Warisan intelektual

untuk perkhidmatan

dan pencerahan pemikiran

0
Quotes
0
Articles
0
Videos
0
Audios

Jalan Rahmat

Misi Kami

Di Jalan Rahmat, kami berusaha menghadirkan kembara intelektual itu. Perjalanan dan pengelanaan beliau mengarungi ‘jagat’ semesta itu. Ada dokumentasi karya beliau. Puluhan buku, ratusan artikel, ribuan ceramah. Ada rekaman audio dan video. Ada pula karya-karya para guru bangsa, baik sahabat karib Allah yarham, para intelektual sezaman, maupun karya-karya para ulama besar yang mempengaruhi jagat kembara intelektual beliau. Jalan Rahmat adalah sebuah digital library yang ingin menghadirkan kembali semangat intelektual itu.

Jalaludin Rakhmat - Tauziah
Digilib

Donasi dan Beasiswa

Donasi dan Beasiswa untuk sekolah, madrasah, klinik, dan ragam kegiatan lainnya.

tauziyah

Digital Library

Kumpulan Ceramah, Artikel, Buku, Video dari para Guru Bangsa.

healthcare

Jalan Kecintaan

Warisan terutama dan teramat berharga dari Allah yarham adalah mengantarkan kami dan kita semua pada jalan menuju kerinduan dan kecintaan Sang Rahmatan lil ‘alamin. Itulah makna Jalan Rahmat yang sesungguhnya.

Latest Post

PASRAH KARENA CINTAJanuary 13, 2025Malam itu, di sebuah bilik pengap penjara Auschwitz terjadi kegemparan. Tiga orang napi melarikan diri. Penguasa penjara meledakkan kemarahannya dengan mengambil sepuluh napi untuk dihukum mati. Franciszek Grajowniczet, salah seorang napi yang diambil tersebut, menjerit, “Duhai istri dan anak-anakku yang malang. Aku takkan melihat mereka lagi.” Mendengar itu, Maximillian Kolbe menggantikan Franciszek. Kolbe beserta sembilan orang lainnya disekap di bawah tanah. Dua minggu kemudian, mereka dikeluarkan dari tempat itu dan sudah menjadi mayat, kecuali Kolbe. Ia masih hidup. Akhirnya, ia pun dibunuh dengan suntikan asam karbolik ke tangannya. Apa yang menyebabkan Kolbe memiliki daya tahan luar biasa? Apa yang mendorongnya untuk menggantikan kawannya? “Rahasia dari kekuatan ekstra untuk bertahan ini, saya kira, ada hubungannya dengan teologi tertentu atau makna tertentu yang diberikannya pada kehidupan. Menurut saya, kemungkinan besar yang menimbulkan keberanian ini adalah keterikatan orang beriman kepada Tuhan; sebutlah kecintaannya kepada Tuhan. Atau paling tidak, kecintaannya kepada keyakinannya,” tulis Celia Haddon dalam The Miraculous Power of Love. “Kekuatan cinta memang menakjubkan. Untuk merangsang kecerdasan, kita memerlukan kasih ibu. Tanpa orang- orang baik di sekitar kita, dalam keluarga dan pergaulan, sebagian di antara kita mati. Tanpa cinta, manusia tidak bisa hidup bahagia. Cinta penting untuk ketenangan jiwa dan raga kita, seperti halnya vitamin, makanan bergizi, olahraga, dan lingkungan yang sehat. Di Barat, masyarakat berusaha menciptakan kehidupan yang lebih baik untuk semua orang—drainase yang baik, air minum bersih, perawatan kesehatan, jaminan sosial masa tua, bantuan khusus bagi ibu-ibu, anak-anak sekolah, rumah jompo dan rumah sakit. Sebuah struktur negara yang perkasa digunakan untuk melayani kebutuhan pokok manusia yang bersifat fisik. Tapi, kita tidak menemukan cinta di dalamnya,” masih kata Haddon. Kita khawatir bahwa modernisasi telah membawa kita kepada situasi yang sama. Ekonomi kita ditegakkan di atas dasar keuntungan semata. Kita tidak lagi tersentuh dengan derita rakyat kecil yang tanahnya digusur. Kita pura-pura tidak tahu ketika ribuan orang kehilangan mata pencaharian karena ulah kita. Politik, kita bangun hanya untuk kekuasaan. Kita tusuk kawan seiring, kita kecoh lawan, kita singkirkan semua pesaing tanpa belas kasihan. Sistem sosial kita bertopang pada popularitas semata. Sebagai pengganti kasih sayang, kita dewakan kemasyhuran; seperti laron yang harus me ngejar-ngejar cahaya dan mati sebelum atau sesudah menyentuhnya. Keberagamaan kita juga menjadi sejumlah doktrin kering untuk memenggal kepala orang, atau menjadi seperangkat kosmetik untuk menutup borok kita. Kita menjadi Malaikat Zabaniyyah, yang berwajah masam, yang siap memasukkan siapa saja, selain kita, ke neraka. Atau kita termasuk orang yang menjadikan agama sebagai permainan dan hiburan (QS Al-An’am : 70). Upacara-upacara agama, kita selenggarakan seperti menggelar festival tanpa ruh dan kehangatan. Islam berarti pasrah, berserah diri. Karena apa kita pasrah kepada Dia? Karena tuntutan sosial, keuntungan ekonomis, atau melarikan diri dari frustrasi. Bila kita agak “maju”, kita pasrah kepada Dia karena mengharapkan pahala, ganjaran, atau pamrih. Tuhan menjadi sosok yang kita “suruh” untuk memuaskan egoisme kita. Lebih maju lagi, kita berserah diri karena takut siksa, hukuman, dan kekuasaan-Nya. Di atas kita, para filsuf pasrah kepada Dia karena tuntunan akalnya. Agama itu akal. Tidak ada agama buat orang yang tidak berakal. Namun, masyarakat kita kini tengah merindukan keberagamaan yang lain. Bukan hanya akal. Kita ingin pasrah kepada Dia karena cinta. Suatu hari, Dzunun Al-Mishri, pengikut mazhab cinta, berkunjung kepada orang sakit. la mendapati si sakit sedang mengaduh. Dzunun berkata, “Tidak sejati seseorang mencinta apabila ia tidak sabar akan pukulannya.” Si sakit menukas, “Tidak sabar dalam mencinta bila ia tidak menikmati pukulannya.” Dari sudut rumah, ada suara, “Tidaklah men cintai kami secara sejati orang yang masih mengharapkan kecintaan selain kami.” Al-Mutanabbi berpuisi: “Sekiranya aku bisa mengendalikan kejap mataku, aku tidak akan membukanya, kecuali ketika melihatmu.” Kita juga mendapatkan sentuhan cinta Ilahi dalam puisi L.K. Ara, penyair Aceh. Doa Orang Buta Tuhan beri sinar kepada mereka yang awas matanya Tuhan beri cahaya kepada mereka yang memandang dunia dengan mata terbuka Tuhan, kepadaku, kirim saja percik kasih-Mu Tidak untuk membuka mataku Tapi untuk menyiram hatiku Salahkah orang yang pasrah kepada-Nya karena akalnya? Tidak. Dia diberi sinar untuk membuka matanya. Salahkah orang yang pasrah karena takut akan hukuman-Nya atau karena menginginkan pahala-Nya? Tidak. Banyak jalan menuju Dia. Salah satu di antara jalan itu adalah jalan kesucian yang ditempuh para sufi. Mereka yang dikirim percik kasih Tuhan, untuk menyirami hatinya. Inilah keberagamaan yang membuat Anda tulus dan perkasa. JR wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
ALI BIN ABI THALIB : SINGA ANAK KA’BAH ASUHAN WAHYUJanuary 11, 2025Singa Anak Ka’bah Abu Thalib adalah pemimpin Quraisy yang bijaksana. Orang banyak mencintai dan menghormatinya. la teguh pendirian pemberani; tetapi ia juga lemah lembut dan penyantun. Kadang-kadang ia menghunus pedangnya seperti ksatria tak terkalahkan. Pada waktu yang lain ia bersenandung membacakan syair-syair yang memikat. Keluhuran budinya kelak akan menurun kepada putra keempat yang sedang di kandung istrinya, Fatimah binti Asad. Sebagaimana kebiasaan jahiliah, Fatimah ingin memberikan korban buat Hubal, berhala besar di atas Ka’bah, Tiba-tiba datang seorang pemuda yatim, yang sejak kecil hidup bersamanya. Namanya Muhammad. Fatimah sangat menyayanginya, sama seperti ia menyayangi anaknya sendiri. “Ibu”, ujar Muhammad, “Bila aku kabarkan sesuatu kepada Ibu, maukah Ibu merahasiakannya?” “Tentu,” jawab Fatimah. “Pergilah dengan kurban ini, tetapi ucapkanlah — Aku kafir pada Hubal,dan beriman kepada Allah yang Mahaesa, yang tidak ada sekutu bagi-Nya.” “Akan Ibu amalkan, karena Ibu tahu engkau anak jujur, Muhammad.” Maka berkurbanlah Fatimah Buat Allah Yang Mahaesa, dan tidak buat Hubal, berhala kemusyrikan. Ia berdoa buat keselamatan bayi dalam kandungannya. Sampailah pada hari Jumat, tanggal 13 bulan Rajab, 10 tahun sebelum Muhammad diutus sebagai nabi. Fatimah dengan perut yang besar sekali tampak digandeng oleh Abu Thalib melakukan thawaf, mengelilingi Ka’bah. “Bang, perutku sakit,” keluh Fatimah. “Engkau pasti terlalu lelah. Marilah beristrahat sebentar,” ujar suaminya. “Aku saja yang beristirahat. Engkau teruskan sajalah thawafmu,” kata Fatimah. Sebagai istri yang sudah melahirkan tiga orang anak, Fatimah tahu sakit ini pertanda sebentar lagi ia akan melahirkan. Abu Thalib membawa istrinya masuk Ka’bah. Di sana, di bawah naungan Baitullah, Fatimah merasakan perutnya bertambah mulas. Dengan menahan rasa sakit, ia mengangkat tangan berdoa, “Ya Allah. Aku bernaung kepada-Mu. Aku percaya pada datukku Ibrahim, pendiri Ka’bah. Demi pendiri rumah ini, demi jabang bayi dalam perutku, aku mohon kepada-Mu, mudahkan kelahirannya.” Akhirnya ia melahirkan di dalam Ka’bah, disaksikan suaminya seorang. Baru pertama kali itulah seorang wanita melahirkan anak di dalam Ka’bah. Dibungkusnya bayi itu dengan selimut. Abu Thalib melarang membukanya sampai datang Muhammad. Muhammad membuka selimut itu. Kelihatan bayi merah tersenyum. Muhammad mengangkatmya, menimangnya dengan penuh sukacita. la menjulurkan lidahnya. Dengan lahap bayi itu mengulum lidah Muhammad sampai pulas tertidur. Abu Thalib menamai bayi itu Haidarah, mengenang kakeknya yang bernama Asad (Haidarah dan Asad dalam bahasa Arab artinya Singa). Pemuda Muhammad menamainya Ali (artinya, yang luhur). Nama Alilah yang terkenal, walaupun sepanjang hidupnya Ali terkenal juga sebagai singa yang menakutkan musuh-musuhnya. Namanya yang lain ialah Abu Turab, artinya “si Bapak Tanah”, karena kelak ia sering tidur di atas tanah masjid bergelimang debu. Ali juga digelari Murtadha, artinya yang diridhai Allah dan Rasul-Nya. 2. Anak Asuhan Wahyu Ketika Ali berusia 6 tahun, Mekah dan sekitarnya dilanda musim kekeringan yang lama. Makanan serba kurang. Waktu itu Muhammad sudah menikah dengan Khadijah, wanita yang cukup kaya. Dengan seizin Khadijah, Muhammad membawa Ali ke rumahnya. Sebagaimana Abu Thalib memelihara Muhammad kecil, seperti itu jugalah Muhammad memelihara Ali. Sering Ali merapat di dadanya dan tidur di sampingnya. “Aku sering mendekap Rasulullah, dan masih dapat merasakan keharuman tubuhnya,” kata Ali bila mengenang masa kecilnya. Karena Muhammad tidak mempunyai anak lelaki, seakanakan Ali adalah satu-satunya putra keluarga Muhammad. Pada suatu hari, ia pulang dan menemui kedua orang tua angkatnya sedang shalat bersama. Ali tertegun, “Apakah yang tengah engkau lakukan ini?” Nabi Muhammad saw. menjawab, “Kami sedang menyembah Allah Yang Mahaesa. Inilah agama yang telah dipilih-Nya. Ia telah mengutus aku sebagai Rasul-Nya. Aku memanggil engkau agar beriman kepada-Nya, dan kafir kepada Lata dan ‘Uzza.” “Demi Allah,” kata Ali, “Aku belum pernah mendengar seperti ini. Aku belum bisa memutuskan apakah masuk Islam atau tidak. Aku akan tanya dulu kepada ayahku.” Malam itu Ali tidak tidur. Pagi-pagi sekali ia menemui Rasulullah saw. dan menyatakan keislamannya. Usianya baru 10 tahun. Ketika ditanya mengapa tidak memberitahukan dulu Abu Thalib, Ali menjawab, “Dahulu Allah menciptakan aku tanpa bermusyawarah dulu dengan orang tuaku. Mengapa aku harus bertanya kepada mereka untuk menyembah yang menciptakanku?” Sejak usia remaja, Ali hidup beserta Rasulullah. Sering Nabi Muhammad mengimami shalat dan Ali berdiri di belakangnya. Waktu itu hanya empat orang yang sudah Islam: Khadijah, Ali, Abu Bakar, dan Zaid bin Haritsah. Di rumah Rasul, sering Ali mengikuti bacaan Alquran seayat demi seayat. Gurunya, pengasuhnya, dan pendidiknya adalah penerima wahyu sendiri, yaitu Nabi Muhammad. Pada awal kenabiannya, pada saat-saat Alquran turun, Ali senantiasa berada di samping Rasulullah. Ali besar dalam asuhan Wahyu. Pada suatu hari, Nabi Muhammad saw memanggil Ali: “Hai, Ali, telah turun perintah Allah supaya aku berdakwah kepada kaum kerabatku, saudara-saudaraku yang dekat. Persiapkanlah makanan; masakkan paha kambing dan sediakan satu wadah besar susu. Undang keluarga Bani Abdil Muthalib. Aku akan mengajak mereka bicara dan akan kusampaikan perintah Allah kepada mereka.” Ali pun dengan sigap melaksanakan suruhan Nabi. la mengundang kurang lebih 40 orang; antara lain Abu Thalib, Abu Lahab, Hamzah, dan Abbas. Setelah segalanya siap. Rasul Allah mempersilakan mereka makan. Tetapi sebelum dakwah dimulai, Abu Lahab memperolok-olokkan Nabi. Karena ucapan Abu Lahab, orang-orang pun pergi meninggalkan tempat jamuan. Esoknya Ali mempersiapkan lagi jamuan. Kali ini Rasul Allah berhasil melakukan tabligh. “Hai, Bani Abdil Muthalib, aku membawa hal yang mulia. Untuk kalian, aku membawa kebajikan dunia dan akhirat. Allah memerintahkan aku untuk mengajak kalian. Siapakah di antara kalian yang mau membantuku dan bersedia menjadi saudaraku, penerima wasiatku, dan penggantiku?” Tamu-tamu yang hadir bungkam. Tiba- tiba terdengar teriakan keras. “Aku!” Yang berkata masih sangat muda, seorang remaja yang tidak diperhitungkan. “Ya, Rasul Allah, akulah pembantumu,” kata remaja itu. Rasul Allah mengulang seruannya, dan remaja itupun mengulanginya lagi. Nabi yang mulia kemudian memegang tengkuk remaja itu, sambil berkata “Inilah pembantuku, penerima wasiatku, dan khalifahku atas kalian. Dengarkanlah ia, dan patuhilah dia.” Semua yang hadir tertawa terbahak-bahak. Sambil melihat Abu Thalib, mereka berkata, “Hai, Abu Thalib, Muhammad menyuruhmu supaya taat kepada anakmu!” Orang tertawa karena Rasul Allah menyuruh orang-orang tua mengikuti remaja Ali. Orang juga tertawa karena Ali dengan berani menyatakan dukangan kepada Nabi, di depan Abu Lahab yang selalu merintangi dakwah Nabi. Tetapi Ali adalah asuhan wahyu. Untuk Rasul yang mulia, nyawa pun rela ia berikan. Apalagi ayahnya, Abu Thalib, selalu menyuruhnya mendampingi Nabi. JR— wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Sudahkah Kita Bersama Allah?January 11, 2025Allah menyebutkan dalam Al-Quran. Allah bersama kamu di mana pun kamu berada. Ainamâ tuwallû fatsama wajhallah, ke mana pun kamu menghadap, di situ ada wajah Allah. Seakan-akan Ibn Arabi berkata begini, “Kamu baca ayat Al-Quran itu, ke mana pun kamu menghadap yang ada adalah wajah Allah. Sekarang hadapkan wajah kamu ke mana pun, apa yang kamu lihat? Yang kamu lihat adalah bukan wajah Allah.” Ke mana pun kita melihat. yang kita lihat adalah yang bukan Allah. Padahal Al-Quran mengatakan seperti tadi. Tetapi sekarang ini secara praktis, secara realistis, coba kita melihat ke mana pun! Yang kita lihat adalah selain Allah. Ibn ‘Arabi berkata tentang huwa dan lå huwa. Dia dan ada yang bukan Dia. Menurut ayat itu, mestinya ke mana pun kita menghadap. yang ada hanya Dia. Misalnya sekarang ini yang kita lihat ada botol aqua, ada bapak-bapak, dan lain sebagainya. Lalu di mana Dia, aina huwa? Itu artinya, secara hakiki memang Tuhan beserta kita, lebih dekat dari urat leher kita. Bahkan Dia bersama kita ke mana pun kita pergi. Kita saja yang tidak bersama Dia. Kita saja yag tidak menempatkan diri kita bersama Dia. Sehingga kita tidak bisa menyaksikan-Nya, dan yang kita saksikan hanya selain Dia, hanya la huwa saja. Kita tidak bisa menyaksikan huwa itu sendiri. Ada juga orang bercerita bahwa melihat Dia itu bertahap-tahap. Tahap pertama hanya menyaksikan perbuatan Dia, af’âl Dia. Ketika kita melihat alam lahir ini – gemintang, gunung. manusia, hewan – kita sebenarnya melihat perbuatan Allah Swt, sebenarnya kita melihat Allah di balik perbuatan itu. Setelah itu kita meningkat melihat sifat-sifat-Nya di seluruh alam semesta ini. Yang kita lihat tajalliyat atau manifestasi dari sifat-sifat Allah. Ketika kita menyaksikan seorang dermawan yang membagikan hartanya untuk membahagiakan orang-orang yang lebih malang di sekitarnya, maka yang kita lihat Rahman-Rahim Allah Swt. dan seterusnya. Yang paling tinggi dari yang kita lihat adalah Zat-Nya. Dari af’âl, ke sifat, sampai zat. Dan itu-lah sebuah sayr ilallah, yang menjadi penyaksian, witnessing, atau mukasyafah. Sebetulnya memang Allah bersama kita. Allah selalu berada di samping kita. Seorang dokter Jerman menulis buku dengan judul Neben Uns Steht Gott. Tapi dari pengalaman dia di medan pertempuran, ketika dia mengobati orang-orang yang sakit, dia seringkali menemukan yang secara medis orang itu tidak bisa diselamatkan, tapi akhirnya selamat juga. Jadi dia menulis bahwa neben uns itu memang ada Allah. Yang dia saksikan adalah karya-karya Tuhan di alam semesta ini. Bahwa Tuhan itu selalu melakukan intervensi di dalam kehidupan kita itu. Dokter Jerman itu sudah sampai ke af ål. Jadi sekali lagi. Tuhan itu with us, tapi we are not always with Him. Ada sebuah doa dari Imam ‘Ali Zainal Abidin. Doa-doa beliau ini saya coba terjemahkan dengan bagus ke dalam bahasa Indonesia. dalam buku Shahifah Sajjadiyah, itu doa orang suci. Di antaranya dalam doa itu Imam Ali Zainal Abidin berkata begini: Tuhanku setiap saat Engkau berkhidmat melayani keperluanku Seakan-akan tidak ada lagi hamba yang selain aku Tapi setiap saat para malaikat mengantarkan kemaksiatanku kepada-Mu, Seakan-akan aku punya Tuhan selain Kamu Jadi Tuhan sendiri menyertai kita, melayani seluruh keperluan kita, seakan-akan tidak ada hamba yang lain yang dilayani Dia. Tetapi setiap saat juga kita maksiat kepada-Nya seakan-akan kita punya Tuhan lain untuk lari kepadanya dari Tuhan yang ini. Kemudian, ada beberapa cara agar seseorang bisa khusyuk, yaitu dengan membayangkan Allah Swt. Sampai di sini, berhati-hatilah. Kata Mulla Shadra, salah satu jenis kemusyrikan yang besar juga ialah membayangkan Allah itu dalam bayangan-bayangan yang ada pada kita. Padahal Allah itu tidak seperti yang kita bayangkan. Subhanallah wata’âlâ ‘ammá yashifûn, Mahasuci Allah Mahatinggi dari apa- apa yang mereka bayangkan, dari apa-apa yang mereka sifatkan. Kalau kita berdoa, selalu kita tutup dengan kalimat: Subhanallâh wata’âlâ ‘amma yashifûn wasalamun ‘alal mursalin wal hamdulillahi rabbil ‘alamin. Karena setiap kali kita membayangkan Allah, pastilah bayangan kita keliru. Sebab Allah adalah Zat yang tidak terbayangkan, yang mukhalafatu lil hawâdisi. Jadi kalau kita menyembah Allah dengan membayangkan Dia. maka sebetulnya yang kita sembah bukan Allah, tetapi kita menyembah pembayangan kita. Itu berarti kita melakukan kemusyrikan lagi. Kita menyembah berhala, dan berhala kita adalah bayangan kita. Dulu itu orang membuat berhala, mereka membayangkan Tuhan bahwa Tuhan itu seperti itu. Hanya saja diwujudkan ke dalam wujud yang konkret. Kita menyimpannya di benak kita. Apalagi sekarang ini yang dibayangkannya juga bukan Tuhan dalam shalat itu, Ka’bah misalnya. Jadi Ka’bah-lah yang dia sembah. Lalu bagaimana kita bisa melakukan shalat dengan khusyuk? Di dalam Al-Quran surah Al-Baqarah disebutkan dua kali: Istaînû bis shabri was shalah, wa innahá lakabîratun illâ ‘alal khasi în, aladzina yadzunnûna annahum mulâqû rabbihim, wa annahum ilaihi raji’ûn. Sesungguhnya shalat itu berat, kecuali buat orang-orang yang khusyuk, yaitu orang yang yakin bahwa dia akan bertemu dengan Tuhan mereka, dan bahwa kepada Dia-lah dia akan kembali. JR wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Mitos-Mitos WaktuJanuary 10, 2025Ketika kita berhadapan dengan saat-saat pertama dan saat-saat terakhir, kita selalu dihadapkan pada anggapan-anggapan tentang waktu. Pada saat datangnya tahun baru misalnya, ada orang yang berusaha menyambutnya dengan cara-cara tertentu. Ia menduga bahwa tahun baru itu akan memengaruhi nasibnya, baik atau buruk. Akibatnya, waktu yang pertama atau seperti juga waktu yang terakhir sering diterima orang dengan penuh kecemasan dan harapan. Dalam tulisan ini, kita ingin membicarakan tentang konsepsi waktu dalam Islam, juga mitos-mitos atau anggapan-anggapan manusia yang salah tentang waktu. Mitos Pertama: Waktu Membinasakan dan Menguntungkan Orang sering menganggap waktu sebagai sesuatu yang membinasakan, mencelakakan, membahagiakan, dan mendatangkan keberuntungan. Misalnya, ketika seseorang tengah berada dalam keadaan sulit, biasanya ia akan mengatakan bahwa zaman sekarang adalah zaman yang rusak. Begitu pula ketika mendapatkan keberuntungan, ia akan menganggap bahwa waktulah yang mendatangkan keberuntungan tersebut. Terkait hal ini, Allah Swt. “menyindir” mitos ini dalam Al-Quran, ketika Dia berbicara tentang ad-dahr (masa). “Dan mereka berkata, ‘Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa,’ dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja,” (QS. Al-Jâtsiyah : 24). Orang cenderung menyalahkan waktu, terutama ketika ia mendapatkan kekecewaan, atau ketika ia tidak dapat hidup sesuai dengan standar yang diinginkannya. Padahal, Rasulullah Saw. melarang kita untuk mencela waktu. Beliau bersabda, “Janganlah kalian mencaci-maki waktu.” Mengapa Rasulullah yang mulia sampai berkata seperti itu? Karena, apabila kita berpandangan bahwa waktu menyebabkan kecelakaan dan keberuntungan, pada saat yang sama kita telah memproyeksikan diri kita sendiri ke dalamnya. Itulah mitos tipuan yang sering dipakai orang untuk menghindari tanggung jawab yang harus dipikulnya. Ali bin Muhammad Ar-Ridha mengungkapkan sebuah syair, “Manusia umumnya menyalahkan zaman, padahal zaman itu tidak punya kesalahan selain kesalalahan diri kita sendiri.” Begitulah, kita menjelek-jelekkan zaman kita, padahal kejelekan itu ada pada kita. Seandainya zaman bisa berbicara, maka ia akan mendakwa kita, (Mizan Al-Hikmah, IV: 235-236). Ketika orangtua mendapati anak-anaknya mulai berani melawan dan melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai agama, orangtua kerap melakuan pembelaan, “Memang sekarang zamannya seperti ini.” Ketika para pemuda kecewa melihat tingkah laku orangtuanya, dan mereka melakukan protes, maka orangtuanya akan segera berkata, “Memang, sekarang ini zamannya sudah jelek.” Zaman dipersalahkan karena ketidakmampuan manusia untuk mengisi dan memanfaatkannya. Ketika datang tahun baru, orang-orang akan segera menyambutnya dengan berbagai macam cara, karena mereka telah jatuh pada mitos ini. Mereka menganggap bahwa bahwa zaman yang akan datang akan banyak memengaruhi kondisi kehidupannya. Mereka lupa bahwa dirinya sendiri yang akan menentukan zaman yang akan datang itu, baik ataupun buruk. Orang Arab mengatakan, “Waktu itu seperti pedang. Kalau engkau tidak memotong waktu itu, maka dialah yang akan memotongmu.” Dari sini, kita bisa mengatakan bahwa kitalah yang menentukan bagaimana cara memanfaatkan waktu yang telah Allah karuniakan. Kitalah yang menentukan masa depan, bukan waktu. Memang, pada setiap masa selalu akan ada orang-orang yang mencaci kondisi zaman di mana ia hidup. Kalau kita menelaah kitab Ihya Ulumuddin, kita akan mendapatkan bagaimana Imam Al-Ghazali menceritakan suatu zaman yang kacau balau. Apa yang diceritakan Al-Ghazali di zamannya- misalnya tentang ulama yang menjual lawakan di mimbar-mimbar sama seperti yang kita alami sekarang ini. Sepanjang sejarah ada saja orang yang menghabiskan waktunya untuk mencaci-maki zaman. Ia tidak melakukan tindakan apa pun untuk memperbaiki zaman dan generasinya. Mitos Kedua: Waktu Memberikan Pertanda Nasib Anggapan tentang datangnya permulaan suatu waktu yang dipercayai sebagai pertanda akan datangnya suatu peristiwa, juga termasuk ke dalam salah satu mitos waktu. Aneka peristiwa alam yang terjadi, seperti peredaran matahari, bulan, dan bintang, yang menurut ajaran Islam diciptakan Allah untuk menentukan tongak-tonggak waktu, sering dijadikan orang sebagai pertanda akan nasib baik dan nasib buruk. Rasulullah Saw. pernah mengajarkan kepada umatnya untuk tidak memercayai takhayul-takhayul seperti itu. Ketika Ibrahim, putra beliau meninggal dunia, lalu pada malam harinya terjadi gerhana, dengan segera Rasulullah Saw. mengumpulkan para sahabat untuk menjelaskan bahwa sesungguhnya matahari dan bulan adalah satu tanda keagungan Allah Swt. Terjadinya gerhana bukan karena kematian dan kehidupan seseorang. Perkataan tersebut beliau sampaikan pada saat orang-orang Arab menganggap adanya hubungan antara gerakan alam semesta dengan meninggalkan Ibrahim. Mitos Ketiga: Waktu Itu Berlimpah Mitos lain tentang waktu adalah anggapan bahwa waktu itu berlimpah. Akibatnya, banyak orang menangguhkan pekerjaan pada waktu yang lain. Ia mengira masih ada waktu untuk mengerjakan pekerjaannya. Perilaku menunda-nunda seperti itu, disebut Rasulullah Saw. taswif, yaitu menangguhkan suatu amal untuk dikerjakan pada waktu yang akan datang. Islam tidak membenarkan perilaku semacam itu. Rasulullah Saw. pernah menasihati Abu Dzar, “Jauhilah olehmu taswif (anggapan bahwa waktu itu banyak). Engkau hidup pada harimu yang sekarang dan engkau bukan hidup pada zaman sesudah itu. Andaikan ada zaman nanti, seperti yang engkau alami, engkau tidak akan menyesal dengan apa yang engkau hilangkan pada hari in,” (Biharul Anwar, 77: 75). Dalam hadits lain, Rasulullah Saw. bersabda pula, “Bagi orang Mukmin, tidak henti-hentinya kesibukan datang kepadanya sampai maut menjemputnya.” Sedangkan dalam Al-Quran, Allah Swt. berfirman, “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengansungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap,” (QS. Alam Nasyrah : 7-8). Pandangan Islam tentang Waktu Islam memandang waktu sebagai karunia Allah untuk diisi dengan amal saleh. Allah Swt. berfirman, “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun,” (QS. Al-Mulk :2). Kalau orang Barat memandang waktu sebagai uang dan penambahan waktu harus dikorelasikan dengan penambahan uang, maka Islam menganggap bahwa waktu harus dihubungkan dengan amal saleh. Waktu yang kita miliki di dunia ini harus berkorelasi dengan amal saleh yang kita lakukan di dunia. Artinya, semakin banyak waktu kita hidup, harusnya semakin banyak pula amal saleh yang kita lakukan. Sebab, Allah Swt. menjadikan hidup dan mati itu untuk amal saleh. Oleh karena itu, dalam Islam, orang diukur bukan dari segi lamanya hidup di dunia, akan tetapi dari amal saleh yang dilakukannya. Allah Swt. berfirman, “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu, serta lebih baik untuk menjadi harapan,” (QS. Al-Kahfi : 46). Islam tidak mengukur derajat seseorang dari lamanya waktu yang ia peroleh selama hidup, akan tetapi dari banyaknya waktu yang ia pergunakan untuk beramal saleh. Allah Swt. berfirman, “Dan setiap orang memperoleh derajat yang seimbang dengan apa yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan,” (QS. Al-An’am : 132). JR wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Diam itu DosaJanuary 9, 2025Ketika Mar’ie Muhammad mengucapkan kata perpisahan, ia meminta maaf, seperti biasa. Tetapi kali ini, Mar’ie menambah ungkapan klise. Selain meminta maaf atas ucapan, tindakan, gerak-geriknya selama menjadi menteri, ia juga meminta maaf atas tutup mulutnya (sambil meletakkan ibu jari di mulutnya). Ia mohon maaf bukan saja untuk apa yang ia ucapkan, tetapi juga apa yang ia bungkamkan.   Ajaib. Anda bisa berdosa karena ucapan Anda. Tetapi apakah Anda berdosa karena diam, bungkam, atau tidak bicara? Bukankah diam itu emas? Bukankah diam berarti pengendalian diri? Selama ini kita diajari untuk diam dan memandang diam sebagai amal saleh yang utama. Kita mungkin merujuk kepada al-Ghazali yang menyebut keburukan bicara dan keutamaan diam. Diam adalah tanda orang yang memperoleh hikmat.   Tiba-tiba Mar’ie mengingatkan kita ada diam yang dosa dan, untuk itu, kita harus minta maaf. Yang mohon maaf karena diam itu adalah orang yang mengisi saat-saat terakhir jabatannya dengan kesibukan memberi keterangan. Rupanya, banyak yang ia katakan; tetapi lebih banyak lagi yang ia diamkan. Dan Mr. Clean minta maaf untuk keduanya. Sebagaimana tidak semua berbicara berdosa, tidak semua diam berpahala. Tidak semua diam emas. Ada juga diam yang sampah dan menyembunyikan kebusukan. Untuk sementara, kita dapat menyebut empat diam yang dosa.   Pertama, Anda diam ketika kemungkaran dilakukan terang-terangan di depan Anda. Nabi saw. menyebut salah satu yang dilaknat Allah adalah suami yang diam melihat istrinya berbuat maksiat. (Maksud Nabi saw. tentu saja meliputi juga istri yang diam melihat suaminya berbuat dosa). Al-quran menyebut laknat yang ditimpakan kepada Bani Israil melalui lidah Dâwûd dan ‘Iså a.s. karena mereka diam melakukan kemungkaran di antara mereka: Mereka satu sama lain tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat (QS 5:78-79). Salah satu kemungkaran yang dibiarkan Bani Israil waktu itu adalah kezaliman dan penindasan. ‘Ali bin Abi Thalib menegaskan, kezaliman tak pernah berlangsung tanpa kerja sama antara yang menzalimi dan yang dizalimi. Dengan diam, orang yang tertindas mendukung pelestarian penindasan. Diamnya seluruh bangsa atas penindasan penguasa adalah tonggak utama kezaliman. ‘Ali bin Husayn, cucu ‘Ali, berdoa, “Tuhanku, ampuni aku bila di sampingku ada orang yang dizalimi dan aku diam.” Diam di sini dapat berarti izin, seperti diamnya seorang perempuan ketika dipinang, atau diamnya aparat hukum ketika seorang yang berkuasa melakukan pelanggaran. Mengizinkan kezaliman sama besar dosanya dengan melakukan kezaliman itu sendiri.   Kedua, diam itu dosa jika berkenaan dengan informasi yang diperlukan masyarakat. Rasulullah saw. berkata, “Jika seorang ‘alim (pemilik informasi) ditanya, lalu ia (diam) menyembunyikan informasinya itu, ia akan dibelenggu dengan belenggu api neraka.” Berdosalah seorang berilmu yang diam, tidak mengajarkan ilmunya; seorang yang tahu jalan yang tidak mau memberikan petunjuk; seorang yang melihat kebusukan dan tidak melaporkannya. Pada tahun ’80-an, Challenger, pesawat ruang angkasa AS, meledak pada saat peluncuran dan membunuh semua krunya. Penyebabnya diduga karena salah satu bagian pesawat, Oring, meleleh dalam temperatur tertentu. Para insinyur sudah lama mengetahuinya, tetapi mereka tidak melaporkannya karena takut dikecam oleh pimpinannya. Mereka tutup mulut. Diam mereka itu dosa. Diamnya menyelamatkan mereka tetapi mencelakakan orang banyak. Ketika para ulama, cendekiawan, dan orang-orang pintar diam melihat kerusakan Titanic negeri ini demi kepentingan sesaat, mereka ikut bertanggung jawab jika kapal ini tenggelam.   Ketiga, diam yang dosa adalah tidak mau berbicara selama tidak berkaitan dengan keuntungan dirinya. “Tahukah kalian,” kata Jalaluddin Rûmî kepada para pengikutnya, “mengapa Al-quran menyebut:… Sesungguhnya suara yang paling buruk adalah suara keledai?” (QS 31:19). Dahulu, ketika semua makhluk diciptakan, mereka diberi kemampuan mengeluarkan suara. Ketika suara mereka keluar pertama kalinya, semua makhluk memuji dan mengagungkan Tuhan, kecuali keledai. Keledai hanya mau bersuara, jika lapar atau ingin memuaskan nafsunya.” Banyak orang seperti keledai. Dunia boleh bergejolak: hutan terbakar, kemarau panjang, banyak orang kelaparan. Mereka diam. Masyarakat boleh resah: jutaan orang kehilangan pekerjaan karena krisis moneter, jutaan bayi mati karena krisis menetek. Mereka diam. Begitu mereka dihadapkan pada persoalan gaji dan tunjangan mereka sendiri, mereka angkat bicara. Segera setelah tuntutan kenaikan gaji mereka dipenuhi, mereka sunyi kembali. Ada juga orang yang bersuara keras, vokal, dan kritis. Di mana-mana ia menjadi singa mimbar. Ia dikenal sebagai pengikut garis keras. Tiba-tiba suaranya hilang. Rupanya ia kini sudah menduduki jabatan yang basah di tengah-tengah orang yang dahulu dikecamnya. Rupanya, suara kerasnya itu hanya suara keledai. Suara yang keluar karena lapar.   Keempat, diam itu dosa, ketika Anda tidak mengakui kesalahan yang Anda lakukan. Anda melakukan kesalahan yang amat-amat merugikan masyarakat. Orang banyak meminta pertanggungjawaban Anda. Anda diam. Anda menjadi lautan yang isinya tidak terlihat. Anda menjadi patung yang kaku, tanpa ekspresi. Begitu Anda menemukan kambing hitam, Anda berteriak dengan suara yang mengalahkan halilintar.   Kita tidak tahu mengapa Mar’ie minta maaf untuk tutup mulutnya. Apakah karena ia pernah diam menyaksikan kezaliman, atau karena informasi yang tidak berani ia sampaikan? Tetapi saya yakin, Mar’ie tidak diam karena sudah dipenuhi kebutuhan makannya. Suara Mari’e bukan suara keledai. Juga, Mar’ie tidak diam karena menyembunyikan kesalahannya. Ia terkenal sebagai orang yang bersih. Kita pasti memaafkan Mar’ie atas diamnya. Kita maklum. Terima kasih, Pak Mar’ie. Semoga Tuhan selalu memberkatimu. JR Wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb.   Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Misteri Umur ManusiaJanuary 7, 2025Beberapa waktu lalu kita dikejutkan dengan syahidnya Sayyid Baqir Hakim. Saya mendapat kehormatan sempat berjumpa dengan beliau dalam sebuah konferensi di Teheran. Malah, beliau menghadiahi saya sebuah buku yang ditulisnya sendiri. Buku itu beliau tandatangani sendiri. Sebetulnya saya senang memelihara peninggalan-peninggalan dari orang-orang saleh, tetapi karena kecerobohan saya, buku itu hilang entah ke mana. Padahal dalam tulisan tangan seseorang, ada bagian dari dirinya. Begitu pula tulisan tangan Sayyid Baqir Hakim, tentu penuh berkah. Dahulu saya juga pernah berjumpa dengan seorang ulama besar yang juga masih kerabat Al-Hakim di London. Saya diberi sejumlah buku untuk anak. Begitu saya pulang ke Indonesia, saya mendengar dari surat kabar bahwa ulama yang memberi saya buku itu ditembak di Sudan. Dia syahid. Buku itu juga ̶ sayangnya ̶ tidak saya pelihara. Jadi sebetulnya di dalam tulisan seseorang syahid, ada bagian dari dirinya yang berada berserta kita. Ini agak misterius, karena dalam peninggalan-peninggalan orang saleh di sana masih saja mengalir berkahnya. Sekiranya Anda membeli buku saya, Psikologi Agama, dan saya tanda tangani, di situ ada bagian dari diri saya. Pemikiran yang ada dalam buku itu jelas bagian besar dari ruh saya dan tanda tangan itu bagian dari dari tubuh saya. Berbicara tentang kesyahidan atau kematian dan juga berhubungan dengan kelahiran atau milad, saya akan membicarakan masalah umur manusia. Saya akan mulai dengan kata “umur” di dalam Al-Quran. Allah Swt. pernah bersumpah dengan umur Rasulullah Saw. Di dalam Al-Quran, seperti kita ketahui, Allah Swt. seringkali bersumpah dengan ciptaan-Nya yang menakjubkan. Allah bersumpah dengan matahari, bintang, bulan, malam, dan sebagainya. Misalnya pada ayat, “Wa syamsi wa dhuhaha wal qamari idza talâha,” Demi matahari, demi waktu dhuha-nya, demi bulan ketika mengikutinya, (QS. Asyyams : 1-2). Allah bersumpah dengan bintang yang mengintip di malam hari, Allah bersumpah dengan langit, dengan bintang gemintang yang menyelinap pada malam hari, (QS. At-Thâriq : 1-3). Mengapa Allah Bersumpah dengan Alam? Mengapa bintang, matahari, dan bulan dijadikan sumpah? Karena makhluk-makhluk ciptaan Allah itu termasuk hal-hal yang menakjubkan, yang bisa membawa kita menuju dunia ruhaniah yang akan mendekatkan kita kepada Allah Swt. Kalau Anda membaca buku Psikologi Agama (tanpa bermaksud mengiklankannya), pada bagian yang kedua, kita berbicara tentang hubungan neurologis antara otak dengan pengalaman ruhaniah. Sekarang para ilmuwan telah menemukan bahwa pada salah satu bagian otak kita, ada satu daerah yang kalau kita periksa melalui alat pemeriksa otak, bagian tertentu itu misalnya diukur ketika seseorang sedang shalat dengan sangat khusyuk ̶ berkedip-kedip. Begitu pula ketika kita merasa bersatu dengan alam semesta. Jadi, dalam keadaan khusyuk atau dalam keadaan tenang yang luar biasa, ada bagian otak kita yang berkedip-kedip seperti tampak dalam alat scanning otak. Ada seorang peneliti otak berada di sebuah kapal pesiar pada malam hari, dan menyaksikan bintang dan gelombang di lautan. Lalu angin yang bertiup di tengah samudera menerpa mukanya. Ia kemudian merasakan ketenangan yang luar biasa. Sepertinya, ia dibawa ke hadapan kebesaran Allah Swt. Sejak itulah ia tertarik untuk meneliti hubungan antara neurologi dengan kepercayaan kepada Tuhan. Ada buku yang sangat bagus terbitan tahun 2003, judulnya Neurotheology, ditulis Andrew Newberg yang membahas hubungan antara saraf otak kita dengan kepercayaan kepada Allah Swt. Karena itu, di dalam Al-Quran, Allah sering bersumpah dengan makhluk-makhluk yang menakjubkan yang membawa kita dekat kepada-Nya. Di antara salah satu sunnah tahajud ̶ yang jarang kita lakukan ̶ adalah setelah selesai menunaikannya, kita dianjurkan untuk keluar menyaksikan langit. Termasuk sunnah tahajud juga ialah melakukannya di atas rumah yang menghadap langsung ke langit. Itu sebetulnya termasuk hal yang dianjurkan dalam shalat malam. Di atas rumah yang terus menghadap ke langit, setelah melakukan shalat malam, kita memandang benda-benda langit kemudian mengucapkan: “rabbanâ må khalaqta hâdza bathilan subhanaka faqinâ ‘adzâbannâr,” (QS. Ali Imran : 191). Seperti itulah sunnah shalat tahajud yang diajarkan langsung oleh Al-Quran. Kalau setelah shalat malam kita berdiri menghadap langit, memandang kerlap kerlip bintang, kita akan dibawa lebih dekat kepada Allah Swt. Kita mengaktifkan God spot dalam otak kita. God Spot itu, kata d’Aquili, salah seorang ahli neurologi, sebenarnya tidak menunjukkan bahwa Tuhan ada di situ, tetapi bahwa Allah menganugerahkan kepada kita kemampuan untuk merasakan kehadian Allah Swt. di dalam otak kita. Sebagaimana Allah memberi kita mata untuk melihat alam semesta ini; Allah memberikan kepada kita hidung untuk mencium wangi-wangian; kita juga diberi Allah salah satu bagian dari otak kita untuk berhubungan dengan dan untuk merasakan kehadiran Allah Swt. Itu yang sekarang ditemukan oleh para ilmuwan. Itu bukan berarti ilusi atau salah lihat karena gangguan otak. Kalau misalnya para ilmuwan tiba-tiba menemukan dalam diri manusia itu ada organ yang namanya mata. Yang dengan mata itu manusia bisa melihat benda-benda, tentu, ilmuwan lain tidak boleh mengatakan bahwa itu khayalan saja. Seperti itu juga kalau sekarang orang menemukan God spot di dalam otak dan penemuan itu membawanya pada keimanan kepada Allah Swt., kita dapat mengatakan bahwa itu salah satu di antara argumentasi tentang eksistensi Dzat Yang Mahatinggi. Newberg, d’Aquili, dan Rause menyimpulkan penelitian otak tentang God spot dengan berkata, “Tidak ada sedikit pun keraguan bahwa keadan transenden yang menjadi asal mula agama dapat dibuktikan secara neurologis. Ilmu tentang otak dapat meramalkan peristiwa pengalaman transendensi itu. Penelitian kami yang menggunakan kamera SPECT (single photon emission computed tomography) dan lain-lain telah berhasil menangkap peristiwa itu dalam film,” (Why God Won’t Go Away). Saya pernah berdebat dengan seorang Indonesia yang sudah lama tinggal di Australia dan ia tidak percaya kepada Tuhan, mungkin karena ia sudah modern. Lalu ia berdebat dengan saya. Saya tanya mengapa ia tidak percaya kepada Tuhan? Ia menjawab, “Karena saya tidak bisa melihatnya. Saya tidak bisa menciumnya.” Hal ini mengingatkan saya kepada para mahasiswa Marxis di universitas-universitas di Jerman. Mereka sering berteriak-teriak di kampus itu dengan berkata, “Wir kampfen zusammen gegen die Kapitalismus.” Kalau kita tanya, “Apakah Anda percaya kepada Tuhan?” Mereka menjawabnya, “Aku hanya percaya apa yang aku lihat.” Ich glaube was ich sehe. Terhadap orang seperti itu, kita hanya bisa berkata, “Pernahkah Anda menyaksikan menara kembar di New York yang ditabrak pesawat pada tanggal 11 September?” Mungkin dia akan menjawab, “Saya lihat di televisi.” Kemudian kita bisa katakan, “Yang di televisi itu kan sebetulnya bukan menara kembar yang Anda lihat, itu hanya gambarannya saja.” Dia mungkin akan mengatakan, “Tapi saya sudah mendengar bahwa banyak orang yang sudah melihat menara kembar itu.” Kita pun bisa mengatakan, “Banyak lagi orang yang sudah melihat Tuhan sepanjang sejarah, bahkan lebih banyak dari orang yang sudah melihat menara kembar di New York. Ada milyaran orang di dunia yang percaya bahwa Tuhan itu ada dan mereka merasakan kehadirannya.” Biasanya, argumentasi semacam ini akan mematahkan kesombongan dia tentang ateismenya. Tetapi belakangan, dengan penelitian-penelitian neurologis, kita mengetahui bahwa di dalam otak kita ada satu bagian, secara lebih teknis, ada neural pathways yang dapat membawa kita mengalami pengalaman-pengalaman ruhaniah. Jalur-jalur saraf tersebut harus senantiasa kita aktifkan. Salah satu cara untuk mengaktifkannya adalah dengan melihat dan menafakuri ciptaan Allah yang menakjubkan di alam semesta ini. Di antara ciptaan Allah yang menakjubkan, yang dijadikan Allah dalam sumpahnya adalah usia Rasulullah Saw. Dalam Surah Al Hijr ayat 72, Allah Swt. berfirman, “Demi umurmu (Muhammad), sesungguhnya mereka terombang-ambing di dalam kemabukan (kesesatan),” Mengapa Usia Rasulullah Saw. Menakjubkan? Pertama, usia Rasulullah Saw. adalah usia yang pendek, hanya 63 tahun. Akan tetapi, dalam usia yang singkat tersebut beliau dapat mengubah dan mengguncangkan dunia. Sepeninggal Nabi Saw., umat Islam, dalam kurun waktu yang tidak lebih dariusia beliau mampu menaklukkan lebih dari setengah dunia. Napoleon Bonaparte berkata, “Luar biasa umat Muhammad ini, dalam waktu setengah abad mereka mampu menaklukkan setengah dunia.” Itulah alasan pertama mengapa Allah Swt. bersumpah dengan usia Rasulullah Saw. Kedua, usia Rasulullah Saw. yang singkat itu tidak henti-hentinya diisi dengan aneka macam kebaikan atau amal saleh. Sampai beliau bersabda, “Kalau aku tertidur, mataku tertutup, tetapi hatiku tidak.” Artinya, dalam tidur pun, Rasulullah Saw. tidak henti-hentinya berzikir kepada Allah Swt. Inilah orang yang setiap tarikan napasnya dan setiap gumam bibirnya menggetarkan nama-nama Al-Khaliq. Kita juga tahu bahwa pada usia “produktif” Rasulullah Saw., sampai usia 50 tahun, beliau hanya memiliki seorang istri saja. Baru setelah melewati usia 50 tahun, setelah Khadijah meninggal, sebagaimana kita ketahui dari berbagai riwayat, menikah lagi dengan istri-istri yang lain. Menurut Al-Quran juga, usia Rasulullah itu lebih banyak dipenuhi dengan penderitaan. Kalau dihitung dengan usia manusia, ketika beliau menjadi pemimpin negara, para sahabatnya sendiri tidak henti-hentinya menyakiti hati Nabi Saw. Ketika beliau berada dalam keadaan lemah, orang-orang yang memusuhinya dengan semena-mena menyakiti hati dan fisiknya. Be gitu pula setelah beliau memiliki sahabat yang banyak, ada se- bagian sahabat yang tidak henti-hentinya menyakiti hati Nabi Saw. sebagaimana digambarkan dalam Surah At-Taubah. Ketika itu, beberapa orang sahabat membicarakan Nabi Saw. di belakang, hingga turun wahyu yang menegur kelakuan para sahabat itu. Ketika saya mendiskusikan buku Psikologi Agama, yang bertepatan dengan milad saya, saya agak heran ketika ada salah seorang ibu yang mengucapkan selamat ulang tahun kepada saya dengan doa. Doanya sih tidak seperti biasa, misalnya, “Semoga panjang umur, penuh berkah…,” tetapi ia mengatakan, “Saya doakan semoga Pak Jalal tetap bisa bersabar.” Doa ini mengingatkan kita akan penderitaan. Kehidupan Rasulullah Saw. adalah kehidupan yang di penuhi penderitaan sampai Allah Swt. menganjurkan kepada Nabi untuk bersabar. “Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul (Ulul Azmi) telah bersabar…” (QS. Al-Ahqaf : 35). Rasulullah Saw. sendiri adalah bagian dari para Nabi Ulul Azmi. Karena itulah, usia Nabi Saw. yang pendek itu dipenuhi dengan penderitaan dan beliau mampu bersabar menerima penderitaan itu dengan kesabaran Ulul Azmi di antara para Rasul. Itulah sebabnya Allah Swt. bersumpah dengan usia Nabi Saw. Kata umur-dalam kata umur-nya saja-dalam Al-Quran disebut empat kali. Kata umur itu berasal dari kata “amara” yang artinya memakmurkan, meramaikan, atau mengisi sesuatu. Kata makmur dalam bahasa Indonesia itu juga berasal dari kata ‘amara. Jadi, Allah Swt. pernah bersumpah dengan umur Rasulullah Saw. Dalam Surah An-Nahl ayat 70, Allah mengingatkan kita akan suatu masa dalam hidup lingkup usia ketika manusia dikembalikan kepada usia yang serendah-rendahnya, seperti dikembalikan pada usia kanak-kanak. “Allah menciptakan kamu, kemudian mewafatkan kamu; dan di antara kamu ada yang dikembalikan kepada umur yang paling lemah (pikun), supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang pernah diketahuinya. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui lagi Mahakuasa.” Mestinya, ayat ini dibacakan pada setiap peringatan ulang tahun. Tetapi anehnya, orang selalu berdoa agar dipanjangkan usianya. Bagaimana kalau nanti dipanjangkan illa ardzalil umur, kepada umur yang paling rendah. Dijadikannya ia seperti kanak-kanak lagi, tidak tahu atau lupa akan segala hal yang pernah diketahuinya. Saya teringat pada salah seorang ilmuwan Indonesia yang jatuh sakit, dan ia kehilangan sebagian besar memorinya. Sekarang kalau ketemu saya ia menangis karena sudah banyak ayat-ayat Al-Quran yang sudah ia hapal, hilang begitu saja. Apalagi ilmu-ilmu lainnya. bukan saja kehilangan memorinya, kalau orang sudah sangat tua, seluruh ingatannya sering bercampur. Artinya, masa lalu dengan masa sekarang hadir bersamaan. Dulu di rumah pernah tinggal bibi saya yang sangat tua. Kami pelihara baik-baik karena saya mau melatih istri saya berkhidmat dengan pengkhidmatan yang tulus kepada siapa pun. Berkhidmat kepada orangtua seperi bibi saya itu adalah pengkhidmatan yang sangat tulus, betul-betul pengkhidmatan yang tidak bersyarat. Karena berkhidmat kepada orangtua seperti itu sama dengan berkhidmat kepada anak kecil. Hampir tidak ada manfaatnya. Kerjanya hanya mengganggu dan membebani. Bagi saya hadirnya beliau menjadi sarana latihan untuk berkhidmat, selain sebagai subjek eksperimen, untuk mengetahui bagaimana manusia bisa kehilangan ingatannya, bisa bercampur antara masa lalunya dengan masa sekarang yang ia alami. Misalnya, dia tiba-tiba melaporkan, bahwa tadi suaminya datang ke rumah, lalu ngobrol bersamanya. Kadang-kadang ia menceritakan bahwa barusan ada tentara Belanda yang datang ke situ. Dalam memorinya tersimpan peristiwa dengan orang-orang Belanda. Error memorinya sudah sangat luar biasa, karena antara satu file dengan file lainnya sudah bercampur baur. Tanpa digabungkan, file itu sudah saling bertumpang tindih. Intinya, ia sudah tidak mengetahui apa pun. Akan tetapi, ada orang yang sampai akhir hayatnya di- selamatkan Allah dari ardzalil umur, dan itulah umur yang sangat menakjubkan. Di antara umur yang sangat menakjubkan adalah umurnya Rasulullah Saw. Karena itu, ada satu doa yang sering diajarkan para imam, yaitu, “Ya Allah, jadikanlah rezekiku yang paling luas pada akhir hayatku.” Maksud rezeki di sini bisa ilmu dan juga bisa harta. Di dalam Islam ilmu juga dikatakan sebagai rezeki. Memahami ilmu itu disebut rezeki. “Warzuqni fahman”. Saya pun memohon kepada Allah Swt. di antara doa-doa saya yang luas dan Allah berikan keluasan itu pada akhir usia saya. Banyak orang yang pada usia tuanya menghasilkan karya-karya besar (masterpiece). Mereka dikenal justru pada masa tuanya. Imam Khomeini misalnya, pada usia 90 tahun beliau masih sangat produktif dan mampu memimpin sebuah revolusi besar. Kualitas otaknya masih sangat jernih, bahkan lebih jernih dibandingkan orang yang usianya belasan tahun. Ayat kedua dalam Al-Quran yang berbicara tentang umur terdapat dalam Surah Al-Anbiya’ ayat 44. Allah Swt. berfirman, “Sebenarnya, Kami telah memberi mereka dan bapak-bapak mereka kenikmatan (hidup di dunia) hingga panjanglah umur mereka. Maka apakah mereka tidak melihat bahawasanya Kami mendatangi negeri (orang kafir), lalu Kami kurangi luasnya dari segala penjurunya. Maka apakah mereka yang menang?” Allah Swt. mengungkapkan tentang orang-orang yang ditangguhkan ajalnya di dunia ini. Usianya dipanjangkan agar ketika ia kembali kepada Allah, ia hanya membawa tumpukan dosa dan kemaksiatan yang terus menerus ia lakukan. Allah tangguhkan ajal mereka sehingga usia mereka panjang. Jadi, orang-orang yang dikaruniai umur yang panjang, jangan dulu berbangga diri. Boleh jadi, panjangnya usia adalah penangguhan dari Allah Swt. Dia benci jika harus menerimanya terlalu cepat. Allah bercerita tentang orang-orang yang dipanjangkan usianya, tetapi perpanjangan usia itu digunakan untuk berfoya-foya, untuk tenggelam dalam kenikmatan duniawi. Sebagai salah satu contoh bahwa orang-orang kafir itu dikutuk dalam Al-Quran. Mereka itu biasanya menolak kebenaran. Semakin panjang usianya, semakin keras hatinya, dan semakin berkepala batu untuk menerima cahaya kebenaran. Orang seperti itu biasanya dipanjangkan usianya. Dalam Surah Al-Qashash ayat 45, Allah Swt. mengungkapkan kisah generasi-generasi sebelumnya yang dipanjangkan usianya, dan Allah memberikan tangguh kepada mereka yang melakukan kemaksiatan. Masih tentang umur Rasulullah Saw. Dalam Surah Yunus ayat 16, di situ direkam percakapan antara Rasulullah Saw. sebagai argumentasi terhadap orang-orang kafir yang tidak memercayai ajaran beliau. Rasulullah berkata kepada orang-orang kafir itu- yang ketika mendengar ayat-ayat Al-Quran mereka berpaling dan tidak memercayai Nabi Saw., “Sesungguhnya, aku telah tinggal bersamamu beberapa lama sebelumnya. Maka apakah kamu tidak memikirkannya?” Maksudnya, Rasulullah telah tinggal bersama mereka, menghabiskan umurnya bersama mereka, dan mereka pun menyaksikan setiap gerak-gerik, akhlak, dan karakteristik Rasulullah Saw., tetapi mereka tetap tidak memercayai beliau. Memang, ada banyak orang seperti itu. Ajaibnya, mereka bisa bergaul dengan seseorang selama puluhan tahun, tapi tiba-tiba tidak percaya kepada orang yang sangat dikenalnya itu, dan lebih percaya kepada orang yang baru bergaul setahun atau be- berapa bulan saja. Karena itu, di dalam argumentasinya beliau mengajak orang-orang semacam itu untuk berpikir normal. Kemudian, ayat terakhir yang berbicara tentang umur adalah Surah Al-Fathir ayat 11. Allah Swt. berfirman, “Dan Allah menciptakan kamu dari tanah kemudian dari air mani, kemudian Dia menjadikan kamu berpasangan (laki-laki dan perempuan). Dan tidak ada seorang perempuan pun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya. Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauhul Mahfudz). Sesungguhnya, yang demikian itu bagi Allah adalah mudah.” Hadits-Hadits tentang Umur Dari ayat-ayat tentang umur, saya ingin masuk kepada beberapa hadits tentang usia dari Nabi Saw. Beliau bersabda, “Jadikanlah kamu ini orang yang sangat bakhil dengan umur kamu ini, lebih bakhil dari dirham dan uang kamu, dan dinar kamu,” (Biharul Anwar, 77:76). Maksud Nabi, berhematlah dengan waktu kita ini, jangan sampai ia dihambur-hamburkan untuk sesuatu yang tidak bermanfaat. Seperti halnya kita punya uang, jangan dihamburkan begitu saja. Lebih baik dihemat dan dipakai untuk hal yang benar-benar bermanfaat saja. Maka, kamu pun harus lebih hemat dengan usia kamu, sabda Rasulullah, ketimbang dengan dirham atau dinar kamu. Jadi, kalau kita memiliki waktu, hemat dan hitung-htiunganlah dengan waktu itu. Kalau sekiranya ada kegiatan yang tidak bermanfaat, tinggalkan saja. Kita harus lebih menyesali kehilangan umur daripada kehilangan uang. Rasulullah Saw. pun bersabda, “Barangsiapa yang berbuat baik pada sisa umurnya, ia tidak akan disiksa dengan dosa-dosanya yang lalu.” Kita masih punya umur ̶ dan ini sisanya ̶ isilah dengan kebaikan agar Allah menghapuskan dosa-dosa yang telah kita lakukan pada waktu dulu. Hadits selanjutnya, “Akan tetapi, barangsiapa yang mengisi sisa umurnya itu dengan berbuat buruk, ia akan disiksa Allah dengan dosanya yang telah lalu dan dosanya yang kemudian,” (Biharul Anwar, 77: 113). Hadits berikutnya, “Barangsiapa yang usianya melampaui 40 tahun, tetapi kebaikannya tidak lebih banyak dari keburukannya, hendaklah ia bersiap-siap untuk memasuki neraka,” (Miskâtul Anwar 169). Hadits Nabi Saw. berkenaan dengan orang yang ingin dipanjangkan usianya, yang ingin panjang umur. Sekiranya ada orang yang ingin panjang umur, kata Rasulullah Saw., “Perbanyaklah oleh kamu bersuci, nanti Allah panjangkan usia kamu,” (Biharul Anwar, 64: 396). Maksudnya, kalau kita rajin memelihara wudhu, setiap kali masuk ke jamban (kamar mandi), lalu keluar dalam keadaan punya wudhu, atau kita senantiasa bersuci walaupun tidak shalat, sehingga bersuci menjadi kebiasaan, Allah Swt. akan memanjangkan umur kita. Makna memanjangkan atau menambah jatah usia yang dimaksud adalah menambah usia yang tidak illa ardzalil umur. Menambah usia maksudnya menambah usia yang produktif seperti halnya Imam Khomeini. Jadi, kalau kita ingin panjang umur dengan diisi amal saleh, maka perbanyaklah bersuci. Hadits berikutnya, “Barangsiapa yang ingin dipanjangkan usianya dan diluaskan rezekinya, siapa yang ingin berbahagia karena dibanyakkan rezekinya dan dipanjangkan usianya, hendaklah ia sering menyambungkan persaudaraan,” (Biharul Anwar, 74: 89). Memelihara persaudaraan itu disebutkan dalam kitab-kitab. Yang dimaksud dengan silaturahmi itu bukan hanya ngumpul-ngumpul dalam arisan. Di radio ada seorang bapak sambil menangis bercerita, “Karena kesibukan, saya tidak bisa lagi bersilaturahmi, saya tidak bisa lagi arisan dengan keluarga saya.” Lalu, saya bilang bahwa yang namanya silaturahmi itu bukan arisan, yang dimaksud dengan silaturahmi itu adalah, misalnya, saling membantu. Bagi saya, buat apa arisan setiap waktu, tapi dalam setiap arisan itu kita malah memutuskan silaturahmi, yaitu dengan mempergunjingkan orang lain, menyebarkan gosip. Itu bukan kegiatan silaturahmi, tetapi kegiatan memutuskan silaturahmi. Bahkan, lebih baik kita tidak bertatap muka tetapi kirimannya senantiasa datang setiap bulan. Itulah silaturahmi yang sebenarnya. Itulah yang akan memanjangkan usia Anda. Jadi, silaturahmi yang akan memanjangkan umur adalah silaturahmi yang dilakukan dengan berbuat ihsan, dengan berbuat baik, dengan berkhidmat kepada sesama manusia. Ciri kedua adalah silaturahmi yang bertujuan untuk memelihara hubungan cinta di antara kita, yaitu dengan berusaha menyembunyikan aib saudara kita, menyembunyikan kekurangannya, dan menyebarkan kebaikannya sebagaimana akhlak Allah Swt. Mafhum mukhalafah dari hadits-hadits ini adalah dan disebutkan juga oleh Imam Ali, “Kalau kamu ingin disempitkan rezeki dan dipendekkan usia, maka sering-seringlah kamu memutuskan silaturahmi.” Yaitu, sebagaimana disebutkan tadi, menggunjingkan orang lain, memfitnah, menyebarkan gosip, dan hal-hal buruk lainnya. Semua perbuatan itu, insya Allah, dapat memperpendek usia. Dalam hadits Nabi Saw. lainnya, disebutkan pula bahwa kalau kita suka menggunjingkan, menjelekkan, dan menyebarkan aib orang lain, maka setiap amal saleh yang pernah kita lakukan akan dipindahkan kepada orang yang kita gunjingkan tersebut. Dosa orang yang kita gunjingkan akan dipindahkan kepada kita. Sebagai yang terakhir adalah ucapan Imam Ali, “Man ahabbal baqa falyu’idda lil mashaib qalban shabûrên. Siapa yang ingin hidup lama, hendaklah ia siapkan untuk menghadapi musibah-hati yang penuh kesabaran.” JR wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Reuni Keluarga Di SurgaJanuary 6, 2025Pada bagian akhir surat Ar-Ra’du ayat 23, Allah Swt menceritakan hamba-hambanya yang beruntung pada hari kiamat nanti karena mereka diberi anugerah untuk masuk surga beserta orang tua, istri, keluarga, dan keturunannya. Al-Quran melukiskannya dengan indah ketika mereka datang dengan rombongan keluarganya menuju surga. Para malaikat memberikan sambutan khusus pada mereka seraya mengucapkan “Salamun ‘alaikum bima shabartum fani’ma ‘uqbad dar.” Selamatlah bagi kalian semua lantaran  kalian bersabar dahulu. Inilah tempat kembali yang paling indah bagi kalian.” (Qs. Ar Ra’du: 24). Mereka masuk surga bersama-sama seluruh keluarganya, seperti melakukan suatu “Reuni” pada hari akhirat. Reuni yang mereka adakan melintasi ruang dan waktu. Reuni yang sering kita adakan di dunia adalah reuni yang dibatasi oleh ruang dan waktu. Kita hanya dapat berkumpul dan bersilaturahim dengan orang-orang yang berada dalam satu tempat yang tidak berjauhan dan dalam satu zaman dengan kita. Kita tidak pernah bisa mengadakan silaturahim dengan orang tua kita yang sudah meninggal dunia atau keturunan kita yang belum lahir. Tetapi nanti pada hari akhirat, ada orang yang bisa melakukan reuni kembali dengan seluruh keluarganya, baik dengan yang sebelum maupun  dengan yang sesudah mereka. Al-Quran menyebutkan, “aba-ihim wa azwajihim wa dzurriyyatihim.” Generasi terdahulu, generasi yang sezaman, dan generasi kemudian.” (Qs. Ar-Ra’du:23). Siapa gerangan orang yang beruntung bisa mengadakan silaturahim pada hari akhirat beserta seluruh keluarganya? Dalam surat Ar-Ra’du disebutkan  bahwa salah satu tanda orang yang beruntung nanti di hari akhirat ialah orang yang di dunianya senang menyambungkan silaturahim. “Walladzina yashilu na ma amarallahu bihi an yu shala.” Dan orang-orang yang menghubungkan  apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan.”  (QS.Ar Ra’du:21). Karena di dunia mereka senang menghubungkan tali kekeluargaan dan Allah sambungkan tali kekeluargaan mereka nanti pada hari akhir. Dalam sebuah hadits Qudsi Allah berfirman, “Akulah Yang Maha Pengasih, Akulah yang menciptakan tali kekeluargaan dan Aku berikan nama kepada kekeluargaan dengan nama-Ku sendiri.” Allah berfirman, “Barangsiapa yang memutuskan hubugan-Ku dengan dia. Dan barang siapa yang menyambungkan tali kekeluargaan, Aku pun akan mengokohkan tali kekeluargaan nanti.” Itulah salah satu akhlak orang yang beruntung dapat dipertemukan kembali dengan keluarga pada hari akhirat nanti. Orang ini pun melakukan silaturahim bukan di sembarang tempat, melainkan di tempat yang paling baik. Fani’ma ‘uqbad dar. Tempat yang paling baik itu adalah surga ‘Adn. Yang menyebabkan mereka dapat berkumpul kembali adalah karena mereka senang menyambungkan tali kekeluargaan. Lalu dengan siapa saja kita seharusnya menyambungkan tali silaturahim itu? Menurut Al-Quran, kita harus bersilaturahim dengan Al-Qurba, keluarga yang dekat. Keluarga yang dihubungkan dengan kita melalui pertalian rahim. Dalam bahasa Arab, rahim berarti Womb (bahasa Inggris yang berarti organ wanita yang menyimpan kita sebelum kita lahir). Karena itu, keluarga di sebut Ar-Rahim dan bentuk jamaknya Al-Arham. Sebuah keluarga dipertalikan lewat hubungan darah dan melalui rahim yang sama. Al-Quran menyebutkan bahwa silaturahim  merupakan perintah kedua setelah perintah taqwa. “Wattaqulla hal ladzi na tasa alu na bihi wal arham.” Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, yang dengan nama-Nya kamu saling memohon dan peliharalah silaturahim.” (QS.An-Nisa’: 1) Di dalam ayat yang sering kita dengar, Allah berfirman, “ Innamal mu’minu na ikhwatun, fa ash lihu baina akhwaikum wat taqullah. Sesungguhnya orang mukmin itu bersaudara. Maka damaikanlah pertentangan diantara kamu dan bertaqwalah kepada Allah.” (QS.Al-Hujurat:10). Perintah taqwa selalu digandengkan dengan perintah menyambungkan silaturahim. Surat Ar Ra’du ayat 21 pun menyebutkan bahwa orang yang beruntung bisa bergabung di akhirat bersama seluruh keluarganya itu juga adalah orang yang Yakhsyawna Rabbahum, yang bertaqwa kepada Tuhannya.  Taqwa dan silaturahim selalu digandengkan di dalam Al-Quran. Itu adalah dua hal yang tidak boleh dipisahkan. Artinya, kalau orang itu taqwa kepada Allah, tentu dia akan menyambungkan silaturahim dan kalau dia tidak taqwa kepada Allah, tentu dia akan memutuskan silaturahim. Surat Muhammad ayat 22 menyebutkan, “Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa, kamu akan berbuat kerusakan  di muka bumi dan memutuskan kekeluargaan?” perintah silaturahim tidak hanya ditujukan kepada makhluk-makhluk di alam Nasut (fisik) tapi juga ditujukan kepada makhluk-makhluk di alam malakat (Ruh). Dan itulah silaturahim yang lebih hakiki. Silaturahim diantara ruh kita dengan ruh kaum mukminin. Di alam Nasut, secara fisik orang bisa saja bersilaturahim dengan orang lain, tapi ruhnya tidak. Kita mengadakan halal bi halal diantara kita seraya mengucapkan, “Mohon maaf lahir dan batin.” Tetapi di dalam hati kita masih tersimpan dendam dan tidak mau memaafkan. Padahal dalam bahasa Arab, kata maaf itu berarti penghapusan. Orang sering bersilaturahim di alam nasut, tetapi di alam malakut, ruh mereka tidak ikut bersilaturahim, boleh jadi ada orang-orang yang tidak pernah berjumpa secara fisikal, tetapi di antara mereka telah ada jalinan silaturrahim yang sangat erat seperti sudah dipertalikan jauh sebelumnya. Dikalangan para psikolog ada fenomena yang disebut De’ javu, yaitu suatu gejala peristiwa yang rasanya pernah dialami padahal tidak pernah dialami. Seperti ketika kita berjumpa dengan seseorang untuk pertama kali, tapi kita merasa telah akrab dengan orang itu. Berdasarkan teori De’javu, hal itu terjadi karena ruh-ruh mereka pernah melakukan silaturahim di alam malakut. Ketika kita shalat tahajjud, kita dianjurkan  untuk memohonkan ampunan bagi diri sendiri, bagi orang tua serta bagi empat puluh orang yang dikenal. Nama mereka harus disebut satu persatu pada rakaat terakhir shalat witir setelah membaca qunut, dan istighfar. Untuk apa kita qunut dan istighfar bagi orang-orang  yang namanya kita sebut itu? Tiada lain untuk menyambungkan silaturahim ruhaniah antar kita dengan orang tua, dan orang-orang yang kita kenal. Kita pun dianjurkan untuk menggabungkan ruh kita dengan ruh kaum Muslim pada setiap shalat. Dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 43 disebutkan, “Aqimush shalata wa atuz zakata warka’u ma’ar raki’in. Hendaknya kamu mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, dan rukuk bersama orang-orang yang rukuk.” Menurut Muqatil dalam tafsir Al-Durr Al-Mantsur, yang dimaksud dengan warka’u ma’ar raki’in itu bukan hanya berarti hendaknya kamu shalat berjamaah, tetapi juga berarti hendaknya kamu bergabung dengan orang-orang yang rukuk. Hubungan Ruh kamu bersama orang-orang yang rukuk, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati. Dalam surat At-Taubah ayat 119 Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah, dan gabungkanlah dirimu beserta orang-orang  yang benar,” di alam malakut ada dua jenis kafilah  ruhani. Pertama, kafilah ruhani yang sedang bergerak menuju Allah. Yang kedua, kafilah rohani yang sedang bergerak menjauhi Allah. Pada kafilah pertama, mereka pergi meninggalkan tanah liat menuju Allah, sedangkan dalam kafilah yang kedua, mereka meninggalkan cahaya Allah menuju kegelapan. Dalam kafilah yang menjauhi Allah, terdapat iblis, jin, dan orang-orang durhaka sepanjang sejarah. Mereka semua berkumpul bergabung dalam rombongan yang sama. Mereka pun masih membantu ruh-ruh yang sejenis dengan mereka yang masih hidup di dunia. Al-Quran memberikan contoh bahwa orang-orang munafik saling membantu satu sama lain, termasuk di alam malakut. Ruh-ruh mereka mendorong untuk berbuat maksiat kepada orang yang masih hidup. Adapun dalam kafilah yang bergerak menuju Allah disana terdapat para Nabi, orang-orang suci, para syuhada’, dan orang-orang saleh. Al-Quran menyinggung hal ini dalam surat An-Nisa’ ayat 69, “Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasulnya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu nabi-nabi, para shidiqin, para syuhada’, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” Ini semua merupakan rombongan yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka berada pada suatu alam yang disebut alam Barzakh. Di dalam kitab Nafasur Rahman diceritakan tentang beberapa hadits Nabi yang menunjukkan bahwa orang-orang saleh di alam Barzakh itu masih hidup. Mereka masih membaca Al-Quran dan berdoa untuk saudara-saudaranya di alam nasat. Sebuah hadits dari Bukhari meriwayatkan bahwa suatu saat pernah ada beberapa sahabat datang pada suatu kuburan. Mereka menghamparkan jubahnya diatas tempat itu. Tiba-tiba mereka mendengar ada suatu orang yang sedang membaca Surat Al-Kahfi. Para sahabat terkejut, namun mereka tetap mendengarkan bacaan itu sampai selesai. Setelah itu mereka mendatangi Rasulullah dan menceritakan kejadian yang mereka alami. Rasul mengatakan bahwa suara yang mereka dengar di kuburan itu adalah suara orang yang sedang membaca Al-Mani’ah, sesuatu yang bisa mencegah dia dari azab kubur. Nabi tidak mengatakan peristiwa itu sebagai takhayul atau musyrik. Bahkan Nabi membenarkan bahwa ruh orang suci itu masih beribadah di alam barzakh. Oleh karena itu, di dalam shalat kita diperintahkan untuk menyambungkan ruh kita dengan melakukan silaturrahim yang melintasi ruang dan waktu. Hubungkanlah silaturahim kita dengan kafilah ruhani orang-orang suci agar mereka membantu kita dengan doa mereka. Meminta doa kepada mereka disebut Tawassul. Rasulullah Saw bersabda:  “Para Rasul di alam malakut itu seperti  tentara yang digabungkan. Jika mereka saling mengenal mereka akan saling berpelukan. Dan jika mereka tidak saling mengenal, mereka akan saling bertengkar.” Ruh kita dapat bergabung dengan ruh orang yang suci. Caranya adalah dengan mengucapkan salam kepada mereka secara khusus, dan langsung. Seperti ketika kita shalat, kita ucapkan salam kepada pemimpin, kafilah orang-orang yang  suci itu, yaitu kepada Rasulullah Saw. “Assalamu’alaika ayyuha nabiyyu warah matullahi wabaraka tuh.” Sesudah itu kita mengucapkan salam kepada ruh kaum mukmin. “Assalamu’alaina wa ‘ala ibadillahi shalihin.” Dan pada akhir shalat, kita ucapkan salam kepada semua orang di sekitar kita.  “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh”.  Kita ucapkan salam untuk menggabungkan ruh kita dengan para arwah yang suci. Ungkapan salam di akhir shalat, bukan ditujukan kepada orang yang hadir disekeliling kita, melainkan ditujukan untuk para arwah yang suci itu.  Bukan saja arwah  yang sudah meninggal, tetapi juga yang masih hidup. Kita memiliki ruh yang berada di alam Malakut. Ruh kita boleh jadi suatu saat bergabung dengan kelompok yang satu dan berpindah pada kelompok yang lain. Sayangnya, kita menggabungkan ruh kita, hanya pada saat kita shalat saja. Setelah shalat, kita asyik berwirid sendiri. Kita tidak mencoba untuk menggabungkan diri dengan para ruh yang suci. Pada hari akhirat nanti, rombongan yang kita pilih itu, juga yang akan di himpun dalam satu golongan bersama kita. “Pada hari itu, manusia keluar dari kuburannya dalam keadaan bergolong-golongan. Supaya diperhatikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka”  (QS.Al-Zalzalah: 6). Jalinlah silaturahim dengan menggabungkan ruh kita dengan ruh orang-orang suci setelah shalat. Kirimkan Al-Fatihah dan Istighfar pada orang tua, saudara, dan kaum Mukmin. JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Jangan Mengurai Setelah MerajutJanuary 5, 2025Seorang lelaki mengadu kepada orang saleh dari keluarga Nabi Saw, Ali Zainal Abidin. “Aku mudah tergoda sama perempuan,” kata lelaki itu. “Aku berzina satu hari dan esoknya aku berpuasa. Bisakah yang ini (puasa) menebus yang ini (zina).” Imam Ali Zainal Abidin menariknya ke dekatnya dan memegang tangannya, lalu berkata, “Kamu lakukan amal ahli neraka dan kamu berharap masuk surga.” Pada salah satu bulan puasa di Madinah, seorang pejabat bertanya padaku, “Ustad, betulkah barangsiapa yang melakukan puasa dan salat tarawihnya dengan iman dan ikhlas, Allah akan ampuni dosa-dosanya yang lalu dan yang kemudian? Jadi, saya lakukan korupsi. Sebagian hasil korupsi itu, aku sumbangkan untuk membangun masjid. Sebagian lagi aku pakai untuk berfoya-foya dalam kenikmatan yang haram. Lalu, di bulan Ramadhan, aku berpuasa penuh dan melakukan salat tarawih lengkap, ditambah umrah lagi. Benar kan Ustad, orang yang umrah dan haji akan kembali ke tanah airnya seperti bayi yang dilahirkan dari perut ibunya?” Bapak pejabat itu berbicara di depan Ka’bah, di sekitar maqam Ibrahim, sementara matahari berangsur-angsur turun di ufuk barat. Menjelang azan Magrib, alam bertambah gelap dan lampu-lampu masjid tambah benderang. Aku tidak bisa menjawab. Hadis-hadis yang di bacakan bapak pejabat itu aku ketahui. Cara bapak pejabat mengambil kesimpulan itu benar. Hadis-hadis tentang pahala puasa banyak dibacakan di majelis dan masjid dan sekarang … media sosial. Hadis tentang haji yang “mengembalikan seorang haji (atau hajjah) pada posisi bayi yang baru dilahirkan” juga banyak dikutip, terutama oleh para penyelenggara haji dan umrah. Tapi hatiku galau. Semudah itukah dosa-dosa diselesaikan? Segampang itukah kesalahan dihapuskan? Puasa cukup untuk menebus dosa satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan datang. Satu kali umrah cukup untuk meng hapus dosa seumur hidup. Tasbih 33 kali, tahmid 33 kali, takbir 33 kali bisa membereskan semua dosa walaupun besarnya sebanyak buih di lautan. Sekali istighfar, dosa 70 tahun, bahkan seumur hidupku, diampuni. Begitu kata Ustad Fulan yang ceramahnya aku dengar di Youtube. Wow! Waktu itu aku belum membaca riwayat Ali Zainal Abidin di atas. Sekarang, kalau aku ketemu lagi dengan beliau, sang pejabat itu, aku akan berkata, “Kau lakukan pekerjaan ahli neraka sambil berharap masuk surga!” Jadi, apa yang terjadi kalau kita berbuat baik sambil juga berbuat buruk. Dengan ibadah, kita berharap masuk surga, tapi dengan maksiat, kita lakukan pekerjaan ahli neraka. Bagaimana kalau kita campurkan setetes racun dalam sirop? Bagaimana kalau kita masukkan setitik nila pada susu sebelangga? Bagaimana kalau kita jatuhkan setitik tinta hitam pada segelas air putih? Allah berirman, Kami hadapi amal yang mereka kerjakan dan kami jadikan ia debu yang berterbangan (Qs al-Furqân : 23). Karena, amal tersebut mencampurkan jasa dan dosa. Dan dengarkan pesan Allah Swt, Janganlah kamu menjadi seorang perempuan tua yang mengurai tenunannya setelah merajutnya dengan kuat dan erat (Qs an-Nahl : 92). Upaya untuk menghindari dosa disebut warak. Menurut Ali bin Abi Thalib, “Warak adalah menjauhi dosa dan membersihkan diri dari apa pun yang haram.” jangan remehkan racun walaupun setetes. Jangan remehkan dosa sekecil apa pun. JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Kesalehan SejatiJanuary 5, 2025Ibnu Abbas meriwayatkan: Pada suatu waktu Hasan dan Husain, kedua cucu Rasulullah Saw., sakit keras. Nabi Saw. dan sahabat-sahabatnya mengunjungi mereka. Nabi juga berpesan agar ‘Ali dan Fatimah, orangtua mereka, bernazar untuk kesembuhan mereka. Keduanya, diikuti oleh Faidhah pembantunya, dan bahkan anak-anak yang sakit, mengucapkan nazar: Jika Tuhan menyembuhkan Hasan dan Husain, mereka semua bernazar untuk melakukan puasa tiga hari berturut-turut. Tidak lama kemudian, keduanya sembuh. Seluruh anggota keluarga menjalankan puasa nazar. Karena mereka tidak punya makanan, ‘Ali meminjam gandum dan Fatimah memasak sepertiganya. Ketika magrib tiba dan mereka bersiap-siap untuk berbuka, seorang miskin datang mengetuk pintu: “Salam bagi kalian, wahai keluarga Muhammad. Saya Muslim yang miskin, berilah saya makanan. Semoga Allah memberikan kepada kalian anugerah-Nya.” Semua anggota keluarga Nabi itu memberikan bagiannya. Malam itu mereka hanya berbuka dengan air. Pada hari kedua, kejadian yang sama berulang. Seorang anak yatim mengetuk pintu mereka. Sekali lagi, mereka memberikan bagian rotinya dan melewatkan malam hanya dengan minum saja. Pada hari yang ketiga, seorang tawanan datang. Mereka mengakhiri puasa nazarnya dengan minum air. Pada hari yang keempat, ‘Ali membawa Hasan dan Husain menemui Nabi. Beliau melihat kedua tubuh cucu-cucunya itu menggigil karena kelaparan, seperti anak-anak ayam yang menggelepar. “Aku sedih menyaksikan keadaan kalian,” kata Rasulullah. Beliau bangkit dan membawa mereka kembali ke rumahnya. Di situ, Nabi menyaksikan Fatimah sedang sembahyang. Perutnya kempis sehingga kulit perutnya seakan menempel pada tulang punggungnya. Matanya cekung. Beliau tampak sangat terharu. Pada saat itulah, Jibril menurunkan wahyu, permulaan Surah Hal Ata. Karena itu, Dr. Iqbal menyebut keluarga Nabi sebagai keluarga yang bermahkotakan Hal Ata. Surah ini juga disebut sebagai Surah Al-Insan, Surah Manusia. Keluarga nabi adalah makhluk yang sudah mencapai posisi kemanusiaan yang sebenarnya, insan kamil. Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut. Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kamijadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. Sesungguhnya kami menyediakan bagi orang-orang kafir rantai, belenggu, dan neraka yang menyala-nyala. Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur. (Yaitu) mata air (dalam surga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya. Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana mana. Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberikan makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan. (QS Al-Insan (76): 1-10) Rangkaian ayat ini dimulai dengan pembagian manusia pada dua golongan orang yang bersyukur dan orang yang melakukan kekufuran. Kepada manusia diserahkan pilihan untuk bergabung dengan yang mana. Tetapi Tuhan memperingatkan risiko keduanya. Jika memilih kafir, maka Tuhan sudah menyediakan baginya belenggu, rantai, dan api yang bernyala. Memilih kekafiran berarti menyerahkan diri pada perbudakan hawa nafsu, pada belenggu dan rantai kebinatangan, yang melemparkannya pada nyala api penderitaan. Kita hanya bisa membebaskan diri dengan memilih jalan kedua: bersyukur. Bersyukur diungkapkan dengan bergabung bersama orang-orang yang berbuat kebajikan (al-abrar). Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur. Kata “al-abrar” berasal dari kata “barr”, yang berarti luas dan lebar. Tanah yang luas dan lebar disebut “barr”, artinya daratan sebagai lawan dari lautan Orang yang berbuat kebajikan disebut “barr” karena amal saleh yang dilakukan mereka mendatangkan kebaikan yang banyak kepada masyarakat luas. Orang yang berbuat kebajikan meminum air kafur. “Kafur” semula berarti tanaman yang aromanya harum, digunakan kadang-kadang untuk mengobati luka. Setelah itu, kafur juga bermakna zat yang putih bersih dan menyejukkan. Jika Tuhan menggambarkan orang kafir hidup dalam belenggu hawa nafsu dan nyala penderitaan, orang baik hidup tenteram dan damai. Ketika musibah melukai hati mereka, mereka minum air yang menyejukkan, yakni amal saleh yang mereka lakukan. Mereka bukan saja minum untuk diri sendiri, melainkan juga dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya. Seorang Mukmin, menurut asal katanya, berarti orang yang mendatangkan kedamaian, kesejukan, ketenteraman. Amal salehnya menyembuhkan luka kehidupan pada orang-orang di sekitarnya. Apa saja amal saleh yang menimbulkan ketenteraman pada masyarakat luas itu? Pertama, mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana. Orang saleh yang sejati selalu memenuhi janji, apalagi janji kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Baginya, agama bukanlah alat yang digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan rendah seperti harga diri, status sosial, atau kekayaan. Agama adalah komitmen pada kebenaran. Ia menjalankan semua kewajiban agama sebagai bukti komitmennya. Ia berdagang dengan Tuhan. Tuhan berfirman, Maukah Aku tunjukkan kepada kalian perdagangan yang melepaskan kalian dari azab yang pedih. Itulah beriman kepada Allah dan Rasul serta berjihad dengan harta dan jiwa kamu (QS Al-Shaff : 10). Menjalankan kewajiban kepada Tuhan adalah memenuhi kontrak Ilahi, menjaga komitmen suci, memerhatikan “ultimate concern”. Kedua, mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan. Kesalehan sejati bukan hanya memberikan faedah kepada dirinya. Kesalehan sejati menyebarkan rahmat ke seluruh alam. Misi orang saleh ialah mengobati “luka kehidupan” dengan air kafur yang menyejukkan. Ia memasukkan ke bahagiaan kepada semua yang susah. Tidak hanya orang miskin saja, tetapi juga anak yatim dan tawanan. Apa pun agamanya. Kesalehan sejati tidak dipenjarakan dalam belenggu fanatisme,‘ashabiyyah, atau kecintaan golongan Orang lain dibantu bukan karena ia bagian dari keluarga, kelompok, atau golongan kita. Mereka dibantu karena ke adaan mereka yang sangat memerlukan bantuan. Di antara contoh kesalehan sejati adalah memberi makan —amal saleh yang paling banyak disebut dalam Al-Quran. Begitu pula banyak hadis memuji perbuatan memberi makan: Barang siapa memberi makan kepada tiga orang Muslim, Allah akan memberikan makanan kepadanya dengan tiga taman yang ranum di tengah-tengah surga (Ushul Al-Kafi 2:3, 6); Barang siapa memberi makan se orang Mukmin sampai kenyang, pada hari kiamat, ia akan diberi pahala yang besarnya tidak diketahui manusia, malaikat, dan bahkan para Nabi sekalipun kecuali Allah, Tuhan semesta alam (Ushul Al-Kâfi 2:3, 6); Salah satu di antara amal saleh yang paling utama di sisi Tuhan ialah menghibur orang yang menderita dan memberi makan orang yang lapar. Demi yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, seorang Muslim yang tidur kenyang pada malam hari ketika saudaranya atau tetangganya lapar, ia tidak beriman kepadaku. (Bihar Al-Anwar 74: 369) Dewasa ini, jutaan manusia di salah satu bagian dunia dilanda kelaparan, ketika pada bagian dunia yang lain orang-orang kaya membuang kelebihan makanannya. Di negeri ini, ketika jutaan anak manusia berhari-hari kelaparan, sejumlah orang melemparkan sisa makanan ke keranjang sampah. Di sebuah lorong kecil di ibu kota, seorang anak kurus dipukuli sampai mati karena mengambil sebungkus makanan. Di hotel-hotel yang mewah, miliaran uang dihabiskan untuk jamuan penghormatan bagi segelintir orang gemuk yang rata-rata sudah makan kenyang. Terakhir, orang-orang saleh itu melakukan semua amal itu dengan penuh ketulusan. Ada banyak orang yang menjalankan kesalehan demi status sosialnya, atau untuk ke pentingan kepentingan politik. Kesalehan dilakukan dengan ritus-ritus yang sama gemerlapnya dengan proyek-proyek kemaksiatan. Keberagamaan ditampakkan dalam simbol-simbol yang bisa dilihat orang. Pertolongan diberikan dalam bentuk investasi untuk keuntungan material atau psikologis pada waktu yang akan datang. Jika orang yang ditolong itu tidak mengucapkan terima kasih, ia marah-marah dan menyebut-nyebut kebaikannya dengan data statistik yang lengkap dan akurat. Jika orang yang dibantunya itu malah melawan dan membalasnya dengan keburukan, ia menggerutu dan mencaci maki. Di luar mereka adalah al-abrár, manusia-manusia suci seperti digambarkan dalam ayat ini, yang telah berhasil melepaskan semua kehendak dirinya. Mereka sudah meninggalkan dan membuang egonya. Mereka berbuat baik semata-mata karena Allah. Mereka berkata, Sesungguhnya kami memberikan makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Lahirnya RahwanaJanuary 4, 2025Alkisah, seorang raja yang sudah sepuh mengundurkan diri. Ia memilih untuk menjadi pandito dan menyerahkan kekuasaan kepada putranya. Sayang sekali, Rajaputra belum mempunyai permaisuri. Sebagai pandito yang bijaksana, Raja Sepuh ingin mempersiapkan suksesi sebaik mungkin. Termasuk di dalamnya adalah mempersiapkan the first lady. Terdengar kabar bahwa Prabu Somali di Alengkadirja mempunyai putri yang cerdas dan jelita: Dewi Sukaesih. Ia hanya ingin disunting oleh pria yang bisa mengajarkan kepadanya Sastrajendra Rahayuningrat, sebuah ilmu yang dapat mendatangkan kesejahteraan di alam semesta. Di seluruh jagat pewayangan, tak ada yang punya ilmu tersebut selain Sang Raja Sepuh. Ia datang sendiri ke Alengka, melamar Dewi Sukaesih untuk putranya. Kontrak ditandatangani kedua belah pihak. Raja Begawan akan mengajarkan ajian luhur kepada putri di sebuah taman asri di istana. Karena ilmu itu sangat khusus, tak boleh ada yang mempelajarinya selain putri. Di tengah taman dibangun tempat les privat yang hanya boleh diisi guru dan murid. Pelajaran diberikan dalam bentuk paket yang berlangsung selama beberapa bulan. Rencana Raja Begawan untuk mengajarkan ajian itu menggoncangkan Swargamaniloka. Para dewa cemas. Soalnya, ilmu itu bakal diwarisi oleh seorang dewi, yang sekalipun cantik, berasal dari keturunan Raksasa. Sidang para dewa memutuskan, pengajaran ilmu itu harus dicegah. Batara Guru turun masuk ke dalam tubuh Sang Begawan. Istrinya masuk ke dalam raga Dewi Sukaesih. Maka berubahlah hubungan guru dan murid menjadi hubungan di antara dua kekasih yang asyik-maksyuk. Ilmu itu gagal disampaikan, karena Dewi Sukaesih hamil. Ia melahirkan anak-anak—kecuali yang terakhir—yang mempunyai wajah menakutkan. Anak tertua diberi nama Rahwana (dalam teks asli disebut Rawana). Ia lahir dengan sepuluh muka, sehingga juga diberi nama Dasamuka. Yang kedua, laki-laki dengan telinga yang panjangnya sama dengan talang air, sehingga diberi nama Kumbakarna. Yang ketiga, perempuan dengan kuku yang panjang seperti ular, karena itu diberi nama Sarpakanaka. Yang terakhir, laki-laki dengan wajah yang tampan. Ia dinamai Wibisana. Anda tahu akhir kisah ini. Para putra Sang Begawan menjadi penyebab kehancuran dunia. Untunglah Wisnu, Dewa Pemelihara Dunia, menitis kepada Rama di Ayodya. Lalu, mengapa Sang Begawan gagal? Ia sudah bermaksud baik. Ia telah mengundurkan diri dari kerajaan. Ia telah mempersiapkan pengganti dengan kualifikasi yang baik minus permaisuri. Untuk memperoleh permaisuri, ia meninggalkan padepokannya dan bersedia mengajarkan ilmu yang dapat membawa kesejahteraan dan kedamaian. Maksud baik itu tidak terwujud. Dari semua rencana itu lahir sumber kerusakan. Alengka dikuasai oleh penguasa yang berwajah banyak bila marah. Saudaranya mempunyai telinga panjang, tetapi telinga itu hanya digunakan untuk selimut yang menyamankan tidurnya. Pekerjaannya hanya makan dan minum, sambil menutup lubang telinganya dari suara-suara luar. Saudaranya yang lain punya kemampuan mengubah wujudnya demi kepentingan saudara tuanya. Ia bisa menampilkan dirinya sebagai pendeta yang bijak pada satu kali dan tampak sebagai kancil emas pada kali yang lain. Sarpakanaka adalah ahli membentuk opini dan mencipta citra. Kebijaksanaan Wibisana sering kalah suara dibanding kakak-kakaknya. Wibisana hanyalah cendekiawan yang punya kebijaksanaan, tetapi tidak berwenang membuat kebijakan. Masuk Rama dan Sinta. Rama memobilisasi kekuatan para monyet, yang tinggal di rimba dan tak pernah diperhitungkan dalam kehidupan raja-raja. Hanoman, putra Dewa Angin, menimbulkan kerusuhan di ibu kota. Monyet-monyet lainnya membangun jembatan, yang menghubungkan dua daratan. Ketika negara dalam keadaan kritis dan kekuatan monyet sudah menguasai kota, Wibisana memihak Rama. Perang berakhir dengan kemenangan Rama dan kera-kera yang dipimpinnya. Kita setuju bahwa Rama di pihak yang benar. Yang masih mengganggu pikiran kita, mengapa orang-orang yang bermaksud baik dan punya rencana agung malah melahirkan Rahwana, lambang kepongahan kekuasaan? Mengapa Sang Begawan jatuh cinta pada Dewi Sukaesih? Kita terkejut begitu kita sadar bahwa maksud baik itu digagalkan oleh keputusan para dewa. Walhasil, apa pun yang kita rencanakan di dunia yang kecil ini tak berdaya apa-apa berhadapan dengan kepentingan para dewa di dunia yang lebih besar. Kalau begitu, yang harus kita lakukan ialah menguasai para dewa. Apa bisa? Bisa saja. Dalam kisah Ki Dalang, kita sering menemukan tokoh-tokoh yang meransek sorga dan menggoncangkan kemapanan dewa. Tetapi itu dalam cerita wayang di Jawa. Ramayana, epik besar dari Walmiki, memang dimodifikasi oleh para dalang kita, disesuaikan dengan latar belakang budaya kita. Interpretasi kita terhadapnya belum tentu sama dengan interpretasi orang Hindu. Menarik untuk menutup tulisan ini dengan catatan The World Book Encyclopedia: “Kisah Ramayana menggambarkan hal-hal ideal dari perilaku manusia. Rama itu raja ideal. Ia meletakkan kewajibannya kepada rakyat kerajaannya di atas kewajiban kepada keluarganya. Sinta adalah istri ideal. Apa pun bahaya yang ia hadapi, ia selalu setia kepada suaminya. Laksamana adalah saudara ideal. Ia mendukung kakaknya tanpa keraguan, walaupun merugikan dirinya. Hanoman adalah pengikut yang setia. Ia setia kepada Rama dalam suka dan duka. Kisah ini juga mengajarkan pentingnya kewajiban dan kepatuhan. Jika Laksamana patuh kepada Rama dan tinggal bersama Sinta di hutan, ia tidak akan ditangkap. Jika Sinta patuh kepada Laksamana dan tinggal di rumah, ia akan selamat. Kejahatan, dalam bentuk Rahwana, tidak akan dapat menguasai orang yang berpegang teguh pada kewajiban, setia, dan taat.”  JR wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...

Buku Karya KH. Jalaluddin Rakhmat

« of 2 »

Videografi

This error message is only visible to WordPress admins

Unable to retrieve new videos without an API key.

Error: No videos found.

Make sure this is a valid channel ID and that the channel has videos available on youtube.com.

Audiografi

UJR-MFR

“Jangan remehkan racun walau setetes. Jangan remehkan dosa sekecil apapun”

​KH. Jalaluddin Rakhmat
@katakangjalal

Contact Jalan Rahmat

Jl. Kampus II No. 13-15. Kiaracondong. Bandung