Warisan intelektual

untuk perkhidmatan

dan pencerahan pemikiran

Quotes
0
Articles
0
Videos
0
Audios
0

Jalan Rahmat

Misi Kami

Di Jalan Rahmat, kami berusaha menghadirkan kembara intelektual itu. Perjalanan dan pengelanaan beliau mengarungi ‘jagat’ semesta itu. Ada dokumentasi karya beliau. Puluhan buku, ratusan artikel, ribuan ceramah. Ada rekaman audio dan video. Ada pula karya-karya para guru bangsa, baik sahabat karib Allah yarham, para intelektual sezaman, maupun karya-karya para ulama besar yang mempengaruhi jagat kembara intelektual beliau. Jalan Rahmat adalah sebuah digital library yang ingin menghadirkan kembali semangat intelektual itu.

Jalaludin Rakhmat - Tauziah
Digilib

Donasi dan Beasiswa

Donasi dan Beasiswa untuk sekolah, madrasah, klinik, dan ragam kegiatan lainnya.

tauziyah

Digital Library

Kumpulan Ceramah, Artikel, Buku, Video dari para Guru Bangsa.

healthcare

Jalan Kecintaan

Warisan terutama dan teramat berharga dari Allah yarham adalah mengantarkan kami dan kita semua pada jalan menuju kerinduan dan kecintaan Sang Rahmatan lil ‘alamin. Itulah makna Jalan Rahmat yang sesungguhnya.

Latest Post

Bergabung Bersama Kafilah Rasulullah Saw.June 23, 2025Allah Swt. berfirman, Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan, serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kembali yang baik. (Yaitu) Surga ‘Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama- sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya, dan anak-cucunya, sedangkan malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu. (Seraya mengucapkan), “Salam ‘alaykum bima shabartum.” Maka alangkah baiknya tempat kembali itu. (QS 13: 21-24) Ayat-ayat itu menceritakan hamba-hamba Allah yang beruntung. Pada Hari Kiamat nanti, mereka diberi anugerah oleh Allah Swt. masuk ke surga beserta keluarganya, orang tua-orang tua mereka, istri mereka, dan juga keturunan mereka. Al-Quran melukiskan dengan indah kedatangan keluarga hamba Allah yang beruntung ini. Malaikat memberi sambutan khusus kepada mereka. Ada resepsionis khusus yang ditugaskan Allah untuk menyambut mereka. Mereka berbaris pada setiap pintu seraya mengucapkan salamun ‘alaykum bima shabartum fani’ma ‘uqbaddar (Selamatlah bagi kalian semua itu lantaran kalian bersabar dahulu dan inilah tempat kembali yang paling indah bagi kalian). Apa yang menyebabkan mereka bisa masuk ke surga bersama-sama keluarganya? Mengapa mereka bisa mengadakan reuni di akhirat nanti, reuni yang tidak lagi dibatasi oleh ruang dan waktu? Kalau hal ini terlalu abstrak dan filosofis, maka yang dimaksud adalah bahwa kalau kita sekarang ini mengadakan silaturahim, yang datang ke silaturahim itu hanyalah orang- orang yang berasal dari satu tempat. Keluarga yang tempatnya berjauhan sangat sulit untuk berkumpul di tempat itu. Jadi mereka dibatasi oleh ruang. Mereka tidak mengadakan reuni silaturahim yang melintasi waktu. Artinya, anggota keluarga yang sudah meninggal tidak lagi bisa bersilaturahim dengan kita, begitu pula keturunan kita. Akan tetapi di akhirat nanti ada orang-orang yang bisa mengadakan reuni dengan keluarganya baik yang sudah meninggal mendahului mereka maupun yang meninggal sesudah mereka. Al-Quran menyebutkan dengan kata abaihim, artinya generasi terdahulu; azwajihim, artinya generasi yang sezaman; dan dzurriyyatihim, artinya dengan generasi keturunan mereka. Sekali lagi, siapa gerangan orang yang beruntung bisa mengadakan silaturahim kembali di Hari Kiamat nanti beserta semua keluarganya? Dalam Surah Al-Ra’d ayat 21-24, yang dikutip di atas disebutkan bahwa salah satu tanda orang yang beruntung di Hari Akhirat nanti ialah orang yang di dunia ini senang menyambungkan tali silaturahim yang diperintahkan Allah untuk menyambungkannya. Karena di dunia ini mereka senang menyambungkan tali persaudaraan, maka Allah menyambungkan tali kekeluargaan nanti di Hari Akhirat. Dalam sebuah hadis qudsi, Allah Swt. berfirman, “Akulah yang Maha Pengasih. Aku menciptakan al-rahim (kekeluargaan) ̶ kebetulan kata al-rahim dan al-rahman berasal dari satu kata ̶ dan Aku berikan nama-Ku sendiri. Karena itu siapa yang memutuskan rahim, Aku akan memutuskan hubunganKu dengan dirinya. Dan siapa yang menyambungkan tali kekeluargaan, Aku pun akan mengukuhkan kekeluargaan nanti.” Itulah salah satu akhlak orang yang beruntung. Ia dapat berjumpa dengan keluarganya nanti pada Hari Kiamat. Pertemuannya bukan di sembarang tempat. Ia melakukan pertemuan di tempat yang paling baik. Dan inilah tempat kembali yang paling baik, yaitu di Surga ‘Adn. la masuk ke situ beserta orangtua, istri-istri, dan keturunan mereka. Lalu malaikat masuk pada setiap pintu menyambut kedatangan mereka. Kalau Anda ingin tahu orang-orang yang sangat penting (VIP) pada Hari Akhirat itu, maka itulah mereka. Mereka mendapatkan keistimewaan karena mereka dapat berkumpul dengan semua anggota keluarganya. Mereka melakukan reuni kembali, yang mungkin ketika di dunia dulu mereka satu demi satu berpisah dan mungkin mereka menangisi perpisahan itu. Sekarang, Allah mempertahankan kembali mereka di Surga ‘Adn bersama-sama, betapapun tingkat amal mereka berbeda. Apa yang menyebabkan keluarga ini bisa bergabung? Karena mereka di dunia senang menghubungkan tali kekeluargaan. Lalu dengan siapa saja sebenarnya kita harus menghubungkan tali kekeluargaan itu? Pertama, “dzal qurba“, keluarga yang dekat. Orang-orang yang dekat dengan kita. Yaitu keluarga yang dihubungkan dengan kita karena ada pertalian rahim. Keluarga yang satu nasab, keluarga satu rahim. Kebetulan dalam bahasa Arab, kata rahim juga berarti organ wanita yang menyimpan kita dahulu sebelum lahir. Mungkin rahimnya adalah rahim nenek kita yang kesekian. Atau rahim nenek kita yang paling dekat. Makin dekat rahim itu, seharusnya semakin kuat kita menjalin kekeluargaan. Oleh karena itu, keluarga juga disebut rahim, dan bentuk jamaknya disebut al-arham. Di dalam Al-Quran, silaturahim ini merupakan perintah yang kedua setelah takwa. Allah Swt. berfirman, Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan mempergunakan nama-Nya kamu saling memohon, dan peliharalah hubungan silaturahim (QS 4: 1) Jadi, perintah takwa selalu digandengkan dengan perintah menyambungkan silaturahim. Dalam Surah Al-Ra’d tersebut juga disebutkan orang-orang yang beruntung bisa bergabung di Hari Akhirat bersama seluruh keluarganya. Di situ diberi tanda juga yaitu “yakhsawna rabbahum” (mereka yang takwa kepada Tuhan mereka). Walhasil, kata “takwa” dan “silaturahim” selalu digandengkan di dalam Al-Quran. Keduanya merupakan dua hal yang tidak boleh dipisahkan. Artinya, kalau seseorang bertakwa kepada Allah, tentu dia menyambungkan tali silaturahim. Dan kalau dia memutuskan tali silaturahim, tentu dia bukan orang yang bertakwa. Dalam Al-Quran, Surah Muhammad, disebutkan, Maka apakah kiranya jika kamu tidak bertakwa kamu akan membuat kerusakan di atas bumi dan memutuskan tali silaturahim (QS 47: 22). Sebelum saya melanjutkan, izinkanlah saya bercerita tentang hal yang agak gaib sedikit. Ada sebuah buku yang berjudul Nafasurramanfima li Ahbabillah min ‘Uluwwisysyan, karangan As-Sayyid Ismail bin Mahdi bin Hamid Al-Ghurbani Al-Hasani. Buku tersebut menguraikan dalil-dalil dari Al-Quran dan hadis yang sahih yang berkenaan dengan konsep-konsep yang biasanya dipahami di kalangan tarekat. Misalnya karamah, tabarruk, dan tawassul yang oleh sebagian kalangan Muslim dianggap sebagai perbuatan musyrik. Buku ini menjelaskan bahwa apa yang dianggap musyrik oleh sekelompok orang itu sesungguhnya sama sekali tidak musyrik, karena mempunyai dasar yang kuat dari Al-Quran dan sunnah Rasulullah Saw. Salah seorang pengikut tarekat pernah mendapatkan tugas dari tarekat yang diikutinya untuk mengumpulkan dalil-dalil Al-Quran dan Sunnah tentang ajaran-ajaran tarekat itu. Karena biasanya orang-orang tarekat itu, kalau diserang oleh orang-orang modern, mereka hanya bisa menjawab dengan analogi. Jadi dengan kias, tidak dengan dalil-dalil yang gath’i dari Al-Quran atau hadis. Buku tersebut saya peroleh antara lain untuk saya sumbangkan kepada kawan kita itu untuk memperkuat tarekatnya. Sebetulnya upaya untuk memperkuat dunia tarekat, cenderung dianggap sebagai perbuatan musyrik oleh sekelompok kecil kaum Muslim. Saya segera akan menjelaskan hal ini karena nanti saya akan membuat konsep silaturahim yang boleh jadi dipandang oleh sebagian orang di antara kita sebagai perbuatan musyrik. Sebetulnya menurut orang-orang tarekat (saya tidak bermaksud mengajarkan tarekat ini) ada beberapa tingkatan alam. Ada alam nasut, ada alam malakut, dan ada alam jabarut. Alam nasut, sering dibagi juga menjadi beberapa alam, alamul mulk dan alamul mitsal. Dan kita tidak akan membicarakan alam-alam ini secara teperinci. Pada diri manusia, sebetulnya tergabung dua alam sekaligus. Yaitu alam nasut dan alam malakut. Untuk menyederhanakan, alam nasut adalah alam material kita. Alam yang bisa kita persepsi dan bisa kita rasakan dengan alat-alat indra kita. Tubuh kita ini (tangan, mata, dan baju kita) berada dalam alam nasut. Ruh kita sebetulnya merupakan bagian dari alam malakut. Karena itu kemudian manusia ditarik oleh kedua alam itu sekaligus. Makin tertarik dia dengan alam nasut, makin sibuk dia dengan materi. Makin tertarik dia dengan alam materi, makin lepas dia dari alam malakut. Saya pernah membaca sebuah tulisan yang menjelaskan hadis Nabi Saw. “Innal malaikata latadhau ajnihataha li thalibil ‘ilmi” (Sungguh para malaikat akan menghamparkan sayapnya bagi orang-orang yang sedang mencari ilmu). Begitu orang yang mencari ilmu keluar dari rumahnya, para malaikat segera menghamparkan sayapnya. Malaikat itu sebagian berasal dari alam malakut dan sebagian lagi berada di alam jabarut. Akan tetapi ada malaikat yang berada di alam malakut dan menghamparkan sayapnya untuk manusia. Orang-orang yang terikat materi seperti kita ini, yang terlalu disibukkan untuk mengejar dunia, tidak akan bisa masuk ke alam malakut. Jadi, walaupun kita menginjak sayap malaikat, kita tidak menyaksikan sayap malaikat itu. Akan tetapi, kalau orang itu masuk ke alam malakut, dia akan merasakan menginjak sayap para malaikat itu. Kita tidak menyaksikan itu semua karena kita tidak berada di alam malakut. Bahkan boleh jadi alam malakut itu ditutupkan kepada kita. Ditutup sehingga kita tidak bisa melihat alam malakut itu. Sekali lagi, ruh kita ini berada di alam malakut dan tubuh kita berada di alam nasut. Orang yang sedang melakukan silaturahim, tubuh-tubuhnya berada di alam nasut dan ruhnya berada di alam malakut. Perintah silaturahim itu bukan hanya ditujukan kepada makhluk-makhluk di alam nasut, tetapi juga (malahan ini yang hakiki) silaturahim itu adalah silaturahim di antara ruh kita dengan ruh kaum Muslim. Artinya, silaturahim yang bersifat malakut, bukan silaturahim yang bersifat nasut. Karena bisa saja seseorang melakukan silaturahim secara nasuti. Artinya dia hanya bersilaturahim di alam nasut tapi ruhnya tidak. Contohnya, kalau kita mengadakan acara halal bi halal kemudian kita bersalam-salaman. Yang satu mengatakan, “Mohon maaf lahir dan batin.” Kemudian yang lain lagi mengatakan, “Sama-sama mohon maaf lahir dan batin.” Tetapi di dalam hati mereka, misalnya, masih tersimpan rasa dendam dan tidak memaafkan orang itu. Ketika ia minta maaf, masih ada ganjalan di dalam hatinya. Sering kali orang bersilaturahim di alam nasut tapi di alam malakut, ruhnya tidak ikut bersilaturahim. Dan sebaliknya, boleh jadi ada orang yang tidak pernah berjumpa secara fisikal tetapi di antara mereka ada jalinan silaturahim. Ada hubungan yang sangat erat seperti sudah dipertalikan jauh sebelumnya. Di kalangan para psikolog ada yang disebut fenomena deja vu. Deja vu itu suatu gejala, seperti kalau seseorang berjalan di suatu tempat, ia berpikir seakan-akan dia pernah mendatangi tempat tersebut. Maka orang yang mengalami hal seperti itu adalah sedang mengalami gejala deja vu. Contoh lainnya, misalnya seseorang berjumpa dengan seseorang yang lain yang baru kali itu saja ia berjumpa, tapi tiba-tiba terasa akrab, padahal dengan tetangga sekian lama tidak bisa akrab. Secara fisikal ada silaturahim dengan tetangga, tetapi secara ruhaniah tidak ada. Gejala deja vu yang dijelaskan oleh para psikolog agak berbeda dengan apa yang saya jelaskan di sini. Saya tidak akan menjelaskan apa yang dimaksud oleh para psikolog, karena ini bukan kuliah psikologi. Sebetulnya deja vu ini terjadi karena ruh-ruh itu pernah melakukan silaturahim di antara mereka. Ada jalinan silaturahim di antara mereka. Di dalam Al-Quran Al-Karim, Allah Swt. berfirman, Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (QS 9: 119). Di alam malakut ada dua kafilah ruhani. Satu kafilah ruhani yang sedang bergerak menuju Allah Swt. dan yang satu lagi menjauhi Allah Swt. Satu kafilah ruhani yang sedang meninggalkan tanah liat menuju Allah Swt., dan satu lagi kafilah ruhani yang meninggalkan cahaya Allah menuju kegelapan yang gelap gulita. Pada kafilah yang menjauhi Allah Swt. ada iblis, setan, jin dan manusia, lalu orang-orang yang durhaka sepanjang sejarah. Semuanya bergabung dalam rombongan yang sama. Mereka ini masih membantu ruh-ruh yang sejenis dengan mereka yang masih hidup. Al-Quran menyebutkan bahwa orang-orang munafik saling membantu satu dengan yang lain, termasuk di alam malakut itu. Ruh-ruh mereka saling membantu dan mendorong berbuat maksiat dan berbagai dosa. Pada rombongan yang lain terdapat orang-orang yang taat kepada Allah dan rasul-Nya. Di dalam rombongan itu mereka digabungkan dengan para nabi dan pimpinannya adalah Ra- sulullah Saw. Al-Quran Al-Karim menyebutkan, Dan barang siapa menaati Allah dan rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS 4: 69) Itulah rombongan orang-orang yang taat kepada Allah dan rasul-Nya. Di dalam rombongan itu mereka digabungkan dengan para nabi yang dipimpin oleh Rasulullah Saw., sayyidul mursalin, junjungan para rasul, yang tanpa dia tidak akan diciptakan alam semesta ini. Itu barisan yang paling depan. Dan sesudah itu para ash shiddiqin, orang-orang yang selalu benar dan lurus, para wali Allah, baru kemudian para syuhada’, yaitu orang-orang yang mati syahid. Lalu para ash- shalihin, orang-orang yang saleh. Mereka semuanya berada di satu alam yang disebut alam barzakh. Kitab tersebut menceritakan beberapa hadis Nabi yang menunjukkan bahwa orang-orang saleh itu di alam barzakh masih hidup. Tetapi di situ juga diceritakan bahwa mereka masih membaca Al-Quran, masih berdoa juga buat saudara-saudaranya yang masih berada di alam nasut. Di sini ada sebuah kisah yang antara lain dikutip oleh Bukhari. Pernah satu saat ada beberapa orang sahabat yang mendatangi suatu tempat. Mereka tidak menduga bahwa tempat itu adalah kuburan. Kemudian mereka hamparkan jubah untuk tempat duduknya di atas tempat itu. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka mendengar ada suara orang sedang membaca Surah Al-Kahfi (kalau tidak salah). Dia terkejut dan mendengarkan bacaannya sampai selesai. Kemudian ia sampaikan peristiwa itu kepada Rasulullah Saw. Kata Rasulullah, “Dia sedang membaca sesuatu yang bisa mencegahnya dari azab kubur.” Nabi tidak mengatakan bahwa hal itu adalah takhayul, atau musyrik. Nabi malah membenarkannya. Pengarang buku ini mengatakan, “Ini merupakan pembenaran dari Nabi Saw. bahwa ruh orang-orang suci itu masih beribadah bahkan di alam barzakh.” Di dalam shalat pun kita dianjurkan untuk menyambungkan ruh diri kita ini, melakukan silaturahim yang melintasi ruang dan waktu. Hubungkanlah silaturahim kita dengan kafilah ruhani orang-orang suci itu supaya kita diperkuat, supaya mereka membantu kita dengan doa mereka. Meminta doa mereka itu disebut tawassul, yang oleh sebagian orang disebut musyrik karena mereka telah meninggal dunia, yang dianggap tidak bisa mendoakan lagi. Keterangan orang yang mengatakan bahwa orang yang sudah mati itu tak bisa mendoakan, tiada dalilnya. Dan buku tersebut menunjukkan dalil-dalil bahwa orang yang mati itu masih bisa mendoakan, bahkan masih bisa membantu orang yang masih hidup. Salah seorang cendekiawan pernah berbicara di hadapan kelompok modernis pada sebuah peringatan Isra’ Mi’raj. la bercerita tentang pertemuan antara Rasulullah Saw. dan Nabi Musa a.s. Bagaimana Nabi Musa a.s. memohon kepada Rasulullah agar shalat lima puluh rakaat dikurangi menjadi lima rakaat. la ingin menunjukkan bahwa ruh orang yang sudah mati masih memikirkan orang yang hidup dan masih memperjuangkan kepentingan mereka. Oleh karena itu, di dalam shalat, kita dianjurkan untuk menghubungkan tali silaturahim dengan ruh-ruh yang suci untuk memperkuat iman dan ruh kita. Lalu bagaimana caranya kita bergabung dengan ruh-ruh yang suci itu? Bayangkanlah di situ ada rombongan ruh-ruh yang suci. Kita hanya bisa membayangkan karena kita berada di alam nasut. Ruh kita tidak memiliki ketajaman untuk memasuki alam malakut, karena itu kita hanya bisa membayangkan. Bayangkanlah bahwa di alam malakut itu ada rombongan ruhani yang suci, termasuk yang masih hidup. Semuanya bergabung menjadi satu kafilah. Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Para ruh di alam malakut itu seperti tentara yang dipertemukan. Kalau mereka saling mengenal, maka mereka akan saling berpelukan. Tapi kalau mereka tidak saling menge- nal, mereka saling bertengkar di alam ruh itu.” Ruh kita ini sebetulnya akan bergabung di antara ruh yang kita kenal. Tinggal dengan kelompok mana ruh kita ini bertengkar dan dengan kelompok mana ia berpelukan di alam arwah itu. Supaya kita bergabung dengan ruh-ruh yang suci, ucapkanlah salam kepada mereka secara khusus, dan salamnya langsung, tidak dititipkan. Karena itu, ketika shalat supaya kita dapat bergabung kepada orang-orang yang suci itu, kita ucapkan salam kepada pimpinan kafilahnya, yaitu kepada Rasulullah Saw. “Assalamu ‘alayka ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barakatuh,” Dan kita tidak mengucapkan, “Assalamu ‘alayhi.” Mungkin sebagian orang menganggap bahwa hal itu musyrik karena menuju selain Allah, karena kita selain memanggil Allah juga memanggil Rasulullah, dan sesudah itu kita ucapkan kepada ruh-ruh kaum Muslim semuanya. Walhasil, kalau kita bisa bergabung dengan orang-orang suci, mudah-mudahan kita juga dapat bergabung di Surga ‘Adn bersama keluarga kita, orangtua kita, keturunan kita pada tempat yang sama. JR wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
METODE SEKOLAH PARA JUARAJune 22, 2025Dari tiga dasar falsafah yang dikemukakan, kita menyimpulkan tiga hal: Pertama, pendidikan harus memerhatikan perpaduan antara tubuh dengan jiwa. Harus disadari bahwa hal-hal yang bersifat fisik berpengaruh besar pada proses psikologis, seperti persepsi, kognisi, volisi, konsep-diri, dan sebagainya. Pada saat yang sama, pikiran yang mewakili “jiwa” manusia-memengaruhi proses psikologis dan fisiologis sekaligus. Kedua, manusia memiliki kemampuan yang hampir tidak ada batasnya. Tubuh dan jiwa manusia dapat berkembang jauh lebih tinggi daripada apa yang kita bayangkan. Pendidikan harus berusaha mengoptimalkan seluruh potensi ini. Ketiga, dimensi mistikal dalam kehidupan manusia harus dikembalikan lagi pada situasi belajar. Karena sepanjang sejarah, agama memberikan jalan sistematis untuk memperoleh pengalaman mistikal, maka kita dapat merujuk pada ajaran-ajaran agama yang bersifat mistikal. Agama yang mensucikan adalah agama yang mengantarkan anak didik pada proses kembali kepada Tuhan, yang membimbing mereka dalam kerinduan mereka untuk kembali kepada al-Mashir, untuk-sambil mengutip penyair Jerman, Novalis immer nach Hause.       Dari tiga hal di atas, kita dapat merumuskan tiga metode: maksimalisasi pengaruh tubuh terhadap jiwa, maksimalisasi pengaruh jiwa terhadap proses psikofisik dan psikososial, serta bimbingan ke arah pengalaman mistikal. Untuk memaksimalkan pengaruh “tubuh”, banyak metode dapat dikembangkan. Di sini, kita hanya akan menyebut berapa saja: lingkungan fisik yang menyenangkan, penggunaan musik, dan penggunaan latihan-latihan fisik (physical exercises) yang menimbulkan kepercayaan diri. Lingkungan fisik yang menyenangkan Saya tidak mungkin menyajikan berbagai hasil penelitian berkenaan dengan pengaruh lingkungan fisik pada proses belajar-mengajar. Izinkanlah saya mengutip dari Bobbi DePorter. “Dengan mengendalikan lingkungan Anda, Anda melakukan langkah efektif pertama untuk mengendalikan seluruh pengalaman belajar Anda. Sekiranya saya harus menyebutkan salah satu alasan mengapa program kami berhasil membuat orang belajar lebih baik, saya harus menyebutkan karena kami berusaha menciptakan lingkungan optimal, baik secara fisik maupun emosional.    “Sebelum program dimulai, staf kami pergi ke setiap ruangan kelas dan mengubahnya menjadi tempat di mana anak didik merasa senang, terangsang, dan dibantu. Kami memasukkan tanaman, sistem musik, dan bila perlu kami menyesuaikan temperatur dan memperbaiki pencahayaan (lighting). Kami mengatur bantalan kursi agar mereka duduk dengan enak, membersihkan jendela, menghias dinding dengan poster-poster yang indah dan pernyataan-pernyataan yang positif. Ketika anak didik masuk ke lingkungan fisik yang cerah, menyenangkan, dan menantang pada hari pertama, setiap orang ditegur secara personal oleh pemimpin tim. Mereka dibawa bermain dengan yang lain dalam tim, sehingga mereka mulai pelajaran dengan sense of belonging. Semua pengalaman mereka yang pertama sangat menyenangkan dan membuat mereka bahagia.” Penggunaan musik Selama belajar, murid melakukan berat, tekanan darahnya naik, pekerjaan mental yang gelombang otaknya bertambah cepat, dan otot-ototnya  menjadi tegang. Ketika mereka melakukan relaksasi, tekanan darah menurun, otot-otot melonggar. Tetapi dalam keadaan deeply relaxed, murid sangat sukar melakukan konsentrasi penuh.    Penelitian Dr. Georgi Lozanov menunjukkan bahwa ada musik-musik tertentu yang membuat kita setengah relaks sehingga mampu berkonsentrasi. Sebutlah relaxe focus. Jenis musik yang paling kondusif untuk belajar adalah musik Baroque, seperti ciptaan Bach, Handel, Pachelbel, dan Vivaldi. Ketika kita belajar, belahan otak sebelah kiri kita diaktifkan; dan ketika musik diperdengarkan, belahan otak sebelah kanan dirangsang. Belahan otak sebelah kanan inilah yang sering mengganggu kita dalam belajar, bila tidak diberi pekerjaan. Latihan-latihan fisik Para siswa dibawa untuk latihan-latihan fisik yang sangat menantang dan kelihatan “berbahaya”. Tentu saja staf instruktur sudah mengatur latihan ini dengan sangat memerhatikan zona aman. Lebih penting daripada itu, semua siswa yang pada mulanya takut melakukan latihan itu membuktikan bahwa mereka bisa melaluinya. Keberhasilan ini akan menumbuhkan kepercayaan diri yang besar. Mereka yakin bahwa masalah yang paling mengerikan pun ternyata mampu mereka atasi. Pada buku saya, Belajar Cerdas: Belajar Berbasiskan Otak, saya melaporkan banyak hasil penelitian yang menegaskan pentingnya gerak fisik dalam proses pembelajaran. Memaksimalkan Pengaruh Jiwa Untuk memaksimalkan pengaruh jiwa, kita sebutkan saja beberapa contoh: modelling, menanamkan rasa bangga, berpikir positif, dan menghindari kritik. Modelling sudah kita jelaskan dengan contoh pada permulaan tulisan ini. Di sini, hanya perlu dijelaskan bahwa bila manusia menemukan model yang tepat, ia akan berusaha menjadi model itu. Ia perlahan-lahan akan mengalami perubahan secara ruhaniah, juga jasmaniah, mendekati orang yang menjadi model itu. Salah satu penelitian ilmiah berkenaan dengan ini adalah berkenaan dengan stigmata, false pregnancy, dan multiple personality. Semuanya abnormal dan dipilih karena kemampuan deskriptifnya yang sangat dramatis.         Menanamkan rasa bangga. Adalah David McCleland yang menunjukkan adanya hubungan antara rasa bangga dengan hasrat berprestasi. Bangsa-bangsa yang berhasil membangun peradaban adalah mereka yang merasa menjadi manusia istimewa. McCleland menyebut gerakan reformasi dan Protestanisme yang disertai dengan keyakinan sebagai umat pilihan. Kita sekarang paham mengapa Al-Quran mengingatkan pemeluk Islam bahwa “antum al-a’laun, kuntum khaira ummatin (kalianlah umat yang terbaik) dan sebagainya. Atau Nabi Saw. yang mendidik sahabat-sahabatnya untuk tidak merendah di hadapan orang-orang kafir. Dalam hubungannya dengan pendidikan, pendidik harus berhasil menanamkan pada anak-anak didiknya bahwa mereka bukan sembarang orang. Mereka adalah the selected few. Secara praktis, guru dapat mengembangkan rasa bangga. Berpikir positif. Sudah banyak buku membicarakan pengaruh berpikir positif. Berpikir positif artinya mempunyai pandangan yang positif tentang diri Anda, pekerjaan Anda, dan pandangan orang lain pada pekerjaan Anda. Berpikir positif juga mempunyai ekspektasi yang baik dan berusaha mewujudkannya. What you think about, comes about. Konon, Henry Ford berkata, “Whether you think you can or think you cannot-you’re right!”   Hindari kritik. Ketika seorang anak kecil berjalan, ia terjatuh beberapa kali. Tidak seorang dewasa pun yang menegurnya, “Hai, bodoh betul kamu.” “Salah, bukan begitu caranya”, atau “Memang kamu sulit belajar?” Orang-orang dewasa bahkan menggembirakannya, mendorongnya, dan memberikan semangat kepadanya. Dalam satu tahun, anak itu sudah sanggup berjalan, sebuah gerak yang sangat kompleks baik secara fisik maupun neurologis. Dalam dua tahun, anak mulai belajar berbahasa. Dalam lima tahun, mereka mengetahui 90% dari semua kata yang biasanya dipergunakan oleh orang-orang dewasa. Semuanya diperoleh tanpa mempelajari buku tata bahasa atau kurikulum yang sistematik. Tetapi begitu anak masuk sekolah, mulailah ia mendengar orang-orang dewasa mengkritiknya, memberikan komentar yang tidak sedap tentang prestasinya. Tahun 1982, Jack Canfield, psikolog ahli self-esteem, menemukan bahwa dalam satu hari rata-rata setiap anak menerima 460 komentar yang negatif dan 75 komentar positif. Terdapat enam kali lebih banyak komentar negatif daripada komentar positif. Setelah beberapa tahun disekolah, terjadilah learning shutdown, yang menguras banyak tenaga kreatif manusia.       Dimensi mistikal. Untuk memasukkan dimensi mistikal dalam proses belajar mengajar, kita dapat merujuk pada latihan-latihan ruhani dari berbagai agama. Untuk umat Islam, kita boleh mengambil pelajaran dari aliran-aliran tarekat. Atau kalau kita memandang itu sebagai bid’ah, kita dapat melakukan praktik-praktik yang dicontohkan Nabi Saw. seperti banyak berdoa, berzikir, beristighfar, tafakur, dan sebagainya. Dimensi mistikal jugalah pekerjaan besar orangtua dan pendidik untuk mengembangkan tingkat kecerdasan spiritual mereka.           Orangtua, guru, dan sekolah dapat berfungsi sebagai mursyid (pembimbing ruhani) yang dengan telaten dan penuh rasa sayang membimbing murid-muridnya mensucikan batin, membersihkan diri, dan kemudian melatih mengaktualkan sifat-sifat Tuhan dalam dirinya. JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Ada Keindahan dalam KepasrahanJune 21, 2025Sa’ad bin Waqqash adalah salah seorang sahabat Rasulallah Saw. Telah bertahun-tahun ia buta dan tinggal di Mekah. Ia dikelilingi oleh orang-orang yang ingin didoakannya. Akan tetapi, ia tidak mendoakan setiap orang: tetapi yang ia berkati dengan doanya merasa hidupnya lebih baik, urusannya lebih lancar. Abdullah bin Sa’ad melaporkan, “Aku datang menemuinya. la baik sekali kepadaku dan ia pun mendoakanku. Waktu kecil, aku seringkali penasaran. Jadi, aku bertanya kepada ayahku, ‘Doa ayah untuk orang lain selalu diijabah. Mengapa ayah tidak berdoa. supaya disembuhkan dari kebutaan? Sahabat itu berkata, “Kepasrahan pada kehendak Allah lebih baik dari kesenangan pribadi karena bisa melihat lagi.” Saya berusaha mencari sumber kisah ini dalam kitab- kitab berbahasa Arab. Namun, sampai sekarang saya belum juga menemukannya. Kisah itu saya baca dalam sebuh buku tulisan ahli sejarah Ernest Kurtz dan penulis Katherine Ketcham, The Spirituality of Imperfection. Di balik ketidaksempurnaan, di belakang sakit atau musibah yang berkepanjangan ada spiritualitas. Orang Inggris memiliki peribahasa “every cloud has a silver lining”. Semua awan kelabu selalu ada garis-garis peraknya. Semua kegelapan ada titik cahayanya. Semua kekurangan ada makna ruhaniahnya. Karena itu, Sa’ad memilih untuk tidak berdoa untuk kesembuhan matanya. la menemukan dalam kebutaan itu kenikmatan pasrah kepada Allah Swt. Kepasrahan total. Ia tahu bahwa di balik semua peristiwa ada rencana Ilahi yang tidak diketahuinya. la yakin bahwa kehendak Ilahi pasti lebih baik dari kehendaknya. Boleh jadi ia juga sudah mencoba berdoa agar matanya sembuh kembali. Akan tetapi, Tuhan tidak mengabulkan doanya. Mungkin, mula-mula ia meradang, ingin memaksakan kehendaknya. Tetapi dalam kesunyian dan perenungan, ia menemukan keindahan kepasrahan. “Sesungguhnya, kepatuhan sejati di sisi Allah adalah kepasrahan,” (QS. Ali Imran : 19). Memang, betapa seringnya kita berdoa untuk memaksakan kehendak kita kepada Tuhan. Kita memperlakukan Tuhan sebagai “pembantu” kita. Kita ingin agar Dia segera menyembuhkan penyakit kita, menyelamatkan anak istri kita, membalaskan dendam kita, menambah penghasilan kita, membayarkan utang-utang kita, mendatangkan jodoh dan pekerjaan untuk kita, dan sebagainya. Apabila Tuhan lambat menjawab, kita pun marah. “Ustadz, mengapa doa saya tidak diijabah Allah? Padahal, saya sudah melakukan puasa sebaik-baiknya. Saya sudah menjalankan zikir dengan setia, tahajud setiap malam. Saya pun sudah menjauhi kemaksiatan dan dosa semampu saya. Intinya, saya sudah meninggalkan apa yang sudah dijelaskan Ustadz sebagai penghalang ijabahnya doa. Saya juga sudah berusaha berdoa pada saat-saat dan tempat-tempat ijabah. Tetapi saya masih juga belum mendapatkan pekerjaan. Utang saya masih belum terbayarkan. Anak saya pun masih sakit-sakitan,” begitu pengaduan seorang kawan. Kepada kawan saya ini, dan kepada Anda, saya ingin bacakan kembali kisah Sa’ad ini. Saya juga ingin mengingatkan Anda akan masa kecilmu. Bahkan, pernah Anda tidak henti- hentinya meradang, menangis, dan marah kepada ibu, karena dilarang bermain dan dipaksa untuk belajar. Kehendakmu bertentangan dengan kehendak ibu. Sekarang, setelah dewasa, kita masih anak-anak di hadapan Tuhan. Kita masih kecewa dan marah kepada Dzat Yang Mahaksih karena Dia tidak memenuhi kehendak kita. Seperti dahulu ketika kita meragukan apakah ibu betul-betul sayang kepada kita, sekarang kita pun meragukan apakah Tuhan itu benar-benar Mahakasih dan Mahasayang. Semuanya karena kehendak kita bertentangan dengan kehendak Tuhan. Terkadang, anak kecil itu lebih bijak dari kita. Pisahkanlah seorang bayi dari ibunya. la pasti menangis, makin lama tangisannya makin keras. Tangisnya adalah panggilan agar ibunya datang. Jika tidak berjawab, tangisnya akan terhenti. Ia menderita kesedihan. Jika ibunya tidak muncul juga, ia mulai menerima. Ia pasrah. Ia bukan saja berhenti menangis. Ia pun berhenti bersedih. Ia akan mengalihkan perhatiannya kepada siapa saja yang bisa menjadi pengganti ibunya. Untuk kemu- dian, kebahagiaannya pun pulih kembali. Kearifan anak-anak inilah yang dihayati oleh Sa’ad. Seorang ibu menceritakan kepada saya tentang anaknya yang autis. Ia sudah berobat ke mana-mana dan gagal. Tentu saja, ia pun sudah berdoa dan berdoa. Ia bertanya kepada saya, “Ustadz, apa yang harus saya lakukan?” Saya menjawab, “Apa yang tidak bisa kita ubah harus kita terima.” Ada makna ruhaniah di balik dunia yang tampak tidak sempurna seperti yang kita inginkan. Ada spirituality di belakang imperfection. Ada kehendak Tuhan yang lebih indah di atas kehendak kita. Pasrahkan dirimu kepada keluasan kasih-Nya. “Katakanlah, ‘Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah-lah orang- orang yang beriman harus bertawakal,” (QS. At-Taubah : 51). Begitulah, kalau kita menghadapi sesuatu yang tidak bisa kita ubah, yang kita sesuaikan adalah reaksi kita terhadap situasi itu. Kita ubah persepsi kita, our beliefs. Pilihkah imaji- nasi yang membahagiakan kita. Control your imagination. Reaksi kita terhadap sesuatu itu biasanya didasarkan pada kepercayaan (belief), anggapan, atau imajinasi kita. Kita ini mempunyai berbagai anggapan dalam menghadapi aneka peristiwa yang terjadi. Misalnya, kalau seorang istri tiba-tiba menemukan suaminya menjadi rajin mematut-matutkan diri di depan cermin atau mulai sering memakai wewangian, lalu datang dari kantor selalu telat. Biasanya, kita akan menderita bukan karena kelakuan suami itu, tetapi karena anggapan, teori yang kita. pegang untuk menjelaskan kelakuan suami itu. Kalau anggaan kita “kayaknya suami kita pasti punya simpanan.” Kita menderita, kita sengsara. Seakan hidup ini banyak sekali penderitaan karena kita dipengaruhi oleh kepercayaan-kepercayaan atau anggapan-anggapan yang diwarisi secara turun temurun. Seakan-akan itulah satu-satunya anggapan yang benar. Bahwa, kalau suami mulai merapi-rapikan dirinya, itu pertanda bahwa dia selingkuh. Sebetulnya, hal itu bukan satu-satunya kepercayaan yang benar. Karena ada beberapa kemungkinan lain, bahkan kemungkinannya tidak terbilang. Mungkin dia sudah ̶ katanya menurut teori marketing dari Hermawan Kertajaya ̶ ikut aliran kegenitan kaum eksekutif laki-laki. Jadi, sekarang ini laki-laki eksekutif itu sudah mulai genit, mulai memelihara kebersihan wajah dan tubuhnya. Maka jangan heran, apabila beberapa perusahaan kosmetik sekarang menawar- kan pembersih muka buat laki-laki. Tidak ada salahnya laki- laki memelihara keindahan. Tetapi sekali lagi, kalau kita sudah terikat dengan kepercayaan tertentu dan anggapan tertentu, kita terpenjara di sana, sehingga kita akan menderita karenanya. Jadi, apa yang harus kita lakukan? Segera ubah kepercayaan itu. Saya ingin mengutip firman Allah Swt. dalam Surah Ar-Ra’d ayat 11, “Innallâh là yughayyiru må biqawmin hatta yughayyiru må bianfusihim.” (Artinya), “Sesungguhnya, Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” Mengubah diri itu artinya mengubah persepsi, mengubah reaksi kita kepada situasi, mengubah penerimaan kita terhadap situasi itu, dan mengubah anggapan- anggapan kita terhadap situasi yang kita alami. JR wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
DASAR-DASAR FALSAFAH PENDIDIKAN BERBASISKAN SPIRITUAL INTELLIGENCEJune 20, 2025Kesatuan antara tubuh dan jiwa Pernah satu waktu para dokter olahraga mengatakan bahwa batas kecepatan lari manusia adalah empat menit dalam satu mil. Manusia tidak mungkin mampu menempuh satu mil lebih dari empat menit. Seorang dokter bahkan mengataka bahwa jika manusia lari lebih dari batas kecepatan itu jantungnya akan pecah karena kelebihan tenaga. Roger Bannister berlatih untuk menolak anggapan para dokter itu. Dia akhirnya berhasil memecahkan rekor menempuh jarak satu mil dengan waktu 3 menit, 59,4 detik. Segera setelah peristiwa ini, orang mengatakan bahwa Bannister bukan manusia biasa. la superhuman. Tidak seorang pun mampu mengungguli dia. Tetapi satu bulan kemudian, John Landy, pelari Australia, menempuh jarak itu dalam waktu yang lebih pendek. Setelah itu, banyak orang berhasil menempuh jarak satu mil kurang dari empat menit. Salah satu penjelasan tentang keberhasilan ini adalah teori modelling. Ketika ada manusia yang sanggup melakukan sesuatu, manusia lain pun berpikir sama. Mereka berpikir bila orang lain mampu, mengapa mereka tidak. Pikirannya memengaruhi kekuatan fisiknya. You don’t think what you are. You are what you think. Pandangan bahwa pikiran atau jiwa dapat memengaruhi tubuh (dan juga sebaliknya) memang bukan pandangan baru. Dalam Phaedrus, Phaedo, dan Symposium, Plato menceritakan kekuatan citra untuk merangsang kesehatan tubuh. Aristoteles mengakui adanya hubungan yang erat antara gambaran mental, volisi (kehendak), sensasi, dan fungsi-fungsi tubuh lainnya (lihat misalnya De Anima, buku III.3). Para dokter Renaissance percaya bahwa citra berhubungan dengan impuls yang bergerak melalui saraf dan otak, merangsang humor yang menimbulkan perubahan fungsi kognitif, emosional, dan somatik.     Ilmu kedokteran modern menemukan bahwa immune system dapat memengaruhi sistem saraf pusat, secara langsung atau melalui sistem indoktrin. Tubuh kita ternyata menghasilkan sejumlah zat utusan (messenger substances): neurotransmitter, seperti serotonin, neuropreptid seperti endorfin, hormon seperti adrenalin, cytokin seperti interferon. Zat-zat ini memengaruhi perubahan kondisi fisik dan psikologis manusia. Lebih menarik lagi, produksi zat itu sangat erat kaitannya dengan kondisi pikiran kita, dengan “jiwa” kita…. Pandangan mengenai kesatuan jiwa dan badan ini sempat tersisihkan pada para pemikir pasca-Renaissance. Descartes, misalnya, berpendapat bahwa jiwa “consist entirely in thinking, and for its existence, has no need of place and is not dependent on any material thing” (Sepenuhnya bersemayam dalam pikiran dan keberadaannya tidak memerlukan ruang dan tidak bergantung pada materi apa pun). Sejak Descartes, berkembanglah pemikiran dualistik dan reduksionistik. Tetapi mulai abad ke-20, pandangan interaksionis tampak pada bidang-bidang baru yang menggabungkan berbagai disiplin, seperti psikobiologi, psikoneuromunologi, somatic education, holistic health, dan sebagainya. Penemuan-penemuan baru dalam bidang ini mengandung implikasi yang sangat luas untuk pendidikan. Pertama, terdapat hubungan interaktif yang sangat erat antara tubuh dan jiwa. Ini berarti bahwa kita dapat memengaruhi perubahan psikologis dengan memanipulasi (proses tubuh (bodily process). Kedua, tubuh dan jiwa manusia ternyata memiliki kemampuan transformatif yang jauh lebih fleksibel daripada yang dapat dibayangkan. Ini filosofi yang pertama: menyadari akan kesatuan tubuh dan jiwa. Bagi anak-anak, kesadaran ini adalah bentuk kecerdasan ruhaniah yang paling awal, untuk mengantarkan mereka pada kecerdasan ruhaniah yang lebih tinggi. Evolusi Kesadaran Inilah filosofi yang kedua, evolution of consciousness. Para ilmuwan sekarang tidak lagi melihat evolusi sebagai perubahan yang gradual. Perpindahan dari satu tahap ke tahap yang lain sering tidak melalui tahap transisi. Paleontolog George Gaylord Simson menyebut “quantum evolution”. Berkali-kali terjadi loncatan besar sejak tahap inorganik, tahap biologis, sampai tahap psikososial. Samuel Alexander, C. Lloyd Morgan, C.D. Broad, Joseph Needham, Michael Polanyi, dan lain-lain mengembangkan teori bahwa evolusi melahirkan struktur, proses, dan hukum yang sebelumnya tidak ada. Item-item yang muncul betul-betul baru, dan bukan merupakan susunan baru dari unsur-unsur sebelumnya. Berbeda bukan saja kuantitatif, tetapi juga kualitatif. Konsep “emergence” menyiratkan adanya tahap-tahap wujud. Masing-masing tahap berjalan dengan pola dan hukum yang khas (distinctive). Morgan menyebut empat tahap: psychophysical events, life, mind, dan spirit (God). Alexander menyebut lima tahap: space, time, matter, life, mind, dan Deity. Apa pun bentuk penahapan itu, semuanya menunjukkan dengan sangat menarik-bahwa semua wujud bergerak menuju kesempurnaan, menuju Tuhan. Manusia pun bergerak dari wujud psikofisik menuju wujud Tuhan. Sejarah umat manusia tidak lain dari rekaman evolusi kesadaran. Menurut Hegel, setiap tahap perkembangan manusia dinasakh tetapi disimpan dalam kemajuan sejarah yang bersifat dialektif. Dalam The Phenomenology of Spirit (1805), Hegel melacak proses ini sejak budak masa purba, yang berjuang melawan kesulitan alam, sampai kepada orang Stoik yang menegakkan kebebasan dari tuntutan alam, sampai kepada orang Skeptik yang membebaskan diri mereka dari kungkungan kategori pemikiran, sampai kepada orang Kristen yang menemukan kebebasan dalam Tuhan yang transenden, sampai kepada intelektual modern yang menggunakan prinsip tertinggi dari rasio. Dalam proses dialektik ini, bentuk-bentuk kesadaran yang muncul (Gestalten des Bewusstseins) menyerap bentuk-bentuk sebelumnya. Aurobindo, filsuf Hindu mutakhir, membahas berbagai tingkat kesadaran yang berpuncak pada Supermind. Pada Supermind, keesaan Tuhan dinyatakan dengan ke- ragaman. Individu diselaraskan dengan Universal Ground, dan kemampuan personal digabungkan dengan tindakan kosmik. Ia bercerita tentang tahap-tahap jiwa dengan jenis-jenis kegiatan tipikalnya: higher mind dalam pemikiran sinoptik, illumined mind dalam inspirasi mistik, intuitive mind dalam genius religius, over mind, dalam tindakan yang mengubah dunia. Aurobindo mengingatkan kita pada Henri Bergson. Bergson juga menyebutkan tahap kesadaran yang memuncak pada intuisi. Ia berasal dari kegiatan instinktif hewani, tetapi dalam diri manusia, intuisi berubah menjadi “disinterested” dan “self-conscious”. Menurut Bergson, intuisi bukan kilasan insight yang datang tiba-tiba. Intuisi adalah modus berpikir. Intusi adalah proses mental ketika kita berpartisipasi langsung dengan apa yang kita intuisikan. Bila intelek berusaha membuat jarak dengan objek, intuisi masuk ke dalam apa yang diketahui. Dalam intuisi, terjadi perpaduan antara yang mengetahui dan yang diketahui. Melalui intuisi, kata Bergson, kita akan dapat menangkap tujuan ilahiah dalam proses evolusi. Elan vital, kekuatan yang mendasari semua evolusi ini kadang-kadang dikomunikasikan kepada kaum mistik “dalam keseluruhannya”. Kaum mistik telah mencapai sebagian perpaduan (coincidence) dengan upaya kreatif “yang dari Tuhan, kalau bukan Tuhan itu sendiri”. Kekuatan inilah yang mendorong kaum mistik untuk merealisasikan tujuan Ilahi dengan memajukan kebaikan sesama manusia. Menurut Bergson, hanya dengan semangat para mistiklah kita dapat menjamin kemajuan umat manusia. Pandangan tentang evolusi kesadaran mengingatkan kita pada peta pengembangan kesadaran. Pendidikan harus meletakkan anak didik pada proses dialektik sejarah yang panjang. Ia harus dapat mengantarkan anak melalui berbagai tingkat kesadaran. Tidak boleh ada satu tahap kesadaran yang dinafikan. Salah satu di antara tahap kesadaran yang selama ini justru dikesampingkan dalam sistem pendidikan kita – adalah kesadaran mistik, kesadaran akan sesuatu yang bersifat ruhaniah. Inilah awal kecerdasan spiritual. Ini membawa kita kepada Ibn Arabi. Kembali kepada Tuhan Saya tidak dapat melukiskan falsafah Ibn Arabi secara lebih baik dari William C. datang ke alam ini sebagai potensi Chittik. Karena itu,  paragraf berikutnya merupakan terjemahan dari dia. “Semua kembali kepada Tuhan, tetapi sebagian besar kembali kepadanya persis seperti ketika mereka datang. Ketika berbicara tentang malaikat, Jibril disebutkan berkata, Tidak seorang pun diantara kami mempunyai kedudukan tertentu.” (QS Al-Shaffat (37): 164) Menurut Ibn Arabi, kata-kata Jibril ini berlaku untuk setiap hal kecuali dua: jin dan manusia. Pohon pir datang ke dunia ini sebagai pohon pir dan tidak pernah meninggalkan dunia ini sebagai pohon labu. Badak tidak pernah menjadi monyet atau tikus. Tetapi manusia (dengan tidak membicarakan jin) datang ke alam ini sebagai potensi yang luar biasa untuk bukan saja tumbuh dan berkembang, tetapi juga menyimpang, mengalami degradasi dan deformasi. Di luar, selama di dunia ini mereka tampak sebagai manusia. Tetapi di dalam, mereka dapat menjadi apa saja. Mereka datang sebagai manusia, tetapi mungkin kembali sebagai monyet atau babi. Pada satu segi, manusia kembali kepada Tuhan melalui jalan sama yang tidak tampak, tetapi juga dilewati makhluk lain. Mereka lahir, hidup, dan mati. Ketika mereka hilang, tidak seorang pun tahu ke mana mereka pergi. Hal yang sama terjadi pada lebah atau pohon beringin. Ini disebut Ibn Arabi dan yang lainnya sebagai “kembali yang terpaksa”: (ruju’idhtirari) kepada Tuhan. Suka atau tidak suka, kita harus menjalani rute ini. Pada segi lain, manusia memperoleh anugerah untuk memilih jalan kembali. Inilah jalan “kembali yang sukarela”, ruju’ikhitiyari. Manusia dapat memilih jalan yang dibawa para nabi, atau mengikuti hawa nafsunya. Semua jalan ini kembali kepada Tuhan, tetapi Tuhan mempunyai banyak wajah, tidak semuanya menyenangkan kita. “Kemana pun kamu menghadap, di situ ada wajah Tuhan” (QS Al-Baqarah :115), baik di dunia ini maupun di akhirat. Untuk mengetahui wajah-wajah Tuhan itu, renungkanlah nama-nama-Nya. Tuhan memiliki sifat penyayang (rahmat), tetapi juga kemurkaan (ghadhbah). Dia Maha Pengampun, Pemberi Nikmat, tetapi juga Pembalas, dan Yang Mahakeras siksa-Nya… Surga, kata Ibn Arabi, adalah manifestasi rahmat Tuhan. Neraka adalah tempat manifestasi murka-Nya. Manusia, dalam evolusi kesadarannya, lahir pertama sekali dalam bentuk bayangan yang paling gelap. Ketika kembali kepada Tuhan, ia harus melewati “gap” yang terentang panjang antara kegelapan mutlak dengan Cahaya Mutlak. Orang memilih jalan berbeda-beda. Ada yang memilih tetap bermain dalam bayangan, ada yang memilih mencari berbagai macam cahaya, ada yang memusatkan perhatian kepada Cahaya Mutlak dan tidak puas dengan yang bukan itu. Tingkat intensitas cahaya itu tidak terbatas. Setiap tingkat menjadi stasiun (manzil). Stasiun ada supaya orang meneruskan perjalanan kepada stasiun berikutnya. Perjalanan menuju Tuhan berlangsung terus abadi. Bagaimana mungkin yang terbatas meliputi yang tidak terbatas? How can the finite encompass the Infinite? Bila kita memilih jalan menuju cahaya, kita menambah intensitas cahaya dengan mengaktualkan nama-nama Tuhan, Sang Cahaya Mutlak. Nama-nama itu sebetulnya sudah tersimpan secara laten dalam fitrah kita. Mewujudkan nama-nama Tuhan inilah yang disebut sebagai takhalluq bi akhlaaq Allah atau sebenarnya takhalluq di asma Allah. Apa implikasi dari semua ini? Pendidikan adalah proses menuju kesempurnaan. Proses ini tidak ada batasnya. Dalam proses takamul, manusia mempunyai potensi yang tidak terbatas. Kita semua sedang bergerak menuju Allah. Pendidikan dan yang dididik adalah mitra dalam kafilah ruhani yang sedang menempuh perjalanan di sahara tak terhingga. Seperti yang disenandungkan anak-anak Muthahhari dalam Mars Sekolah mereka. Di SMA Muthahhari Kami berjanji suci Demi Allah Rabbul ‘Izzah Kami kafilah mulia Berjalan menuju Dia Sahara tak terhingga Maju terus, maju terus! Meraih cinta Dia Sucikanlah jiwa Serapkan asma Allah Cerdaskanlah akal Serapkan asma Allah! Pendidikan adalah upaya untuk merealisasikan asma Allah dalam diri manusia. Setiap kali kita menyerap satu nama Allah, kita berubah menjadi wujud yang berbeda. Yang bergerak bukan hanya ‘aradh kita, tetapi juga jauhar kita. Inilah al-harkat al-jauhariyyah yang dikemukakan oleh Mulla Shadra. JR wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Dari Quantum Learning Hingga Kecerdasan Spiritual : Pendekatan Baru Dalam PendidikanJune 19, 2025Waktu itu, musim panas 1982, di Kirkwood Meadows, California, di daerah pegunungan di samping Danau Tahoe. Enam puluh empat orang anak muda berkumpul di perkemahan remaja. Bukan untuk menghabiskan waktu dengan sekadar rekreasi. Mereka datang untuk ikut serta dalam program belajar efektif. Bobbi DePorter, Eric Jensen, dan Greg Simmons sedang menerangkan metode belajar yang diramu dari berbagai penemuan ilmiah. Ada tiga keterampilan dasar yang diajarkan: keterampilan akademis, prestasi fisik, dan keterampilan hidup (life skills). “Sebagai dasar untuk kurikulum di atas,” kata Bobbi DePorter, “kami menganut falsafah ini. “Kami percaya bahwa belajar adalah proyek sepanjang hayat yang dapat dilakukan orang dengan penuh ceria dan sukses. Kami percaya bahwa keseluruhan kepribadian sangat penting: intelek, fisik, dan emosi. Kami percaya bahwa harga diri yang tinggi adalah unsur pokok dalam membentuk pelajar yang sehat dan bahagia. “Untuk mendukung falsafah ini, kami berusaha menciptakan lingkungan belajar begitu rupa sehingga mereka merasa penting, aman, dan senang. Ini dimulai di lingkungan tanaman, seni, dan musik. Kamar belajar harus terasa ‘menyenangkan’ agar tercapai belajar optimal. Lingkungan emosional juga penting. Dalam program yang kami selenggarakan, para pengajar sangat ahli dalam menciptakan hubungan akrab dengan murid-muridnya. Setelah membangun zona emosional yang aman, mereka membawa para murid berhadapan dengan tantangan yang bisa mereka atasi. Inilah pengalaman yang memberikan kepada mereka perasaan mampu (empowering experience).” Bobbi DePorter menyebutkan life skills sebagai salah satu di antara keterampilan dasar yang harus diajarkan kepada anak. Dalam rumusan saya, ada tujuh life skills yang sekarang ini diajarkan di sekolah-sekolah yang saya dirikan: SMA Plus Muthahhari, SMP Plus Muthahhari, dan Sekolah Cerdas Muthahhari (SCM), sebagai Sekolah Dasar berbasiskan Teknologi Informasi. Ketujuh life skills itu adalah: Learning skill Coping skill Communication skill Social skill Financial skill Happiness skill Spiritual skill. Learning skill sudah sering diperbincangkan. Ketiga keterampilan berikutnya pun ramai didiskusikan. Financial shill melejit setelah diterbitkannya buku-buku karya Robert T. Kiyosaki. Happiness skill dan spiritual skill adalah dua keterampilan yang sebetulnya terkait erat satu sama lain. Saya sudah menulis Meraih Kebahagiaan untuk menceritakan keterampilan hidup bahagia. Saya tidak tahu life skill seperti apa yang diperkenalkan pada Summer Camp itu. Tapi tampaknya learning skill, dan keterampilan yang menunjang learning shill menjadi fokus utamanya. Jeanette Vos-Groenendal meneliti Super Camp-begitu kemudian perkemahan ini discbut. Ia melaporkan bahwa setelah mengikuti Super Camp, para siswa mengalami kenaikan satu setengah poin dalam nilai rata-rata mereka. Dalam disertasi doktoralnya, Vos-Groenendal menulis bahwa Super Camp “terbukti sangat sukses dan harus diperhitugkan untuk dijadikan model untuk direplikasi”. Berdasarkan saran ini, DePorter dan kawan-kawan mereplikasi kegiatan yang sama di berbagai negara di dunia. Ia menamai penemuannya itu Quantum Learning. Buku-bukunya tentang hal ini juga sudah diterbitkan oleh Penerbit Mizan. Saya hanya ingin mengulasnya sedikit untuk mengantarkannya pada pembahasan tentang kecerdasan spiritual. Quantum berarti loncatan. Manusia ternyata memiliki kemampuan luar biasa untuk meloncat, untuk naik di atas kemampuan yang diperkirakan. Kita hanya memanfaatkan sebagian kecil saja dari potensi kita. We live only a small part of the life we are given. Betapa seringnya kita menyia-nyiakan potensi kita, atau juga potensi anak-anak kita, baik karena kesalaha metode atau karena tidak memiliki keterampilan yang relevan. Pendekatan quantum menunjukkan bahwa potensi manusia untuk berkembang (potentials for growth) hampir tidak terbatas. Dan inilah prinsip kecerdasan ruhaniah yang paling dasar: bahwa manusia adalah makhluk ruhaniah yang terus tumbuh. Jalaluddin Rumi menyimpulkan tugas meningkatkan kecerdasan ruhaniah ini dengan salah satu penggalan puisinya: Kamu dianugerahi Tuhan sepasang sayap Mengapa kamu di bumi terus merayap Meyakini ketidakterbatasan kemampuan mamusia adalah modal awal untuk meningkatkan kecerdasan ruhaniah kita. Menurut Teilhard de Chardin, We are not human beings having spiritual experience, we are spiritual beings having human experience. Kita bukan manusia yang punya pengalaman spiritual. Kita adalah makhluk spiritual yang punya pengalaman yang manusiawi. Dalam banyak kajan mutakhir, kesadaran akan adanya sesatu yang bersifat ruhaniah dalam diri mananusia, berpengaruh besar terhadap kebahagiaan dan kesuksesan kita: inilah self-awareness, inilah kepekaan kepada “the deep self“. Inilah tujuan dari maksimalisasi potensi yang di miliki manusia. Dalam edisi pertama tahun 1993, Time melaporkan perkembangan sains dengan judul yang mengejutkan: “Science, God, and Man”. Setelah mengulas bidang kajian interdisipliner dari Ilya Prigogine, Time menulis, “Mereka percaya dengan waktu yang cukup evolusi mungkin sekali menciptakan spesies dengan sifat esensial kita, tetapi dengan kecerdasan yang begitu besar schingga ia mencapai kesadaran diri. Bahkan para biolog telah lama percaya bahwa kedatangan kehidupan dengan kecerdasan tinggi hampir tidak terelakkan. Untuk sementara, mengakui kepercayaan ini dianggap tabu.”  Salah satu tujuan pendidikan adalah memaksimalkan potensi manusia, membantu manusia untuk berkembang mencapai tingkat kesempurnaan setinggi-tingginya. Tetapi, apa pun program pendidikan yang dijalankan, hasilnya sangat tergantung paling tidak pada dua hal: dasar falsafah dan metode.  JR wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
OPTIMALISASI PENGEMBANGAN INTELEKTUAL ANAKJune 18, 2025Kita semua lahir dengan rasa ingin tahu yang tak terpuaskan. Dan kita semua memiliki alat yang kita perlukan untuk memuaskannya. Pernahkah Anda saksikan bayi yang mengamati boneka barunya? Ia meletakkannya pada mulutnya untuk mengetahui bagaimana rasanya. Ia mengguncangkannya, mengangkatnya, dan perlahan-lahan memutarnya supaya ia tahu bagaimana setiap sisinya menangkap cahaya. Ia menempelkannya pada telinganya, menjatuhkan dan meneliti bagian demi bagian. Proses eksploratoris ini belakangan disebut “belajar global”-global learning. Belajar global adalah cara belajar yang begitu efektif dan alamiah bagi manusia sehingga jiwa anak sampai menyerap fakta, sifat fisik, dan kerumitan bahasa dengan cara yang sangat menyenangkan dan bebas stres. Tambahkan pada proses ini faktor umpan balik positit dan stimulus lingkaran. Maka Anda telah mencipta kan kondisi sempurna untuk belajar yang tak terbatas. Marilah kita lihat sebagian dari tonggak-tonggak belajar pada kehidupan awal anak yang sehat dan normal. Kemungkinan besar anak ini tak ubahnya dengan Anda. Pada saat merayakan ulang tahun yang pertama, Anda mungkin sudah bisa berjalan sebuah proses yang secara fisik dan neurologis sangat kompleks dan hampir tidak mungkin dijelaskan dalam kata-kata atau diajarkan melalui demonstrasi. Toh, Anda dapat melakukannya walaupun berkali-kali jatuh dan jungkir balik, dan tidak pernah merasa gagal jika Anda jatuh. Mengapa? Saya yakin sebagai orang dewasa, Anda dapat menyebut beberapa peristiwa ketika Anda tidak mau belajar sesuatu yang baru hanya karena gagal sekali dua kali saja. Tetapi mengapa Anda terus-menerus mencoba ketika belajar berjalan? Jawabannya ialah Anda tidak mengenal konsep kegagalan. Juga yang sangat membantu adalah orangtua Anda. Mereka yakin bahwa jika Anda terus berusaha, Anda pasti bisa. Mereka juga selant memberikan dorongan. Setiap keberhasilan selalu disambut dengan kegembiraan dan ucapan selamat yang mendorong Anda untuk lebih banyak lagi meraih keberhasilan. Ketika berusia kira-kira dua tahun, Anda mulai berkomunikasi dengan menggunakan bahasa, sebuah keterampilan yang dipelajari tanpa buku tata bahasa, kelas, atau ujian. Jika seperti kebanyakan orang, sebelum ulang tahun kelima, Anda menguasai 90% kata-kata yang akan Anda gunakan secara teratur sepanjang hidup. Kemudian suatu hari, mungkin di kelas satu atau dua, Anda duduk di kelas dan guru berkata, “Siapa yang tahu jawabannya?” Anda mengangkat tangan terlonjak dari tempat duduk kegirangan sampai guru menyebut nama Anda. Dengan yakin Anda menyebut jawaban itu. Tiba-tiba Anda mendengar anak-anak lain tertawa dan guru berkata, “Bukan, itu salah! Saya heran mendengar jawabanmu.” Anda merasa malu di depan kawan-kawan dan guru Anda, salah seorang di antara tokoh yang memiliki otoritas dalam kehidupan Anda. Kepercayaan diri Anda goyah. Benih keraguan mulai tertanam dalam psyche Anda. Bagi kebanyakan orang, inilah permulaan citra diri yang negatif. Sejak saat itu, belajar menjadi beban. Keraguan tumbuh di dalam diri, dan Anda mulai makin sedikit mengambil risiko. Pada 1982, Jack Canfield, seorang ahli tentang self-esteem (harga diri), melaporkan hasil penelitian di mana seratus anak diserahkan kepada seorang peneliti selama satu hari. Peneliti bertugas mencatat berapa banyak komentar negatif dan positif yang diterima anak selama satu hari. Canfield menemukan bahwa rata-rata setiap anak menerima 460 komentar negatif atau kritik dan hanya 75 komentar positif atau suportif. Itu berarti enam kali lebih banyak komentar negatif daripada positif. Umpan balik negatif yang terus-menerus ini sangat mematikan. Setelah beberapa tahun di sekolah, terjadilah learning shutdoum (kebuntuan belajar). Anak menghambat pengalaman belajarnya secara terpaksa. Pada akhir sekolah dasar kata belajar dapat membuat banyak siswa tegang dan takut.” (Quantum Learning, 1992). Ilustrasi itu ditulis Bobbi DePorter ketika ia mengajarkan metode pengembangan intelektual anak yang disebut belajar kuantum. Belajar kuantum ditegakkan di atas asumsi bahwa anak yang memiliki harga diri (self-esteem) positif belajar sangat cepat dan efektif. Harga diri positif harus ditumbuhkan karena lingkungan yang suportif, yang memberikan dorongan. Kecaman, kritik atau komentar yang negatif akan menghambat proses belajar efektif. Awal dari partisipasi orangtua untuk anak adalah dengan menanamkan self-esteem yang positif. Mazhab psikologi yang dijadikan rujukan adalah mazhab humanistik. Saya tidak akan membahas latar belakang teoretis tentang self-esteem. Untuk membatasi ruang lingkup, saya akan merujuk Stanley Coopersmith (Antecedents of Self us. Authoritative Parental Control, 1963). Tentu saja, saya juga hanya mengambil hal-hal praktis yang dapat dilakukan orangtua. Peran Orangtua dalam Mengubah Self-Esteem Bila salah satu konsep kunci psikoanalisis adalah mekanisme pertahanan ego; bila kaum behavioris banyak bercerita tentang conditioning; kaum humanistik banyak membahas konsep-diri. Konsep-diri terdiri dari dua unsur: citra-diri (self-image) cdan harga diri (self-esteem). Citra-diri adalah persepsi Anda sebenarnya, “Saya suka membaca. Self-esteem adalah penilaian apakah Anda suka atau tidak suka terhadap diri Anda, “Saya rajin dan pintar.” Semua psikolog humanistis sepakat bahwa dorongan berpengaruh pada pembentukan self-esteem. Sullivan (Schu zophrenia as a Human Process, 1962) adalah orang pertama yang menyatakan secara tegas bahwa konsep diri kebanyakan mencerminkan penilaian significant others. Mereka itu adalah orang-orang yang secara emosional dekar dengan kita: guru, kawan, saudara, dan terutama sekali orangtua. Dari penelitiannya tentang anak-anak yang mempunyai self-esteem yang tinggi, Coopersmith menemukan tiga ciri penting perilaku orangtua mereka. Pertama, orangtua mengomunikasikan dengan jelas penerimaan (acceptance) mereka kepada anak-anaknya. Anak-anak tahu bahwa mereka bagian dari keluarga; bahwa mereka diterima sebagai anggota keluarga yang dihargai dan diperhatikan. Usai ujian nasional di SMA Plus Muthahhari, saya mengumpulkan para orangtua dari beberapa orang yang tidak lulus. Salah seorang dari orangtua menceritakan perilaku anaknya yang mengagumkan. Ia langsung menemui ayahnya dan dengan tenang melaporkan ketidaklulusannya. Ia mengaku, “Saya memang tidak belajar dengan baik. Saya berjanji untuk memperbaiki belajar saya. Saya akan mengikuti bimbingan belajar dan tahun depan saya ikut ujian. Insya Allah, tahun depan saya akan berhasil.” Bapaknya menerima kegagalannya dan mengapresiasi tekadnya. Ia memberikan hadiah telepon genggam kepadanya. “Kamu tidak lulus dalam ujian nasional. Tapi kamu lulus dalam ujian ke hidupan,” ujar orangtua yang baik ini. Kedua, orangtua mengomunikasikan well defined limals can high expectations for performance. Orangtua memberikan kebebasan, tetapi menunjukkan dengan jelas batas-batas kebebasan itu. Seorang ibu membiarkan anaknya untuk bermain playstation di sela-sela kegiatannya di sekolah. Tetapi ketika pada suatu hari ia menemukan anaknya bermain pada saat kawan-kawannya yang lain berada di ruangan kelas, ibu itu melaporkan kenakalan anaknya langsung ke sekolah. Ia ingin anaknya tahu sampai mana ia berhak bermain. Ibu itu juga menuntut anak untuk belajar dengan sungguh-sungguh. Ia menetapkan standar bahwa kebebasannya bermain harus dipertahankan dengan prestasi yang baik di sekolah. Ia telah menetapkan batas yang jelas dan ekspektasi kinerja yang tinggi. Ketiga, orangtua menghormati individualitas anak. Mereka menerima perbedaan keunikan anak-anaknya dalam batas-batas struktur yang jelas.  Tidak ada contoh yang lebh jelas dari penghargaan akan keunikan anak-anak kita seperti penghargaan akan anugerah kecerdasan yang istimewa bagi setiap anak. Anda menghargai bukan saja anak yang punya kecerdasan matematis, tetapi juga anak yang punya kecerdasan visual atau musikal. Anda memuji “pintar” bukan hanya kepada Iqbal yang mendapat nilai matematika sembilan, tetapi juga kepada Ami yang menulis puisi yang indah. Orangtua anak-anak yang memiliki self-esteem positif juga cenderung menunjukkan harga-diri yang tinggi juga. Anak-anak belajar dari mereka cara menghadapi kesulitan dan tantangan. Mereka membuka diri terhadap penilaian anak-anaknya, menjelaskan kelebihan dan kekurangan mereka secara rasional. Pada gilirannya, anak-anak mereka juga diberi peluang untuk “membela diri” dan mengemukakan pendiriannya. Coopersmith menemukan bahwa anak yang self-esteem-nya tinggi mampu untuk “berbeda dengan lingkungannya”, dan karena itu cenderung lebih kreatif. Baumrind membedakan tiga macam orangtua: authoritative, authoritarian, dan permissive, anak yang berhasil (kompeten). Orangtua jenis ini mempunyai hubungan akrab dengan anak-anaknya, memerhatikan kebutuhan anak-anaknya, tetapi pada saat yang sama mempunyai ekspektasi yang tinggi terhadap anak-anaknya. Menurut Baumrind, “Orangtua seperti ini menyeimbangkan kehangatan dengan kendali tinggi, dengan tuntutan yang tinggi dengan komunikasi yang jelas tentang apa yang diperlukan dari anak.” Orangtua anak yang paling rendah self esteem-nya adalah orangtua permisif. Mereka relative akrab (tetapi  kurang akrab dibandingkan dengan orangtua otoritatif). Hanya saja mereka kurang disiplin. Mereka mempunyai tuntutan dan ekspektasi yang lemah. Anak-anak mereka tidak dibiasakan mandiri. Keinginan mereka hampir selalu dipenuhi. Akibatnya, anak-anak cenderung greedy (rakus), demanding (penuntut), dan inconsiderate (tidak memikirkan orang lain). Secara singkat, hanya orangtua otoritatif yang mampu menanamkan self-esteem yang tinggi pada anak-anaknya. Anak-anak pada gilirannya memiliki perasaan mampu untuk menghadapi berbagai kesulitan. Mereka lebih berhasil belajar ketimbang rata-rata anak-anak dari orangtua otoritarian dan permisif. Petunjuk-petunjuk praktis Dari Coopersmith dan Baumrind, kita dapat menyimpulkan beberapa petunjuk praktis. Kembangkan komunikasi dengan anak yang bersifat suportif. Komunikasi ini ditandai lima kualitas: keterbukaan, empati, supportiveness, positiveness, dan persamaan. Tunjukkanlah penghargaan secara terbuka. Hindari kritik. Kalau terpaksa, kritik itu harus disampaikan tanpa mempermalukan anak dan harus ditunjang dengan argumentasi yang rasional. Latihlah anak-anak untuk mengekspresikan dirinya. Orangtua harus membiasakan “bernegosiasi” dengan anak-anaknya tentang ekspektasi perilaku dari kedua belah pihak. Ketahuilah, walaupun saran-saran di sini berkenaan dengan pengembangan self-esteem, semuanya mempunyai kaitan erat dengan pengembangan intelektual. Proses belajar bisa efektif dalam lingkungan yang mengembangkan self-esteem. Hanya apabila harga diri anak-anak dihargai, potensi intelektual dan kemandirian mereka dapat dikembangkan. Salah satu zikir para malaikat di langit yang tinggi adalah: “Subhama man azhharal jamil wa sataral qabih. Maha suci Dia yang menampakkan yang indah dan menyembunyikan yang buruk.” Inilah akhlak Tuhan dan ini juga sepatutnya menjadi akhlak orangtua. JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Bertanya Sebagai Media Mencari IlmuJune 17, 2025Ada suatu hadits yang saya ambil dari kitab Kanzul ‘Ummal, yaitu nomor 23.662. Seperti anda ketahui, ada berbagai macam susunan hadits. Ada hadits yang disusun berdasarkan bab atau berdasarkan topik yang biasanya disebut dengan al-jami’, misalnya Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan sebagainya. Ada juga hadits yang disusun oleh ahli hadits berdasarkan rawi’nya. Kitab hadits seperti itu disebut dengan musnad, misalnya Musnad Ahmad, yang disusun oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Ada juga hadits yang disusun dengan mengurutkan dari huruf alif sampai ya’ berdasarkan awal hadits itu. Misalnya. Al-Jami’ Al- Shaghir yang disusun oleh Jalaluddin Al-Suyuthi. Jadi, kalau Anda ingin mencari hadits tentang ilmu, maka carilah pada huruf ‘ain, dan sebagainya. Oleh Al-Muttaqi Al-Hindi (orang India), hadits dari kitab Al-Jami’ Al-Shaghir itu disusun kembali berdasarkan topik dan tidak berdasarkan urutan huruf. Kitab itu kemudian ia kumpulkan menjadi beberapa jilid tebal-tebal, dan ia beri nama kitab Kanzul’Ummal atau Perbendaharaan Orang-Orang yang Beramal. Hadits-hadits dalam kitabnya itu, Kanzul ‘Ummal, diberi nomor sampai puluhan ribu. Hadits yang segera kita bicarakan di sini diambil dari kitab Kanzul ‘Ummal, akan tetapi Anda juga dapat memeriksanya dalam kitab Al-Jami’ Al-Shaghir, pada huruf ‘ain. Rasulullah Saw. yang mulia bersabda, “Ilmu itu seperti perbendaharaan yang sangat berharga. Kuncinya adalah bertanya. Bertanyalah kalian, mudah-mudahan Allah merahmati kalian; karena dalam bertanya itu, ada empat kategori orang yang diberi pahala. Orang yang bertanya, orang yang mengajar, orang yang mendengarnya, dan orang yang menggemari mereka.” Anda bayangkan, Rasulullah Saw. waktu itu berkata kepada para sahabatnya bahwa beliau ingin menjelaskan ilmu-ilmu agama dengan menyuruh mereka bertanya. Hadits ini juga menegaskan pahala proses pencarian ilmu pengetahuan. Ilmu itu dimulai dengan bertanya. Malahan orang sering menyamakan dan membedakan antara filsafat dengan ilmu (sains). Persamaannya, kedua-duanya dimulai dengan bertanya, sedangkan perbedaannya ialah bahwa sains dimulai dengan pertanyaan dan diakhiri dengan pertanyaan. Sedangkan filsafat dimulai dengan pertanyaan dan diakhiri dengan pertanyaan yang lebih besar. Ada sebuah buku yang menjelaskan bagaimana cara membaca buku yang baik supaya memperoleh pengetahuan dari buku itu. Langkah pertama, lihatlah daftar isi buku itu sehingga Anda mendapat gambaran tentang buku itu. Kedua, mulailah Anda bertanya dengan memerhatikan bab per bab, karena dengan bertanya Anda berkonsentrasi pada isi buku itu, dan segera tertarik untuk memperoleh jawaban. Ketiga, Anda membacanya dengan tujuan menjawab pertanyaan itu. Terakhir, melihat kembali catatan yang Anda baca. Orang yang pintar biasanya selalu mempertanyakan sesuatu, dan orang yang bodoh itu selalu menerima. Anak kecil itu sebetulnya memiliki kecenderungan untuk bertanya, dan sering-kali pertanyaannya sangat bebas. Kalau sudah besar, kita mulai berpikir apakah ada yang harus kita tanyakan atau tidak, tetapi anak kecil tidak berpikiran seperti itu. Tidak jarang, orangtua membentak anak kecil itu. Padahal, dengan bertanya, perben-daharaan ilmu pengetahuan akan terbuka bagi mereka. Bahkan, ada peneliti yang mengatakan bahwa seandainya jiwa bertanya anak kecil itu bisa dipertahankan sampai dewasa, hampir dapat dipastikan bahwa semua orang akan menjadi ilmuwan. Oleh karena itu, kita memahami mengapa Nabi yang mulia menganjurkan kita untuk bertanya, dan mudah-mudahkan Allah akan menurunkan rahmat-Nya. Bertanya adalah kunci pembuka perbendaharaan ilmu pengetahuan. Ada baiknya juga kalau kita mendidik anak-anak dengan sistem bertanya. Kalau saya ingin mengajarkan anak saya dalam pengajian kecil di rumah, saya mulai dengan bertanya. Ketika ingin menjelaskan kata fasiq dan Mukmin yang terdapat dalam Al-Quran, misalnya, saya mulai dengan pertanyaan. Mereka akan menjawab sesuai dengan pengetahuan mereka. Jadi, sebetulnya cara mengajar yang paling baik ialah mengajar yang dimulai dengan pertanyaan. Sang guru membawa suatu benda, kemudian bertanya kepada anak-anaknya, “Tahukah kalian, benda apakah ini?” Kemudian anak- anak mendiskusikan benda itu, sampai mereka menemukan sendiri apa hakikat benda itu. Itulah metode paling baik, yang juga pernah ditatarkan kepada guru-guru di sekolah. Pada waktu itu, saya sebagai seorang guru pernah mendapatkan penataran itu. Akan tetapi setelah itu, para guru kembali lagi kepada metode mengajar yang lama. Mengapa hal itu bisa terjadi? Mungkin kita ini belum sampai kepada tahap sebagai bangsa yang selalu bertanya. Kita adalah bangsa yang tukang menjawab. Dalam parlemen, ada hak yang disebut sebagai “hak bertanya”, akan tetapi hak itu hampir tidak pernah dipakai dalam parlemen. Dahulu, para filsuf sering mengajarkan filsafat dengan proses tanya jawab. Sampai sekarang pun filsuf sering mengambil metode Socrates, untuk mengajarkan filsafat dengan metode tanya jawab. Al-Quran pun seringkali memulai ayat-ayatnya dengan suatu pertanyaan. Misalnya, “Tahukan kamu orang-orang yang mendustakan agama?” (QS. Al-Ma’un : 1). “Bertanya seorang penanya tentang azab yang akan tiba,” (QS. Al-Ma’arij : 1). Dalam bahasa Arab, bertanya itu disebut dengan istifham, yang berarti mencari pemahaman. Memang, itulah tujuan bertanya yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. Proses riset atau penelitian adalah proses bertanya yang lebih terdisiplin. Akan tetapi, proses bertanya kita sering tidak terdisiplin untuk menjawab pertanyaan itu. Misalnya, kalau kita bertanya, “Apakah bagus kalau membeli baju di pinggir jalan?” Lalu kita mencoba membeli baju satu atau dua kali di pinggir jalan. Hasilnya semuanya jelek. Lalu kita mengambil kesimpulan bahwa tidak bagus membeli baju di pinggir jalan. Menurut prinsip riset, kesimpulan itu tidak benar, karena hal itu menjawab pertanyaan yang tidak terdisiplin. Kalau kita perhatikan hadits Rasulullah Saw. ini, kita dapat mengetahui bahwa beliau sangat menghargai usaha-usaha riset. Orang-orang yang terlibat dalam riset itu pun semuanya mendapatkan pahala. Kalau kita mencermati hadits ini, seharusnya negara-negara Islam adalah negara yang dipenuhi dengan lembaga riset karena semua orang terlibat di dalamnya. Orang yang mencintai riset mendapatkan pahala, dan orang yang mendengar laporan riset mendapat pahala. Yang menarik perhatian, kata Ziauddin Sardar, bahwa perkembangan riset yang paling terbelakang berada di negara-negara Islam. Riset itu tidak harus pergi ke lapangan. Riset bisa dilakukan pada sebuah buku. Misalnya, memelajari tarikh secara mendalam. Tentunya, kita harus mempertanyakan apa yang ada di dalam tarikh itu, kemudian kita melakukan studi mendalam atau yang dinamakan studi kritis. Masalahnya, hal ini pun tidak banyak disenangi orang. Padahal, setiap kali kita menemui tokoh dalam tarikh, kita akan menemukan hal-hal baru yang bisa dipertanyakan. Menurut ajaran Rasulullah Saw., orang yang selalu bertanya harus dihargai, harus kita bantu; atau kalau tidak, kita menjadi penggemarnya. Saya ingin mengulangi hadits tersebut. “Ilmu itu bagaikan peti perbendaharaan yang sangat berharga dan kuncinya adalah bertanya. Banyaklah kamu bertanya semoga Allah merahmati kamu. Dalam bertanya ada empat orang yang akan diberi pahala, yaitu yang bertanya, yang mengajar, yang mendengarkan, dan yang menggemarinya.” Karena bertanya itu diperintahkan, Islam pun mengatur beberapa cara bertanya. Pertama, kita disuruh bertanya yang baik. Rasulullah Saw. bersabda, “Pertanyaan yang baik itu sudah setengahnya dari ilmu pengetahuan.” Bahkan, orang Barat mengatakan bahwa bertanya yang baik sudah merupakan setengah jawaban. Karena itu, rumuskanlah pertanyaan itu dengan kalimat-kalimat yang jelas. Kedua, jangan bertanya sesuatu untuk mengganggu. Saya akan menunjukkan ucapan Imam Ali kepada seseorang yang bertanya kepadanya. Suatu saat, beliau berkata dalam khutbahnya, “Bertanyalah kalian kepadaku. Demi Allah, tidaklah kamu bertanya tentang sesuatu sarnpai hari Kiamat kecuali akan aku berikan jawabannya kepada kamu.” Lalu Ibn Al-Kawa’ bertanya, “Ya Amirul Mukminin, apa adz-dzariyatu dzarwa?” Imam Ali menjawab, “Celaka kamu, bertanyalah untuk memahami dan janganlah kamu bertanya untuk mengganggu.” Sebenarnya, orang bodoh yang selalu bertanya dan mau belajar sama nilainya dengan orang yang berilmu. Sebaliknya, orang berilmu yang sembrono dalam menjawab pertanyaan, sama kualitasnya dengan orang bodoh yang mengganggu dalam pertanyaan itu. Kita sering bertanya dalam suatu majelis bukan untuk memahami, akan tetapi untuk mengetes mubaligh; atau kadang-kadang untuk memojokkan, dan kalau bisa mubaligh itu ditangkap polisi karena pertanyaan kita. Pertanyaan seperti itu, kata Imam Ali, bukanlah pertanyaan untuk mengetahui, tetapi pertanyaan untuk mengganggu. Kasus Bani Israil misalnya, ketika disuruh menyembelih sapi, mereka bertanya dengan pertanyaan yang banyak, sehingga persyaratan sapi yang harus disembelih menjadi semakin sulit. Padahal, kalau Bani Israil itu tidak terlalu banyak bertanya, tentunya mereka akan lebih mudah mencari sapi itu. Dengan kata lain, aturan yang ketiga itu, jangan menanyakan sesuatu yang akibatnya akan menyulitkan kita. Dalam agama, ada beberapa hal yang tidak dijelaskan, bukan berarti lupa. Akan tetapi, agar kita bebas melakukan hal tersebut. Dalam ushul fiqih, hal itu disebut al-bara’ah al-ashliyyah. Rasulullah Saw. bersabda, “Tinggalkanlah aku dengan apa yang aku tinggalkan kepada kamu, karena binasanya orang yang sebelum kamu karena banyaknya mereka bertanya dan ikhtilaf kepada Nabi mereka. Apabila aku perintahkan kepada kamu sesuatu, lakukanlah semampu kamu dan jika aku larang melakukan sesuatu, tinggalkanlah itu.” Akhirnya, marilah kita ingat kembali pesan hadits di awal, yaitu bahwa ilmu itu adalah peti perbendaharaan yang berharga dan kunci pembukanya adalah bertanya. Maka, bertanyalah, mudah-mudahan Allah merahmati kita dengan pertanyaan tersebut. Bukankah dalam bertanya itu akan ada empat orang yang diberi pahala, yaitu orang yang bertanya, orang yang mengajar, orang yang mendengar dan orang yang menggemarinya? JR wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
BELAJAR CERDASJune 16, 2025Ya Allah Sehatkan tubuhku Cerdaskan otakku Bersihkan hatiku Indahkan akhlakku Seorang murid SMA Plus Muthahhari membaca doa itu di depan, dan murid-murid lainnya mengikutinya. Kami menyebut doa ini sebagai “doa kebangsaan” sekolah kami. Saya sering terharu mendengarkannya. Doa itu sederhana, singkat, dan menyentuh. Apa lagi yang kita inginkan dari anak anak kita, dari anak-anak panah yang dilepaskan ke masa depan kita? Kita ingin mereka bertubuh sehat, berotak cerdas, berhati bersih, berakhlak indah. Agar tubuhnya sehat, kita berkonsultasi dengan dokter. Agar hatinya bersih dan akhlaknya indah, kita bertanya kepada para ulama atau tokoh agama. Agar otaknya cerdas, kita berbicara dengan para guru. Sayang sekali, bila dokter mengerti betul tentang tubuh manusia, ulama paham sekali urusan hati, guru sama sekali tidak mengerti otak. Selama ini, otak—organ yang berpikir, merasa, dan belajar—tidak pernah dipertimbangkan oleh para pendidik, kecuali ketika mereka menghardik muridnya dengan kata-kata “otak udang” atau “otak miring”. Sudah berpuluh tahun saya terlibat praktis dalam dunia pendidikan. Saya mengikuti kuliah ilmu mendidik hanya satu tahun saja. Tetapi kegiatan saya dalam “mencerdaskan kehidupan bangsa” berlangsung sejak saya murid sekolah menengah. Saya mengajar anak-anak miskin di sebuah kampung yang kumuh. Kemudian, setelah selesai Pendidikan Guru SLP, saya mengajar di SMP-SMP dan SMA-SMA swasta di Bandung. Begitu lulus dari Fakultas Ilmu Komunikasi, saya langsung ditunjuk untuk mengajar Bahasa Inggris di almamater saya. Apa modal utama saya dalam mengajar? Mungkin 25 persen berasal dari ilmu pendidikan yang saya peroleh; dan 75 persen hanyalah trial and error. Ketika saya mendirikan SMA Plus Muthahhari, saya tertantang untuk melahirkan sekolah yang lain dari yang lain. Kecenderungan memberontak, yang mungkin saya warisi dari orangtua saya, mendorong saya untuk melakukan beberapa eksperimen pendidikan. Misalnya, saya beranggapan bahwa anak-anak kita memikul beban mata pelajaran terlalu banyak. Karena itu, saya mengurangi pertemuan di kelas untuk pelajaran-pelajaran tertentu. Sebagai penggantinya, saya memberikan kepada mereka modulmodul yang bisa mereka kerjakan tanpa pertemuan kelas. Saya adakan juga test-out bagi anak-anak yang sudah menguasai pelajaran pada periode tertentu, sehingga—jika lulus—mereka bisa melanjutkan pada kurikulum lebih tinggi. Saya mencoba juga untuk tidak merujuk pada kurikulum departemen pendidikan. Yang saya rujuk hanyalah standar kompetensinya saja. Secara kebetulan, departemen pendidikan—melalui para ahli pendidikan—sampai juga pada konsep kurikulum berbasis kompetensi. Pada saat yang sama, saya tertarik dengan Quantum Learning-nya Bobby DePorter. Secara singkat, Quantum Learning mengajarkan bahwa murid belajar lebih cepat jika belajar menjadi kegiatan yang menyenangkan. Saya masukkan “learning is fun” sebagai bagian dari wawasan almamater Muthahhari. Supaya murid menyenangi proses pembelajaran, para guru harus mempraktikkan zikir malaikat pemikul arasy, “Subhaana man azharal jamiil wa sataral qabiih. Mahasuci Dia yang menampakkan yang indahindah dan menyembunyikan yang buruk.” Mereka tidak boleh menjatuhkan harga diri murid kalau mereka belum berhasil dalam belajarnya. Tetapi begitu mereka berhasil, guru harus memberikan apresiasi yang tulus, kalau perlu merayakannya. Berikut ini adalah butir keempat dan kelima dari wawasan almamater Muthahhari: 4. Belajar yang efektif hanya terjadi dalam suasana yang menyenangkan dan dengan kegiatan yang mengaktifkan semua kecerdasan. 5. Setiap orang harus berusaha menghargai kebaikan orang lain dan menutupi keburukannya. “Belajar yang efektif … dalam suasana yang menyenangkan” membawa saya pada konsep Accelerated Learning. Dari literatur yang saya peroleh, saya menyimpulkan lima prinsip akselerasi dalam akronim METIK: Modalitas belajar, peranan Emosi, penggunaan pengaruh-pengaruh Tak sadar, pengenalan dan pengembangan Inteligensi majemuk, dan pelibatan sekaligus kedua belahan otak Kanan dan kiri. Semuanya itu akhirnya saya temukan berujung pada pemahaman otak. Dan otak ternyata tidak pernah muncul dalam mata kuliah ilmu pendidikan. Para pendidik, seperti saya, hampir tidak memiliki informasi mutakhir dari penelitian-penelitian otak. Otak memang bukan bidang pendidikan. Otak dipelajari di sebuah sudut kecil fakultas kedokteran—neurologi. Maka mulailah saya melangkahkan kaki untuk menengok sudut yang ternyata sudah melebar sampai “menginvasi” disiplin-disiplin lainnya. Ketika Santiago Ramon y Cajal, “maestro”-nya studi miksroskopik otak, berkata, “As long as the brain is a mystery, the universe, the reflection of the structure of the brain, will also be a mystery,” sudut kecil itu sudah menjadi alam semesta. Misteri otak mencerminkan misteri alam semesta. Misteri alam semesta pasti membawa kita untuk merenungkan misteri Tuhan. Maka neurologi yang dimulai dari neurokimia dan neurobiologi sekarang sudah mulai memasuki neurotheology. Ketika dua tahun yang lalu saya menulis buku Psikologi Agama, saya dikejutkan dengan penemuan-penemuan menakjubkan. Banyak pengalaman ruhaniah—yang diklaim orang sebagai bukti kedekatan dengan Tuhan— ternyata disebabkan oleh aktivitas otak pada lobus temporal. Pengalaman ruhaniah yang dialami orang suci—secara neurologis—hampir sulit dibedakan dari pengalaman orang gila. Dalam pemburuan saya pada penelitian-penelitian otak, temuan saya yang pertama ialah kenyataan bahwa otak saya sudah “miring”. Maka, supaya saya tidak terlalu miring, saya memfokuskan studi saya hanya pada otak yang belajar. Saya berharap saya mempelajari ilmu yang langsung dapat saya amalkan dalam kegiatan pendidikan saya, paling tidak di sekolah yang saya dirikan. JR wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Bereskan Istilah, Cerahkan PemikiranJune 15, 2025Toshihiko Izutsu, profesor linguistik dari Jepang, pernah mengusulkan pendekatan semantik dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Bermula dari teori Sapir-Whorf yang menyatakan ada hubungan antara pikiran dengan bahasa, Izutsu menjelaskan bagaimana Al-Qur’an mengubah pemikiran orang-orang Arab dengan memperkaya makna dari kata-kata Arab. Al- Qur’an banyak menggunakan istilah-istilah yang sudah lazim dipakai oleh masyarakat Arab Jahiliah. Tetapi istilah-istilah itu diperkaya maknanya lebih dari sekadar konsep-konsep yang dipahami selama ini. Dengan memperkaya makna kata, Al-Qur’an mengubah pandangan hidup bangsa Arab. Ambillah kata ‘Allah’ . Semula bangsa Arab mengenal makna ‘Allah’ sebagai Tuhan pencipta langit dan bumi saja. Latta dan Uzza adalah juga tuhan-tuhan, hanya saja mereka tidak menciptakan langit dan bumi. Kemudian Al-Qur’an datang, memberikan makna baru pada Allah. Allah bukan saja pencipta, tetapi juga pengatur, pemelihara. Allah juga hakim, yang menetapkan sejumlah hukum untuk mengatur kehidupan hamba-hambanya. Allah juga Penguasa yang memanggil orang untuk masuk dalam wilayah kekuasaannya. Makna-makna baru ini, yang tampak dari bidang semantik yang disajikan Al-Qur’an, memperluas cakrawala pemikiran bangsa Arab. Begitu pula kata ‘taqwa. Mungkin mula-mula bangsa Arab hanya menggunakannya dalam pengertian ‘takut’ atau ‘penjagan’ (dari kata ‘wiwayah’). Al-Qur’an memperkaya makna taqwa. Dari berbagai ayat Al-Qur’an, kita menemukan orang-orang taqwa diberi kata sifat yang sangat kaya: menegakkan salat, memberikan infaq dalam suka dan duka, memaafkan orang lain, berbuat baik, dan lain-lain. Kata ‘mukmin’ bukan saja berarti orang yang percaya, tetapi juga orang yang khusyuk dalam salat, yang menghindari perbuatan yang tidak bermanfaat, yang memenuhi janji dan amanatnya, dan seterusnya. Berdasarkan pada teori ini, Al-Qur’an mengubah cara berpikir orang dengan memperkaya istilah yang dipergunakannya. Ketika kita menyaksikan berbagai masalah yang dihadapi umat Islam sekarang, mungkinkah kita melacak masalah-masalah itu dari kekacauan makna terhadap istilah-istilah yang selama ini kita pergunakan? Bila Al-Qur’an memperkaya makna, mungkinkah kita selama ini justru mempersempit makna? Atau kita telah memberikan makna lain daripada makna sebagaimana diberikan Al-Qur’an? Kata ‘taqdir’ misalnya. Dalam konteks Al-Qur’an, taqdir adalah hukum-hukum Allah dalam alam semesta yang bersifat fisik: peredaran matahari dan bulan, perputaran gemintang, penciptaan manusia. “Dan bulan kami taqdirkan posisi-posisinya. Inilah taqdir Allah yang Mahagagah dan Maha Mengetahui” (Al-Qur’an). Di tengah-tengah umat Islam sekarang ini, ‘taqdir’ berarti nasib manusia yang sudah ditentukan Allah, yang tidak bisa diubah atau diganti, yang harus diterima betapa pun jeleknya. Karena perpindahan makna ini, maka kaum muslim yang seharusnya berpikiran ilmiah menjadi kaum yang fatalis. Marilah kita lihat contoh-contoh yang lain. Bid’ah Salah satu istilah yang pernah terkenal dan cukup menggoncangkan masyarakat adalah ‘bid’ah’. Pada mulanya, dari hadis-hadis Nabi Saw. Bid’ah selalu dipertentangkan dengan sunnah, Jadi, berdasarkan pada bidang semantiknya, maka definisi bid’ah ialah segala hal yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah Saw. Bila nikah adalah sunnah, maka tidak mau menikah (bukan tidak mampu menikah) adalah bid’ah. Sunnah Nabi Saw. adalah mencintai orang-orang miskin; dan bid’ah adalah membenci mereka. Sunnah Rasul ialah berbuat baik dengan tetangga dan bid’ah ialah mengganggu tetangga. Nabi mencontohkan perilaku yang menghargai perbedaan pendapat, karena perbedaan penafsiran dan pemahaman (seperti ditunjukkan dalam kasus dua orang sahabat yang setelah melakukan salat dengan tayammum, kemudian menemukan air). Kita mengkafirkan pendapat yang berbeda dengan pendapat kita. Yang dilakukan Nabi Saw. adalah sunnah dan yang kita lakukan adalah bid’ah. Begitu makna bid’ah yang asli. Sekarang kita menyempitkan pengertian bid’ah itu. Bila semula bid’ah itu meliputi baik bidang ibadah maupun muamalah, baik berkenaan dengan hal-hal ritual maupun sosial, sekarang bid’ah itu dibatasi hanya pada urusan ibadah saja. Jemaah masjid bisa bertengkar memperebutkan apakah tarawih 23 raka’at itu bid’ah, tetapi membiarkan bid’ah dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Belakangan definisi bid’ah itu makin menyempit lagi. Bid’ah adalah paham golongan kita. Kita berpendapat bahwa qunut itu hanya dilakukan pada waktu terjadi musibah saja (yakni qunut nazilah), dan golongan lain berpendapat qunut harus dilakukan setiap kali salat subuh. Kita sebut pendapat kita sunnah dan pendapat golongan lain itu bid’ah. Kita tidak menyadari bahwa perbedaan pendapat itu terjadi karena perbedaan hadis yang dipilih saja. Kita tahu bahwa bid’ah itu sesat dan kesesatan itu di neraka. Dengan definisi bid’ah yang sudah kita sempitkan itu, kita memandang orang yang berbeda pendapatnya dengan kita sebagai orang sesat dan pasti masuk neraka. Ada sebagian orang yang mempersempit makna akidah sebagai pendapat golongannya. Jadi orang yang tidak sependapat dianggapnya tidak seakidah. Tidak jarang kita mengeluarkan ahli bid’ah’ atau yang berbeda akidahnya ‘ ̶ menurut definisi yang sempit itu ̶ dari lingkungan kaum muslim. Mereka bukan saja dipandang ‘bukan ikhwan’, tetapi juga diperlakukan sebagai musuh. Bila perlu, kita menggunakan fitnah, berita dusta, dan segala macam cacian, yang tidak layak dinisbahkan kepada sesama muslim. Sebuah majalah Islam, yang menggunakan nama yang mulia dari ayat Al-Qur’an, As-Sabiqunal Awwalun, pernah mengkhususkan seluruh isi majalah itu untuk mencaci dan mengkafirkan golongan yang tidak sepaham dengan kebijaksanaan (atau kejahilan) pengelola majalah itu. Tanpa perasaan bersalah sedikit pun, majalah itu (tentu saja berdasarkan imajinasi yang merupakan satu-satunya kepandaian penulisnya) melukiskan seorang wanita berjilbab yang menderita penyakit kelamin. Konon, menurut penulis pada majalah itu, ia menderita penyakit itu karena sering mengunjungi pengajian Jalaluddin Rakhmat. Fitnah keji itu dianggap halal hanya karena Jalaluddin dianggap ahli bid’ah, yang berbeda akidahnya dengan mereka. Ketika seorang direktur rumah sakit Islam bermaksud untuk mendirikan poliklinik bagi orang- orang yang tidak mampu, pimpinan organisasi yang mengelola rumah sakit itu melarangnya. Alasannya sederhana: poliklinik itu didirikan bekerja sama dengan sebuah pesantren yang dipandang sebagai ahli bid’ah, yang berbeda akidah dengan organisasi tersebut. Pimpinan organisasi tidak merasa beramal ‘salah’, menghalangi orang untuk beramal ‘saleh’. Mereka menganggap perbuatan itu sebagai upaya memelihara sunnah dan membasmi bid’ah. Peristiwa-peristiwa itu akan terus berulang. Kaum muslim dirugikan berkali-kali. Banyak orang menyebut krisis itu sebagai krisis ukhuwwah di kalangan Islam. Menurut Izutsu, semuanya ini bermula dari krisis berpikir, karena kerancuan makna. Dari Izutsu, kita memperoleh pelajaran berharga: Bereskan istilah, cerahkan pemikiran. JR wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Amirul Mu’minin Imam Ali bin Abi Thalib as.June 14, 2025Bila Anda membaca beberapa kitab, Anda akan menemukan banyak riwayat yang menyebutkan tentang hari kesyahidan Imam Ali. Riwayat yang paling masyhur adalah pada tanggal 19 Ramadhan. Ketika beliau sedang shalat subuh, Abdurrahman bin Muljam menebaskan pedangnya dari belakang tepat mengenai kepala beliau. Beliau lantas tersungkur di mihrabnya. Beberapa hari setelah itu, tepatnya pada tanggal 21 Ramadhan, Imam Ali menghembuskan nafasnya yang terakhir. Imam Ali adalah tokoh besar di kalangan kaum Muslimin, yang oleh George Jordac disebut sebagai “Suara Keadilan Umat Manusia”. Gibson –salah seorang sejarawan yang banyak menulis buku, salah satu bukunya adalah Kejatuhan Romawi- berkata tentang Imam Ali, “Ali adalah pahlawan yang dianugerahi oleh Allah kepiawaian dalam bermain pedang dan kepiawaian (kefasihan) dalam menggunakan bahasa.” Agak jarang hal ini terjadi. Kebanyakan prajurit yang tangguh adalah orang yang memiliki otot yang kuat, tetapi otak yang kecil. Atau orang yang memiliki otak yang cerdas, umumnya mempunyai otot yang kecil. Imam Ali adalah orang yang menggabungkan kedua-duanya. Tidak perlu kita mengisahkan secara panjang tentang kepiawaian Imam Ali dalam bermain pedang ini. Kita sudah mengetahuinya semua. Tidak ada seorang musuh pun yang melakukan perang tanding berhadapan dengan Imam Ali kembali dalam keadaan hidup, kecuali kalau Imam Ali melepaskannya dari cengkeraman maut. Dalam satu peperangan, ketika Imam Ali maju menantang untuk bertarung dengannya, Mu’awiyah yang memimpin pasukan yang lain meminta agar Amr bin Ash menghadapinya. Amr bi Ash mengatakan, “Mestinya Anda yang menghadapi dia.” Lalu Mu’awiyah berkata, “Demi Allah, Anda pun tahu, tidak seorang pun menghadapi Ali kembali dalam keadaan hidup.” Akhirnya Amr bin Ash pergi juga menghadapi Ali. Dan Amr bin Ash pun memang roboh. Tetapi ketika Imam Ali hendak memberikan pukulan terakhir, Amr bin Ash membuka auratnya dan Imam Ali membalikkan wajahnya meninggalkan Amr bin Ash dalam keadaan hidup. Imam Ali sering disebut dengan doa di belakang namanya “karramallahu wajhahu” (semoga Allah memuliakan wajahnya), karena beliau tidak pernah mau memandang aurat, bahkan menurut sebagian riwayat, auratnya sendiri. Bandingkan dengan mereka yang mengaku sebagai pengikut Imam Ali, tetapi menonton pertunjukan aurat –itu pun kadang dengan membayar. Para jago perang di seluruh dunia memanggil nama Imam Ali sebagai sumber keberanian perjuangan mereka. Kalau Imam Ali ternyata ditebas pedang dan disebut “kalah”, itu pun ketika beliau sedang melakukan shalat subuh dan diserang dari belakang. Tidak pernah ada luka di bagian depan tubuh Imam Ali. Kebanyakan lukanya karena orang menyerangnya dari belakang. Seperti diramalkan Rasulullah saw, ketika turun ayat Al-Quran Surah Al-Syams, Allah mengingatkan, “Ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka, lalu Rasul Allah berkata kepada umatnya, “Peliharalah unta betina Allah itu dan air minumnya, lalu mereka mendustakannya dan menyembelih unta itu. Maka Tuhan mereka membinasakan mereka disebabkan dosa mereka, lalu Allah menyamaratakan mereka. Dan Allah tidak takut terhadap akibatnya.” (QS. Al-Syams :12-14). Rasulullah menyebutnya, “Asyqâ al-Awwalîn” (orang yang paling celaka pada zaman dahulu), tahukah kamu “Asyqâ al-Âkhirîn” yaitu orang yang paling celaka dari umat yang akan datang? Orang itu adalah orang yang membasahi janggut Abu Al-Hasan –panggilan Imam Ali- dengan darahnya.” Jadi Abdurrahman bin Muljam adalah “Asyqâ al-Âkhirîn”. Imam Syafi’i –pemimpin mazhab besar khususnya bagi orang Muslim di Indonesia- pernah berkata, “Aku takjub menyaksikan seorang tokoh, yang keutamaannya disembunyikan oleh musuh-musuhnya karena kedengkian, dan keutamaannya disembunyikan oleh pecintanya karena ketakutan, tetapi darinya keluar kumpulan hadits yang memenuhi satu kitab.” Jadi keutamaan Imam Ali oleh para musuh-musuhnya disembunyikan karena dengki. Kadang-kadang dengan memindahkan hadits-hadits keutamaan Imam Ali kepada sahabat-sahabat yang lain. Al-Shiddiq, yang semula gelar Imam Ali pindah ke sahabat yang lain. AL-Faruq, yang semula juga adalah gelar Imam Ali pindah juga kepada sahabat yang lain. Dzun al-Nurayn, pindah dari Imam ke sahabat yang lain. Banyak gelar Imam Ali dipindahkan oleh musuh-musuhnya untuk menutupi keutamaan Imam Ali karena kedengkian musuh-musuhnya. Dan pecintanya menyembunyikan keutamaan Imam Ali, karena ketakutannya. Imam Turmudzi sempat mengumpulkan hadits tentang keutamaan Imam Ali, yang diberi nama Manâqib Imam Ali, satu jilid besar. Ketika dia sampai di suatu daerah di Iran zaman dahulu, orang-orang mengetahui bahwa beliau mengumpulkan hadits-hadits tentang keutamaan Imam Ali. Mereka mengelilinginya lalu bertanya padanya, “Katanya, engkau mengumpulkan hadits-hadits tentang keutamaan Imam Ali, coba sebutkan hadits-hadits yang mengatakan keutamaan Mu’awiyah.” Turmudzi menjawab, “Saya belum menemukan hadits tentang keutamaan Mu’awiyah kecuali satu saja.” Ketika didesak supaya yang satu itu pun disebutkan, Turmudzi lalu mengatakan, “Suatu hari Rasulullah saw menyuruh Abdullah bin Abbas memanggil Mu’awiyah. Ibnu Abbas pergi dan tidak lama dia balik lagi memberitahu kepada Nabi bahwa Mu’awiyah sedang makan. Kali yang kedua, Rasulullah menyuruhnya untuk memanggilnya lagi dan Mu’awiyah sedang makan. Sampai ketiga kalinya, Mu’awiyah tidak bisa datang karena sedang makan. Waktu itulah Rasulullah mendoakan Mu’awiyah, “Mudah-mudahan Allah tidak pernah mengenyangkan perutnya”. Itu satu-satunya hadis tentang keutamaan Mu’awiyah. Memang kelak sesudah itu, Mu’awiyah meninggal dunia karena kekenyangan. Mendengat hadits yang menyebutkan Mu’awiyah seperti itu, massa ramai-ramai menghakimi Turmudzi. Dia diinjak-injak –maaf- bahkan pada bagian vitalnya. Kemudian Turmudzi diangkut dan meninggal di suatu tempat yang bernama Rey, yang sekarang bernama Teheran. Turmudzi wafat lantaram meriwayatkan keutamaan Mu’awiyah dan keutamaan Imam Ali dengan cara yang berbeda. Jadi, dahulu orang-orang takut meriwayatkan keutamaan Imam Ali. Saking takutnya. Sampai ada seorang ahli hadits di Kufah, ketika meriwayatkan hadits dan harus menyebutkan sanadnya –diterima dari siapa hadits itu- sampai kepada Imam Ali, dia tidak menyebutkan nama Imam Ali tetapi dia menyebutkan “an Abi Zainab”, dari Bapak Zainab. Orang-orang pun penasaran siapa Abi Zainab itu? Ahli hadits itu tidak pernah memberitahukan kecuali menjelang akhir hayatnya. Dia katakan bahwa Abu Zainab yang dimaksud adalah Imam Ali. Ada juga seorang ahli ilmu yang kebetulan diberi nama oleh ayahnya dengan nama Ali. Tetapi karena dia dibenci banyak orang lantaran namanya, dan khawatir diadili, dia mengganti namanya menjadi “Uli”. Tulisannya masih tetap dengan huruf ‘ain, lam, ya, tetapi di atas huruf ‘ain dia tulis dhommah dan menjadi ‘Uli. Imam Ali adalah imam yang paling menderita. Beliau sering dikhianati oleh sahabat-sahabatnya sendiri. Beliau dimusuhi oleh sesama kaum Muslimin, sehingga dalam doa ziarah kepadanya, kita mengucapkan, “Wahai Imam, engkau telah dikhianati…” Saya tidak ingin menceritakan penderitaan Imam Ali kecuali sedikit saja. Imam Ali adalah pemimpin yang “kesepian”, karena kepandaiannya. Sementara kecenderungan umatnya waktu itu cenderung mengikuti orang-orang bodoh. Dalam setiap zaman, memang kebanyakan orang cenderung mengikuti orang yang bodoh. Mereka mengikuti para pendongeng. Padahal Imam Ali –yang disebut oleh salah seorang penulis dari Malaysia sebagai “Seorang Intelektual Muslim Pertama”- amatlah cerdas dan sekaligus cemas melihat umatnya lebih terpengaruh oleh para pendongeng. Beliau cemas lantaran melihat umatnya lebih mau bertanya kepada orang-orang yang dalam keilmuannya masih dangkal, bahkan pertemuannya dengan Rasulullah pun masih diragukan. Saking cemasnya, sampai-sampai Imam Ali berkata di hadapan jamaahnya, “Tanyakan aku sebelum kalian kehilangan aku. Aku mengetahui Al-Quran itu, apakah turun di lembah atau di bukit.” Imam Ali adalah imam yang fasih berbicara tetapi tidak pernah mengumbar kata-kata yang tidak perlu. Setiap ucapannya sangat bernilai. Pendek-pendek, puitis dan berbobot. Misalnya, “Athi’il âqila taghnam, wa’shil jâhila taslam”. Artinya, “Turutilah orang yang pintar nanti kamu beruntung, dan bantahlah orang yang bodoh nanti kamu selamat.” Atau ucapan beliau yang lain, “Man sâ’a tadbîruhu, ta’ajjala tadmîruhu”, artinya “Barangsiapa yang perencanannya jelek, pasti cepat kehancurannya.” Kalimat pendek dari Imam Ali, tetapi amat berisi ini dapat dijumpai dalam buku khusus. Buku yang mengumpulkan kata-kata hikmah Imam Ali itu bernama Ghurar al-Hikam. Imam Ali adalah orang yang paling tahu bahwa dari dahulu orang lebih senang kepada yang dangkal-dangkal saja. Orang Arab yang baru lepas dari zaman kejahilan lebih senang dengan kebodohan ketimbang ilmu pengetahuan. Karena itu, kepada para pengikutnya Imam Ali berwasiat agar selalu mencintai ilmu pengetahuan. Ketika hendak memerangi orang-orang Khawarij, Imam Ali lebih dahulu mengajak mereka dialog untuk memelihara darah kaum Muslimin. Kemudian orang Khawarij mengutus tujuh orang untuk bertanya kepada Imam Ali dengan satu pertanyaan saja. Mana yang lebih utama ilmu atau kekayaan? Orang yang pertama datang, dan dijawab Imam Ali, “Ilmu itu lebih utama, karena ilmu itu menjaga kamu, sementara kamu menjaga harta.” Yang kedua datang dengan pertanyaan sama, lalu dijawab oleh Imam Ali, “Ilmu itu lebih utama, karena ilmu akan bertambah bila dibagi-bagikan, sementara harta akan habis bila dibagi-bagikan.” Sampai orang yang ketujuh bertanya dengan pertanyaan yang sama, sementara Imam Ali menjawab dengan tujuh macam jawaban yang berbeda. Akhirnya orang Khawarij ini takjub karenanya, mereka pun memutuskan, “Orang semacam ini jangan diajak berdialog, tetapi harus diajak berperang saja.” Lalu terjadilah perang. Jadi, Imam Ali sangat menekankan akan pentingnya ilmu pengetahuan. Beliau ingin para pengikutnya menjadi pecinta-pecinta ilmu pengetahuan. Memang untuk penjadi pecinta ilmu pengetahuan dibutuhkan ketekunan dan kesabaran. Dalam Al-Quran kita tidak boleh membeda-bedakan manusia kecuali karena ilmunya. “Apakah sama orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu…” (QS. Al-Zumar :9). Dan dalam hadits disebutkan bahwa, “Memandang wajah orang yang berilmu itu adalah ibadah”. Itulah ajaran Islam yang mendidik kita untuk mencintai ilmu pengetahuan. Saya pernah menyebutkan bahwa mazhab Ali adalah mazhab cinta. Sekarang saya ingin mengatakan juga bahwa mazhab Ali adalah mazhab ilmu. Sepanjang sejarah, bila Anda membaca tulisan Sayyid Baqir Shadr, banyak tokoh ilmu pengetahuan dunia sepanjang sejarah Islam berasal dari para pengikut Imam Ali. Jabir bin Hayyan yang kelak menjadi tokoh fisika, seorang ahli optik, adalah pengikut Imam Ali. Ibnu Sina, seorang tokoh kedokteran dan tokoh ilmu pengetahuan adalah salah seorang pengikut Imam Ali. Ketika dunia Islam mengalami kehancuran akibat serangan tentara Mongol, ada sekelompok orang Islam yang mengadakan semacam tarekat secara sembunyi-sembunyi. Mereka menyebut dirinya Ikhwan al-Shafa. Di dalam Ikhwan al-Shafa, mereka mempelajari filsafat Yunani dan memperlajari ilmu pengetahuan dan menemukan penemuan-penemuan baru dalam sains dan teknologi. Mereka ini adalah para pecinta Imam Ali. Sepanjang sejarah para pecinta Imam Ali adalah pecinta ilmu pengetahuan. Imam Ali memang meminta para pengikutnya untuk mencintai ilmu pengetahuan dan menjauhi kebodohan. Menurut Imam Ali, kalau manusia di dunia tidak merasa puas dengan kebodohan, pastilah orang itu akan menjadi orang shaleh. Karena itu juga, dalam mazhab Imam Ali, untuk acara-acara keagamaan, seperti Nisfu Sya’ban, malam Laytlat al-Qadr, dan acara-acara keagamaan yang lain, diharuskan adanya majelis ilmu disamping majelis zikir. ​ Saya mengakhiri pembahasan ini dengan sebuah ucapan singkat dari Imam Ali, “Al-‘ilmu yunjîka, wa al-jahlu yurdîka”, artinya, “Ilmu itu menyelamatkanmu dan kebodohan itu menjatuhkanmu.” JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). *) Dikutip dari tulisan Mengenang syahadah Amirul Mu’minin Imam ‘Ali bin Abi Thalib as. [...] Read more...

Buku Karya KH. Jalaluddin Rakhmat

« of 2 »

Videografi

This error message is only visible to WordPress admins

Unable to retrieve new videos without an API key.

Error: No videos found.

Make sure this is a valid channel ID and that the channel has videos available on youtube.com.

Audiografi

UJR-MFR

“Jangan remehkan racun walau setetes. Jangan remehkan dosa sekecil apapun”

​KH. Jalaluddin Rakhmat
@katakangjalal

Contact Jalan Rahmat

Jl. Kampus II No. 13-15. Kiaracondong. Bandung