakan kaum Muslimin. Mengapa saya sering mengulang bagian ini? Ini terjadi karena kekecewaan saya menyaksikan betapa mudahnya kita menjatuhkan kehormatan orang lain, terutama yang seagama. Saya mendengar sebuah cerita menarik dan ini benar-benar terjadi. Ada seorang karyawati Muslimah di Jakarta. Biasanya, mereka tinggal di rumah-rumah kost-an. Awalnya, karyawati ini tinggal di asrama orang-orang Kristen. Di sana, ia diperlakukan dengan sangat terhormat. Kalau pulang ditegur, kalau ada acara dia diajak bergabung, kadang-kadang minum bersama walaupun mereka tahu kalau ia beragama Islam. Satu saat, seseorang bertanya, “Mengapa kamu tinggal di asrama Kristen? Mengapa tidak memilih asrama Muslimah yang ada juga di sekitar itu?” Akhirnya, dia pindah ke tempat kost yang hanya diisi oleh perempuan Muslimah. Karyawati ini belum memakai jilbab. Begitu dia masuk ke situ, dia menghadapi wajah-wajah yang garang dan begitu dia agak jauh, mereka mempergunjingkannya karena tidak mengenakan kerudung. Kalau perempuan yang pakai kerudung pulang, ia disambut dengan pelukan, cium pipi kiri, cium pipi kanan. Akan tetapi, kalau dia pulang, mau salam tangan saja, mereka memalingkan wajah, karena dia tidak pakai kerudung. Tersiksalah perempuan itu. Kalau ada acara minum-minum teh, dia tidak pernah diundang. Pokoknya kalau dia hadir di situ dia di-ignore oleh kawan-kawannya. Dosanya hanya karena dia tidak memakai kerudung. Hanya karena tidak memakai jilbab, dia dijatuhkan kehormatannya, dia dicemoohkan, dia diasingkan, dia diejek. Padahal, karena perbuatan seperti itu, semua pahala orang memakai kerudung terhapus karena menjatuhkan kehormatan saudaranya. Akhirnya, dia mengadu bahwa dia tidak betah, akan tetapi mau masuk lagi ke asrama Kristen dia juga tidak mau. Jadi, kita mempunyai kecenderungan untuk menjatuhkan. kehormatan orang Islam hanya karena berbeda mazhab atau pendapat. Boleh jadi, sekarang pun berbeda cara memakai kerudung saja sudah saling melirik dengan lirikan permusuhan. Anak saya pernah ditegur karena kerudungnya berbeda dengan perempuan-perempuan yang “salehah”. Tegurannya sangat kasar, “Apakah kamu tidak malu telanjang di hadapan orang banyak.” Anak saya yang pakai jilbab saja masih dihitung sebagai telanjang. Di sini, salah seorang jamaah Al-Munawwarah ada yang bertanya kepada saya, “Ustadz, bagaimana sih hukumannya kerudung lontong?” Saya sendiri tidak mengerti seperti apa “kerudung lontong” itu. Dalam ilmu bahasa, menurut salah seorang ahli linguistik, ada kata-kata yang kita ciptakan “khusus” untuk membahagiakan orang lain. Namun, ada pula yang disebut kata-kata seringai, yaitu kata-kata yang diciptakan khusus untuk menyerang dan menjatuhkan kehormatan orang lain. “Bloon” misalnya, “sebel” dan sebagainya. Itu kata-kata yang diciptakan untuk menjatuhkan kehormatan orang lain, termasuk pula kerudung lontong. Kata “lontong” ini bukan berarti lontong yang kita makan, ia mengandung makna khusus yang bersifat serangan. Betapa mudahnya kita menjatuhkan kehormatan orang lain. Padahal, seharusnya kita memuliakan sesama manusia, sebagaimana kita memuliakan Kabah. Saya teruskan lagi ucapkan Imam ‘Ali, “Allah telah mewajibkan kepada kamu untuk pergi menuju rumah-Nya Al-Haram, rumah-Nya yang dimuliakan. Dia jadikan rumah bagi seluruh umat manusia.” Mereka datang kepadanya seperti datangnya binatang-binatang ternak. Penafsiran berikutnya adalah kata yaridûnahu wurudal anʼam. Yaridun berasal dari kata waroda. Arti dari kata itu adalah datangnya binatang ternak untuk minum. Biasanya binatang-binatang itu punya tempat minum lalu mereka datang ke sana untuk minum. Datangnya itu disebut waroda yaridu. Nah, Imam ‘Ali mengibaratkan jamaah haji itu seperti hewan-hewan yang berkumpul di suatu tempat untuk minum minuman ruhaniah yang agung. Kata Imam, “Mereka merindukan Kabah seperti rindunya burung merpati.” Itu adalah peribahasa Arab. Kita tahu, kalau burung itu suka berkumpul di satu tempat, yaitu tempat yang mereka senangi, tempat yang mereka sayangi. Wa ya’lahûna ilayhi wula hal hamâm. Mereka merindukannya seperti kerinduannya burung-burung merpati. Ya’lahûna berasal dari walaha. Akar katanya adalah Ilah yang artinya Tuhan. Ilah itu artinya Tuhan tetapi juga mengandung arti “yang dirindukan”. Karena itu, ada sebagian orang yang berpendapat kalau kata walaha di situ artinya ‘abada, menyembah. Ilah artinya yang disembah. Memang, salah satu makna kata Ilah adalah yang disembah. “Dan mereka merindukan Kabah itu seperti kerinduannya burung-burung merpati untuk berkumpul di sekitar tempat yang mereka senangi.” Biasanya, orang yang sudah menunaikan ibadah haji, tentu ada beberapa pengecualian tetapi pengecualiannya sedikit, setelah ibadah haji dia senantiasa merindukan untuk datang lagi ke sana. Bahkan, ketika diperlihatkan Kabah boleh jadi berurai air matanya. Ada kerinduan yang tidak terpuaskan untuk menjenguk kembali Baitullah Al-Haram; rumah Allah yang dimuliakan itu. Jadi, kata Imam ‘Ali, kerinduan kepada Kabah itu seperti burung-burung merpati yang merindukan tempat berkumpulnya. Karena itu, burung merpati sering dijadikan burung pos. Sebabnya, karena dahulu, kalau orang mau pergi berperang, dia membawa merpati dari rumahnya, agar nanti kalau berada di medan perang, dia bisa memberi kabar kepada keluarganya. Dia gantungkan surat itu di kaki sang merpati. Burung ini pun akan kembali lagi ke tempatnya. Ajaibnya, merpati selalu tahu jalan pulang walaupun ia telah dibawa pergi ke tempat yang sangat jauh, seolah-olah ia memiliki sistem navigasi supercanggih yang akan memandunya untuk kembali lagi ke rumah tuannya, di mana dia tinggal untuk berkumpul bersama rekan-rekannya yang lain. Imam ‘Ali mengibaratkan jamaah haji itu sebagai burung-burung merpati. Kita ini, jamaah haji yang tersebar di seluruh dunia, sebetulnya adalah burung- burung merpati. Rumah kita yang hakiki adalah Kabah. Bukankah menurut Al-Quran, rumah yang pertama yang diciptakan untuk manusia adalah bangunan suci di Makkah? Itulah rumah kita semua. Jadi, ketika kita menunaikan haji ke Makkah, hakikatnya kita bagaikan merpati-merpati yang kembali ke sarangnya. Selanjutnya, Imam ‘Ali mengatakan, “Allah jadikan ibadah haji itu sebagai ‘alamah,” sebagai tanda, sebagai indikator. Kata ‘alamah dalam bahasa Indonesia menjadi alamat. Ia berasal dari kata “ilmu” yang artinya mengetahui. Jadi ‘alamah berarti sesuatu yang dari situ diketahui sesuatu yang lain. Allah Swt. menjadikan haji ini sebagai pertanda, sebagai alamat tentang kerendahan manusia di hadapan kebesaran- Nya. “Kemudian mereka tunduk karena keagungan-Nya. Allah telah memilih dari makhluknya.” Orang yang bisa berangkat haji itu adalah manusia-manusia pilihan Allah Swt. Karena itu, kalau sudah terpilih menjadi peserta ibadah haji, termasuk dosa besar apabila kita menghindari pilihan itu. Allah sudah memilihnya tetapi kita malah menghindarinya, hanya karena urusan duniawi semata. Dalam sebuah hadits disebutkan, kalau orang sudah dipilih Tuhan untuk berangkat haji, kemudian dia tidak berangkat karena urusan dunia yang harus diselesaikannya, maka dia tidak akan menyelesaikan urusan dunianya itu sebelum seluruh jamaah haji pulang ke tanah air. Ketika Rasulullah Saw. membaca ayat, “Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar),” (QS. Al- Isra’ : 72). Para sahabat bertanya, “Siapa itu ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang suka menangguh-nangguhkan ibadah haji.” Sudah ada uangnya tetapi dia tangguhkan terus karena kesibukannya. Yang seperti itu adalah orang yang buta di dunia ini dan di akhirat juga akan buta dan termasuk orang- orang yang rugi. Dalam hadits lain, Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa yang tidak mau menunaikan haji dan menangguh-nangguhkan hajinya, padahal dia sudah mampu, dia boleh mati sebagai Yahudi atau Nasrani.” Maka, dalam khutbahnya ini, Imam ‘Ali menggunakan kata, “Allah sudah memilih di antara makhluk-Nya, orang-orang yang mau mendengar panggilan-Nya.” Ada sebuah hadits juga, dulu Nabi Ibrahim itu memanggil manusia untuk datang ke Kabah. Setelah Nabi Ibrahim menitipkan anaknya di depan Kabah, meninggalkan istrinya di situ, ia pun naik ke puncak bukit, lalu berdoa, di antara doanya, “Ya Allah, jadikanlah hati manusia terpaut ke tempat ini. Jadikanlah hati manusia selalu rindu ke tempat ini.” Menurut riwayat, panggilan Nabi Ibrahim ini dijawab oleh calon-calon manusia yang masih berada di alam dzar (Primordial). Mereka inilah yang kemudian mendapat kesempatan untuk berangkat haji. Sesungguhnya, jamaah haji itu mengikuti jejak para nabi sebelumnya. Di sekitar Kabah terdapat kuburan lebih dari tiga ratus nabi sepanjang sejarah. Para jamaah haji berhenti di tempat berhentinya para nabi. Para jamaah haji menyerupai para malaikat yang thawaf mengelilingi ‘Arasy sebagaimana para malaikat berputar mengelilingi ‘Arasy Allah. Katanya, putaran jamaah haji itu yang berlawanan dengan arah jarum jam— adalah putaran para malaikat di ‘Arasy, juga putaran seluruh benda di alam semesta ini. Bumi kita mengelilingi matahari seperti gerakan thawaf, bertentangan dengan arah jarum jam. Bulan pun mengelilingi bumi seperti gerakan thawaf. Itulah sebabnya, apabila sedang thawaf mengelilingi Kabah, saya selalu membayangkan para malaikat berkeliling di sekitar ‘Arasy, lalu membayangkan seluruh alam semesta berkeliling dalam satu aturan yang sama. Dalam kondisi demikian, bulu kuduk saya biasanya langsung berdiri dan saya pun tidak kuasa lagi menahan jatuhnya butir-butir air mata. Seperti itulah, jamaah haji menggabungkan diri dengan seluruh alam semesta untuk tunduk dihadapan kebesaran Allah Swt. Sebagaimana digambarkan oleh Imam ‘Ali, “Mereka mengumpulkan pahala keberuntungan dalam perniagaan ibadah mereka.” Dalam komentar Nahjul Balaghah, Ibnu Abi Al-Hadidi menceritakan tentang keutamaan Baitullah, Kabah, dan keutamaan ibadah haji, untuk menunjukkan berbagai pahala yang akan kita dapatkan di dalamnya. Pernah, kepada Rasulullah Saw. datang seseorang yang bernasib malang. la kehilangan kesempatan untuk ikut serta berhaji bersama Rasulullah, “Wahai Nabi, saya ini ketinggalan ibadah haji. Saya tidak jadi beribadah haji tahun ini. Sebutkan berapa ganti yang harus saya keluarkan untuk menebus dosa saya ini karena tidak bisa haji, sehingga saya bisa mendapatkan pahala yang sama seperti pahala ibadah haji? Berapa yang harus saya keluarkan untuk menebus itu?” Rasulullah Saw. menjawab, “Coba perhatikan oleh kamu bukit Abi Qubays itu ̶  yang hampir menutupi setengah kota Makkah. Andai bukit Abi Qubays itu terdiri dari emas merah yang sangat mahal harganya, kemudian kamu infaqkan senilai bukit emas Abi Qubays itu, kamu tidak akan bisa menandingi besarnya pahala ibadah haji.” Imam ‘Ali kemudian melanjutkan, “Allah jadikan ibadah haji ini sebagai tanda keIslaman seseorang dan juga sebagai tempat bernaung bagi orang yang mencari perlindungan. Allah wajibkan hak-Nya lalu Allah tetapkan hajinya.” Karena itu, Allah Swt. berfirman, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), sesungguhnya Allah Mahakaya dari semesta alam,” (QS. Ali Imran :97). Hal paling utama dari ibadah haji adalah, bahwa tujuannya satu, yaitu untuk Allah saja, bukan untuk tujuan-tujuan lain. Karena itu, kita tidak boleh berangkat haji sebagai sampingan, harus semata-mata karena Allah. Saya pernah mendengar cerita dari seorang Iran, Dr. Muwahidi. Dia bercerita tentang seorang ulama saleh. Ketika itu, ia akan berziarah ke Masyhad. Ia memberi tahu ibunya bahwa ia mau berziarah ke pusara Imam ‘Ali Ridho. Ibunya mengatakan kalau di Masyhad itu ada sejenis alat kesenian tradisional, dan ia menginginkannya sebagai oleh-oleh dari Masyhad. “Tolong sambil berangkat ke sana, belikanlah satu sebagai hadiah.” Akhirnya, ulama ini pergi. Ia membeli pesanan khusus itu, dan tidak lama kemudian pulang lagi. Ibunya bertanya, “Mengapa begitu cepatnya engkau kembali?’ Dia menjawab, “Kepergian saya ke Masyhad itu hanya untuk membeli pesanan ibu. Saya tidak ingin berziarah ke Masyhad sambil membeli pesanan ibu.” Lalu, dia pergi lagi ke Masyhad untuk berziarah saja bukan untuk hal yang lainnya. Artinya, kalau orang mau beribadah haji, tujuan utamanya itu harus untuk Allah Swt. semata. Tidak boleh ada tujuan yang lain. Ketika saya dan istri berniat melaksanakan haji (pertama kali untuk istri saya), saya diundang ke London untuk menghadiri sebuah konferensi. Lalu saya pikir, sambil menghadiri konferensi itu, saya pun berniat untuk beribadah haji. Jadi, ibadah hajinya itu sampingan saja, tujuan utamanya adalah pergi ke London. Ternyata, di London saya tidak berhasil memperoleh visa. Kemudian, saya pergi ke Belanda. Anehnya, di sana pun saya tidak berhasil mendapatkan visa, hingga akhirnya saya pulang ke Indonesia. Rupanya Allah Swt. tidak menyukai orang yang menjadikan hajinya sebagai ibadah sambilan. JR wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Hanya Korban Yang BerkurbanJune 7, 2025Setiap hari raya Idul Adha, Rasulullah Saw. membeli dua ekor domba yang gemuk, dan berbulu putih bersih. mengimami shalat dan berkhutbah. Sesudah itu, dia mengambil seekor domba itu dan meletakkan telapak kakinya di sisi tubuh domba seraya berkata, “Ya Allah, terimalah ini dari Muhammad dan umat Muhammad.” Lalu dia menyembelih hewan itu dengan tangannya sendiri. Sesudah itu, memberikan domba yang lain dan berdoa, “Ya Allah, terimalah ini dari umatku yang tidak mampu berkurban.” Sebagian dari dagingnya dimakan oleh Rasulullah Saw. dan keluarganya. Sisanya semuanya dibagikan kepada orang-orang miskin. Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad, Ibn Majah, Abu Dawud, Al-Tirmidzi, dan lain-lain. Berdasarkan riwayat ini, para ulama menetapkan ibadah kurban sebagai sunnah muakkadah (sunnah yang sangat penting). Sejak saat itu, setiap tahun di seluruh Dunia Islam, binatang-binatang ternak disembelih. Berbeda dengan upacara persembahan (offering) pada agama-agama di luar Islam, di dalam Islam daging kurban tidak seluruhnya diserahkan kepada Tuhan. Tuhan tidak makan daging. Daging kurban dinikmati sebagian oleh pelaku kurban dan sebagian lainnya oleh fakir miskin. Tidak sekerat pun daging yang diberikan kepada Tuhan. Tidak sampai kepada Allah daging dan darahnya. Tetapi yang sampai kepada-Nya hanyalah ketakwaanmu. (QS 22: 37) Kurban ̶Arab: qurban, yang secara harfiah berarti “mendekatkan” ̶ dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dengan mendekatkan diri kepada sesama manusia, khususnya mereka yang sengsara. Ketika Nabi yang mulia mengatasnamakan kurbannya untuk dirinya, keluarganya, dan semua umatnya yang tidak mampu, ia menegaskan ibadah kurban sebagai ibadah sosial. Ibadah kurban bukan sekadar ritus persembahan untuk meningkatkan kualitas spiritual seseorang; bukan hanya cara untuk memperoleh kepuasan batin karena sudah naik ke langit. Bukan juga kesempatan buat orang kaya untuk menunjukkan kesalehan dengan harta yang dimilikinya. Dengan ibadah kurban, seorang Muslim memperkuat kepekaan sosialnya, naik ke langit dengan memakmurkan bumi. Inti kurban terletak pada individu sebagai makhluk sosial. Ketika para ahli fiqih menetapkan seekor domba untuk seorang pelaku kurban dan seekor sapi untuk tujuh orang, Nabi Saw. berkurban untuk dirinya, keluarganya, dan semua umatnya. Ketika Ustaz Didi melihat murid-murid SMP berpatungan membeli seekor domba, dia berkata, “Ini bukan kurban. Seekor domba tidak dapat menjadi kurban 40 orang murid. Ini sedekah saja.” Rasulullah berkata bahwa seekor domba yang disembelihnya diperuntukkan bagi seluruh umatnya, khususnya yang tidak mampu berkurban. Islam kita adalah Islam individual. Islam Rasulullah adalah Islam sosial. Ibadah kurban mencerminkan pesan Islam: Anda hanya dapat dekat dengan Tuhan bila Anda mendekati saudara-saudara Anda yang berkekurangan. Islam tidak memerintahkan Anda untuk membunuh hewan di altar pemujaan, atau di dalam hutan, atau di tepi lautan dan sungai, lalu Anda serahkan seluruhnya kepada Tuhan. Al-Quran berseru, … lalu makanlah sebagian dari dagingnya dan beri makanlah (dengan bagian yang lain) orang fakir yang sengsara (QS 22: 28). Bila Anda memiliki kenikmatan, Anda disuruh berbagi kenikmatan itu dengan orang lain. Bila puasa mengajak Anda merasakan lapar seperti orang-orang miskin, maka ibadah kurban mengajak mereka untuk merasakan kenyang seperti Anda. Banyak orang mendekatkan diri kepada Allah dengan mengisi masjid-masjid atau rumah ibadah yang sunyi. Islam menganjurkan Anda untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan mengisi perut-perut yang kosong. Ketika Musa a.s. bertanya, “Ya Allah, di mana aku harus mencari-Mu?” Allah menjawab, “Carilah aku di tengah-tengah orang yang hatinya hancur.” Ketika Nabi Muhammad berdoa di kebun Utbah bin Rabi’ah, dia memanggil Allah dengan sebutan, “Ya Rabb Al-Mustadh’afin (Wahai, Tuhan yang melindungi orang-orang tertindas).” Dalam hadis qudsi diriwayatkan bahwa nanti pada Hari Kiamat, Allah mendakwa hamba-hamba-Nya, “Hai hamba-hamba-Ku, dahulu Aku lapar dan kalian tidak memberi-Ku makanan. Dahulu Aku telanjang dan kalian ti- dak memberi-Ku busana. Dahulu Aku sakit dan kalian tidak memberi-Ku obat.” Waktu itu, yang didakwa berkata, “Ya Allah, bagaimana mungkin aku memberi-Mu makanan, pakaian, dan obat, padahal Engkau Rabb Al-‘Alamîn.” Lalu Tuhan bersabda, “Dahulu ada hamba-Ku yang lapar, telanjang, dan sakit. Seki- ranya kamu mendatangi mereka, mengenyangkan perut mereka yang lapar, menutup tubuh mereka yang telanjang, mengobati sakit mereka, maka kamu akan mendapatkan Aku di situ.” Kurban dalam Al-Quran Menarik sekali ketika Al-Quran bercerita tentang upacara kurban yang pertama dalam sejarah kemanusiaan. Kita kutipkan rangkaian ayat Al-Ma’idah 27-30, Dan ceritakanlah kepada mereka dengan benar tentang riwayat dua putra Adam. Tatkala mereka mempersembahkan kurban, tetapi yang diterima hanyalah dari yang satu di antara mereka dan dari yang lain tak diterima. Ia berkata, “Sesungguhnya aku akan membunuh engkau.” (Yang lain) berkata, “Allah hanya akan menerima dari orang yang bertakwa.” Jika engkau merentangkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku takkan merentangkan tanganku untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan sarwa sekalian alam. Sesungguhnya aku lebih suka bahwa engkau akan memikul dosa karena membunuhku dan dosamu sendiri, lalu engkau akan menjadi golongan penghuni api neraka. Itulah pembalasan orang yang zalim. Akhirnya, jiwanya dibuat mudah baginya untuk membunuh saudaranya. Maka ia membunuhnya; maka dari itu, ia menjadi golongan orang yang rugi. Para ahli tafsir mengatakan bahwa dua orang yang beriman dalam kisah ini adalah Qabil dan Habil. Keduanya disuruh berkurban oleh ayah mereka, Adam. Habil mempersembahkan hewan yang paling baik dengan senang hati dan tulus. Qabil berkurban hanya untuk mengalahkan saudaranya yang kepadanya ia iri hati. Tuhan menerima kurban yang ikhlas. Qabil bertambah iri dan memutuskan untuk membunuh Habil. Kata Thabathabai dalam tafsir Al-Quran, Al-Mizân (5:298), “Inilah contoh bagaimana kedengkian dapat membawa orang untuk membunuh saudaranya, kemudian membawa pada penyesalan dan kerugian, yang tidak ada jalan untuk menyelamatkannya.” Lalu, mengapa Al-Quran melukiskan Habil sebagai orang yang lemah? Mengapa ia tidak mau membela diri ketika ia hendak dibunuh oleh saudaranya? Mengapa kurban Habil menyebabkan ia menjadi korban? Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa Habil tidak membela diri tangan saudara- karena ia dengan sengaja memilih kematiannya di nya. Ia ingin memberikan pelajaran bagi umat manusia bahwa pelaku kezaliman tidak akan pernah beruntung; bahwa pembunuhan itu akan memulai suatu pertentangan abadi antara pelaku kurban yang ikhlas dan orang-orang zalim yang dengki. Ahli tafsir lainnya mengatakan bahwa kelemahan Habil merupa- kan lambang dari kelemahan orang-orang yang tertindas. Mereka tidak memiliki kekuatan “merentangkan tangan” untuk membunuh orang-orang zalim. Sepanjang sejarah, mereka sering berkurban memberikan harta mereka yang berharga untuk menolong sesama manusia. Tetapi, mereka sering menjadi korban. Mereka diminta berkurban untuk memberi makanan kepada yang kenyang. Al-Quran memberi pelajaran bahwa sepanjang sejarah orang zalim tidak pernah berkurban dengan ikhlas. Pelaku-pelaku kurban yang tulus adalah mereka yang tertindas. Sering kali hanya korban yang berkurban! JR wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
MARILAH KITA WUKUF DI ARAFAHJune 5, 2025Pada hari ini, jam ini, ketika kita berkumpul di sini, di sana di tanah suci, saudara-saudara kita sedang bermalam di berserakan di Mina. Mereka memenuhi kemah-kemah yang padang pasir, atau tergeletak begitu saja di atas bukit-bukit batu yang terjal, atau berbaring berdesakan di sekitar Jumrah. Kemarin mereka melempar Jumratul Aqabah, menyembelih kurban, dan menggunting rambut. Ada di antara mereka yang sudah melakukan thawaf ifadhah. Sekarang mereka melakukan salah satu kewajiban haji, yaitu bermalam yang pertama di Mina. Esok hari mereka bermalam yang kedua di Mina. Bila memilih nafar awwal, segera setelah itu mereka kembali ke Makkah. Seluruh rangkaian ibadah haji sudah selesai. Beberapa hari yang lalu, mereka berangkat ke Arafah dengan pakaian ihram dan menggunakan bahasa yang sama. Esok hari mereka kembali ke Makkah dengan pakaian yang beraneka ragam dan mengucapkan bahasa yang berlainan. Seperti jutaan kupu-kupu, mereka datang ke Arafah dalam sayap putih bersih dan kembali lagi ke Makkah dalam sayap yang sudah diberi warna. Sekarang melakukan upacara kupu-kupu Tuhan itu sedang menunggu perpisahan dengan rumah Tuhan Thawaf Wada’. Seluruh upacara haji merekonstruksi perjalanan Ibrahim as. Ibrahim as bukan saja Bapak Tauhid, yang ditugaskan membersihkan rumah Tuhan dari kemusyrikan, melainkan juga sebuah model dari manusia seorang memilih untuk berangkat menuju Tuhan. Tuhan bertanya “Mau pergi kemana kamu?” (QS Al-Takwir : 26). Ia menjawab, Aku akan berangkat menuju Tuhanku; tentulah Dia akan memberikan petunjuk kepadaku.” QS Al-Shaffat : 99). Tuhan bertanya kepada orang-orang yang melakukan ibadah haji, “Mau pergi ke mana Kamu?” Para Jamaah haji berkata seperti Ibrahim as, “Aku akan berangkat menuju Tuhanku; tentulah Dia akan memberikan petunjuk kepadaku.” Seperti Ibrahim as, saudara-saudara kita, tanpa mempedulikan usia dan kesehatan, tanpa memperhatikan kesibukan dan pekerjaan, tanpa menghiraukan keluarga dan kawan-kawan, meninggalkan tanah airnya, berangkat menuju rumah Tuhan, Baitullah. Ketika Tuhan memanggil mereka, “Maka berlarilah kamu kepada Allah. Sungguh Aku hanya pemberi ingat yang jelas bagi kamu.” (QS Al-Dzariyyat :50), para jamaah haji menjawab, serentak dalam teriakan yang sama, “Aku datang memenuhi panggilan-Mu, ya Allah. Aku datang memenuhi panggilan-Mu.” Sejak beberapa hari yang lalu, mereka menegaskan kesediaan mereka untuk berangkat menuju Tuhan, untuk berputar di sekitar rumah Tuhan. Teriakan itu keluar dari jutaan mulut, bergema di bukit-bukit yang tandus, yang bergaung dalam kelengangan padang pasir yang gersang. Di Arafah, pada malam sebelum wukuf, mereka merebahkan diri di hadapan Tuhan Sekalian Alam. Setiap orang merintih, “Ampunilah aku di malam ini, di saat ini, semua nista yang pernah aku kerjakan, semua dosa yang pernah aku lakukan, semua kejelekan yang pernah aku rahasiakan, semua kedunguan yang pernah aku amalkan, yang aku sembunyikan atau tampakkan, yang aku tutupi atau aku tunjukkan. Ampuni semua keburukan yang telah Engkau suruhkan malaikat yang mulia mencatatnya. Mereka yang Engkau tugaskan untuk merekam segala yang ada padaku. Mereka yang Engkau jadikan saksi-saksi bersama seluruh anggota badanku, dan Engkau sendiri mengawasiku di belakang mereka.” Pada waktu wukuf, mereka ulangi lagi rintihan itu di sela-sela sanjung dan puji mereka kepada Tuhan. Bersama talbiyah, rintihan para hamba Tuhan itu naik ke langit, bergabung dengan tasbih para malaikat pemikul Arasy. Memang, inilah syarat yang harus dipenuhi oleh semua orang yang kembali kepada Tuhan. Berangkat menuju Tuhan harus dimulai dengan meninggalkan segala dosa dan kemaksiatan. Seperti jamaah haji yang harus mandi sebelum mengenakan kain ihram, mereka yang berangkat menuju Tuhan harus membersihkan diri mereka dari segala kenistaan yang mereka lakukan, baik dalam kesendirian dalam keadaan terang-terangan, baik yang disembunyikan maupun yang ditampakkan. Panggilan untuk kembali kepada Allah tidak hanya ditujukan kepada para jamaah haji, tetapi juga kepada kita semua. “Larilah kamu kepada Allah!” Para jamaah haji sedang kembali kepada Allah mengikuti jalan Ibrahim as. Kita semua harus mengikuti jamaah haji: “Ikutilah jalan orang yang akan kembali kepada-Ku. Kemudian, kepada-Kulah tempat kembali kamu. Maka akan Kukabarkan kepada kamu apa-apa yang kami kerjakan” (QS. Luqman : 15). Satu saat kita semua harus kembali kepada Allah dalam keadaan terpaksa. Mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, suatu saat Tuhan akan menarik ubun-ubun kita, mengambil nyawa kita, dan memaksa kita kembali kepada-Nya. Allah memanggil kita untuk sejak kini kembali kepada-Nya. Bukankah ketika Tuhan bertanya kepada Kita: “Fa aina tadzhabun; Mau perg ke mana?” kita menjawab tidak jelas. Kita tidak tahu kemana kita sedang pergi: apa tujuan kita dalam hidup ini: mengejar karir, kekayaan, kedudukan, kemasyhuran, atau sekadar menghabiskan usia, atau secara buta hanya mengikuti zaman dan keadaan. Kembalilah kepada Tuhan sekarang juga. Arahkan perahu kehidupan kita menuju Allah Swt. Persis seperti jamaah haji, kita harus memilih untuk kembali kepada Tuhan secara sukarela, sebelum kembali kepada-Nya secara terpaksa. Sama seperti jamaah haji, kita harus wukuf lebih dahulu di hadapan Allah. Kita harus mulai perjalanan kembali kepada-Nya dari Arafah. Arafah artinya pengakuan, pengenalan. Merintihlah di hadapan Allah. Akui segala dosa yang kita lakukan. Akuilah bahwa selama ini kita telah melupakan Tuhan. Katakan terus- terang di hadapan-Nya bahwa sudah lama hidup kita diarahkan bukan kepada Allah. Kita diombang-ambing badai kehidupan. Kita berlayar tanpa pedoman. Akuilah di hadapan Allah bahwa selama ini kita menjadi pengembara padang pasir yang tersesat. Berulangkali kita mengejar apa yang kita sangka sebagai tujuan hidup kita, tetapi ternyata hanya fatamorgana yang menipu. Kita sudah kelelahan. Marilah kita adukan segala kesalahan dan kealpaan kita kepada- Nya. Bukankah kita menduga bahwa kenyataan adalah tujuan hidup kita sehingga untuk itu kita melakukan apa saja. Kita habiskan waktu kita untuk mengumpulkan beberapa butir kekayaan. Kita rampas milik orang lain. Atau kita hancurkan kehidupan orang banyak. Atau kita injak hak-hak orang lemah. Semuanya demi kekayaan. Lalu, kita temukan ternyata kekayaan tidak memuaskan kehausan kita. Kita sudah kelelahan. Mari kita berhenti sejenak. Marilah kita wukuf. Marilah kita menangis: “Tuhanku, telah lama aku mengabaikan-Mu. Aku telah salah mengambil jalan. Tubuhku sudah penuh dibalut lumpur kebusukan. Ampunilah daku. Bawa aku ke haribaan-Mu sehingga aku dapat mempersembahkan semua kekayaan- Mu yang aku miliki untuk membesarkan Asma-Mu.” Bukankah kita juga pernah menyangka bahwa kedudukan, jabatan adalah kejaran kita, dan untuk itu kita hantam kawan seiring, kita fitnah orang-orang yang pernah berjasa kepada kita, kita korbankan persahabatan dan kekeluargaan, kita abaikan kita berlaku curang, sayang: sakitnya kehilangan cinta dan kasih culas, dan khianat? Semuanya demi kedudukan. Lalu, kita temukan, ternyata kedudukan malah menambah beban kita. Kita sudah kelelahan. Mari kita berhenti sejenak di halaman Tuhan. Marilah kita wukuf. Marilah kita menjerit: “Tuhanku, telah lama aku tulikan telingaku untuk mendengarkan seruan-Mu. Aku pusatkan perhatianku hanya pada ambisiku. Hatiku sudah dipenuhi kedengkian dan kebengisan. Tanganku sudah berlumuran darah orang-orang yang aku zalimi. Maafkan daku. Bangunkan daku dari ketergelinciranku. Peganglah tanganku. Kuatkan kakiku sehingga, walaupun tertatih-tatih, aku tetap berjalan menuju ridha-Mu.” Boleh jadi kita telah bekerja keras mengejar apa saja; tetapi tidak berhasil mendapatkannya. Sudah banyak pengorbanan yang kita lakukan. Kita cari kekayaan tetapi kita masih juga miskin seperti dulu. Kita tuntut kedudukan, tetapi kita tetap saja orang kecil seperti semula. Kita kejar kemasyhuran, tetapi kita tetap saja tidak dikenal. Kita sudah mengeluarkan suara kita sekeras mungkin, tetapi tidak seorang pun mendengar kita. Kita sudah membanting tulang, memeras keringat untuk cita-cita yang bermacam-macam, tetapi kita masih saja terpuruk sebagai orang yang gagal selama kehidupan. Kita sudah kelelahan. Mari kita berhenti sejenak di tengah sahara kehidupan kita. Mari kita rebahkan diri kita di hadapan Tuhan. Mari kita wukuf. Marilah kita menangis: “Tuhan, aku sudah meninggalkan-Mu hanya untuk menumpuk kegagalan. Bimbinglah aku untuk berangkat menuju-Mu. Bantulah aku untuk menundukkan kehendakku pada kehendak-Mu. Kuatkan anggota badanku. Segarkan jiwaku dengan siraman cinta- Mu.” Setelah wukuf mari kita pergi menuju Mina. Marilah kita lempar setan dengan batu-batu keimanan kita. Marilah kita renungkan dialog Tuhan dengan hamba-Nya seperti dikisahkan dalam Tafsir Al-Kabir-nya Al-Fakhr Al-Razi. Allah Swt berfirman, “Wahai hamba-Ku, telah kujadikan taman surga bagimu dan kau pun telah memperuntukkan tamanmu untuk-Ku. Tetapi renungkanlah, apakah telah kau lihat taman-Ku sekarang? Apakah engkau sudah masuk ke dalamnya?” Si hamba berkata “Belum, ya Rabbi.” Allah berfirman lagi, “Apakah aku sudah masuk tamanmu?” Tentu si hamba menjawab, “Sudah, ya Rabbi.” Tuhan berfirman, “Ketika engkau hampir masuk ke dalam surga-Ku, Aku keluarkan setan dari taman-Ku. Semuanya untuk mempersiapkan kehadiranmu. Aku berkata kepadanya (setan), “Keluarlah dari sini dalam keadaan hina dina!” Aku telah keluarkan musuhmu sebelum kamu masuk ke situ. Kini, apa yang kamu lakukan? Aku sudah berada di tamanmu 70 tahun, mengapa belum juga kaukeluarkan musuh-Ku, mengapa belum kauusir dia?” Sang hamba berkata, “Tuhanku, Engkau berkuasa mengeluarkan dia dari taman-Mu, tetapi aku seorang hamba yang rentan dan lemah. Aku tiada kuasa mengeluarkannya.” Allah berfirman, “Orang lemah akan menjdi kuat apabila ia memasuki perlindungan raja yang perkasa. Masuklah ke dalam perlindungan-Ku sehingga engkau akan sanggup mengeluarkan setan dari taman hatimu. Ucapkanlah: “Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk.” (Tafsir Al-Kabir li Al-Fakhr Al- Razi : 99). Kitalah hamba Allah yang disuruh untuk mengusir setan dari hati kita. Marilah kita persiapkan hati kita untuk menjadi taman tempat bersemayam Allah Rabbul ‘Al-Alamiin. Dari Mina, marilah kita menuju Baitullah. Mari kita habiskan umur kita untuk terus-menerus berputar di sekitar rumah Tuhan. Apa pun yang kita lakukan, kita tidak menjauhi Tuhan. Kita persembahkan kekayaan kepada Tuhan dengan membagikannya kepada hamba-hamba-Nya yang memerlukan. Bukankah Tuhar pernah berfirman, “Dekatilah Aku di tengah-tengah orang-orang keci di antara kamu. Temui aku tengah-tengah orang yang menderita.” Kita peruntukkan kedudukan kepada Tuhan dengan menggunakanny untuk melindungi orang-orang yang lemah dan dilemahkan. Kit syukuri semua anugerah Tuhan kepada kita dengan berusah membahagiakan sesama manusia. Insya Allah, dengan begitu, kit bergabung dengan jamaah haji yang memeroleh haji yang mabrur sa’i yang masykur, dan usaha yang tidak pernah merugi. Inilah tradisi Ibrahim as. Inilah Sunah Rasulullah Saw. Inilah jalan hidup kita semua.  JR wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
WASIAT NABI SAW. DI MINAJune 5, 2025Pagi ini, ketika kita berkumpul di sini, saudara-saudara kita yang melaksanakan haji sekarang sedang berkumpul di Mina. Seandainya Allah membukakan kepada kita pemandangan di Mina, kita akan menyaksikan jutaan kaum Muslim sedang berdesakan di sekitar Jumrah Al-‘Aqabah. Kita akan mendengar gemuruh takbir mereka ketika tangan-tangan mereka menghujani lingkaran kecil Jumrah dengan bebatuan. Kita akan melihat sebagian jamaah yang kita kenal melepaskan diri dari impitan manusia. Selesai melempar, kemudian berpelukan dengan pipi yang basah oleh air mata. Rombongan demi rombongan kita saksikan datang dan pergi. Sebagian ada yang meneruskan perjalanan ke Makkah untuk melakukan thawaf ifâdhah; sebagian ada yang beristirahat di kemah mereka; sebagian ada yang pergi ke tempat penyembelihan; dan sebagian lagi ada yang ziarah ke Masjid Al-Khaif. Seribu empat ratus tahun yang lalu, pada hari yang sama, jamaah Muslim yang pertama kumpul juga di situ. Bila Allah Swt. mengembalikan kita ke zaman itu, kita akan melihat Sayyid Al-Anâm, Junjungan Alam, Muhammad Saw. berada di atas untanya, Al- Qashwa. Bilal dan Usamah memegang kendalinya. Unta itu berjalan perlahan-lahan menuju Jamarat. Setelah melempar, para sahabat berdesakan menemui Nabi Saw. “Ya Rasulullah, saya akan melempar dulu, baru kemudian menyembelih,” kata seorang sahabat. Dengan senyum dan keramahan yang tidak pernah lepas dari wajahnya, Nabi menjawab, “ La haraj-Tidak apa-apa!” Yang lain berkata, “Ya Rasulullah, saya a akan menyembelih dulu, baru kemudian melempar Jumrah.” “Lâ haraj,” jawab Nabi. Yang lain menyela, “Ya Rasulullah, saya bercukur dulu, baru melempar.” Puluhan orang mengajukan cara yang mudah mereka lakukan, dan Nabi selalu menjawab, “Lâ haraj.” Kita akan melihat Nabi yang mulia mencukur rambutnya. Para sahabat berdesakan untuk memperebutkan lembar demi lembar dari rambut yang suci. Kita menyaksikan Abu Thalhah Al-Anshari membagikan rambut Nabi, sehelai demi sehelai. Setelah berimpitan dan berjuang, Khalid bin Walid berhasil memperoleh selembar dan menyimpannya di pecinya. Sesudah itu, kita melihat Rasulullah Saw. menuju Masjid Al-Khaif. Dia memandang ribuan jamaah yang mengitarinya. Bibirnya yang kudus bergerak menyebutkan pujian kepada Allah. Dia menyampaikan khutbah, “Wahai manusia, dengarkan penjelasanku baik-baik, karena aku tidak tahu apakah aku masih berjumpa lagi dengan kalian di tempat ini pada tahun yang akan datang.” Suaranya bergetar. Para sahabat mencoba menahan tangisan yang mulai tertahan di tenggorokan mereka. “Apakah aku sudah menyampaikan risalah Tuhanku kepada kalian?” serentak terdengar gemuruh jawaban yang sama, “Benar. Engkau sudah menyampaikannya kepada kami.” “Allâhumma isyhad. Ya Allah, saksikanlah!” Sebagian sahabat sudah tidak sanggup lagi menahan tangisan mereka. Mereka mengetahui bahwa tugas Nabi sudah berakhir. Ini berarti, sebentar lagi manusia yang paling mereka cintai akan meninggalkan mereka; sebentar lagi wajah agung itu akan hilang dari pandangan mereka; sebentar lagi sorot mata yang penuh kasih sayang itu akan tertutup. “Wahai manusia,” begitu kata Nabi selanjutnya, “hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir. Tahukah kalian hari apakah sekarang ini (Ayyu yaumin hâdzâ)?” “Hari yang suci (Yaumun haram).” “Negeri apakah ini (Ayyu baladin hâdzâ)?” “Negeri yang suci (Baladun haram).” “Bulan apakah ini (Fa ayyu syahrin hâdzâ)?” “Bulan yang suci (Syahrun haram).” “Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, kehormatan kalian sama sucinya seperti hari ini, di negeri ini, pada bulan ini. Sesungguh nya kaum mukmin itu bersaudara. Tidak boleh ditumpahkan darahnya. Tuhan kalian satu. Bapak kalian semua Adam dan Adam dari tanah. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah ialah yang paling takwa. Tidak ada kelebihan orang Arab di atas orang asing kecuali karena takwanya. Apakah aku sudah menyampaikan kepada kalian (Hal ballaghtu)?” Suara gemuruh terdengar lagi, “Na’am (Benar).” Begitulah setiap kali Nabi menyampaikan satu bagian (maqtha) nasihatnya, beliau mengakhirinya dengan “hal ballaghtu“, dan sahabat-sahabatnya menjawab serentak “na’am“. Setiap beliau memulai bagian nasihatnya, beliau berkata, “Simaklah pembicaraanku, kalian akan memperoleh manfaat sesudah aku tiada. Pahamilah baik-baik supaya kalian memperoleh kemenangan (Ihfazhû qauli tantafi’u bihî ba’di, wafhamûh, tanasyu).” Dalam sejarah Islam, khutbah Nabi di Masjid Al-Khaif sering disebut sebagai khutbah haji wada’ (khutbah haji perpisahan). Seperti yang dijelaskan oleh Rasulullah Saw., setelah khutbah itu, bahwa beberapa hari kemudian beliau berangkat menemui Allah. Nabi tidak pernah haji lagi setelah itu. Beliau pergi untuk selama-lamanya. Pada hari Mina sekarang ini, marilah kita merenungkan sebagian khutbah Nabi pada haji wada itu. Pertama, Rasulullah mengingatkan kita untuk menjaga persaudaraan sesama Muslim. Darah, harta, dan kehormatan kaum Muslim tidak boleh diganggu. Kita dilarang melukai sesama Muslim, dilarang mengambil hartanya dengan cara yang haram, dan dilarang menghina, memfitnah, mencemoohkan, dan hal-hal lain yang meruntuhkan kehormatannya. “Memaki seorang Muslim itu durhaka dan membunuhnya kafir,” kata Rasulullah Saw. Lalu siapakah orang Islam yang sebenarnya? “Orang Islam,” kata Rasulullah Saw., “ialah orang yang menyelamatkan orang Islam yang lain dari gangguan lidah dan tangannya.” Kedua, Nabi Saw. memperingatkan kaum Muslim untuk memelihara akidahnya. Karena kalau akidah sudah rusak, mereka akan saling membunuh. Kemudian dia berwasiat agar kita tetap berpegang teguh pada Al-Quran dan Ahli Baitnya. “Janganlah kalian kembali kufur, sehingga sebagian di antara kamu menyerang sebagian yang lain. Aku tinggalkan untuk kalian dua hal yang apabila kalian pegang teguh, kalian tidak akan sesat selama-lamanya: Kitab Allah dan keluargaku. Allah Yang Mahakasih dan Mahatahu telah memberitahukan kepadaku bahwa keduanya tidak akan berpisah sampai keduanya datang kepadaku di telaga pada Hari Kiamat. Maka, barang siapa berpegang teguh pada keduanya, mereka akan selamat; barang siapa menyalahi keduanya, mereka akan ditimpa celaka.” Ketiga, Rasulullah Saw. meriwayatkan kepada setiap suami yang Muslim untuk berlaku baik terhadap istrinya. “Wahai manusia, sesungguhnya istri kalian mempunyai hak atas kalian sebagaimana kalian mempunyai hak atas mereka. Hak kalian atas mereka ialah mereka (para istri) tidak boleh mengizinkan orang yang tidak kalian senangi masuk ke rumah kalian kecuali dengan izin kalian. Terlarang bagi mereka melakukan kekejian. Jika mereka berbuat keji, bolehlah kalian menahan mereka dan menjauhi tempat tidur mereka, serta memukul mereka dengan pukulan yang tidak melukai mereka. Jika mereka taat, maka kewajiban kalian adalah menjamin rezeki dan pakaian mereka sebaik-baiknya. Ketahuilah, kalian mengambil wanita itu sebagai amanah dari Allah, dan kalian menghalalkan kehormatan mereka dengan Kitab Allah. Takutlah kepada Allah dalam mengurus istri kalian. Aku wasiatkan kalian untuk selalu berbuat baik kepada mereka.” Perhatikan, bagaimana pada saat-saat terakhir dari kehidupan beliau, Rasulullah mewasiatkan kepada para suami untuk membahagiakan istri-istri mereka. “Tidak akan memuliakan istri kecuali laki-laki yang mulia, dan tidak akan menghinakannya kecuali laki-laki yang hina.” Itulah sebagian kecil dari khutbah Rasulullah di Mina. Sungguh, kita akan membahagiakan hati Rasulullah Saw. bila kita berhasil melaksanakan wasiatnya: memelihara persaudaraan di antara kaum Muslim, berpegang teguh pada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw. yang dibawa oleh keluarganya yang suci, serta menjaga kebahagiaan rumah tangga kita dengan sikap saling mencintai dan menghormati. JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Haji: Manusia SejatiJune 4, 2025‘Arafah, sembilan Dzulhijjah, pada paruh kedua abad pertama Hijriah. Ratusan ribu kaum Muslim berkumpul di sekitar Jabal Rahmah, bukit kasih-sayang. Segera setelah tergelincir matahari, terdengar gemuruh suara zikir dan doa. ‘Alî bin Husayn bertanya kepada Zuhrî, “Berapa kira-kira orang yang wuquf di sini?” Zuhrî menjawab, “Saya perkirakan ada empat atau lima ratus ribu orang. Semuanya haji, menuju Allah dengan harta mereka dan memanggil-Nya dengan teriakan mereka.” Alî bin Husayn berkata, “Hai Zuhrî, sedikit sekali yang haji dan banyak sekali teriakan.” Zuhrî keheranan, “Semuanya itu haji, apakah itu sedikit?” ‘Alî menyuruh Zuhrî mendekatkan wajahnya kepadanya. Ia mengusap wajahnya dan menyuruhnya melihat ke sekelilingnya. Ia terkejut. Kini ia melihat monyet-monyet berkeliaran dengan menjerit-jerit. Hanya sedikit manusia di antara kerumunan monyet. ‘Alî mengusap wajah Zuhrî kedua kalinya. Ia menyaksikan babi-babi dan sedikit sekali manusia. Pada kali yang ketiga, ia mengamati banyaknya serigala dan sedikitnya manusia. Zuhrî berkata, “Bukti-buktimu membuat aku takut. Keajaibanmu membuat aku ngeri” (Al-Hajj fi al-Kitâb wa as- Sunnah). Berkat sentuhan orang yang salih, Zuhrî dapat melihat  ̶ walaupun sejenak ̶  ke balik tubuh-tubuh mereka yang wuquf di ‘Arafah. Tuhan menyingkapkan tirai material dan pandangannya menjadi sangat tajam. Ia terkejut dan kebingungan karena begitu banyaknya orang yang tampak pada mata lahir sebagai manusia, dan pada mata batin sebagai binatang. Apakah kebanyakan kita hanyalah manusia secara majazi (kiasan) dan binatang secara hakiki? Ibadah haji adalah perjalanan manusia untuk kembali kepada fitrah kemanusiaannya. Kehidupan telah melemparkan kita dari kemanusiaan kita. Kita telah jatuh menjadi makhluk yang lebih rendah. Bukannya menjadi khalifah Allah, kita justru telah menjadi monyet, babi, dan serigala. Ketika menafsirkan firman Tuhan: Sungguh, telah Kami ciptakan manusia dalam susunan yang paling baik. Kemudian, Kami mengembalikan mereka pada yang paling rendah dari yang rendah (QS 95:4-5), Seyyed Hossein Nasr menulis, “Manusia diciptakan dalam susunan yang terbaik. Tetapi kemudian, ia jatuh pada kondisi bumi berupa perpisahan dan keterjauhan dari asal-usulnya yang ilahiah” (Sufi Essays). Dalam bahasa Jalâluddîn Rûmî, kita adalah seruling bambu yang tercerabut dari rumpunnya. Ketika suara keluar, yang terdengar adalah jeritan pilu, dari pecahan bambu yang ingin kembali ke rumpunnya semula. Kita hanya akan hidup sebagai bambu sejati bila kita kembali ke tempat awal kita. Kita hanya akan menjadi manusia lagi bila kita kembali kepada Allah. Sesungguhnya kita adalah kepunyaan Allah dan kepada-Nya kita kembali (QS 2:156). Para jamaah haji adalah kafilah seruling yang ingin kembali ke rumpun abadinya. Inilah rombongan binatang yang ingin kembali menjadi manusia. Ketika sampai di Miqat, mereka harus menanggalkan segala sifat kebinatangannya. Seperti ular, mereka harus mencampakkan kulit lama agar menjalani kehidupan baru. Baju-baju kebesaran, yang sering dipergunakan untuk mempertontonkan kepongahan, harus dilepaskan. Lambang-lambang status, yang sering dipakai untuk memperoleh perlakuan istimewa, harus dikubur dalam lubang bumi. Sebagai gantinya, mereka memakai kain kafan, pakaian seragam yang akan dibawanya nanti ketika kembali ke “kampung halaman.” Di Miqat, jamaah haji menanggalkan intrik-intrik monyet, kerakusan babi, dan kepongahan serigala. Mereka harus menjadi manusia lagi. Manusia ialah makhluk yang secara potensial mampu menyerap seluruh asma Allah. Di Miqat, setelah membersihkan diri dari kotoran-kotoran masa lalunya, seorang haji keluar lagi seperti anak kecil yang baru dikeluarkan dari perut ibunya: suci dan telanjang. Perlahan-lahan ia mengenakan pakaian kesucian, kejujuran, kerendahan hati, dan pengabdian. Dengan wajah yang diarahkan ke Rumah Tuhan, dengan hati yang sudah dibersihkan dengan tobat yang tulus, ia berkata, “Ya Allah, aku datang memenuhi panggilan-Mu.” Di Rumah Tuhan, para haji memperbarui baiat mereka dengan mencium Hajar Aswad. Mereka berputar bersama para malaikat di sekitar Arasy, menandakan keterikatan kemanusiaan mereka dengan ketuhanan. Di ‘Arafah, seruling-seruling itu sudah menyatu dengan rumpun bambunya. Al-Hajj Arafah. Di Arafah itulah haji. Di situlah bergabung semua manusia dalam kedalaman lautan ketunggalan Tuhan (fi lujjah bahr ‘ahadiyyatih). Berapa banyakkah di antara jutaan orang yang beruntung dapat berhimpun di ‘Arafah adalah haji  ̶  manusia yang sudah kembali kepada Tuhannya? Berapa besarkah di antara mereka yang kumpul di ‘Arafah tahun ini yang sudah meninggalkan selama-lamanya sifat-sifat kebinatangannya dan sebagai gantinya menyerap rahman-rahimnya Allah? Kita tidak tahu. Dahulu, ketika umat Islam masih belum mendunia, hanya sedikit yang haji. Dalam pandangan Zuhrî, kebanyakan masih bertahan dalam kebinatangan mereka. Kini, kita berdoa, mudah-mudahan mereka semua menjadi haji yang mabrur  ̶ yakni manusia sejati yang tubuhnya menapak di bumi, tetapi ruhnya bergantung ke Arasy Tuhan. Ketika mereka kembali ke tanah airnya, mudah-mudahan mereka menyebarkan berkah ke sekitarnya. Ketulusan hati mereka menusuk jantung orang-orang munafik. Air zamzam yang mereka bawa menjadi tetes-tetes mukjizat yang mengubah monyet yang licik menjadi manusia yang jujur. Kesucian batin mereka menghantam kepala para pecinta dunia. Air mata mereka keluar membersihkan babi-babi yang serakah dan mengubahnya menjadi manusia yang dermawan. Akhirnya, kerendahan hati mereka menghantam kepala para tiran pemuja kekuasaan. Cahaya wajah yang sudah disinari Ka’bah mematahkan leher serigala yang pongah dan mengubahnya menjadi manusia yang penuh kearifan dan kasih sayang. Betapa perlunya negeri ini dengan kehadiran para haji! JR wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...

Buku Karya KH. Jalaluddin Rakhmat

« of 2 »

Videografi

This error message is only visible to WordPress admins

Unable to retrieve new videos without an API key.

Error: No videos found.

Make sure this is a valid channel ID and that the channel has videos available on youtube.com.

Audiografi

UJR-MFR

“Jangan remehkan racun walau setetes. Jangan remehkan dosa sekecil apapun”

​KH. Jalaluddin Rakhmat
@katakangjalal

Contact Jalan Rahmat

Jl. Kampus II No. 13-15. Kiaracondong. Bandung