Warisan intelektual

untuk perkhidmatan

dan pencerahan pemikiran

0
Quotes
0
Articles
0
Videos
0
Audios

Jalan Rahmat

Misi Kami

Di Jalan Rahmat, kami berusaha menghadirkan kembara intelektual itu. Perjalanan dan pengelanaan beliau mengarungi ‘jagat’ semesta itu. Ada dokumentasi karya beliau. Puluhan buku, ratusan artikel, ribuan ceramah. Ada rekaman audio dan video. Ada pula karya-karya para guru bangsa, baik sahabat karib Allah yarham, para intelektual sezaman, maupun karya-karya para ulama besar yang mempengaruhi jagat kembara intelektual beliau. Jalan Rahmat adalah sebuah digital library yang ingin menghadirkan kembali semangat intelektual itu.

Jalaludin Rakhmat - Tauziah
Digilib

Donasi dan Beasiswa

Donasi dan Beasiswa untuk sekolah, madrasah, klinik, dan ragam kegiatan lainnya.

tauziyah

Digital Library

Kumpulan Ceramah, Artikel, Buku, Video dari para Guru Bangsa.

healthcare

Jalan Kecintaan

Warisan terutama dan teramat berharga dari Allah yarham adalah mengantarkan kami dan kita semua pada jalan menuju kerinduan dan kecintaan Sang Rahmatan lil ‘alamin. Itulah makna Jalan Rahmat yang sesungguhnya.

Latest Post

AL-QURAN DAN ILMU PENGETAHUANFebruary 9, 2025Dr. Maurice Bucaille, dokter bedah Prancis, tiba-tiba terkenal sebagai mufasir Al-Quran. Bukunya La Bible, la Coran, et la Science diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Arab, Turki, Serbo-Croat, Persia, Gujarati, dan Indonesia. Banyak orang Islam merasa terhibur dengan buku Bucaille, dan menerima penafsiran ilmiah yang dikemukakannya. Al-Quran bukan saja dipandang dapat berbicara tentang surga dan neraka, tetapi juga tentang penemuan-penemuan ilmiah mutakhir. Ayat-ayat Al-Quran seakan-akan mempunyai makna baru yang betul-betul sesuai dengan data ilmu pengetahuan modern. Popularitas Bucaille memudarkan mufasir ilmi seperti Fakhrurrazi, al-Baidhawi, an-Nisaburi, atau Tanthawi Jauhari. Bucaille bukan sekadar memberikan penafsiran baru, ia juga mengkritik penerjemah-penerjemah Al-Quran, yang berbuat kesalahan dalam mengartikan ayat Al-Quran. “Mereka umumnya orang-orang sastra,” kata Bucaille. “Seringkali mereka menerjemahkan secara salah ayat-ayat, karena tidak memiliki pengetahuan ilmiah yang diperlukan untuk memahami arti yang sebenarnya. Sebabnya ialah, untuk mampu menerjemahkan secara benar, orang pertama-tama harus memahami apa yang dibacanya. Sebab lain ialah bahwa para penerjemah ꟷterutama yang saya sebut di atas ꟷ mungkin dipengaruhi oleh komentar mufasir klasik yang menjelaskan ayat tersebut. Karena tradisi, para mufasir tersebut sering di anggap sangat berwenang, walaupun mereka tidak memiliki pengetahuan ilmiahꟷjuga rekan-rekan mereka sezaman. Mereka tidak mampu membayangkan bahwa ayat-ayat tersebut mungkin menunjukkan pengetahuan duniawi, sehingga mereka mencurahkan perhatian kepada ayat tertentu, dan membandingkannya dengan ayat lain yang berkenaan dengan hal yang samaꟷsuatu proses yang memberikan kunci untuk memahami makna kata atau ungkapan. Dari sinilah timbul kenyataan bahwa ayat Al-Quran, yang dapat dihubungkan dengan pengetahuan modern, kemungkinan besar diterjemahkan secara keliru. Sangat sering, terjemahan itu dipenuhi dengan pernyataan yang tidak tepatꟷkalau tidak dapat dikatakan sangat sembrono. Satu-satunya cara untuk menghindari kekeliruan seperti itu ialah memiliki latar belakang ilmiah dan mempelajari Al-Quran dalam bahasa aslinya.” Tetapi, betulkah penafsiran yang tidak ilmiah itu keliru? Mestikah kita meninggalkan para mufasir klasik seperti Ibnu Abbas, Ibnu Katsir, at-Thabari, Jalaluddin as-Suyuthi, atau asy-Syaukani, karena mereka tidak memiliki latar belakang ilmiah? Tidak semua orang setuju dengan Bucaille. Banyak juga ulama ꟷ bahkan ilmuwan, seperti Ziauddin Sardar ꟷmengecam upaya mengilmiahkan ayat-ayat Al-Quran. Sebagian menuduh bahwa orang-orang yang terlalu bersemangat menghubungkan ayat-ayat Al-Quran dengan ilmu pengetahuan adalah termasuk yang diancam hadis Rasulullah s.a.w., “Barangsiapa menafsirkan Al-Quran dengan rayunya, hendaknya mempersiapkan tempat duduknya di neraka.” Sering terjadi, mufasir-mufasir ilmi ini mengetahui suatu teori ilmiah, dan kemudian mencari ayat Al-Quran yang menunjang teori itu. Akibatnya, yang terjadi bukanlah ilmu pengetahuan menafsirkan Al-Quran, tetapi Al-Quranlah justru yang menafsirkan ilmu pengetahuan, Yang lebih berbahaya lagi ialah mengartikan ayat Al-Quran dengan teori-teori ilmiah yang masih spekulatif. Ketika teori-teori ilmiah itu tumbang, tumbang jugalah ayat Al-Quran yang terkait dengannya. Kebenaran Al-Quran adalah mutlak, sedangkan kebenaran ilmiah adalah nisbi. Tidakkah penafsiran ilmiah justru menisbikan kebenaran Al-Quran? Masalah penafsiran ilmiah atas ayat-ayat Al-Quran merupakan salah satu kemusykilan yang harus diselesaikan ketika kita membicarakan hubungan antara Al-Quran’ dan ilmu pengetahuan. Karena itu, di sini pertama-tama akan dibahas tafsir ilmi, alasan-alasan yang menopangnya, dan kritik-kritik terhadapnya. Dengan latar belakang tafsir ilmi, kita akan melihat bagaimana perspektif Al-Quran atas ilmu pengetahuan: penghargaan Al-Quran terhadap ilmu, sumber-sumber ilmu pengetahuan, arah perkembangan ilmu pengetahuan, dan cara memperoleh pengetahuan. Tafsir Ilmi: Argumen dan Kontraargumen Pembahasan tentang hubungan ilmu pengetahuan dengan Al-Quran sebetulnya bukanlah hal yang baru. Bucaille bukan mufasir ilmi yang pertama. Sebelumnya ada Thanthawi Jauhari; sebelumnya lagi ada Al-Baidhawi yang bersandar pada tafsir al-Kabir-nya Fakhrurrazi. Fakhrurrazi telah menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dengan berbagai pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan di zamannya. Sedemikian, sehingga ada ulama yang memberikan komentar, “Fakhrurrazi sudah mengatakan segala sesuatu dalam tafsirnya, kecuali tafsir.” Menurut Dr. Abdul Majid Abdussalam al-Muhtasib, prinsip-prinsip tafsir ilmi sudah diletakkan oleh Abu Hamid al-Ghazali satu abad sebelum Fakhrurrazi. Dalam Ihya Ulumiddin, al-Ghazali membela tafsir ilmi dari serangan ulama pengikut Ibnu Abbas dan mufasir lainnya. Ia mengemukakan akhbar dan atsar yang menunjukkan bahwa Al-Quran mempunyai makna yang lebih luas. daripada yang terdapat pada keterangan yang manqul. Bila Ibnu Mas’ud mengatakan, “Siapa ingin mengetahui ilmu orang terdahulu dan kemudian, renungkanlah Al-Quran.” Kata al-Ghazali, bagaimana mungkin kita memperolehnya dengan hanya tafsir zahirnya saja. Al-Ghazali menulis:” Seluruh ilmu tercakup dalam af’al (perbuatan-perbuatan) Allah dan sifat-sifat-Nya. Di dalam Al-Quran terdapat penjelasan tentang Dzat-Nya, af’al-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Ilmu ini tidak ada batasnya, dan di dalam Al-Quran terdapat petunjuk kepada keseluruhannya, Upaya untuk mendalami perinciannya, juga kembali kepada pemahaman terhadap Al-Quran. Semata-mata tafsir zahirnya saja, tidak menunjukkan hal itu. Bahkan, tentang semua yang menyulitkan pengamat, dan yang menjadikan pertikaian dalam pandangan dan pemikiran, di dalam Al-Quran terdapat tanda-tanda dan petunjuknya, yang hanya dipahami oleh orang yang mengerti. Jadi, bagaimana mungkin kita mencukupkan dengan terjemahan lahir dan tafsirnya saja. Karena itulah Nabi s.a.w. berkata: “Bacalah Al- Quran, dan gali keajaibannya.” Berkata Nabi s.a.w, dalam hadis Ali r.a.: “Demi yang mengutus aku sebagai Nabi dengan kebenaran, akan pecah umatku pada pokok agamanya, dan jamaahnya menjadi 72 golongan. Semuanya sesat menyesatkan, memanggil ke neraka.” Apabila terjadi hal demikian, hendaknya kamu berpegang kepada Kitab Allah. Di dalamnya ada kabar tentang umat sebelum kamu, dan berita yang datang sesudah kamu, serta hukum di antara kamu. Bila ada penguasa yang menentangnya, Allah akan mematahkannya. Barangsiapa mencari ilmu selain Al-Quran, Allah akan menyesatkannya. Al-Quran adalah tali kokoh Allah, cahaya yang terang, obat yang bermanfaat, terpeliharalah orang yang berpegang kepadanya, dan selamatlah orang yang mengikutinya. Tidak bengkok kecuali diluruskan, tidak miring kecuali ditegakkan. Tidak akan habis keajaibannya, dan tidak berkurang karena sering dibacanya. Dalam hadis Huzaifah, ketika Rasulullah mengabarkan perpecahan dan pertentangan sesudahnya, Huzaifah bertanya: “Ya Rasulullah apa yang kau perintahkan kepadaku, jika kami mengalami hal itu.” Ia berkata: “Pelajarilah kitab Allah, dan amalkanlah apa yang ada di dalamnya. Di situ ada jalan keluarnya.” Kata Huzaifah: “Aku ulangi pertanyaan itu tiga kali, dan Rasul s.a.w. menjawabnya tiga kali: ‘Pelajarilah kitabullah, dan amalkan apa yang ada di dalamnya, karena di situ ada keselamatan.” ” Berkata Ali r.a.: “Barangsiapa me mahami Al-Quran, ia menafsirkan sejumlah ilmu.” Dengan itu Ali menunjukkan bahwa Al-Quran menunjukkan pokok-pokok seluruh ilmu. Ibnu Abbas r.a. berkata tentang arti firman Allah Ta’ala, “siapa yang diberi hikmah, dia telah diberi kebaikan yang banyak”, sebagai pemahaman tentang Al-Quran. Allah berfirman: “Kami berikan pemahaman kepada Sulaiman, dan keduanya Kami beri hukum dan ilmu.” Allah menamai apa yang diberikan kepada keduanya ilmu dan hukum, tetapi mengkhususkan kepada Sulaiman pemahaman, dan menjadikannya sebagai pendahulu hukum dan ilmu. Ini semua menunjukkan bahwa dalam pemahaman terhadap makna Al-Quran terdapat bidang yang luas dan lapangan yang lebar, dan bahwa membatasi Al-Quran pada yang manqul dari tafsir zahir, bukanlah akhir pengetahuan. Dalam kutipan di atas, secara aqli dan naqli al-Ghazali menun jukkan bahwa Al-Quran adalah sumber ilmu pengetahuan yang tidak terbatas, karena di dalamnya diungkapkan af’al dan sifat Allah, yang hanya dapat ditemukan oleh orang yang memahaminya. Dalam kitab yang lain, Jawahir al-Quran, al-Ghazali memberi kan beberapa contoh ayat Al-Quran yang tidak dapat dipahami secara manqul, tetapi hanya dapat dimengerti oleh orang yang memiliki ilmu pengetahuan. Ayat “Dan bila aku sakit, Allah menyembuhkan aku” (QS. 26:80) hanya dapat dipahami oleh ilmuwan kedokteran, Ayat-ayat yang menggambarkan peredaran matahari, bulan dan gemintang, hanya dimengerti oleh ahli fisika dan astronomi. Untuk memahami ayat-ayat tentang kejadian manusia, diperlukan ilmu tentang manusia (baik fisiologi maupun psikologi). Menafakuri ayat-ayat Al-Quran, kata al-Ghazali, akan membawa kita kepada samudra af’al yang tidak bertepi. Dan hal itu. tidak cukup hanya dengan membatasi penafsiran pada apa yang manqul. Selanjutnya al-Ghazali mengupas pengertian “menafsirkan Al-Quran dengan ra’yu“. Yang dimaksud bukanlah membatasi tafsir atas Al-Quran pada apa yang manqul dan masmu’ karena beberapa alasan. Pertama, kalau yang manqul memang dari Rasulullah, kita harus menerimanya. Tetapi kalau hanya sekadar dari Ibnu Abbas, misalnya, kita boleh saja menolaknya, karena tafsir Ibnu Abbas juga sebenarnya tafsir birra’yi. Kedua, para sahabat mufasir juga sering berbeda pendapat dalam menafsirkan Al-Quran. Semua perbedaan itu tidak mungkin berasal dari Nabi saw. Ketiga, Rasulullah sendiri berdoa agar Ibnu Abbas difakihkan dalam agama dan diajari takwil. Kalau takwil harus selalu masmu’, apa perlunya Ibnu Abbas dikhususkan dengan doa itu. Keempat, Allah sendiri berfirman, “tentulah mengetahuinya orang-orang yang menarik istinbath dari mereka” (QS 4:83). Ini menunjukkan bahwa ahli ilmu boleh menarik kesimpulan (istinbath), dan istinbath tidak mungkin masmu: “Maka bolehlah orang melakukan penyimpulan Al-Quran, sesuai dengan kadar pemahamannya dan batas akalnya”, kata al-Ghazali. Kalau begitu, apa yang dimaksudkan menafsirkan Al-Quran dengan ra’yu itu? Menurut al-Ghazali, hal itu berlaku pada orang yang sudah mempunyai pikiran dan kecenderungan tertentu, kemudian menakwilkan Al-Quran sesuai dengan pikirannya dan keinginannya itu, supaya ada hujah (alasan) untuk membenarkan maksud-maksudnya. Penafsiran dengan ra’yu juga berlaku bagi orang yang terlalu cepat menafsirkan Al-Quran, tanpa sama sekali memperhatikan hal-hal yang manqul, atau tanpa memahami hukum-hukum bahasa Arab. Karena Al-Quran turun dalam bahasa Arab, maka tidak mungkin orang memahami lebih dalam Al-Quran tanpa memahami kandungan maknanya dalam bahasa Arab. “Tak ubahnya seperti orang yang mengaku dapat memahami maksud pembicaraan orang-orang Turki tetapi tidak memahami bahasa Turki,” kilah al-Ghazali. Argumentasi al-Ghazali ini sering diulang lagi oleh para mufasir ilmi lainnya, seperti al-Zarkasyi,” Jalaluddin as-Suyuthi, dan al-Marsi. Yang menarik adalah argumentasi Thanthawi Jauhari. la menyusun tafsir ilmi karena melihat keterbelakangan umat Islam dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Ia merasa mendapatkan panggilan Ilahi untuk menjadikan Al-Quran sebagai petunjuk dan pendorong pengembangan ilmu. Ia yakin betul bahwa hanya dengan cara itulah orang Islam, yang termasuk golongan “mustadh’afin di bumi”, akan dapat memperbaiki nasib. nya. Ia menunjukkan bahwa di dalam Al-Quran terdapat lebih dari 750 ayat yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan, dan hanya sekitar 150 ayat tentang ilmu fikih. “Mengapa para ulama Islam menyusun puluhan ribu kitab ilmu fikih?” kata Tanthawi Jauhari, “Apakah dapat diterima oleh akal dan syariat bahwa kaum Muslimin mencurahkan perhatian kepada pengetahuan tentang sedikit ayat, dan mengabaikan pengetahuan tentang sangat banyak ayat.” Ia menceritakan proses penulisan tafsirnya sebagai berikut: Hari ini aku memulai tafsirku dengan memohon pertolongan kepada Allah yang Mahasayang dan Maha Mengetahui, dengan merenungkan apa yang sudah menjadi keyakinanku, mudah-mudahan Allah membukakan, dengan tafsir ini, hati manusia, memberikan petunjuk kepada bangsa-bangsa, mengangkat kabut yang menutupi mata kebanyakan kaum Muslimin, sehingga mereka memahami ilmu-ilmu alamiah. . . . Mudah. mudahan kitab ini menjadi dorongan yang kuat untuk mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi serta rendah, dan supaya muncul dari umat ini orang-orang yang melebihi orang Barat dalam. bidang pertanian, kedokteran, pertambangan, matematika, geometri, ilmu falak, dan lain-lain, juga dalam bidang sains dan teknologi. Mengapa tidak, padahal dalam Al-Quran terdapat ayat-ayat tentang ilmu lebih dari 750 ayat, sedangkan ayat-ayat yang jelas tentang fikih, tidak lebih dari 150 ayat. Sudah aku tuliskan dalam tafsir ini hukum-hukum, akhlak, dan keajaiban alam, yang diperlukan seorang Muslim. Aku muat di dalamnya keanehan sains dan keajaiban makhluk yang mendorong kaum Muslimin dan Muslimah untuk menangkap hakikat makna ayat-ayat yang jelas tentang fauna dan flora, tentang bumi dan langit. Dan supaya engkau tahu, hai kaum cendekiawan, bahwa tafsir ini adalah hadiah rabbaniah, petunjuk suci, kabar gembira, diperintahkan kepadaku dengan jalan ilham. Aku yakin bahwa kebesaran tafsir ini akan dikenal seluruh makhluk, dan akan menjadi sebab-sebab utama yang mengangkat kaum mustadh’afin di bumi. Imbauan Thanthawi Jauhari segera mendapatkan sambutan dengan munculnya berbagai buku yang mengulas Al-Quran secara ilmiah. Hanafi Ahmad menulis At-Tafsir al-Ilm lil al-Ayah al-Kauniah; Ahmad Mahmud Sulaiman mengarang Al-Qur’an wa al-Ilm; Mahmud Mahdi menulis I’jaz al-Qur’an al-Ilm; Ya’qub Yusuf mengarang Lafatat Ilmiyah min al-Qur’an, dan berbagai buku lainnya yang terus bermunculan sampai kini. Semangat mengungkapkan penemuan-penemuan ilmiah dalam penafsiran Al-Quran menimbulkan reaksi yang cukup berat dari banyak ulama mufasir dan ulama fikih. Abu Hayyan al-Andalusi mengkritik Fakhrurrazi, dan menganggap tafsirnya telah menyimpang dari cakupan ilmu tafsir, Asy-Syathibi juga menulis risalah panjang yang menolak tafsir ilmi. Mungkin kritik paling tajam ialah tulisan as-Syaikh Mahmud Syaltut. Ia menulis tentang perlunya membersihkan tafsir dari dua segi: menggunakan ayat- ayat Al-Quran untuk memperkuat golongan atau pertentangan mazhab, dan menggunakan penjelasan yang diambil dari ilmu pengetahuan modern. Kritik-kritik tersebut dapat disimpulkan dalam hal-hal berikut: 1. Al-Quran diturunkan kepada bangsa yang ummi, disesuaikan dengan tingkat pengetahuan mereka. Karena itu, tidak mungkin Al-Quran membawakan hal-hal yang berada di luar jangkauan bangsa Arab waktu itu. “Hendaknya kita membatasi penafsir- an Al-Quran hanya dengan menggunakan ilmu-ilmu yang diketahui oleh orang-orang Arab… Barangsiapa mencari pemahaman di luar kebiasaan orang-orang Arab, sesatlah pemahamannya itu,” kata asy-Syathibi? 2. Rasulullah s.a.w. dan para sahabat adalah orang-orang yang paling paham terhadap makna hakiki ayat-ayat Al-Quran. Menganggap bahwa ada ayat-ayat Al-Quran yang maknanya baru diketahui pada zaman modern ini, sama saja dengan merendahkan Rasulullah dan sahabat-sahabatnya. Mereka jelas tidak mengetahui penemuan-penemuan ilmu pengetahuan mutakhir. Dalam bahasa yang keras, Dr. al-Muhtasib menulis, menanggapi ucapan Abdul Aziz Ismail yang menyatakan bahwa orang tidak dapat memahami makna hakiki ayat kedua surat al-Alaq, jika tidak mempelajari ilmu-ilmu modern: “Pada ucapannya ini terkandung celaan kepada Rasul yang mulia s.a.w, sahabat, dan tabi’in, karena mereka tak memahami makna hakiki tentang sebagian ayat Al-Quran, karena ketidaktahuan mereka akan ilmu-ilmu modern, Padahal Rasul s.a.w. yang ummi adalah penafsir pertama Al-Quran. Sahabat r.a. mengambil ilmu ini dari Rasulullah, dan menambahkannya dengan ijtihad mereka. Di antara mereka adalah Ibnu Abbas r.a., penerjemah Al-Quran yang didoakan Rasul yang mulia supaya mengerti agama dan mempelajari takwil. “Pernyataan yang keliru dan salah ini timbul karena meletakkan Al-Quran dalam bidang yang tidak layak diletakkan oleh setiap orang yang memahami maksud Allah Ta’ala. Karena itu, jelaslah bagi orang yang memiliki cahaya ketakwaan dan pengertian rusaknya penafsiran ilmiah semacam ini.”. 3. Al-Quran diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi manusia, agar mereka mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Al-Quran adalah petunjuk bagi orang-orang yang takwa, dan bukan ilmu pengetahuan tentang hakikat alam semesta atau fenomena alam. Tafsir ilmi mengalihkan manusia dari usaha memperoleh petunjuk ke arah usaha-usaha ilmiah, Muhammad Rasyid Ridha menyebutkan bahwa salah satu kesalahan kaum Muslimin dalam menafsirkan Al-Quran ialah menyibukkan diri dalam pembahasan tentang ilmu-ilmu kealaman. Ia mengecam al-Fakhrurrazi dan pengikut-pengikutnya yang menghubungkan ayat-ayat Al-Quran dengan ilmu falak, botani dan biologi, sehingga memalingkan pembacanya dari tujuan sejati Al- Quran. 4. Kebenaran ilmiah tidak tetap dan dapat berubah-ubah. “Apa yang hari ini benar menurut ilmu, besok menjadi khurafat,” kata Syaltut. Mengaitkan Al-Quran dengan masalah-masalah, berarti meletakkan Al-Quran di atas dasar yang sangat goyah. 5. Harus dibedakan antara tafsirul Quran dan i’jazul Quran. Tafsir adalah keterangan tentang kata-kata dan kalimat dalam Al-Quran serta kandungan maknanya. I’jazul Quran berkenaan dengan ketinggian Al-Quran sebagai wahyu Allah, dan kemam- puannya untuk menghadapi perubahan zaman. Ulasan ilmiah mengenai ayat Al-Quran, paling tidak, hanya dapat dimasukkan sebagai I’jazul Quran, dan bukan tafsirul Quran. Al-Muhtasib menyimpulkan kritik terhadap tafsir ilmi dengan mengatakan: “Cukuplah bagi kita bahwa Al-Quran tak bertentangan dan tak akan bertentangan dengan hakikat ilmu pengetahuan yang diterima oleh akal. Cukuplah bagi kita bahwa Al-Quranlah yang membuka pintu akal kaum Mukminin, mendorong mereka menadaburi, menafakuri, merenungkan, membahas, memikirkan, dan mendalami ilmu pengetahuan. Cukuplah buat kita bahwa orang yang kitab sucinya Al-Quran telah hidup bersama ilmu dalam suasana harmoni dan kasih sayang, sementara pengikut kitab agama yang lain telah menjadi tonggak keras yang menghadang ilmu dan para ilmuwan di abad pertengahan, yang menyebabkan salah seorang pemikir sesat berkata: ‘Agama adalah candu rakyat,’” Dari argumen dan kontraargumen di atas kita dapat menyimpulkan bahwa menghubungkan Al-Quran dengan ilmu pengetahuan memerlukan kehati-hatian. Selain penguasaan ilmu pengetahuan ꟷ sehingga mampu membedakan fakta ilmiah dari teori ilmiah ꟷ mufasir ilmi juga tidak boleh mengabaikan kaidah-kaidah bahasa Arab dan penjelasan-penjelasan yang manqul. Alternatif kita bukanlah menyesuaikan ayat-ayat Al-Quran dengan ilmu pengetahuan atau mencari teori ilmiah dari Al-Quran, tetapi menemukan bagaimana perspektif Al-Quran tentang ilmu pengetahuan. Penghargaan Al-Quran terhadap Ilmu Saya tidak akan mengulangi ratusan ayat dalam Al-Quran yang mendorong manusia untuk mengamati alam semesta, merenung dan bertafakur, karena yang demikian itu sudah banyak dibicarakan dalam berbagai tulisan. Secara singkat saya akan menunjukkan penghargaan Al-Quran terhadap ilmu: 1. Manusia diangkat sebagai khalifatullah, dan dibedakan dari makhluk Allah yang lain, karena ilmunya. Al-Quran menceritakan bagaimana Adam diberi pengetahuan tentang konsep-konsep seluruhnya (al-asma kullaha), dan malaikat disuruh sujud kepadanya (QS 2:31-33). “Di dunia ini ia diberi kekuasaan atas semua kekuatan alam, melalui pengetahuan tentang rahasia-rahasia alam semesta, yang di sini diungkapkan oleh pengetahuan tentang nama-nama, Pengetahuan ini telah menaikkan statusnya terhadap ciptaan-ciptaan lain Allah.” Beberapa kali Allah mengaitkan penciptaan manusia dengan kemampuannya untuk memiliki dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Dalam surat al-Alaq, Allah mengisahkan proses penciptaan manusia, dan menunjukkan bagaimana Ia memberikan karunia kepada manusia untuk mengetahui apa yang sebelumnya tidak diketahui lewat pena (QS 96:1-5). “Berkata Qatadah: pena adalah nikmat Allah yang besar sekali. Bukankah tanpa pena agama tidak dapat ditegakkan, kehidupan tidak dapat diperbaiki. Allah menunjukkan kebaikan-Nya dengan mengajarkan kepada hamba-hamba-Nya apa-apa yang tidak diketahuinya, dan membebaskan mereka dari kegelapan kebodohan menuju cahaya ilmu, dan mengingatkan mereka tentang keutamaan tulisan yang di dalamnya ada manfaat besar. Tanpa tulisan, tidak tegak urusan agama dan urusan dunia.” Dalam surat ar-Rahman, Allah menunjukkan tiga nikmat-Nya kepada manusia: mengajarkan Al-Quran, menciptakannya, dan mengajarnya al-bayan. Banyak mufasir menjelaskan al-bayan sebagai kemampuan untuk memahami, mengungkapkan, dan mengembangkan ilmu. 2. Karena hakikat manusia tidak terpisah dari kemampuannya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, maka ilmu yang disertai iman adalah ukuran derajat manusia. Manusia yang ideal dalam Al-Quran ialah manusia yang mencapai ketinggian iman dan ilmu (QS 58:11). 3. Al-Quran diturunkan dengan ilmu Allah (QS 11:14), dan hanya dapat direnungkan maknanya oleh orang-orang yang berilmu (QS 29:43). Al-Quran hanya jelas bagi orang-orang yang berilmu (QS 29:49). Merekalah yang segera merebahkan diri dan sujud, bila dibacakan ayat-ayat-Nya (QS 17:107). Untuk memperoleh petunjuk dari Al-Quran, bukan saja diperlukan ketakwaan dan keimanan, tetapi juga ilmu pengetahuan (QS 30:22, 6:105). Al-Quran menyindir orang-orang yang berdebat tentang Allah (termasuk ayat-ayat-Nya) tanpa ilmu pengetahuan (QS 22:3, 8; 31:20). 4. Al-Quran memberikan isyarat bahwa yang berhak memimpin umat ialah yang memiliki pengetahuan. Thalut dipilih sebagai raja Israel, karena kelebihan pengetahuannya. “Sesungguhya Allah telah memilihnya menjadi rajamu, dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa” (QS 2: 247). Begitu pula, Dawud diberi kekuasaan atas dasar yang sama Allah mengajarkan kepadanya hikmah dan pengetahuan (QS 2:251). Begitu juga Sulaiman (QS 21:79; 27:15), Luth (QS 21:74), dan Musa (QS 28:14), Ya’qub dan Yusuf (QS 12: 68, 22). 5. Allah melarang kita mengikuti sesuatu yang tentangnya kita tidak memiliki ilmu (QS 17:36). Nabi Nuh pernah ditegur oleh Allah, karena memohon sesuatu yang tidak diketahui (hakikatnya). Lalu “Nuh berkata: Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tidak mengetahui (hakikatnya)” (QS 11:46, 47). 6. Allah memberikan contoh bagaimana orang awam tertarik dengan kemewahan dunia seperti yang ditampakkan oleh Qarun. Hanya orang berilmu yang tahu bahwa kemewahan dunia bukanlah sesuatu yang bernilai. “Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: ‘Kecelakaan besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu kecuali oleh orang-orang yang sabar.” (QS 28:80). Sumber-Sumber Ilmu Pengetahuan Al-Quran menunjukkan empat sumber untuk memperoleh pengetahuan: 1. Al-Quran dan as-Sunnah. Keduanya merupakan sumber pertama ilmu. Al-Quran berkali-kali mengingatkan kita untuk memikirkan ayat-ayat-Nya dan mengambil pelajaran darinya, serta mengingatkan kita untuk mengambil Rasul sebagai contoh. Rasyid Ridha memulai tafsirnya dengan menyebutkan ayat-ayat Al-Quran yang memperkuat pernyataan di atas (dan karena itu, saya kutip kembali di bawah): “Alif lam ra. Itulah ayat-ayat kitab yang terang. Sesungguhnya, telah Kami turunkan Quran dalam bahasa Arab, mudah-mudahan kamu memikirkannya.” (QS 12:1-3) “Sesungguhnya, dalam kisah tentang mereka itu terdapat pengajaran (ibrah) bagi ulul-albab. Bukanlah Al-Quran ini pekabaran yang diada-adakan saja, malah ia membenarkan (kitab) yang di hadapannya, dan menerangkan tiap-tiap sesuatu, lagi petunjuk dan rahmat bagi kaum beriman.” (QS 12: 111) “Demikianlah Kami turunkan kitab kepada engkau (Muhammad). Di antara orang-orang yang Kami berikan kitab kepada mereka, mereka beriman kepadanya, dan di antara mereka ini (penduduk Makkah) ada pula yang beriman kepadanya. Dan tiadalah yang menyangkal ayat-ayat Kami, kecuali orang-orang yang kafir. Engkau (Muhammad) tidak pernah membaca kitab sebelumnya (sebelum turun. Al-Quran), dan tidak pernah pula menulisnya dengan tangan kananmu. (Kalau ada), tentu ragulah orang-orang yang membatalkan (Al-Quran). Bahkan ia adalah ayat-ayat yang terang dalam dada orang- orang berilmu. Dan tiadalah yang menyangkal ayat-ayat Kami, kecuali orang-orang yang aniaya.” (QS 29:47-49) “(Inilah) kitab yang Kami turunkan kepadamu lagi diberkati, supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya, dan supaya ulul-albab mendapatkan peringatan.” (QS 38:29) “Tidakkah mereka memperhatikan Al-Quran? Sekiranya Al-Quran itu bukan dari Allah, niscaya mereka peroleh di dalamnya banyak perselisihan.” (QS 4:82) “Allah telah menurunkan sebaik-baik perkataan, (yaitu) kitab yang serupa (keindahan ayat-ayatnya), lagi didua-duaan (diulang-ulang membacanya); karena itu, menggeletarlah kulit orang-orang yang takut kepada Tuhan mereka, kemudian menjadi lembut kulit dan hati mereka untuk mengingat Allah. (Kitab) itulah petunjuk Allah, Dia tunjuki dengannya siapa yang dikehendaki-Nya. Dan siapa yang disesatkan oleh Allah, tidak adalah baginya yang menunjuki.” (QS 39:23) “Sekiranya Kami turunkan Quran ini ke atas gunung, niscaya engkau lihat gunung itu tunduk dan terbelah, karena takut kepada Allah. Itulah contoh, Kami berikan untuk manusia, mudah-mudahan mereka memikirkannya.” (QS 59:21) Tentang as-Sunnah, seorang Muslim bukan saja disuruh mempelajari contoh Rasul (QS 33:21), tetapi juga mengambil apa yang diperintahkannya, dan meninggalkan apa yang dilarangnya (QS 59:7). Dan karena seorang Mukmin tidak mempunyai pilihan lain selain mengikuti keputusan Allah dan Rasul-Nya (QS 33:36), maka ia harus mengambil pelajaran dari Sunnah Rasul-Nya. 2. Alam semesta adalah sumber kedua ilmu. Al-Quran menyuruh kita memikirkan keajaiban ciptaan Allah (QS 13:2-5), penciptaan bumi dan lautan (QS 16:14-18), hujan dan halilintar (QS 30:24; 35:27-28), langit dan bintang-bintang (QS 50:6), tumbuh-tumbuhan (QS 50:9-11; 6:141; 16:10, 11; 13:4; 20:53), binatang (QS 24:45; 53:45-46; 16:68-69; 29:41; 67:19; 16:66), mineral dan logam (QS 35:27; 34:10-12; 57: 25; 18:96), dan lain-lain. Al-Quran menunjukkan hal-hal di alam semesta yang harus diteliti: yaitu materi yang mendasari penciptaan (QS 86:5; 24:45; 76:2), proses penciptaannya sendiri (QS 23:12-14; 21:30; 31:10), proses perubahan fenomena alam (QS 39:21; 30:48), dan hubungan manusia dengan alam (QS 45:13). 3. Diri manusia (anfus) adalah sumber-ketiga ilmu. “Hendaklah manusia memperhatikan dari apa ia diciptakan” (QS 86:5). Ungkapan mimma khuliq mengacu kepada fisiologi dan psikologi manusia sekaligus, karena dalam bahasa Arab, khuliqa mempunyai mashdar, yaitu khalq dan khulq. Karena itu, di dalam Al-Quran, di samping ayat-ayat Al-Quran yang melukiskan penciptaan manusia secara biologis (QS 22:5; 42:49-50), banyak ayat melukiskan watak manusia sebagai individu, seperti ketamakan (QS 4:36-37; 104:1-3; 47:38), kemunafikan (QS 9:77), senang tergesa-gesa (QS 21:37; 17:11), kikir (QS 17:100; 70:21), dan perilakunya sebagai anggota masyarakat. Perilaku manusia dalam kehidupan sosial yang dilukiskan Allah dalam Al-Quran telah sangat bagus sekali diuraikan oleh Murtadha Mutahhari dalam Al-Mujtama’ wa at-Tarikh. 4. Tarikh umat manusia adalah sumber-keempat ilmu. “Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi, serta memperhatikan bagaimana akibat orang. orang sebelum mereka, Mereka lebih kuat daripada mereka sendiri, dan telah mengolah bumi serta memakmurkannya lebih banyak daripada apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka Rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata.” (QS 30:9; lihat juga, 12:109; 40:21-22). Tentang panggilan Al-Quran untuk mempelajari sejarah, Dr. Iqbal menulis.” “Al-Quran juga memberikan suatu konsepsi dinamis tentang alam semesta, dan mengundang manusia untuk menafakuri keajaiban-keajaiban alam dan sejarahnya sendiri: bagaimana bangsa demi bangsa tampil di dunia, bangun dan jatuh karena perbuatan-perbuatannya sendiri. Al-Quran menamakan hal ini, ‘Hari-hari Allah’ (Ayyamullah), dan memandangnya sebagai sumber ketiga pengetahuan manusia. Untuk membuktikan bahwa bangsa-bangsa secara kolektif dinilai, dan mereka men. derita karena perbuatan-perbuatan buruk mereka di dunia ini, Al-Quran mengutip contoh-contoh sejarah berbagai bangsa, dan mendesak para pembacanya untuk menafakuri pengalaman masa lalu dan masa kini manusia.” Arah Perkembangan Ilmu Pengetahuan Banyak ayat Al-Quran menegaskan bahwa tujuan utama ilmu pengetahuan ialah mengenal tanda-tanda Allah, menyaksikan kehadiran-Nya di berbagai fenomena yang kita amati, dan akhirnya mengagungkan Allah dan bersyukur kepada-Nya. Menurut Al-Quran, ilmu harus dikembangkan untuk melahirkan manusia berilmu yang hanya takut kepada Allah (QS 35:28), atau ulul-albab, yang tanda-tandanya disebutkan 16 kali dalam Al-Quran. Tetapi di samping itu, Al-Quran menyebutkan tiga hal lainnya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. 1. Ilmu pengetahuan harus berusaha menemukan keteraturan (sistem), hubungan sebab-akibat, dan tujuan di alam semesta. Dalam banyak ayat Al-Quran dijelaskan bahwa alam ini diurus oleh Pengurus dan Pencipta yang tunggal, karena itu tidak akan pernah ada kerancuan (tafawut) di dalamnya (QS 67:3). Alam ini bergerak menuju tujuan tertentu, karena Allah tidak menciptakannya untuk bermain-main, dan bukan merupakan perbuatan yang sia-sia (QS 6:73; 21:16-17; 44:38, 39; 23:115; 3:191). Keteraturan (dalam ilmu, biasanya disebut sebagai hukum-hukum) yang terdapat dalam afaq. disebut Al-Quran sebagai qadar atau takdir (QS 65:3; 6:96; 36:38; 54:49; 10:5; 87:3), sedangkan keteraturan dalam anfus dan tarikh disebut sebagai sunnatullah (disebut 16 kali dalam Al-Quran, 2 kali disebut dalam bentuk jamak). 2. Ilmu harus dikembangkan untuk mengambil manfaat dalam rangka mengabdi kepada Allah, sebab Allah telah menundukkan matahari, bulan, bintang, dan segala yang di langit dan di bumi, buat manusia (QS 22:65; 31:20; 16:14; 14:32; 7:10; 28:73; 6:97). 3. Ilmu harus dikembangkan dengan tidak menimbulkan kerusakan di bumi, baik kerusakan afaq maupun anfus (QS 7: 56, 85;47:22; 2:205; 13:25, 26:152). Cara Memperoleh Pengetahuan Dalam banyak ayat Al-Quran, ditunjukkan berbagai cara untuk memperoleh pengetahuan: melalui persepsi indera, melalui kalbu, dan lewat wahyu atau ilham. Yang pertama dan kedua sering disebutkan dalam Al-Quran secara bersamaan: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS 16: 78) Pendengaran dan penglihatan adalah alat pengamatan yang mem berikan pengetahuan indera, dan hati dalam terminologi Al-Quran menunjukkan fakultas yang merenungkan, memahami, dan meng- ambil pelajaran (QS 7:179; 22:46; 30:59; 50:37). Pengetahuan Indera Al-Quran mengakui permulaan pengetahuan lewat eksperimen dan pengamatan inderawi (QS 29:20; 10:101; 88:17). Allah memberikan contoh bagaimana Dia mengajarkan manusia pengetahuan melalui contoh-contoh yang dapat diamati. Allah mengajari Qabil cara mengubur mayat dengan perantaraan burung gagak (QS 5:31), mengajari seorang laki-laki saleh pengertian kebangkit an manusia lewat pengamatan eksperimen (QS 2:259), dan menunjukkan kepada Ibrahim a.s. bagaimana menghidupkan yang mati, juga lewat eksperimen (QS 2:260). Di tempat yang lain, Al- Quran mengajarkan konsep-konsep yang abstrak dengan menganalogikannya pada hal yang konkret (QS 2:261; 14:26; 24:35; 35:9). Al-Quran mengecam orang-orang yang tidak menggunakan inderanya untuk memperoleh pengetahuan (QS 7:179; 7:195; 8:21;7:198). Walaupun begitu, Al-Quran menjelaskan keterbatasan alat indera untuk memperoleh pengetahuan yang benar. Al-Quran mengecam orang-orang yang hanya mengandalkan inderanya untuk sampai kepada kebenaran seperti kaum Nabi Musa yang ingin melihat Allah secara langsung (QS 2:55; 4:153) atau orang-orang yang berkata kepada Nabi, bahwa mereka baru mau beriman apabila melihat air yang memancar dari dalam bumi, langit yang runtuh, atau munculnya malaikat (QS 17:90-93), Kaum positivis yang hanya menganggap pengetahuan seperti yang dapat diamati atau diukur, disindir Al-Quran sebagai: “Mereka hanya mengetahui yang lahir saja dari kehidupan dunia” (QS 30:7). Selain itu, Al-Quran juga menunjukkan adanya realitas yang tidak dapat diamati: “Allah yang meninggikan langit tanpa tiang yang dapat kamu lihat.”(QS 13:2) “Maka aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat, dan dengan apa yang tidak kamu lihat.” (QS 69:38-39) “Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka, maupun dari apa yang tidak mereka ketahui” (QS 36:36) Menurut Dr. Mahdi Gulshani, yang menarik dewasa ini ialah besarnya pengaruh positivisme pada pikiran para sarjana Muslim. Positivisme hanya memandang apa yang dapat diamati dan menolak adanya pengetahuan di luar pengalaman inderawi. Tidak mungkin kita mengkritik positivisme dalam tulisan ringkas ini. Secara singkat kita dapat menunjukkan bahwa: 1. Tidak ada data yang murni eksperimental. Kita selalu mengamati sesuatu dengan persepsi tertentu, dengan teori tertentu. Hanson, Kuhn, dan Toulmin sepakat seperti Feyerabend yang menyatakan bahwa “teori-teori ilmiah merupakan cara-cara untuk melihat dunia; dan penggunaan atas teori-teori ilmiah itu mempengaruhi keyakinan dan harapan umum kita, dan dengan demikian juga mempengaruhi pengalaman-pengalaman kita,” 2. Seperti dinyatakan oleh Einstein, konsep-konsep dasar ilmu tidak diperoleh lewat induksi dari pengalaman indera, tetapi semata-mata ciptaan pemikiran manusia. Teori tidak pernah lahir dari pengamatan langsung atas data eksperimental. Seperangkat data eksperimental malah dapat dijelaskan oleh beberapa teori. Menurut Hanson, matahari Tycho tidak sama dengan matahari Kepler. Mengapa? Karena keduanya mempunyai kerangka tafakur yang berlainan. Pengetahuan Akal Al-Quran menyebutkan adanya pengetahuan yang diperoleh lewat ta’aqqul, tafaqquh, dan tadzakkur (merenungkan, memikirkan, memahami, dan mengambil pelajaran). Pengetahuan jenis inilah yang dapat “menangkap” ayat-ayat Allah pada kejadi. an langit dan bumi (QS 2:164; 50:6-11; 13:3-4; 16:12, 67; 24: 35; 30:24, 28; 45:5, 2:219, 10:24; 16:11, 69; 30:21; 39:42; 45:13). Pengetahuan akal jelas lebih tinggi daripada pengetahuan indera. Menurut Al-Quran, fakultas yang mempunyai fungsi akal disebut qalb atau fuad. Pengetahuan indera boleh jadi memberikan masukan pada qalb lewat mekanismenya sendiri. Betapapun tingginya pengetahuan akal dibandingkan dengan pengetahuan indera, dapat juga jatuh dalam kekeliruan-kekeliruan fatal. Al-Quran menyebut beberapa faktor yang mendistorsi pengetahuan akal. 1. Tidak ada iman. Tanpa iman, orang tidak akan sampai pada pengetahuan yang benar. Ia akan terjebak dalam pandangan materialistis, dan tidak melihat realitas yang nonmaterialistis, (QS 63:3; 30:53; 6:125; 16:104; 41:44; 10:101; 53:23, 30). 2. Mengikuti hawa nafsu dan angan-angan. Berpikir mengikuti keinginan (wishful thinking), atau untuk membela kepentingan-kepentingan pribadi, akan memalingkan orang dari kebenaran dan menyesatkannya dari jalan Allah (QS 28:50; 45:23; 2:120;2:120; 6:119). 3. Kecintaan dan kebencian buta serta fanatisme: Ini adalah kumpulan prasangka yang akan melemahkan kemampuan akal (QS 41:17; 29:38; 47:9; 43:78; 16:107-108). 4. Mengikuti secara membuta pandangan masa lalu atau tokoh- tokoh pemikiran: keterikatan pada otoritas (tradisi atau pemimpin) mengeruhkan proses berpikir dan menjauhkan dari petunjuk (QS 33:67; 2:120; 5:104; 43:23, 24; 11:59, 97). 5. Takabur. Merasa diri pintar, bijak, dan meremehkan pendapat orang lain, ditawari Al-Quran dengan siksa yang berat. Takabur selain dapat menimbulkan murka Allah, juga menimbulkan kerusakan dan menghambat ilmu atau pemikiran (QS 45: 8, 9; 40:35; 27:13, 14; 46:26; 7:40; 71:7; 7:146) 6. Kebodohan atau mengikuti spekulasi (zhan). Sumber kesalahan berpikir terletak pada kebodohan tentang masalah yang dipikirkan, dan mengganti informasi dengan hanya berlandas. kan zhan (QS 45:24; 53:28; 11:47; 10:36; 3:154; 3:66; 6: 119; 22:8). 7. Ketergesaan dalam memutuskan atau menarik kesimpulan. Ketergesaan selalu menyiratkan kurang cermat, sehingga menimbulkan kesalahan (QS 21:37; 20:114). 8. Sama sekali tidak menggunakan akal. Al-Quran mencela orang-orang yang beramal dari data lahiriah saja dan tidak berpikir (67:10; 5:58; 10:42; 22:46; 8:22). Pengetahuan Wahyu atau Ilham Karena Allah adalah sumber pengetahuan, maka Allah dapat memberikan ilmu kepada yang dikehendaki-Nya tanpa proses berpikir atau pengamatan empiris. Kita tidak akan membicarakan wahyu yang hanya diberikan kepada para Nabi dan ꟷ dalam pengertian umum ꟷ diberikan kepada ibu Musa (QS 20:37, 38; 28:7). Menurut Al-Ghazali, ilmu ini tidak diperoleh lewat pengamatan atau pemikiran, tetapi lewat dzauq. Kadang-kadang ilmu ini disebut sebagai ilmu laduni. Dalam beberapa ayat Al-Quran, Allah menggunakan kata ‘allamnahu (Kami ajarkan dia) atau ‘allamahu untuk menunjukkan proses ketika Allah langsung memberikan ilmunya (QS 2:251; 12:101; 5:110; 12:68). Selain Al-Ghazali yang cukup banyak mengulas pengetahuan ini, adalah tokoh-tokoh sufi, seperti Suhrawardi yang lebih terkenal sebagai Syaikh al-Isyrak, Ibn Arabi, Mullasadra dan Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Suhrawardi mendirikan mazhab isyrak sebagai lawan mazhab peripatetis Aristoteles. Ia menyerang filsafat Yunani, dan menganggap pengkajian alam sebagai penafsiran hermeneutis atau penetrasi lambang-lambang kosmologis. Akal tidak akan dapat mencapai kebenaran transendental. Ibn Qayyim menyebut tiga macam ilmu: ilmu jali yang terdiri atas pengetahuan indera dan akal; ilmu khafi yang diperoleh melalui riyadhah yang ikhlas dan tumbuh di batin yang bersih dan badan yang suci; dan ilmu laduni yang diberikan Allah langsung tanpa perantara. JR wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Abu Rafi’ Maula Rasul AllahFebruary 8, 2025Rasa sukacitanya bertambah, ketika Abu Rafi’ melihat Nabi saw mengumumkan di depan khalayak sahabatnya: Wahai manusia, siapa yang ingin melihat kepercayaanku (amini) untuk diriku dan keluargaku. Lihatlah Abu Rafi’, kepercayaanku!”. Siapakah Abu Rafi’ budak Rasulullah? Hampir tidak ada yang mengenalnya. Saudara juga tidak mengenalnya. Ia tertindih dalam arsip sejarah. Ia dilupakan para muarrikh. Sebagaimana Salman adalah sahabat yang mewakili Persia, Abu Rafi’ ditakdirkan menjadi wakil bangsa Mesir. Persia dan Mesir kelak menjadi dua pusat peradaban Islam. Salman datang ke Madinah sebagai budak. Orang menyebutnya Salman al-Farisi. Tapi Nabi saw yang ingin menghapuskan tribalisme menamainya Salman al-Muhammadi. Abu Rafi’, nama awalnya Aslam, juga dinisbahkan kepada negeri asalnya, Aslam al-Qibthi. Tetapi ia lebih bahagia dengan sebutan Abu Rafi’ maula Rasulullah saw. Abu Rafi’ budak Rasulullah. Namanya didampingkan dengan manusia suci yang sangat dicintainya. Ketika berada di Mekah, pada usia 24 tahun ia terpesona dengan fajar Islam yang baru terbit. Tubuhnya yang jangkung dan kurus, kulitnya yang  kemerah-merahan karena dibakar panas matahari padang pasir, kini disepuh oleh cahaya ruhani dari Nabiyyur Rahmah, Nabi Kasih Sayang. Ia masuk Islam sebelum tuannya, Abbas bin Abdul Muthalib. Untuk menghindari persekusi dan siksaan dari orang Quraisy, ia menyembunyikan imannya. Ia sangat berharap paman Nabi itu menjadi Muslim. Betapa bahagianya jika budak Muslim itu sekarang berlindung pada Tuan yang muslim juga. Pada suatu hari, seluruh keluarga Abbas dikumpulkan. Pada sebuah tempat yang sepi, lepas dari mata-mata kebencian Quraisy. Dengan suara yang parau dan lembut, dibarengi dengan linangan air mata, Abbas mengumumkan: Asyhadu an La ilaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah. Seluruh anggota keluarga menangis. Abu Rafi’ menangis paling keras. Waktu itu, Abu Rafi sudah diberikan kepada Nabi saw. Tapi ia masih tinggal bersama Abbas. Usai mendengar kesaksian itu, ia bergegas menghadap Nabi menyampaikan kabar gembira tentang keislaman Abbas.  Menerima kabar itu, Nabi saw bersyukur dengan membebaskan Abu Rafi’. Ia kini menjadi orang merdeka. Tapi ia masih tetap ingin disebut abdi Rasulullah. Di Madinah, ia dipercaya Nabi saw untuk membantu Arqam bin Abi Arqam untuk mengumpulkan zakat. Untuk kepayahannya dalam menghimpun dan memikul zakat, Ibn Abi Arqam menyerahkan kepadanya hak amilin. Abu Rafi’ menolaknya. Ia mau berkonsultasi kepada Nabi. Nabi saw melarang Abu Rafi’ menerima bagian dari zakat, karena ia maula Rasul Allah. Bayangkan betapa bahagianya ia ketika Nabi saw bersabda: Sesungguhnya Ahlul Bait tidak halal menerima shadaqah. Dan maula kaum adalah bagian dari keluarga kaum itu. Abu Rafi’ sudah dihitung sebagai keluarga Nabi saw. Rasa sukacitanya bertambah, ketika Abu Rafi’ melihat Nabi saw mengumumkan di depan khalayak sahabatnya: Wahai manusia, siapa yang ingin melihat kepercayaanku (amini) untuk diriku dan keluargaku. Lihatlah Abu Rafi’, kepercayaanku!”. Abu Rafi’ tidak mengambil uang sepeser pun dari haknya sebagai amilin karena wara’nya, karena ketakutannya untuk jatuh pada yang diharamkan. Wara’nya mengantarkan ia menjadi kepercayaan Rasulullah. Bukan sekali itu saja, ia beruntung karena wara’nya. Ia berkata: Tidak ada orang yang seberuntung aku. Aku berbaiat dua kali: Ridhwan dan Aqabah. Aku salat menghadap dua kiblat: Masjid al-Aqsha dan Masjid al-Haram, dan aku berhijrah tiga kali: ke Habasyah pada awal Islam, ke Madinah menyusul Nabi saw, dan kali ini aku mengikuti Ali bin Abi Thalib hijrah ke Kufah. ​Pada pemerintahan Ali, ia dipercaya untuk mengurus Baitul Mal. Abu Rafi’, budak dari Mesir, karena wara’nya, menjadi kepercayaan Rasulullah saw dan Ahli Baitnya! JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Air Mata AwanFebruary 7, 2025Pada suatu hari, serombongan orang kafir bertamu kepada Rasulullah saw. Nabi membagikan para tamu itu kepada para sahabatnya. Semuanya sudah dibawa sahabat ke rumah-rumah mereka, kecuali seorang. Ia tertinggal di masjid. Tubuhnya luar biasa besar. Tampaknya tak seorang pun sahabat yang mampu menjamu sang raksasa. Rasulullah saw. mengambil dia sebagai tamunya. Ia ditempatkan di sebuah rumah. Ia memakan habis makanan untuk porsi 18 orang. Ia minum habis semua susu yang diperah dari tujuh ekor kambing. Perutnya ternyata lebih besar dari tong kosong. Pelayan marah karena ia menelan semua makanan dengan rakus. Ia meninggalkan rumah itu dan mengunci pintunya dari luar. Di tengah malam, sang raksasa terdesak untuk buang hajat. Perutnya sakit. Ia bermaksud keluar, tetapi menemukan pintu terkunci. Dengan berbagai cara, ia berusaha membuka pintu. Setelah berulang-ulang gagal, ia merayap ke tempat tidurnya. Pada waktu itu, “desakan alam” tak dapat ditahan lagi. Ia mengeluarkan kotoran di rumah. Berbagai perasaan berkecamuk di hatinya: malu, terhina, bingung, takut. Sepanjang sisa malam itu, ia memasang kupingnya, berharap mendengar pintu dibuka. Menjelang subuh, ia mendengar pintu terbuka. Ia meloncat ke luar. Ia ingin melarikan diri dari semua derita dan rasa malunya. Ia tak tahu bahwa yang membuka pintu itu adalah Nabi al-Mushthafa. Nabi sengaja menyembunyikan dirinya, agar orang itu tidak malu dengan apa yang dilakukan di rumahnya. Di pagi hari, seorang sahabat mengantarkan tikar yang pernah ditiduri orang kafir itu. “Lihat, ya Rasul Allah, apa yang telah diperbuat tamu itu.” Nabi saw. mengambil tikar itu sambil tersenyum dengan senyuman rahmatan li al-‘alamin. “Ambilkan air. Biar kotoran ini aku bersihkan,” ujar Nabi. Para sahabat meloncat, “Demi Allah, jangan! Biarlah tubuh dan jiwa kami menjadi tebusanmu, ya Rasulullah. Wahai yang disapa Tuhan dengan La-Amruk (QS 15:72). Kami sepatutnya berkhidmat kepadamu. Kalau engkau yang melakukan perkhidmatan, apa jadinya kami.” “Aku tahu,” ujar Nabi. “Tetapi ini peristiwa luar biasa. Aku punya alasan mengapa aku harus melakukannya.” Beberapa saat kemudian, orang kafir itu sadar bahwa ia kehilangan azimatnya. Ia menduga azimat itu tertinggal di rumah Nabi. Meski rasa malunya besar, ketakutan kehilangan barang berharganya lebih besar lagi. Dengan jantung bergetar, ia menelusuri jalan kembali. Dan di situ, ia menyaksikan pemandangan yang meluluhlantakkan hatinya: Tangan Tuhan sedang membersihkan kotoran yang dibuangnya. Ia menjerit pilu. Ia memukul kepalanya sambil berkata, “Duhai kepala yang tak punya pengertian.” Ia memukul dadanya dan berkata, “Duhai dada yang tak memperoleh cahaya.” Ia mengangkat kepalanya ke langit, tetapi mengalamatkan ucapannya kepada Nabi, “Wahai, yang karenanya diciptakan seluruh alam semesta! Engkau begitu rendah hati mematuhi perintah Tuhan. Aku tidak punya muka lagi untuk melihatmu, duhai Qiblat dunia!” Tak henti-hentinya ia meraung, menjerit, dan gemetar. Tangan agung yang membersihkan kotoran itu menepuk-nepuk tubuhnya, menenteramkan hatinya, dan membukakan matanya. Kisah yang sangat sarat lambang ini diceritakan Jalaluddin Rúmi dalam Mastnawi-nya. Setelah itu Rûmî menjelaskan kepada kita makna kisah ini dengan kuplet-kuplet berikutnya: Sebelum awan menangis, mana mungkin taman bisa tersenyum. Sampai bayi menangis, mana mungkin air susu mulai mengalir. Bayi satu tahun saja tahu, “Aku akan menangis, supaya perawat yang baik datang. Tidakkah engkau tahu bahwa Sang Perawat dari segala perawat tidak akan memberikan susu dengan gratis, tanpa tangisan. Rûmî mengajarkan kita makna derita dalam kehidupan. Banyak macam derita yang kita alami. Ada derita yang menghempaskan kita ke kerak bumi. Ada juga derita yang membawa kita ke langit, mengangkat kita ke alam malakut. Kebanyakan kita tenggelam dalam derita pertama. Kita menderita karena orang dan kejadian tak terjadi seperti kita kehendaki. Kita marah karena jalan macet, kereta terlambat, atau pesawat ditangguhkan. Kita jengkel karena anak kita tidak pandai, mitra kita tak setia, anak buah kita tidak bekerja baik, orang yang kita percayai berkhianat, orang yang kita andalkan tak memenuhi janjinya. Derita seperti ini tak pernah memberikan waktu istirahat untuk jiwa kita. Kita disibukkan terus-menerus untuk mengatasinya. Tenaga kita dikuras habis. Tubuh kita penuh peluh, pakaian kita kotor, tetapi kita tidak punya waktu membersihkan diri. Kita menjadi budak-budak tak berdaya dari keinginan-keinginan kita. Perut kita menjadi tong besar, yang melalap habis makanan belasan orang. Seperti sang raksasa dalam cerita Rûmî, kita tidak menemui jalan keluar dari penderitaan itu. Kita berharap ada tangan Rasul yang membukakan jalan keluar. Nabi diutus untuk memberikan jalan keluar. Setelah mengambil jalan keluar yang dibukakan Nabi, kita akan segera diantarkan pada penderitaan yang kedua. Para sufi menyebutnya penderitaan karena perpisahan. Anda harus melepaskan kehidupan Anda yang lama. Buanglah keinginan agar semuanya terjadi seperti yang Anda kehendaki. Anda harus membenturkan kepala Anda yang tak punya pengertian. Anda harus memukul-mukul dada Anda yang tak punya kesadaran. Tetapi, derita Anda kali ini akan mengantarkan Anda ke dalam pelukan kasih Tuhan. Dalam derita ini, Anda akan merasakan kebahagiaan. Seperti seorang ibu yang melahirkan, Anda merasakan sakit tetapi juga kebahagiaan karena melahirkan kehidupan yang baru. Inilah tangisan awan yang membuat taman-taman tersenyum. Inilah tangisan bayi yang mengundang air susu ibu. Maka sesungguhnya bersama kepedihan itu ada kebahagiaan. Dan sesungguhnya bersama kepedihan itu ada kebahagiaan (QS 94:5-6). JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Konsep Dakwah Islam Dalam PendidikanFebruary 6, 2025Dalam Muhammad the Educator, Robert L. Gulick, Jr. menulis: “Muhammad betul-betul seorang pendidik yang membimbing manusia menuju kemerdekaan dan kebahagiaan yang lebih besar …. Tidak dapat dibantah lagi bahwa Muhammad sungguh telah melahirkan ketertiban dan stabilitas yang mendorong perkembangan budaya Islam, suatu revolusi sejati yang memiliki tempo tidak tertandingi dan gairah yang menantang …. Hanya konsep pendidikan yang paling dangkallah yang berani menolak keabsahan meletakkan Muhammad di antara pendidik-pendidik besar sepanjang masa, karena ̶ dari sudut pragmatis ̶ seorang yang mengangkat perilaku manusia adalah seorang pangeran di antara para pendidik.” Kutipan di atas diambil dari sebuah ensiklopedia yang melukiskan Muhammad Saw. sebagai nabi, pemimpin militer, negarawan, yang bermacam-macam dan pendidik umat manusia. Peran Nabi itu sebenarnya bersumber dari satu peran yang sama: yakni da’i (juru dakwah). Semua peran itu dilakukan untuk melaksanakan dakwahnya. Katakan (olehmu, Muhammad), inilah jalan hidupku. Aku berdakwah menuju Allah, berdasarkan keterangan (hujjah); aku dan orang yang mengikuti aku. Mahasuci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik (QS 12: 108). Ketika memberikan komentar tentang ayat ini, Ibnu Katsir berkata bahwa Allah Taala berfirman kepada Rasul-Nya Saw. agar menyampaikan kepada manusia bahwa inilah jalan hidupnya, yaitu cara hidupnya dan Sunnahnya ̶ dakwah (mengajak) kepada kesaksian bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah Yang Esa dan tidak ada serikat bagi-Nya. Mengajak menuju Allah dengan kesaksian itu adalah atas dasar keterangan, keyakinan, dan bukti. Ia dan semua pengikutnya menyeru juga kepada apa yang didakwahkan Rasulullah Saw. berdasarkan keterangan, keyakinan, dan pembuktian ‘aqli dan syar’i. Sebagaimana Nabi Muhammad, pengikut-pengikutnya harus memandang pendidikan sebagai bagian dari dakwah yang merupakan jalan hidup mereka. Bila pendidikan diartikan secara luas sebagai upaya mengubah orang dengan pengetahuan tentang sikap dan perilakunya, sesuai dengan kerangka nilai tertentu, maka pendidikan Islam identik dengan dakwah Islam. Jadi, setiap Muslim selayaknya adalah da’i dan sekaligus pendidik. Ia menjadi saksi di tengah-tengah umat manusia tentang kebenaran Islam (QS 22: 78; 2: 143), dan mendidik manusia yang lain dengan seluruh kepribadian dan perilakunya. Dengan meminjam konsep Johann Friedrich Herbart (1776-1841), filsuf dan ahli pendidikan dari Jerman, seorang Muslim adalah erzieher (pendidik) dan miterzieher (co-edukator). Karena itu, Nabi Muhammad Saw. pada satu kesempatan berkata, “Sesungguhnya, aku diutus untuk menyempurnakan kebaikan akhlak.” Pada kesempatan-kesempatan lain, ia berkata, “Sesungguhnya, Allah mengutusku sebagai mubalig.” Dan “Sesungguhnya, aku diutus sebagai pendidik.” Dalam pengertian ini, pendidikan berlangsung tanpa dibatasi ruang dan waktu. Di sini, saya akan membatasi pendidikan dalam pengertian sebagai upaya mengubah pengetahuan, sikap, dan perilaku orang secara progresif melalui lembaga-lembaga formal. Dengan sekali lagi meminjam konsep Herbart, maka pendidikan yang dimaksud di sini adalah Erziehung dan bukan Miterziehung. Karena judul bab ini “Konsep Dakwah Islam dalam Pendidikan”, di sini hanya berisi uraian yang bersifat konseptual. Saya akan mengemukakan prinsip-prinsip yang melandasi dakwah Islam dalam pendidikan, dan bentuk-bentuk usaha dakwah yang dapat dilakukan dalam bidang pendidikan. Bila ada ulasan yang tampaknya operasional, hendaknya itu dilihat sebagai contoh-contoh ilustratif saja. Dakwah Islam dalam Pendidikan Dr. Muhammad Javad As-Sahlani, dalam At-Tarbiyah wa At-Ta’lim fi Al-Qur’an Al-Karim, mendefinisikan pendidikan Islam sebagai “proses mendekatkan manusia kepada tingkat kesempurnaan, dan mengembangkan kemampuannya.” Definisi ini menunjukkan bahwa prinsip-prinsip dakwah Islam dalam pendidikan didasarkan pada ayat-ayat Al-Quran. Marilah kita perinci prinsip-prinsip ini: Dakwah Islam yang dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan harus membantu proses pencapaian tingkat kesempurnaan. Gambaran tentang manusia sempurna ialah manusia yang sudah mencapai ketinggian iman dan ilmu (QS 58: 11). Tingkat ini ditunjukkan dengan kemampuan melahirkan amal terbaik. Dialah yang menciptakan kematian dan kehidupan, untuk menguji kamu semua siapakah di antara kamu yang paling baik amalnya (QS 67: 2). Sebagaimana kata “iman” sering kali dikaitkan dengan “amal saleh” (lebih dari 70 kali dalam Al-Quran), “ilmu” juga selalu diberi sifat “yang bermanfaat” (dalam hadis-hadis Nabi Saw.). Pendidikan Islam harus diarahkan untuk mengembangkan iman, sehingga melahirkan amal saleh dan ilmu yang bermanfaat. Prinsip ini juga mengajarkan bahwa dalam Islam, yang menjadi perhatian bukan kuantitas, melainkan kualitas. Al-Quran tidak pernah menyebut aktsaru ‘amalâ atau ‘amalan katsîrâ, tetapi menegaskan ahsan amalan atau ‘amalan shâlihâ. Sebagai model untuk orang yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan, Islam menjadikan Rasulullah Saw. sebagai uswatun hasanah (QS 33: 21). Ia dijamin Allah memiliki akhlak mulia (QS 68: 4). Ia diutus melalui perintah membaca dengan nama Allah yang menjadikan, membaca dengan mengagungkan Allah Yang Mahamulia, yang mengajarkan kepada manusia berbagai ilmu yang tidak diketahuinya melalui pena (QS 96: 1-5). Muhammad-lah yang berkata bahwa “Manusia terbaik ialah mukmin yang berilmu. Jika diperlukan, ia bermanfaat bagi orang lain. Jika tidak diperlukan, ia dapat mengurus dirinya.” Ia wajibkan umatnya menuntut ilmu, seraya berkata, “Satu bab ilmu yang dipelajari seseorang adalah lebih baik daripada dunia dan segala isinya.” Ia memuji orang berilmu sebagai orang yang paling dekat kedudukannya dengan derajat kenabian, yang tintanya di- timbang sama dengan darah syuhada. Ia memuji proses ilmu, dan mengatakan bahwa Allah memberikan ganjaran kepada semua yang terlibat di dalamnya: yang bertanya, yang ditanya, yang mendengarkan, dan yang mencintai kegiatan itu.” Pada saat yang sama, ia juga bersabda, “Manusia yang paling sempurna imannya ialah yang paling baik akhlaknya; “Sebaik-baik manusia ialah yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain;” “Sebaik-baik manusia ialah yang panjang umurnya dan baik amalnya.” Atas dasar ini, maka dakwah dalam pendidikan harus sanggup memperkenalkan Muhammad Saw. sebagai teladan, menanamkan kecintaan dan perasaan takzim terhadapnya. Al-Quran menunjukkan bahwa pada diri manusia ada potensi berbuat baik dan berbuat jahat sekaligus (QS 91: 7-8). Di banyak ayat Al-Quran disebutkan potensi-potensi negatif dalam diri manusia, seperti lemah (QS 4: 28), tergesa-gesa (QS 21: 37), selalu berkeluh kesah (QS 70: 19), dan sebagai- nya. Di samping itu, disebutkan juga bahwa manusia dicip- takan dengan bentuk yang paling baik, dan bahwa ruh Tuhan ditiupkan kepadanya pada saat penyempurnaan pencipta- annya (QS 15: 29; 38: 72). Karena itu, dakwah Islam harus ditujukan untuk membangkitkan potensi-potensi baik yang ada dalam diri orang terdidik dan mengurangi potensinya yang jelek. Bentuk-Bentuk Dakwah Islam dalam Pendidikan Bentuk-bentuk dakwah Islam dalam pendidikan dapat ditarik dari dua ayat Al-Quran yang berkenaan dengan tugas Nabi Saw. sebagai da’i: Orang-orang yang mengikuti Nabi yang ummi, yang nama- nya mereka temukan termaktub dalam Taurat dan Injil di sisi mereka: memerintahkan yang ma’rûf, melarang yang mungkar, menghalalkan yang baik, mengharamkan yang jelek, dan mele- paskan beban dari mereka dan belenggu-belenggu yang (memasung) mereka. Maka barang siapa beriman kepadanya, memuliakannya, membantunya, serta mengikuti cahaya yang diturunkan besertanya, mereka itulah orang-orang yang ber- bahagia. (QS 7: 157) Sesungguhnya, Allah telah memberikan karunia kepada orang- orang yang beriman, ketika Dia mengutus di tengah mereka Rasul dari kalangan mereka sendiri, (yang) membacakan ayat-ayat- Nya kepada mereka, menyucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah, walaupun mereka sebelumnya berada dalam kesesatan yang nyata. (QS 3: 164; 2: 129; 62:2) Dari ayat pertama, kita melihat ada tiga bentuk dakwah: amar ma’ruf nahi munkar, menjelaskan yang halal dan yang haram (syariat Islam), meringankan beban penderitaan dan melepaskan umat dari belenggu-belenggu. Dari ayat kedua, kita melihat ada tiga bentuk dakwah: tilawah (membacakan ayat-ayat Allah), tazkiyah (menyucikan diri sendiri), dan ta’lim (mengajarkan Al-Kitab dan Al-Hikmah). Seperti akan saya jelaskan nanti, amar ma’ruf dan nahi munkar dapat dimasukkan ke dalam tazkiyah, dan menjelaskan yang halal dan yang haram termasuk ta’lim. Dengan demikian, dakwah Islam dapat disimpulkan dengan empat bentuk: tilâwah, tazkiyah, ta’lim, dan ishlâh (yang saya pakai untuk meringkaskan pengertian tentang “melepaskan beban dan belenggu-belenggu”). Keseluruhan konsep ini digambarkan pada tabel berikut: Tulisan ini merupakan pengantar untuk pembahasan yang lebih serius. Saya berharap, kalaupun tidak melahirkan gagasan-gagasan kreatif, tulisan ini mengingatkan kita semua bahwa dakwah dalam pendidikan tidaklah sesederhana yang kita duga. Pendidikan (dalam pengertian formal) disepakati sebagai bidang strategis dakwah. Yang kita perlukan ialah bagaimana membentuk pola dakwah yang secara naqli dapat dipertanggungjawabkan, dan secara ‘aqli dapat dilaksanakan. Dakwah adalah tugas nabi dan pengikut para nabi. Berkiprah dalam dakwah adalah usaha besar yang membentuk peradaban manusia. JR wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
JANGAN JADI KORBANFebruary 3, 2025“Para orangtua, guru, ruhaniwan, dan pengusaha secara tak sadar telah bersekongkol untuk menghasilkan bangsa yang berjiwa kerdil. Pada masa dini banyak ayah dan ibu menyensor anak yang berani menyatakan hak-haknya, sehingga menghalangi anak untuk mengungkapkan dirinya. Para guru menghargai murid yang tidak mempersoalkan sistem pendidikan dan memperlakukan dengan keras murid yang menentangnya. Sering lembaga-lembaga agama mengajarkan kerendahan hati dan pengorbanan, bukan keberanian membela diri. Banyak pegawai sejak awal kariernya belajar bahwa jika ia berani bicara, ia tidak mungkin naik pangkat dan boleh jadi kehilangan pekerjaannya. Setelah diterima di tempat kerja, sikap ini kemudian dibawa ke rumah dan kehidupan sosial. Sementara itu, orang juga belajar bahwa untuk maju boleh saja, bahkan perlu, menginjak orang lain. Seperti kata Leo Durocher, ‘Orang baik duluan habis.’ Jika Anda mewarisi peninggalan budaya yang membingungkan ini secara serius, hampir setiap aksi dan interaksinya penuh ketakpastian.” Mungkin orang mengira kutipan tadi dimaksudkan untuk bangsa Indonesia dan ditulis seorang kritikus sosial. Kutipan tersebut sebenarnya bercerita tentang sebagian bangsa Amerika yang sudah kehilangan keberanian menyatakan diri. Mereka disebut timid souls (jiwa-jiwa yang kerdil). Dalam pergaulan sosial, mereka sering menjadi korban. Mereka tidak dapat menampilkan dirinya seperti yang mereka kehendiki. Mereka diarahkan dan diatur oleh orang lain. Dengan meminjam istilah Sartree, prilaku mereka menjadi tidak autentik. Mereka mungkin melakukan pekerjaan yang tidak mereka senangi. Mereka memiliki tugas apa pun yang dibebankan orang lain kepada mereka. Mereka belajar berprilaku sekadar untuk menyelamatkan diri. Hidup bukan saja tidak dinikmati, tetapi juga tidak dijiwai. Mereka adalah bangkai-bangkai eksistensial. Dr. Herbert Fensterheim, profesor psikiatri di Cornell University Medical College, menawarkan cara menyembuhkan timid souls. la menulis buku—yang salah satu paragrafnya kita kutip tadi-dengan judul Don’t Say “Yes” When You Want to Say “No” Judul itu menyimpulkan terapi behavioral yang diajarkannya. Bila Anda tidak ingin menjadi korban, belajarlah mengatakan “Tidak” Jangan mengatakan “Ya” bila Anda ingin mengatakan “Tidak.” Sudah lama Anda dididik oleh budaya Anda untuk menutupi diri Anda. Ke mana-mana Anda membawa Anda yang palsu. Anda sakit hati. Anda menderita depresi, Anda kehilangan makna, Anda kosong. Anda telah menjadi korban proses belajar (learning) sepanjang hidup Anda. Agar Anda mendapatkan kembali kepribadian Anda, lakukanlah proses mementahkan apa yang sudah Anda pelajari itu (delearning). Yaitu, dengan menolak setiap upaya orang lain untuk memaksakan kehendaknya kepada Anda. Anda hanya boleh bertindak seperti yang Anda ingini. Memang, ada latihan-latihan intensif untuk itu. Fensterheim menyebutnya assertiveness training. JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Ridha IlahiFebruary 2, 2025Pada suatu hari, Nabi Musa as bermaksud menemui  Tuhan di Bukit Sinai. Mengetahui maksud Musa, seorang yang sangat saleh  mendatanginya, “Wahai Kalimullah, selama hidup saya telah berusaha untuk  menjadi orang baik. Saya melakukan salat, puasa, haji, dan kewajiban  agama lainnya. Untuk itu, saya banyak sekali menderita. Tetapi tidak  apa, saya hanya ingin tahu apa yang Tuhan persiapkan bagiku nanti.  Tolong tanyakan kepada-Nya!” “Baik,” kata Musa seraya melanjutkan perjalanannya. Ia berjumpa dengan seorang pemabuk di pinggir jalan. “Mau ke mana? Tolong tanyakan pada Tuhan nasibku. Aku peminum, pendosa. Aku tidak pernah salat, puasa, atau amal saleh lainnya. Tanyakan kepada Tuhan apa yang dipersiapkan-Nya untukku.” Musa menyanggupi untuk menyampaikan pesan dia kepada Tuhan. Ketika kembali dari Sinai, ia menyampaikan jawaban Tuhan kepada orang saleh, “Bagimu pahala besar, yang indah-indah.” Orang saleh itu berkata, “Saya memang sudah menduganya.” Kepada si pemabuk, Musa berkata, “Tuhan telah mempersiapkan bagimu tempat yang paling buruk.” Mendengar itu, si pemabuk bangkit, dengan riang menari-nari. Musa heran mengapa ia bergembira dijanjikan tempat yang paling jelek. “Alhamdulillah. Saya tidak peduli tempat mana yang telah Tuhan persiapkan bagiku. Aku senang karena Tuhan masih ingat kepadaku. Aku pendosa yang hina-dina. Aku dikenal Tuhan! Aku kira tidak seorang pun yang mengenalku,” ucap pemabuk itu dengan kebahagiaan yang tulus. Akhirnya, nasib keduanya di Lauh Mahfuzh berubah. Mereka bertukar tempat. Orang saleh di neraka dan orang durhaka di surga. Musa takjub. Ia bertanya kepada Tuhan. Jawaban Tuhan begini: “Orang yang pertama, dengan segala amal salehnya, tidak layak memperoleh anugerah-Ku, karena anugerah-Ku tidak dapat dibeli dengan amal saleh. Orang yang kedua membuat Aku senang, karena ia senang pada apa pun yang Aku berikan kepadanya. Kesenangannya kepada pemberian-Ku menyebabkan aku senang kepadanya.”    Sandungan pertama dalam perjalanan menuju kesucian adalah ridha dengan diri sendiri. Kita merasa sudah banyak beramal, dan karena itu berhak untuk memperoleh segala anugerah Tuhan. Ketika kita mengalami kesulitan, kita berusaha keras untuk menguasainya —lahir dan batin, lalu kita mohon pertolongan Allah. Dengan segala usaha itu, kita merasa berhak untuk mendapatkan pertolongan-Nya. Tuhan berkewajiban untuk melayani kita. Ketika yang kita tunggu tidak juga datang, kita marah kepada-Nya, sambil berargumentasi, “Apalagi yang harus aku lakukan? Apa tidak cukup semua pengorbanan yang telah kuberikan?” “Janganlah kamu memberi dan menganggap pemberianmu sudah banyak,” firman Tuhan (QS. Al-Mudatsir: 6). Janganlah kamu berkata sudah semua kamu kerjakan. Setiap kali kamu bertanya seperti itu, ingatlah, belum banyak yang kamu kerjakan. Secara lahiriah, merasa telah banyak berbuat membuat orang putus asa. Karena putus asa, ia tidak mau berbuat lagi. Seluruh geraknya terhenti. Secara batiniah, merasa telah berbuat banyak menjatuhkan tirai gelap yang menutup karunia Tuhan. Ia mengandalkan amalnya dan meremehkan pemberian Tuhan. Pada hakikatnya, ia masih berkutat dengan dirinya. Ia tidak berjalan menuju Tuhan. Ia berputar-putar di sekitar egonya. Ia tidak mencari ridha Tuhan. Ia mengejar ridha dirinya. Kepuasan akan diri telah banyak membinasakan para salik sepanjang sejarah. Hal yang sama telah melemahkan semangat para pejuang kebenaran. Mereka merasa telah berkorban habis-habisan, tetapi hasilnya tidak ada. Anda dapat menemukan perasaan ini pada orang-orang saleh di sudut mesjid dan juga pada para demonstran reformis di simpang jalan. Yang pertama menghapuskan ibadatnya, yang kedua menyia-nyiakan pengorbanan kawan-kawannya.    Kepada siapa saja di antara Anda yang taat beribadat, bacalah doa ini setelah salat Anda: “Tuhanku, ampunan-Mu lebih diharapkan dari amalku. Kasih-Mu lebih luas dari dosaku. Jika dosaku besar di sisi-Mu, ampunan-Mu lebih besar dari dosa-dosaku. Jika aku tidak berhak untuk meraih kasih-Mu, kasih-Mu pantas untuk mencapaiku dan meliputiku, karena kasih sayang-Mu meliputi segala sesuatu. Dengan rahmat-Mu, wahai Yang Paling Pengasih dari segala Yang Mengasihi.”    Kepada siapa saja di antara Anda yang sedang berjuang menegakkan kebenaran, tetapi Anda sudah letih dan merasa tidak berdaya, bacalah doa Nabi Muhammad saw ketika ia berlindung di kebun Utbah dengan kaki berlumuran darah: “Ya Allah, kepada-Mu aku adukan kelemahan diriku, ketidak-berdayaanku, dan kehinaanku di mata manusia. Wahai yang Mahakasih dan Mahasayang, wahai Tuhan orang-orang yang tertindas. Kepada tangan siapa akan Kau serahkan daku? Kepada orang jauh yang memperlakukanku dengan buruk? Atau kepada musuh yang Kau berikan kepadanya kekuasaan untuk melawanku? Semuanya aku tidak peduli, asalkan Engkau tidak murka kepadaku. Anugerah-Mu bagiku lebih agung dan lebih luas. aku berlindung pada cahaya ridha-Mu, yang menyinari kegelapan. Janganlah murka-Mu turun kepadaku. Janganlah marah-Mu menimpaku. Kecamlah daku sampai Engkau ridha. Tidak ada daya dan kekuatan, kecuali melalui-Mu.” JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
KezalimanFebruary 1, 2025Rasulullah saw. bertanya kepada para sahabatnya, “Tahukah kamu, siapa yang dimaksud dengan orang bangkrut?” Para sahabat menjawab, “Menurut kami, orang bangkrut ialah orang yang tidak punya uang atau kekayaan.” Nabi saw. berkata, “Orang bangkrut di antara umatku ialah orang yang datang pada Hari Kiamat dengan membawa salat, puasa, dan zakat, tetapi ia juga datang sambil membawa daftar kezalimannya. Ia mengecam orang ini. Ia menuduh si ini. Ia memakan harta si ini. Ia menumpahkan darah si ini. Ia memukul si ini. Kemudian, ia harus membayar mereka yang dizaliminya dengan kebaikannya. Ia bagi-bagikan kebaikannya itu sampai habis. Bila kebaikannya sudah habis, padahal ia belum membayar lunas mereka, diambilkanlah kesalahan orang lain. Kesalahan itu diletakkan pada timbangan amalnya. Kemudian, ia dilemparkan ke neraka.” (Shahih Muslim, 2:524). Orang itu bangkrut karena ia berbuat zalim, seperti—Nabi memberikan contoh-contohnya—mengecam, menuduh, merampas harta, dan menumpahkan darah. Ia datang pada hari akhirat dengan membawa salat, puasa, dan haji. Ia adalah orang yang salih, Muslim yang setia menjalankan ibadah-ibadah ritual. Namun, ketika ia diadili Tuhan, pada tangannya bergelantungan orang yang pernah dizaliminya. Mereka menuntut apa yang tidak dapat mereka tuntut dahulu di dunia. Di situ, ada petani kecil yang selalu dikalahkan dalam pengadilan, rakyat kecil yang ditahan tanpa kesalahan, atau haji kecil yang tak pernah bisa mendapat bunga ONH-nya. Pelaku kezaliman itu pastilah orang serba besar. Dengan kekayaannya, ia bisa seenaknya menggusur siapa saja, membunuh siapa saja, atau menyiksa siapa saja. Ia selalu lolos dari hukum, apalagi ia terkenal salih. Ia berulangkali naik haji dan umrah. Ia taat berpuasa. Ia rajin salat malam. Salat dan puasa orang ini memang tidak sia-sia. Pada hari ketika alat tukar hanya amal salih, paling tidak, ia mempunyai modal untuk membayar utang dunianya. Yang menyedihkan ialah bila kezaliman yang dilakukannya tidak lagi bisa ditebus dengan amal ibadahnya. Bahkan, seluruh ibadah itu—mungkin yang paling ikhlas dari semuanya—tidak cukup untuk membayar tuntutan terhadapnya. Ia harus menerima kenyataan pahit. Ia bahkan harus menanggung dosa orang yang dizaliminya. Masih untung, ada di antara salatnya yang diterima. Padahal, Tuhan tidak senang orang zalim datang ke rumah-Nya. Kepada Nabi saw., Tuhan berkata: Wahai saudara para utusan, wahai saudara pemberi peringatan, peringatkan kaummu agar tidak masuk ke rumah Kami, kecuali dengan hati yang selamat, lidah yang jujur, tangan yang bersih, dan kehormatan yang suci. Tidaklah seseorang memasuki rumah-Ku, sedangkan ia menzalimi salah seorang hamba-Ku, kecuali Aku akan terus melaknatnya selama ia berdiri di hadapan-Ku saat melakukan salat. Aku berhenti melaknatnya setelah ia menghentikan kezaliman yang dilakukannya pada orang lain. Mungkinkah ada orang zalim yang taat beribadah? Atau, mungkinkah orang taat beribadah berbuat zalim? Tidakkah getaran tasbih akan menahan tangannya untuk menganiaya orang lain? Bukankah linangan air matanya ketika salat malam akan melembutkan hatinya dalam melihat derita orang lain? Kenyataan akan segera menunjukkan bahwa pertanyaan-pertanyaan itu retoris belaka. Banyak ‘âbid zhâlim dan banyak zhâlim ‘âbid. Pertanyaannya bukan lagi soal mungkin atau tidak. Tetapi, mengapa semua ini terjadi? Ada ilmuwan yang menjelaskan dengan singkat: kezaliman memang sudah watak manusia (innate). Manusia sudah “diprogram” untuk merampas, menyiksa, membunuh, menaklukkan—semua untuk kepentingannya sendiri. Program itu sudah direkam dalam gen-gen kita. Tidak ada yang bisa mengubahnya—tidak agama, tidak budaya, tidak juga pendidikan. Tontonlah film dokumenter The Mind. Sepanjang cerita, Anda melihat orang yang berbuat zalim karena hipoglycemia, ketidakseimbangan progesteron, kerusakan otak, keturunan, dan lain-lain. Pembaca narasi berkata, “Semua pikiran kita berasal dari kegiatan elektris pada sel syaraf, yang pada gilirannya dipengaruhi oleh pesan dalam gen kita, kimia dalam darah kita, dan informasi dari dunia luar—dan kita sedikit sekali mampu mengendalikan faktor-faktor ini.” Grand Theory, yang menyatakan bahwa kezaliman adalah tabiat manusia yang diwarisi dari nenek moyang kita, bertahan beberapa dasawarsa, bukan karena ditunjang bukti ilmiah, tetapi karena teori itu mendukung status quo. Karena justifikasi ilmiah ini, kita tidak perlu merisaukan perbuatan zalim. Kezaliman adalah ‘fitrah.’ Lewat teori ini, tidaklah aneh-juga tidak salah kalau ada orang salih dapat berbuat zalim. Namun, pada 1986 di Seville, para ilmuwan menandatangani deklarasi yang menolak teori besar ini. Orang berbuat zalim bukan karena program genetis. Ia melakukannya karena “jiwanya sakit.” Dengan meneliti para penjahat kejam, para ilmuwan menemukan bahwa penyebab utama perbuatan zalim bukan pada gen atau otak, tetapi pada hilangnya kemampuan untuk berempati (kemampuan untuk “merasakan ke dalam” [einfuhlung] perasaan orang lain. Anda mencoba melihat dunia bukan dari kaca mata Anda saja, tetapi juga dari kaca mata orang lain, sehingga Anda mampu memahami dan menggunakan perspektif orang lain). Ketika Anda berbuat zalim, Anda tidak dapat merasakan kepedihan mereka yang—dalam keadaan tak berdaya—menyerahkan hasil kerja keras mereka. Anda tidak menduga bahwa orang yang Anda zalimi merintih karena kehilangan hak-hak yang dicintainya. Anda hanya merasakan kebahagiaan memperoleh apa yang Anda sebut “keuntungan.” Pada hari akhirat, keuntungan itu ternyata adalah kerugian besar. Di sana, Anda akan merasakan kepedihan dengan menyerahkan hasil kerja keras Anda di dunia kepada mereka. Ketika itu, Anda mulai mengerti empati. Tetapi, sayang, sudah terlambat! JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Tiga Bentuk Penjelmaan AmalFebruary 1, 2025Perwujudan amal atau tajassum al-‘amal muncul dalam tiga bentuk. Pertama, amal-amal kita akan membentuk jati diri kita. Amal-amal buruk akan membentuk diri yang buruk. Mendendam, membunuh, menganiaya adalah perbuatan kebinatangan. Perbuatan kita itu akan mengubah jati diri kita dari manusia menjadi binatang. Pada Hari Akhir, kita akan dibangkitkan dalam bentuk jati diri kita. Betapa banyak di antara kita yang tampil sebagai manusia yang tampan, tetapi secara hakiki kita adalah binatang buas yang haus darah. Boleh jadi tubuh kita menebarkan harum parfum yang segar di alam lahir, tetapi menebarkan bau bangkai di alam batin. Boleh jadi juga badan kita tegap dan utuh menurut penglihatan lahir, tetapi kerangka yang buruk dan tercabik-cabik dalam penglihatan batin. Diri kita secara batiniah adalah perwujudan amal yang pertama. Kedua, amal-amal kita akan diciptakan Tuhan dalam wujud makhluk yang menyertai kita; sejak alam kubur sampai dibangkitkan pada hari kiamat nanti. Amal saleh akan menjadi makhluk yang indah dan harum. Kehadirannya saja sudah membuat kita bahagia. Amal buruk kita akan menjadi monster yang menakutkan dan berbau busuk. Kehadirannya saja sudah membuat kita ketakutan. Kita semua akan disambut di pintu kubur nanti dengan dua macam makhluk ini. Mereka akan berebutan mendampingi kita. Jika makhluk yang buruk yang lebih banyak, merekalah yang menyertai kita dan mengusir makhlukmakhluk indah dari dekat kita. Sebaliknya, jika makhluk yang baik yang lebih kuat, merekalah yang akan membela kita dalam mengusir makhluk-makhluk buruk dari sekitar kita. Tuhan berfirman, Sesungguhnya kebaikan akan mengusir keburukan (QS Hûd : 114). Amal baik menjadi makhluk indah yang memberikan kebahagiaan kepada kita; amal buruk menjadi makhluk menakutkan yang membuat kita menderita. Ketiga, amal-amal yang kita lakukan akan berwujud dalam bentuk dampak atau akibat. Amal baik akan muncul dalam akibat-akibat yang baik, dan sebaliknya. Pertama-tama, dampak amal itu akan mengenai kita yang melakukannya. Amal adalah benih yang kita tanam. Apa yang kita tuai sangat bergantung pada apa yang kita tanam. Anda akan menuai permusuhan jika yang Anda tanam kebencian. Anda akan memanen cinta, jika yang Anda semai kasih sayang. Alam semesta ini bergerak dalam satu kesatuan wujud. Kita adalah bagian yang tak terpisahkan dari makhluk Allah lainnya. Bersama-sama dengan makhluk-makhluk lainnya, kita adalah anggota-anggota dari satu badan alam semesta. Maka jika kita melukai salah satu di antara mereka, kita melukai diri kita sendiri. Karena itu, Al-Quran menyebut perbuatan dosa sebagai menganiaya diri kita sendiri. “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menganiaya diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan tidak mengasihi kami, tentulah kami termasuk orang-orang yang merugi” (QS Al-A’raf : 23). Lemparkan sampah dan polusi ke sekitar kita, maka alam akan membalas kita dengan penyakit dan bencana. Berikan penghormatan dan perhatian pada lingkungan, maka “mereka” akan membalas kita dengan udara segar dan buah-buahan. Lepaskan kemarahan Anda, maka makhluk-makhluk di sekitar setiap saat akan menyerang Anda. Gunakan kekuatan untuk menindas orang-orang di bawah kita, maka suatu saat mereka akan bangkit untuk menghancurkan kita. Orang bijak sepanjang sejarah memberikan pesan yang sama: Kekerasan akan melahirkan kekerasan lagi. Dendam akan melahirkan dendam lagi. Karena lingkaran keburukan hanya bisa diputuskan dengan kebajikan. Seperti kisah keris Mpu Gandring, pengkhianatan yang satu akan disusul dengan pengkhianatan lainnya. Berulang-ulang Al-Quran menegaskan perwujudan amal dalam bentuk akibat amal. Telah muncul kerusakan di daratan dan di lautan karena perbuatan tangan-tangan manusia, agar Tuhan membuat mereka merasakan sebagian dari apa yang mereka lakukan, supaya mereka kembali (ke jalan yang benar) (QS Al-Rûm : 41). Maka mereka ditimpa oleh akibat kejahatan perbuatan mereka dan mereka diliputi oleh azab yang mereka perolok-olokan itu (QS Al-Nahl : 34). Lebih dari itu, Al-Quran juga menjelaskan bahwa akibat amal itu tidak hanya akan menimpa pelakunya, tetapi juga orang-orang yang tidak bersalah. Mereka mungkin saja anak-anak, masyarakat sekitar, bangsa, dan negara kita: Dan Allah membuat perumpamaan sebuah negeri yang dahulunya aman tenteram dan rezekinya datang berlimpah dari segala penjuru. Lalu penduduk negeri itu kafir kepada anugerah Allah. Maka Allah membuat mereka merasakan pakaian kelaparan dan kehausan karena apa-apa yang sudah mereka lakukan (QS Al-Nahl : 112); Dan jika Kami bermaksud untuk menghancurkan suatu negeri, kami perintahkan orang-orang yang hidup mewahnya (supaya bertakwa). Kemudian mereka berbuat dosa di dalamnya. Maka sudah pastilah firman Kami dan kami hancurkan mereka sehancur-hancurnya (QS Al-Isra’ : 16). Orang yang berbuat jahat dalam suatu negeri itu mungkin hanya sebagian kecil. Tetapi kehancuran akan diderita oleh seluruh bangsa. Penderitaan kita sekarang adalah perwujudan dari amal buruk sebagian dari bangsa kita. Beberapa orang di antara kita mengambil kekayaan negara, dan jutaan orang harus membayar utang. Segelintir kecil merusak hutan, tetapi semua makhluk menderita. Ada ibu yang minum obat penenang thalidomide, lalu anak-anaknya menderita cacat tubuh yang mengenaskan. Al-Quran menuturkan kisah dua orang nabi yang membangun dinding yang sudah roboh. Adapun dinding itu adalah milik dua orang anak yatim di kota itu. Dan di bawahnya ada perbendaharaan milik keduanya. Dan kedua orangtuanya adalah orangtua yang saleh. Maka Tuhan kamu bermaksud untuk mengantarkan keduanya sampai dewasa dan mengeluarkan perbendaharaan itu bagi keduanya sebagai kasih sayang Tuhanmu (QS Al-Kahfi (18): 82). Menurut hadis, “Sesungguhnya Allah memelihara anak Mukmin sampai seribu tahun. Kedua anak yatim itu mempunyai jarak waktu dengan kedua orangtuanya itu tujuh ratus tahun.” (Bihar Al-Anwar 71: 236) Di dalam riwayat lain dikisahkan tentang kemarau panjang pada zaman Bani Israil. Seorang perempuan bermaksud untuk memasukkan sesuap makanan ke mulutnya, ketika dia melihat seseorang berteriak: “Saya lapar, wahai hamba Allah.” Perempuan itu segera menyerahkan roti yang akan dimakannya kepadanya. Ia mengeluarkan roti itu dari mulutnya. Pada tempat lain, anak perempuan itu sedang mencari kayu bakar di padang pasir. Seekor serigala menerkamnya dan membawanya pergi. Ibunya berusaha mengikuti jejaknya. Allah Swt. mengutus Jibril untuk mengeluarkan anak itu dari mulut serigala dalam keadaan selamat. Jibril berkata kepadanya, “Wahai hamba Allah. Bahagiakah kamu ketika satu suapan yang engkau berikan dibalas dengan satu suapan lagi. Luqmah billuqmah.”(Bihar Al-Anwar 73: 96) Jadi, jagalah anak-anakmu dengan amal salehmu. Jangan celakakan mereka dengan perbuatan burukmu. Sampai di sini, mungkin ada yang merenung apakah yang kita perbincangkan hari ini bertentangan dengan prinsip keadilan Ilahi. Seseorang berbuat salah, tetapi orang lain menanggung akibatnya. Bukankah Tuhan berkata, “Tidaklah seseorang akan menanggung dosa yang lain.” Jawaban kita singkat saja. Yang tidak akan ditanggung adalah dosa. Dampak atau akibat akan mengenai bukan hanya kepada yang berbuat dosa. Tuhan berfirman, Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaannya (QS Al-Anfal (8): 25). Seperti seorang bapak yang membakar rumahnya. Di rumah itu ada anaknya yang sedang tidur pulas, anak itu mati terbakar. Bapak yang membakar tentu saja masih hidup. Anak itu dikenal dampak dosa bapaknya, tetapi dia tidak menanggung dosa apa pun. Dia bahkan mendapat pahala mati syahid, karena menjadi korban kekejaman bapaknya. Si bapak menanggung dosa berlipat ganda sesuai dengan jumlah korban yang menderita karena dampak dosanya. Penderitaan mereka semua adalah perwujudan amal dari si bapak itu. Itulah tajassum ‘amal dalam makna yang ketiga. JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
KUNCI SURGA YANG TERBUANGJanuary 31, 2025Umat Islam selama ini cenderung keliru mengartikan ibadah dengan membatasinya pada ibadah-ibadah ritual. Betapa banyak umat Islam yang disibukkan dengan urusan ibadah mahdhah, tetapi mengabaikan kemiskinan, kebodohan, penyakit, kelaparan, kesengsaraan, dan kesulitan hidup yang diderita saudara-saudara mereka. Betapa banyak orang kaya Islam yang dengan khusyuk meratakan dahinya di atas sajadah, sementara di sekitarnya tubuh-tubuh layu digerogoti penyakit dan kekurangan gizi. Atau, betapa mudahnya jutaan-bahkan miliaran- uang dihabiskan untuk upacara-upacara keagamaan, di saat ribuan anak tidak dapat melanjutkan sekolah, ribuan orang tua masih harus menanggung beban mencari sesuap nasi, ribuan orang sakit menggelepar menunggu maut karena tidak dapat membayar biaya rumah sakit, dan bahkan di saat ribuan umat Islam terpaksa menjual iman dan keyakinannya kepada tangan-tangan kaum lain yang “penuh kasih”. Padahal, sebagaimana telah dilukiskan oleh Rasul mulia Saw: “Perumpamaan kaum mukmin dalam hal jalinan kasih sayang, kecintaan, dan kesetiakawanan sama seperti satu tubuh, yang bila salah satu anggotanya mengeluh karena sakit, maka seluruh anggota lainnya menunjukkan simpatinya dengan berjaga semalaman dan menanggung panas karena demam.” Sunnah Hasanah dan Sunnah Sayyi’ah Kesetiakawanan dan cinta kasih inilah yang pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw, dan sahabat-sahabatnya, seperti yang dikisahkan oleh seorang sahabat Nabi: “Suatu hari kami berkumpul bersama Nabi Saw. menjelang siang. Tiba-tiba datanglah rombongan orang yang berpakaian hampir telanjang dan compang-camping sambil bertelekan pada pedang- pedang mereka. Kebanyakan, bahkan seluruhnya, dari Bani Mudhar. Tiba-tiba wajah Nabi berubah melihat penderitaan mereka. Beliau masuk (ke hujrah-nya), kemudian keluar dan menyuruh Bilal untuk mengumandangkan azan. Setelah selesai mengerjakan shalat, Rasul yang mulia berkhutbah. Beliau membacakan beberapa ayat. Di antaranya: ‘Hai manusia, takutlah kamu kepada Tuhan Pemeliharamu, yang menciptakan kamu dari diri yang satu…’ sampai akhir ayat itu; ‘Dan hendaklah setiap orang mempersiapkan bekalnya untuk masa depannya… Beliau menganjurkan supaya setiap orang mengeluarkan sedekahnya-sandang atau pangan. Berbondong-bondonglah para sahabat menyumbangkan apa yang mereka punyai, bahkan ada seorang Anshar memikul satu kantong yang begitu berat, sehingga tangannya hampir tidak dapat membawanya. Aku lihat dua tumpuk makanan dan pakaian, dan aku melihat wajah Rasulullah Saw. bersinar-sinar karena kegembiraan. Setelah itu, Rasulullah Saw.. bersabda, Barang siapa memulai kebiasaan yang baik dalam Islam, maka baginya ganjaran dan ganjaran orang yang mengikuti kebiasaan baik itu sesudahnya. Barang siapa memulai kebiasaan yang jelek dalam Islam, maka baginya dosa (karena memulai kebiasaan jelek itu) dan dosa orang yang melanjutkan kebiasaan jelek itu sesudahnya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sendiri sedikit pun.” Dalam peristiwa ini, kebiasaan yang baik, sunnah hasanah, itu adalah menggerakkan umat Islam untuk bersama-sama membantu meringankan penderitaan sesama Muslimin; dan kebiasaan yang jelek, sunnah sayyiah, ialah membiasakan bersikap acuh tak acuh terhadap penderitaan orang lain. Dengan demikian, sunnah hasanah ialah memandang kemiskinan sebagai masalah sosial yang pemecahannya harus dilakukan lewat aksi sosial; dan sunnah sayyiah ialah memperlakukan kemiskinan sebagai masalah individu-individu yang bersangkutan. Anda menghidupkan sunnah sayyiah bila Anda berpikir bahwa orang itu miskin karena bodoh, tidak mau bekerja keras, kurang hasrat berprestasi, tidak memiliki jiwa wiraswasta, fatalistis, pasrah pada nasib, atau barangkali juga karena dosa-dosa yang pernah mereka buat. Pada suatu pertemuan para cendekiawan Muslim internasional, utusan dari setiap negara menyampaikan kemiskinan dan kesengsaraan saudara-saudaranya, terkadang dengan deraian air mata yang tidak dapat ditahan. Mengharukan. Tetapi, sebelum pertemuan selesai, para cendekiawan menyimpulkan bahwa kemiskinan dan kesengsaraan ini bersumber dari kebodohan kaum Muslim. Lalu, dengan semangat, peserta membeberkan cacat kaum Muslim dewasa ini. Kembali, sang korban yang disalahkan! Kemiskinan menjadi masalah individual. Menurut Al-Quran, ini kecenderungan orang-orang yang menumpuk kekayaan: “Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat dan pencela. Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya.” Al-Quran menyindir orang-orang yang ketika diberi kekayaan, merasa dimuliakan oleh Allah (dengan sifat-sifat yang baik), dan ketika diberi kemiskinan, mereka mengira Allah menghinakannya. “Sekali-kali tidak demikian.” Kemudian Allah menyebutkan penyebab kemiskinan adalah kecenderungan untuk tidak memuliakan anak yatim, tidak adanya usaha bersama untuk membela orang miskin, kecenderungan untuk menggunakan sumber-sumber daya (at-turâts) secara rakus, dan kecintaan yang berlebih-lebihan pada harta-benda. Islam memandang kemiskinan sebagai akibat dari sistem sosial yang timpang, dari kekurangan solidaritas sosial, dari sunnah sayyiah di masyarakat. Hak-Hak Orang Miskin Jadi, kalau terjadi kemiskinan yang meluas di masyarakat, siapakah yang paling bersalah? Nabi Muhammad Saw. menjawab, “Sesungguhnya Allah mewajibkan atas orang-orang kaya Muslimin untuk mengeluarkan harta mereka seukuran yang dapat memberikan keleluasaan hidup bagi orang- orang miskin. Dan tidak mengalami kesengsaraan orang-orang miskin, bila mereka lapar atau telanjang, kecuali karena perbuatan orang-orang kaya juga, Ingatlah bahwa Allah Swt. akan mengadili mereka dengan pengadilan yang berat dan akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih.” Sayyid Sabiq menyertakan hadis ini setelah memberikan tafsir atas ayat Al- Quran: “Dan orang-orang yang pada hartanya ada hak yang tersurat, bagi yang meminta pertolongan dan yang melarat.” Kata Sayyid Sabiq,” Inilah hak orang-orang yang memerlukan pada harta orang-orang kaya; yang ukurannya sejumlah apa yang memenuhi kebutuhan pokok mereka berupa sandang, pangan, dan papan, serta kebutuhan-kebutuhan pokok lainnya yang amat diperlukan oleh manusia supaya ia hidup layak sebagai manusia.” Boleh jadi Anda berpendapat: Bukankah kewajiban kita selesai bila kita sudah mengeluarkan zakat? Pertanyaan yang sama pernah disampaikan oleh sahabat kepada Rasulullah Saw. Beliau menjawab, “Sesungguhnya pada harta itu ada hak selain zakat.” Lalu beliau membaca ayat: “Bukanlah kebaikan itu menghadapkan wajahmu ke timur atau ke barat, tetapi kebaikan itu ialah beriman kepada Allah, Hari Akhir, para malaikat, al- kitab, dan para nabi, serta memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang miskin, musafir, orang-orang yang meminta pertolongan, dan mereka yang ingin membebaskan dirinya dari perbudakan; mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat; memenuhi janji bila berjanji, orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar-benar imannya dan mereka itulah orang-orang yang takwa.”  Hak inilah yang harus Anda berikan ketika ada orang meminta tolong kepada Anda buat biaya rumah sakitnya, padahal pada diri Anda ada kelebihan uang. Hak ini juga yang harus Anda sampaikan kepada siswa yang tidak akan dapat melanjutkan sekolahnya bila Anda tidak memberikan hak itu kepadanya. Hak inilah yang harus dituntut oleh orang-orang miskin dari orang-orang kaya bila mereka mengalami kesulitan hidup. Kesulitan hidup terjadi bila kebutuhan pokok-basic needs-tidak terpenuhi. Bila ada sejumlah orang kelaparan dan ada segelintir orang hidup mewah, maka yang lapar boleh menuntut haknya dengan paksa. Ketika menafsirkan ayat: “Jika salah satu di antara kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah.” Ibnu Hazm menyatakan bahwa orang lapar boleh menggunakan paksaan untuk meminta haknya dari orang kaya dan menyerangnya jika orang kaya itu menahan haknya. “Bila penyerang itu terbunuh, pembunuhnya harus membayar denda, dan jika ia berhasil membunuh orang yang diserang, yang terserang itu terkutuk dan mendapat laknat Allah karena ia tidak memenuhi hak orang lapar dan ia termasuk orang yang berbuat aniaya seperti dimaksud dalam ayat ini” Ibnu Hazm mungkin agak “ekstrem”. Tetapi ia berpijak pada satu asumsi bahwa kemiskinan hanya dapat diatasi dengan kesediaan orang kaya memberikan hak orang miskin yang diamanatkan Allah kepadanya. “Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.” Bahwa kemiskinan dan keterbelakangan adalah tanggung jawab kita bersama ditegaskan berulang-ulang, baik dalam Al-Quran maupun Sunnah, sebagian di antaranya: 1. Menolong dan membela yang lemah, mustadh’afin, adalah tanda-tanda orang yang takwa.” 2. Mengabaikan nasib mustadh’afin, acuh tak acuh terhadap mereka, dan enggan memberikan pertolongan akan menyebabkan ia menjadi pendusta agama dan shalatnya akan membawa kecelakaan;” menjerumuskan ke neraka saqar,” imannya tidak ada (“Tidak beriman kepadaku yang tidur dalam keadaan kenyang, sedangkan tetangganya kelaparan di sampingnya”),  dan ia tidak dihitung sebagai orang Islam (“Barang siapa tidak mau memperhatikan urusan kaum Muslim, maka ia tidak termasuk kelompok mereka”). 3. Membela nasib mustadh’afin merupakan amal utama yang mendapat pahala lebih besar daripada ibadah-ibadah sunnah. “Barang siapa di waktu pagi berniat untuk membela orang yang teraniaya dan memenuhi kebutuhan seorang Muslim, baginya ganjaran seperti ganjaran haji yang mabrur. Hamba yang paling dicintai Allah ialah yang paling bermanfaat buat manusia. Seutama-utamanya amal ialah memasukkan rasa bahagia pada hati orang yang beriman- melepaskan lapar, membebaskan kesulitan, atau membayarkan utang,” “Orang yang bekerja keras untuk membantu janda dan orang miskin adalah seperti pejuang di jalan Allah atau (aku kira ia berkata) seperti yang terus-menerus shalat malam atau terus-menerus puasa.” “Barang siapa berjalan untuk memenuhi keperluan saudaranya pada satu saat di siang hari atau malam hari, ia berhasil memenuhinya atau tidak berhasil, itu lebih baik baginya daripada iktikaf dua bulan.” “Barang siapa membebaskan seorang mukmin dari kesusahan atau menolong orang yang teraniaya. Allah berikan kepadanya 73 ampunan.” Tanpa harus menyebutkan nas-nas di atas pun, orang-orang yang mempelajari Islam, membuka Al-Quran dan Sunnah, akan segera menemukan perhatian yang besar dari ajaran Islam terhadap problem kemiskinan dan keterbelakangan. Tidak perlu dirumuskan teologi pembebasan. Yang diperlukan umat Islam kini ialah data yang konkret bahwa kemiskinan adalah bencana sosial yang mengancam eksistensi umat Islam. Membela fakir miskin adalah melanjutkan tugas Rasul dalam “membuang beban-beban (penderitaan) dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka.” Bukankah Rasulullah Saw. berkata, “Kamu ditolong dan diberi rezeki karena bantuan orang-orang lemah di antara kamu.” Kepada istrinya, beliau berpesan, “Wahai Aisyah, cintailah orang miskin dan akrablah dengan mereka, supaya Allah pun akrab dengan engkau pada hari kiamat.” Dan kepada kita semua, beliau berwasiat, “Segala sesuatu ada kuncinya, dan kunci surga ialah mencintai orang-orang miskin.” JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
NASIHAT BAGI BIROKRATJanuary 30, 2025Pada 38 H, Ali bin Abi Thalib menunjuk Malik bin Al-Harits Al- Asytar sebagai Gubernur Mesir. Sebagai petunjuk melaksanakan pemerintahan, Ali menulis sebuah surat panjang, sebuah dokumen bersejarah yang dapat kita sebut sebagai pedoman administrasi pemerintahan Islam. Para ahli sejarah menyimpan dokumen ini. Kitab Nahj Al-Balaghah memuatnya secara lengkap sebagai surat ke-53. Para ulama telah menulis banyak buku yang mengulas isi dokumen berharga ini. Walaupun Ali menulis suratnya ribuan tahun lampau, isinya masih sangat relevan untuk kita, khususnya yang diberi amanah Allah untuk menjadi pejabat. Sebelum mengutip beberapa bagian dari surat Ali ini, marilah kita lihat kualifikasi penerima surat. Malik Al-Asytar adalah salah seorang sahabat utama Ali bin Abi Thalib. Dia hidup dan dibesarkan dalam didikan sahabat utama Rasulullah. Ali sangat mencintainya, “Malik bagiku sama seperti aku bagi Rasulullah.” Dia ikut serta mendampingi Ali dalam berbagai peperangan. Keberanian dan kepiawaiannya dalam memainkan pedang terkenal sampai ke seluruh Arabia. Ketakwaannya terlihat dalam kekhusyukan ibadah dan kesederhanaan hidupnya. Al-Nakha’i meriwayatkan kisah menarik dari kehidupan Malik. Suatu hari Malik melewati Pasar Kufah dengan pakaian dan serban yang sangat sederhana. Seorang pemilik toko melemparkan daun-daun busuk kepadanya karena melihat penampilannya. Malik tidak menghiraukan perbuatan tidak sopan ini. Melirik pun tidak. Dengan tenang dia meneruskan perjalanannya. Kemudian, seseorang berkata kepada pemilik toko, “Tahukah Anda siapa yang Anda perlakukan dengan tidak sopan itu?” Dia menjawab tidak tahu. Ketika diberi tahu bahwa orang itu Malik Al-Asytar, sahabat utama Amirul Mukminin, pemilik toko itu merasa takut dan malu. Dia mengejar Malik, dan mendapatkan Malik sedang shalat di masjid. Usai Malik shalat, dia merebahkan dirinya, bersimpuh, dan memohon maaf kepada Malik sambil menangis. Malik mengangkat kepala orang itu dan berkata, “Demi Allah, saya datang ke masjid untuk memohonkan ampunan Allah bagimu. Saya sendiri sudah memaafkanmu waktu itu juga. Saya berharap Allah pun akan memaafkan kamu.” Orang yang menyebabkan musuh-musuhnya bergetar mendengar namanya ternyata adalah orang yang juga sangat sabar dan pemaaf. Di samping memiliki akhlak baik, Malik terkenal karena kemampuan organisasi dan administrasinya. Ketika kelompok Muawiyah menimbulkan kekacauan di Mesir, Ali menunjuk Malik untuk menggantikan Muhammad bin Abi Bakar. Pada saat itulah Ali mengirimkan surat kepada Malik, yang waktu itu masih menjadi gubernur di Nasibin. Muawiyah mendengar berita pengangkatan Malik. Dia sangat kecewa karena dia telah menjanjikan untuk memberikan Mesir kepada Amr bin Ash. Dia berharap dapat mengalahkan Muhammad bin Abi Bakar dengan mudah, tetapi tidak dapat membayangkan merebut Mesir dengan mengalahkan Malik Al-Asytar. Karena itu, dengan segera dia menghubungi wali kota Al-Qulzum. Muawiyah menjanjikan untuk menyerahkan seluruh pajak daerah itu kepadanya, asalkan dia sanggup membunuh Malik ketika singgah di sana. Wali kota Al-Qulzum menjamu Malik dan menghidangkan madu yang sudah dicampur racun. Segera setelah meminum racun itu, Malik menutup mata untuk selama-lamanya. Ketika Muawiyah mendengar berita itu, ia melonjak gembira dan berkata, “Ali bin Abi Thalib mempunyai dua orang tangan kanan. Yang pertama dipatahkan di Shiffin, yakni Ammar bin Yasir, dan yang kedua dibuntungkan sekarang, yakni Malik Al-Asytar.” Tentu saja, ketika berita itu sampai kepada Ali, dia sangat berdukacita dan berkata, “Malik! Siapakah Malik? Jika Malik sebuah batu, dia adalah batu yang keras dan kokoh; jika karang, dia adalah karang besar yang tak terguncangkan. Alangkah jarangnya seorang ibu melahirkan orang seperti Malik.” Tanggung Jawab Gubernur “Ketahuilah, hai Malik, saya telah mengirimkan engkau ke satu daerah yang telah memiliki pemerintahan sebelumnya, baik yang adil maupun yang zalim. Rakyat akan memperhatikan tindakanmu sebagaimana mereka telah memperhatikan tindakan para penguasa sebelum kamu. Rakyat akan mengkritik kamu seperti kamu juga mengkritik mereka. Sesungguhnya orang-orang baik dikenal dari keharuman namanya yang diedarkan lewat lidah makhluk-Nya. Karena itu, perbendaharaan yang harus engkau kumpulkan adalah amal saleh. Karena itu, kendalikanlah hawa nafsumu dan tahanlah hatimu dari berbuat sesuatu yang tidak boleh kamu lakukan. Biasakanlah hatimu menyayangi rakyatmu. Janganlah berdiri di atas mereka seperti binatang rakus yang ingin menerkam mereka. Ada dua jenis rakyatmu: satu saudaramu dalam agama dan satu lagi saudaramu sesama makhluk. Sewaktu-waktu mereka dapat berbuat salah, baik sengaja maupun tidak sengaja. Ulurkanlah maafmu sebagaimana Allah mengulurkan ampunan kepadamu. Mereka berada di bawah kamu. Kamu berada di bawah imam kamu, dan Allah berada di atas dia yang menunjuk kamu. Janganlah menempatkan dirimu melawan Allah, karena kamu tidak mempunyai kekuasaan di hadapan kekuasaan- Nya. Kamu tidak dapat berbuat tanpa kasih sayang-Nya. Jangan menyesal karena memaafkan. Jangan menaruh iba ketika menghukum. Jangan bertindak tergesa-gesa ketika kamu marah. Janganlah berkata, ‘Saya telah diberi kekuasaan, karena itu saya harus dipatuhi ketika saya memerintah, karena hal itu menimbulkan kebingungan dalam hati, melemahkan rasa beragama, dan membawa orang pada kehancuran. Jika kekuasaan menimbulkan rasa sombong pada dirimu, perhatikanlah kebesaran Allah di atas kamu. Berbuatlah adil karena Allah dengan berbuat adil kepada rakyatmu, walaupun itu bertentangan dengan kepentinganmu, kepentingan orang- orang yang dekat denganmu, atau kepentingan orang-orang yang kamu sukai. Jika kamu tidak berbuat adil, kamu menjadi penindas. Bila kamu menindas makhluk Allah, bukan saja makhluk-Nya, tetapi Allah pun akan menjadi musuh kamu. Bila Allah menjadi musuh seseorang, dia akan menghancurkan hidupnya. Dia akan selalu berperang dengan Allah sampai dia bertobat. Tidak ada yang lebih cepat menghalangi karunia Allah dan mempercepat datangnya hukuman Allah selain melakukan penindasan, karena Allah mendengar doa orang yang tertindas dan senantiasa siap menghukum para penindas.” Perhatian terhadap Rakyat Kecil “Takutlah kepada Allah dalam mengurus orang-orang kecil, yang memiliki peluang yang sedikit: fakir miskin, gelandangan, dan orang-orang yang tidak mampu. Jagalah baik-baik kewajiban yang ditimpakan Allah untukmu dalam mengurus mereka. Usahakan sebagian dari dana negara diperuntukkan untuk mengangkat nasib mereka. Janganlah kemewahan menyebabkan kamu membuat jarak dengan mereka. Kamu tidak akan dimaafkan bila melalaikan hal-hal yang kecil, karena sedang memutuskan masalah-masalah besar. Janganlah melalaikan derita orang-orang kecil dan jangan kamu palingkan wajahmu dari mereka karena kesombongan. Uruslah kepentingan orang-orang yang tidak sanggup menemuimu karena penampilan mereka yang jelek dan karena orang menganggap mereka rendah. Tunjuklah para pejabat yang takwa dan rendah hati untuk mengurus mereka. Peliharalah anak-anak yatim, orang-orang tua yang melarat dan tidak sanggup mencari nafkah. Tugas ini memang berat untuk para pejabat. Setiap kewajiban memang berat. Allah akan meringankan tugas ini bagi mereka yang mencari kebahagiaan di hari akhirat. Bersabarlah dalam mengurus mereka dan bertawakallah kepada Allah. Tetapkanlah waktu untuk menerima pengaduan mereka. Berikan kepada mereka kebebasan untuk menyampaikan keluhan kepadamu. Duduklah bersama mereka dan bersikaplah rendah hati demi mencapai ridha Allah yang menciptakan kamu. Pada saat seperti itu, jauhkanlah dari kamu para pengawalmu yang membuat orang takut untuk berbicara kepadamu karena aku mendengar Rasulullah berkata beberapa kali, ‘Orang-orang yang tidak dapat menjaga hak orang lemah dalam menghadapi orang-orang kuat tanpa rasa takut, maka tidak akan pernah mencapai kesucian.” Inilah sebagian nasihat Ali kepada Malik Al-Asytar. Nasihat yang akan dikenang sepanjang sejarah sebagai pedoman Islam bagi para birokrat. JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...

Buku Karya KH. Jalaluddin Rakhmat

« of 2 »

Videografi

This error message is only visible to WordPress admins

Unable to retrieve new videos without an API key.

Error: No videos found.

Make sure this is a valid channel ID and that the channel has videos available on youtube.com.

Audiografi

UJR-MFR

“Jangan remehkan racun walau setetes. Jangan remehkan dosa sekecil apapun”

​KH. Jalaluddin Rakhmat
@katakangjalal

Contact Jalan Rahmat

Jl. Kampus II No. 13-15. Kiaracondong. Bandung