Warisan intelektual

untuk perkhidmatan

dan pencerahan pemikiran

0
Quotes
0
Articles
0
Videos
0
Audios

Jalan Rahmat

Misi Kami

Di Jalan Rahmat, kami berusaha menghadirkan kembara intelektual itu. Perjalanan dan pengelanaan beliau mengarungi ‘jagat’ semesta itu. Ada dokumentasi karya beliau. Puluhan buku, ratusan artikel, ribuan ceramah. Ada rekaman audio dan video. Ada pula karya-karya para guru bangsa, baik sahabat karib Allah yarham, para intelektual sezaman, maupun karya-karya para ulama besar yang mempengaruhi jagat kembara intelektual beliau. Jalan Rahmat adalah sebuah digital library yang ingin menghadirkan kembali semangat intelektual itu.

Jalaludin Rakhmat - Tauziah
Digilib

Donasi dan Beasiswa

Donasi dan Beasiswa untuk sekolah, madrasah, klinik, dan ragam kegiatan lainnya.

tauziyah

Digital Library

Kumpulan Ceramah, Artikel, Buku, Video dari para Guru Bangsa.

healthcare

Jalan Kecintaan

Warisan terutama dan teramat berharga dari Allah yarham adalah mengantarkan kami dan kita semua pada jalan menuju kerinduan dan kecintaan Sang Rahmatan lil ‘alamin. Itulah makna Jalan Rahmat yang sesungguhnya.

Latest Post

Mengontrol BahasaDecember 6, 2024Salah satu objek pembahasan dalam filsafat adalah bahasa. Dalam pembahasan itu dikenal istilah sintaksis atau analisis struktur kalimat. Filsuf dalam bidang ini adalah semisal Bertrand Russell. Ia sering menulis kata-kata di papan tulis, seperti the snake is in the grass. Lalu, kalimat itu dianalisis kata per kata. Misal, apa yang dimaksud dengan snake? Apa yang disebut dengan grass? Lebih dari seratus tahun, orang-orang memusatkan perhatiannya kepada makna kata-kata. Sampai kemudian datang zaman baru di mana kata bisa bermakna jika dapat dibuktikan secara empiris. Jika ada kalimat the snake is in the grass maka cek langsung ke rerumputan yang dimaksud, apakah di sana ada ular atau tidak. Suatu ketika seorang filsuf bernama Wittgenstein datang ke Inggris untuk menemui seorang filsuf lain bernama Russell. “Saya ingin tahu, saya ini idiot atau genius,” kata Wittgenstein kepada Russell. “Jika Idiot, saya akan belajar aeronautic Tapi, jika genius, saya akan mengambil filsafat” Wittgenste lalu menyerahkan makalah kepada Russell. Russell kemudian mengatakan, “Kamu genius, Wittgenstein.” Russell menilai makalah Wittgenstein itu memang luar biasa. Jadi, untuk mengetahui apakah seseorang itu seperti yang dikatakan atau tidak maka harus ditunjukkan bukti empiris. Namun, akhirnya, Wittgenstein mengatakan bahwa tak ada gunanya mempelajari tata bahasa. Sebab, bahasa ternyata dipakai semata sebagai permainan yang tak bermakna. Saat ini, bahasa bukan lagi sebagai deskriptif, melainkan generative dan kreatif. Maksudnya, bahasa juga dapat menciptakan peristiwa-peristiwa. Maka, kita harus berhati-hati dalam menggunakan sebuah bahasa. Misalnya, John Osteen mencontohkan ritual pernikahan di gereja. Si pendeta mengatakan, “I know you are a husband and a wife.” Lalu, kedua mempelai mengatakan, “I do” Dari bahasa itu, pendeta akan mengatakan, “You may kiss?” Kemudian, ciuman itu tidak akan terjadi jika salah satu mempelai mengatakan, “No.” Sebaliknya, jika mengatakan “yes” maka kedua mempelai akan berciuman. Begitu juga dalam Islam. Hubungan laki-laki dan perempuan menjadi halal diputuskan oleh sebuah bahasa, yang disebut akad nikah. Tak hanya mencipta peristiwa, bahasa yang kita ciptakan juga dapat memengaruhi perasaan. Misal, dua orang sedang berbincang-bincang di dalam ruangan. Lalu, saya memasuki ruangan. Seketika dua orang itu menghentikan perbincangannya. Nah, dengan bahasa atau cerita yang saya bangun sendiri, ada tiga kemungkinan kenapa mereka menghentikan perbincangan itu. Pertama, barangkali mereka sedang membicarakan saya, entah kebaikan atau keburukan saya. Begitu saya hadir, mereka langsung diam karena merasa tidak enak dengan saya. Kemungkinan kedua, mereka diam sekadar ingin menghormati atau mengakui kehadiran saya sebagai guru mereka. Mereka tidak ingin dinilai sebagai murid yang tidak tahu diri. Kemungkinan yang lain, mereka diam barangkali sebab pembicaraannya tidak ingin didengar, hanya menjadi rahasia mereka berdua. Nah, kemungkinan-kemungkinan tersebut akan memengaruhi perasaan saya. Jika saya memilih kemungkinan pertama-mereka sedang membicarakan keburukan saya-tentu saya akan marah dalam hati. Namun, saya akan senang jika yang saya bangun adalah kemungkinan kedua. Sebab, tentu saja orang akan senang jika dihormati. Jadi, demikianlah. Kebahagiaan atau ketakbahagiaan kita bisa muncul dari bahasa atau cerita yang kita bangun sendiri. Pertengkaran-pertengkaran suami-istri, misalnya, bermula dari bahasa dan cerita-cerita yang mereka bangun masing-masing. Lalu, pertengkaran itu mereda atau justru memburuk, tergantung bagaimana bahasa-bahasa yang terbangun di tengah pertengkaran tersebut. Maka, salah satu kiat mengendalikan amarah adalah mengontrol bahasa yang dipergunakan di tengah kemarahan. Ada sebuah buku berjudul Language and The Pursuit of Happiness (Bahasa dan Pencarian Kebahagiaan) karangan Chalmers Brothers. Buku itu berbicara tentang bahasa dan berbagai hal yang terbangun di atasnya. Bahasa dapat membuat hati bahagia atau berduka. Jadi, jika kita ingin bahagia dalam hidup, ciptakanlah bahasa-bahasa atau cerita-cerita baik dan selalu membangun prasangka positif. ADA beberapa efek kognitif yang timbul dari kemarahan, antara lain berpikir negatif. Ini efek yang secara otomatis akan muncul saat orang sedang marah. Maka, jika marah tak terkendali, orang cenderung akan mengungkit hal-hal negatif dari orang yang terkait. Jika saat keadaan normal seseorang mampu menyembunyikan aib orang lain, pada saat marah, ia seperti ingin menunjukkan semua aib orang yang terkait. Di mata orang marah, tidak tampak sesuatu kecuali semuanya buruk. Maka, marah yang dipelihara akan cukup berbahaya, terutama bagi diri pelakunya. Sebab, kita adalah apa yang kita pikirkan. Dan, cara berpikir erat kaitannya dengan perilaku, termasuk kondisi tubuh. Ada sebuah penelitian terhadap tiga kelompok responden. Kelompok pertama diminta mengingat hal-hal buruk yang pernah mereka alami, lalu menuliskannya. Sedangkan kelompok kedua pada hal-hal baik. Sementara, kelompok terakhir diminta mengingat dan menulis hal-hal baik dan buruk secara berimbang. Hasilnya, dalam tempo tiga bulan, kelompok pertama rentan terkena penyakit, berkebalikan dengan kelompok kedua yang menjadi lebih sehat. Ada pun kelom- pok ketiga berada dalam keadaan stabil. Orang-orang yang putus asa sampai melakukan hal-hal yang mengerikan, bunuh diri, misalnya, adalah mereka yang tak lagi memandang bahwa diri mereka atau dunia ini adalah kebaikan. Yang ada adalah keburukan dan kenistaan dan mereka merasa tidak mampu memperbaiki keburukan itu. Lalu, mereka merasa lebih baik pergi dari dunia ini. Memang perlu latihan untuk bisa berpikir positif dan memandang dunia dengan ceria, hingga akhirnya menjadi kebiasaan. Namun, ada pula yang anugerah. Di Muthahhari ada seorang anak murid. Suatu ketika, orang tuanya datang kepada saya untuk mengadukan kondisi anaknya itu. Mereka mengeluh bahkan terkadang jengkel karena anaknya selalu menampilkan ekspresi tertawa dan bersikap santai. Disuruh belajar, selalu tertawa, selalu bilang santai. Lalu, saya coba bertanya kepada guru-guru perihal anak tersebut. Mereka bilang, tidak ada masalah dengan anak itu. Ia terlihat selalu bahagia. Nilai akademisnya bagus. Suatu ketika, anak itu mendapat giliran memberikan kuliah tujuh menit atau kultum, kegiatan rutin bagi siswa sebelum melaksanakan shalat berjamaah. Dari pertama dia berbicara sampai selesai, ceramahnya selalu mengundang tawa teman-temannya. Lalu, saya bilang kepada orang tua anak itu bahwa dia memiliki happiness skill, yaitu kemampuan untuk selalu bahagia dan membahagiakan orang lain. Ini anugerah dan sepatutnya disyukuri. Efek lain dari kemarahan dari sisi kognitif adalah mengakibatkan seseorang selalu berpikir evaluatif. Maksudnya, saat terbawa emosi, orang akan cenderung menilai orang lain dengan kata sifat, bukan kata kerja berisi alasan-alasan sehingga orang yang dimaksud akan paham. Misal, suami-istri sedang bertengkar. Salah satunya yang terbakar emosi mengatakan, “Kamu berengsek!” Itulah berpikir evaluatif. Lalu, orang yang ditunjuk oleh kata itu jadi bingung, kenapa dirinya disebut berengsek. Kata-kata seperti itu justru akan semakin mengo- barkan pertengkaran. Maka, seorang guru tidak boleh mengatakan kepada muridnya dengan kalimat “Dasar pemalas!” sebab, misal, muridnya itu tidak mengerjakan PR. Tapi, katakanlah, “Kenapa kamu tidak mengerjakan pekerjaan rumah itu?” Kalimat “Dasar pemalas!” selain menunjukkan bahwa guru tersebut kurang bisa mengontrol emosi, juga berdampak tidak baik bagi kejiwaan murid. Dengan kata-kata itu, ia akan merasa menjadi seorang pecundang. Saya pernah melakukan percobaan di Muthahhari, sekolah saya itu. Setiap siswa dipersilakan mengkritik gurunya atau sistem yayasan demi perbaikan. Tapi saya mensyarat- kan, kritikan itu tidak boleh berupa kalimat-kalimat evaluatif, tidak boleh menggunakan kata sifat. Tidak boleh, misal, mengkritik guru dengan kalimat “Guru itu membosankan” atau “Guru itu tidak menyenangkan”. Jika ingin bermaksud demikian maka gunakanlah kalimat-kalimat alasan sehingga si guru memang pantas dinilai seperti itu. Misalnya dengan kalimat “Jika sedang mengajar, guru itu hanya menghadap papan tulis dan tidak memperhatikan siswa❞ tanpa tambahan “membosankan” atau “tidak menyenangkan”. Dengan seperti itu, anak-anak dilatih untuk tidak berpikir “pokoknya” dan “yang penting”, tapi berpikir yang mengedepankan alasan masuk akal. Hal-hal seperti itu dapat mengontrol emosi. Jadi, hindarilah menggunakan kata sifat saat marah. Dan, yang juga penting adalah berbicaralah pelan-pelan. Semua itu dapat membantu meredam amarah. Meski sulit, tapi bukan berarti itu tidak mungkin. Efek lain dari kemarahan dari sisi kognitif adalah berpikir superior, menganggap orang lain lebih rendah dan lebih benar daripada dirinya. Sebab, orang yang terbakar emosi selalu tidak mau kalah. Pokoknya harus seperti ini, harus seperti itu. JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Anger Management SkillDecember 4, 2024Deadly emotion adalah emosi yang dapat menyebabkan penyakit, secara fisik atau kejiwaan. Jadi, emosi, meski bersumber dari jiwa, dapat berpengaruh terhadap fisik. Rasulullah pernah bersabda, “Dalam tubuh manusia ada segumpal daging. Jika ia sehat, akan sehat pula seluruh tubuh. Jika ia sakit, akan sakit pula seluruh tubuh. Tahukah kau, segumpal daging itu adalah hati,” (HR Bukhari dan Muslim dari Nu’man ibn Basyir). Hadis tersebut adalah kiasan bahwa jika jiwa kita bersih maka kepribadian kita juga akan menjadi bersih. Begitu juga jika sebaliknya. Dalam hadis lain, Rasulullah mengatakan, “Hasad dapat merusak tubuh yang sehat.” Dan, “Hasad hanya mendatangkan mudarat dan kemarahan yang dapat melemahkan hati dan membuat sakit tubuh mu.” Dalam Al-Quran disebutkan, ada orang-orang yang di hatinya terdapat penyakit, lalu Allah menambah penyakit itu. Di tulisan sebelum ini disebutkan, penyakit-penyakit hati, jiwa, seperti emosi, jika tidak diredam akan menambah penyakit-penyakit baru yang berpengaruh pada kesehatan fisik. Marah, misalnya, menjadi salah satu penyebab coronary heart diseases (penyakit jantung koroner), selain faktor-faktor biologis, seperti garam, kopi, rokok, kurang olah raga dan sebagainya. Sebab itu, kita perlu mempelajari anger management skill. Dalam Al-Quran disebutkan, Orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, jika marah, mereka akan memaafkan (al-Syûrâ: 37). Ayat tersebut berbicara tentang sebagian ciri-ciri orang bertakwa, yaitu mudah memaafkan. Dan, sesungguhnya, maaf itu menguntungkan orang yang memberi maaf sendiri, bukan orang yang diberi maaf-yang bersalah. Sebab, emosi yang dipelihara dalam hati akan memperkeruh jiwa, membuat hati tidak sehat, dan menjadi pupuk yang menyuburkan kebencian. Lalu, seperti disabdakan Rasulullah, jika segumpal daging (hati) itu sakit, akan sakit pula seluruh tubuh. Maka, Al-Quran memberi petunjuk, obat untuk semua itu adalah memaafkan. Dalam surah lain juga disebutkan hal yang sama, yaitu kaitan antara ketakwaan dengan maaf. Allah berfirman, Bersegeralah mengharap ampunan Tuhanmu dan meraih surga yang membentang seluas langit dan bumi-yang telah dipersiapkan bagi orang-orang bertakwa, yaitu mereka yang mau berinfak-baik pada saat lapang atau malang-dan mampu menahan amarahnya serta mudah memaafkan kesalahan orang lain (Ali `Imrân: 133-134). Dalam sebuah hadis dikisahkan, seorang sahabat pernah meminta nasihat kepada Rasulullah. “Jangan marah!” kata Rasulullah, memberikan nasihatnya. Sahabat yang bertanya itu tak serta-merta paham dengan nasihat singkat itu. Ia merenung sampai kemudian mengerti bahwa dalam marah terkumpul segala keburukan. Lihatlah, jika orang sedang marah. Akan muncul keburukan-keburukan yang lain, seperti umpatan, kekerasan, permusuhan, dan sebagainya. Saya sebutkan juga beberapa hadis terkait dengan marah, di bawah ini: Yang disebut orang perkasa bukanlah ia yang dapat mengalahkan lawan-lawannya, melainkan ia yang dapat mengendalikan diri saat marah. (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah). Ada sebuah pintu di neraka Jahanam yang tidak akan dimasuki oleh siapa pun kecuali orang yang melampiaskan kemarahannya dengan perbuatan nista. Kemarahan dapat mencelakakan pelakunya serta akan menampakkan segenap aibnya. Dalam kitab Nahj al-Balâghah disebutkan khotbah ke 153 Ali ibn Abi Thalib: Meski telah beramal saleh dan melakukannya dengan ikhlas, semua itu tidak akan berguna bagi yang bersangkutan saat bertemu dengan Tuhannya, jika ia masih menyimpan dua hal dan ia tidak menyatakan tobat, yaitu menyekutukan Allah dan melampiaskan kemarahan dengan perbuatan nista. Salah satu akibat yang ditimbulkan oleh marah yang pelihara adalah permusuhan. Itu bisa terlihat jika orang melampiaskan kemarahan kepada yang dituju. Kata-kata buruk dan menyakitkan akan meluncur dari mulut atau tindakan nonverbal yang membabi buta. Ichiro Kawachi dari Harvard School of Public Health (HSPH) menemukan bahwa risiko serangan jantung bagi pasien-pasien yang pemarah sama kuatnya dengan akibat dari hipertensi atau merokok. Nah, para dokter yang menangani pasien coronary artery diseases seharusnya juga selalu memeriksa riwayat kemarahannya. Sebab, kemarahan juga menjadi salah satu penyebab penyakit itu. Maka, kita harus bisa mengendalikan dan menyikapi dengan benar kemarahan yang terjadi dalam diri kita. Sebab, kemarahan yang tak terkendali dapat menimbulkan hal-hal buruk lainnya. JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Deadly EmotionDecember 3, 2024Saya pernah ke rumah sakit untuk menjenguk seorang bapak yang mengalami pendarahan di gusinya. Cukup parah. Hampir 24 jam pendarahan itu tak berhenti. Menurut dokter yang menanganinya, ada pembuluh darah yang pecah di gusi bapak itu. Saya sempat bincang-bincang dan bapak itu mengatakan bahwa bisa jadi pendarahan di gusinya itu disebabkan stres yang ia alami sebelumnya … Ceritanya, bapak tersebut hendak menjual vila. Seseorang kemudian bersedia membelinya. Transaksi keduanya pun terjadi. Soal harga pun sudah disetujui. Namun, anak-anak bapak itu tidak setuju. Mereka protes. Mereka seperti melihat ada gelagat tidak baik dengan mitra transaksi bapaknya. Si bapak pun akhirnya menuruti permintaan anak-anaknya, membatalkan transaksi. Orang yang menjadi mitra transaksi seketika marah karena pembatalan transaksi itu dilakukan sepihak. Seumur hidupnya, baru kali itu si bapak bertemu dengan orang yang marah besar. Kaget. Sebab itu, kemudian ia hampir mengalami pendarahan di gusinya. Bapak itu merasa bersyukur anak-anaknya memprotesnya agar membatalkan transaksi. Jika tidak, barangkali ia sudah tertipu besar-besaran. Ia bercerita, untuk ketiga kalinya, ia hampir menjadi korban penipuan. Bapak itu kemudian menanyakan soal pembatalan transaksi itu. Saya katakan bahwa kita tidak boleh berprasangka buruk kecuali dalam tiga hal, salah satunya soal kepercayaan, termasuk transaksi bisnis (dua hal lainnya adalah terhadap musuh atau jika berada di lokasi tak aman, dan dalam mempelajari agama, seperti telah disebutkan dalam pembahasan sebelum ini). Kita harus berhati-hati dalam memberikan kepercayaan kepada orang. Kita harus benar-benar kenal orang tersebut agar tidak tertipu. Dalam soal ini, kita mesti waspada, mendahulukan prasangka bahwa tidak semua orang dapat dipercaya sampai kemudian kita bisa membuktikan sebaliknya. Barulah kemudian kita memberi kepercayaan atau melakukan transaksi. Prasangka buruk yang tak pada waktu dan di kondisi yang tepat dapat menjadi penyebab deadly emotion. Akan saya nukil firman yang menggambarkan deadly emotion, yaitu surah al-An’am:125-127: Siapa yang dikehendaki mendapat hidayah, Allah akan melapangkan dadanya. Siapa yang dikehendaki sesat, Allah akan membuat sesak dadanya serupa orang yang naik ke langit. Begitulah Allah menimpakan beban kepada orang-orang yang tak beriman. Inilah jalan lurus Tuhanmu. Kujelaskan ayat-ayatku kepada orang-orang yang mau mengambil pelajaran. Mereka akan mendapatkan surga, rumah kedamaian, dari Tuhannya. Dia akan menjadi pelindung bagi mereka sebab amal saleh yang mereka kerjakan. Dalam ayat di atas, Allah menyebutkan deadly emotion sekaligus obatnya. Allah menyebut “sesak dada”, seperti orang yang hilang harapan hidup, gundah, penuh prasangka, dan gejala deadly emotion lainnya. Lalu, Allah menawarkan, Inilah jalan lurus Tuhanmu, agar sesak dada dan gundah menghilang, kembali menemukan harapan hidup. Seperti telah saya singgung dalam tulisan sebelum ini bahwa musibah adalah keniscayaan hidup. Siapa pun tak akan lolos jika Allah telah menimpakan musibah. Namun, seiring dengan itu, Allah juga mengajarkan kepada bagaimana menghadapi dan menyikapi musibah, yaitu dengan mengambil pelajaran, melihat sisi positif dengan berpikir positif. Dari situlah tak semua orang yang tertimpa musibah akan menderita, mengalami deadly emotion. Pada awal-awal dakwah, Rasulullah juga mengalami emosi-emosi negatif, kecewa, sedih, frustrasi, putus asa, sebab, tak sedikit yang menolak dakwahnya, tidak memercayai Al-Quran yang disampaikannya. Dalam surah al-Kahf ayat ke-6 disebutkan, Sekiranya mereka tidak memercayai Al-Quran, barangkali kau akan membunuh dirimu sendiri karena sedih, meratap, setelah mereka berpaling. Tak hanya itu, Rasulullah dan Para sahabatnya bahkan pernah diasingkan di sebuah lembah, diisolasi dengan dunia luar. Keadaan ini benar-benar membuatnya sulit dan berduka, sampai Allah harus menghiburnya, dengan menurunkan di surah: al-Dhuhâ dan al-Insyirâh. Perhatikanlah kandungan kedua surah itu: Demi pagi saat matahari di sepenggalah, demi malam sunyi … Tuhanmu tak sedang meninggalkanmu, pula tak sedang benci. Sungguh, pada akhirnya akan lebih baik daripada saat ini. Tuhanmu akan memberimu anugerah, lalu kau pun puas. Bukankah Ia mendapatimu sebagai yatim, lalu Ia melindungimu?! Bukankah Ia melihatmu sedang bingung, kemudian Ia memberimu petunjuk?! Bukankah Ia mendapatimu sedang kekurangan, lalu Ia mencukupimu?! Sebab itu, jangan kau sewenang-wenang terhadap anak yatim dan jangan menghardik peminta-minta. Dan, bersyukurlah atas nikmat Tuhanmu (al-Dhuhâ: 1-11) Bukankah sudah kulapangkan dadamu, kuturunkan beban berat di pundakmu, dan kumuliakan namamu?! Sungguh, bersama kesulitan selalu ada kemudahan. Bersama kesulitan benar-benar selalu ada kemudahan. Jika telah selesai dengan satu pekerjaan, bersiaplah pada pekerjaan selanjutnya. Dan, kepada Tuhanmu semata hendaknya kau berharap (al-Insyirah: 1-8) Allah menurunkan dua surah tersebut sebagai hiburan agar Rasulullah tak mengeluh dan larut dalam derita isolasi dan pengasingan. Allah mengatakan bahwa isolasi dan persasingan itu bukan tanda Ia sedang tak membenci dan meninggalkan Rasulullah. Allah juga mengingatkan, jika Rasulallah menganggap isolasi dan pengasingan membuatnya menderita maka sesungguhnya ia pernah mengalami penderitaan yang lebih, yaitu saat menjadi yatim, ditinggal orang-orang tercinta, lalu Allah melindunginya. Sedangkan dalan surah al-Insyirah, Allah menghibur bahwa penderitaan isolasi dan pengasingan tak akan selamanya. Pada waktunya akan selesai, Rasulullah dan para sahabatnya akan kembali berada dalam kemudahan. Jika kita membaca dua surah itu dengan memahami konteksnya, kita akan tahu bahwa keduanya menyodorkan terapi mengatasi deadly emotion. DALAM bahasa Al-Quran, deadly emotion disebut dengan “penyakit hati”. Al-Quran menuturkan, Dalam hati mereka terdapat penyakit. Lalu, Allah tambahkan penyakit itu (al-Baqarah: 10). Begitu Al-Quran bertutur. Dalam bahasa kita, jika tidak diredam dan dikendalikan maka emosi jiwa akan semakin membengkak membentuk dendam. Lalu, emosi sering kali lebih buruk daripada penyebabnya. Aristoteles pernah mengatakan, boleh saja kita marah, tapi marahlah kepada sasaran yang tepat, pada waktu yang tepat, dan di tempat yang tepat. Namun, jangan berkepanjangan. Pula, jangan terlalu lama memendam emosi, sebab, akan melahirkan dendam. Maka, orang yang sedang marah dan menderita stres hasrus mendapatkan pendampingan dan tempat mencurahkan perasaan agar kemarahannya tak berubah menjadi dendam. SUATU saat, tengah malam, salah seorang cucu saya data ke rumah sambil menangis. Ceritanya, cucu saya itu bertengkar dengan adiknya sampai menanggalkan gigi si adik. Dia datang kepada saya mungkin hendak mencari perlindungan agar tak dimarahi ibunya sebab telah melukai si adik. Dia terus menangis. Saya membujuknya agar mau berhenti, tapi tidak mau. Saya pun marah, kesal karena waktu tidur saya terganggu. Tentu saja, marah yang proporsional untuk anak kecil. Bukannya berhenti, tangisannya malah menjadi-jadi. Namun, setelah beberapa lama, akhirnya dia berhenti menangis. Esok paginya, saya antar cucu saya itu pulang ke orangtuanya. Saat datang ke rumah, si adik sedang tertidur. Cucu saya itu kemudian mendekatinya, lalu mencium pipinya sambil bergumam, “I’m so sorry, Baby.” Ia lakukan itu berkali-kali, barangkali karena menyesal telah melukainya. Jadi, anak kecil juga bisa mengalami stres, seperti cucu saya itu, yang disebabkan oleh perasaan benar-benar bersalah karena telah melukai adiknya. Perasaan bersalah seperti itu bisa menjadi salah satu penyebab deadly emotion, apalagi yang menjadi korban adalah orang terdekat dan tercinta. Nah, pada saat seperti itu, dia seharusnya mendapatkan dukungan dari orang-orang sekitarnya agar stresnya hilang. Pada saat itu, saya salah, karena memarahinya justru pada saat dia membutuhkan perlindungan dan dukungan. Saya malah membuatnya tambah stres. JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Prasangka BurukDecember 2, 2024RASULULLAH bersabda, “Dosa paling besar adalah berprasangka buruk kepada Allah” (akbar al-kabair su’u al-zhann billah). Saya memiliki anak bungsu yang sering sakit. Di antara anak-anak saya, dialah yang paling rajin kirim sms, dan selalu mengakhiri pesannya dengan “I love you, Daddy”, apa pun isi pesan itu. Suatu ketika dia mengirim sms, mengeluhkan keadaannya yang mudah sakit, “Daddy, i think God doesn’t love me anymore. He want to punish me for what I have done” Saya tak membalas pesannya itu dengan sms, tapi menggunakan surat, sebab, perlu penjelasan panjang yang tak cukup hanya dengan sms. Dalam surat itu, saya katakan, kamu telah berprasangka buruk kepada Tuhan. Kamu kira Tuhan tidak sayang lagi kepadamu, padahal setiap hari Ia mencurahkan kasih sayang dan anugerah-Nya. Tapi, kamu malah menganggap Tuhan sebagai tukang hukum. Itu seperti yang disebutkan dalam Al-Quran, Bila Tuhan memberi kemuliaan dan anugerah, manusia akan mengatakan bahwa Tuhan sedang memuliakannya. Dan, jika Ia menyempitkan rezeki, manusia akan berpikir bahwa Tuhan sedang merendahkannya. Sama sekali tidak seperti itu (al-Fajr: 15-17). Terkait dengan berprasangka buruk ini, ada sabda Rasulullah yang menurut saya cukup menarik, “Kepengecutan, kebakhilan, dan kerakusan merupakan satu sifat.” Maksudnya, semua sifat itu sama-sama lahir dari prasangka buruk. Orang menjadi penakut dan pengecut sesungguhnya lahir dari pikirannya yang penuh dengan prasangka buruk tentang ketakutan-ketakutan. Orang menjadi bakhil, pelit, sebab, menurut pikiran buruknya, jika harta-hartanya dikeluarkan, ia akan bangkrut dan jatuh miskin. Pikiran-pikiran buruk itu selalu diembuskan setan. ADA sabda Rasulullah yang kurang lebih demikian, “Dugalah perilaku seseorang dengan hal paling baik sampai kau yakin keburukannya benar-benar terbukti di matamu. Jangan pernah menilai-buruk ucapan seseorang sampai kautahu alasan kenapa ia mengucapkannya.” Jadi, kita mesti menerapkan asas praduga tak bersalah pada setiap peristiwa. Jangan terburu-buru mengambil kesimpulan sebelum bukti-bukti dan alasan-alasan secara komprehensif terkumpul. Itu sama dengan husn al-zhann, berprasangka baik, kebalikan dari suu al-zhann, berprasangka buruk. Berprasangka baik sajalah agar jiwa kita tenang. Sebab, berprasangka buruk menjadikan seseorang takut dan cemas terhadap sesuatu yang sebetulnya belum pasti terjadi, membuat hidupnya tidak tenang dan gelisah. Suatu saat, saya harus menghadiri sebuah pernikahan … Keluar dari bandara, jalanan macet dan seketika saya langsung menduga-duga, saya pasti telat, padahal harus menyampaikan khotbah nikah. Jika demikian, tuan rumah yang mengundang saya pasti akan kecewa. Lalu, orang-orang pun tidak akan percaya lagi dengan saya. Dalam mobil, di sepanjang perjalanan yang macet itu, saya gelisah sendiri. Bermacam pikiran buruk memperkeruh pikiran saya. Namun, akhirnya, saya tersadar dan berusaha bersikap tenang. Pikiran-pikiran gelisah saya singkirkan. Saya tetap telat menghadiri pernikahan dan memberikan khotbahnya, meski keadaannya tak seburuk seperti yang saya bayangkan. DALAM buku saya yang berjudul Meraih Kebahagiaan, saya tulis kisah yang diambil dari buku Chicken Soup for the Soul karya Jack Canfield dkk…. Ada seorang pengendara mobil yang kebelet buang air. Ia menghentikan mobilnya, lalu mencari-cari toilet. Tak ketemu juga, akhirnya ia menjumpai seorang polisi dan menanyakan tentang toilet itu. Kemudian Polisi menunjuk komplek pemakaman, barangkali di sana ada. Masuklah laki-laki itu ke komplek dengan tergesa-gesa dan gelisah. Laki-laki itu semakin gelisah, saat memasuki komplek itu ia harus mengisi buku tamu. Ia pun membubuhkan nama, alamat, nomor telepon, dan tanda tangan dengan sedikit dongkol. Singkat cerita, sekian minggu kemudian, laki-laki itu ditelepon oleh seorang pengacara di New York, terkait soal isi buku tamu di komplek pemakaman. Si pengacara meminta laki-laki tersebut segera mendatangi kantornya di New York. Laki-laki itu kaget dengan panggilan si pengacara. Apa salahku sampai harus datang ke kantor pengacara, pikir laki-laki itu. Ia menduga-duga, jangan-jangan karena kasus buang air di komplek pemakaman itu. Laki-laki itu pun datang ke kantor si pengacara dengan membawa kartu identitas seperti yang diminta pengacara itu, dan tentu saja dengan hati gelisah. Setelah sampai, si pengacara pun mengutarakan maksudnya memanggil laki-laki itu. Si pengacara bercerita, ada orang yang termasuk terkaya di New York ini. Namun, kehidupannya sepi, sendiri, karena tak punya keluarga. Kawan-kawannya pun menjauhinya. Sebab, selama hidup, orang itu merasa bahwa orang-orang yang berusaha mendekatinya selalu untuk urusan uang, orang yang datang kepadanya selalu dicurigai hendak menipu atau mengambil hartanya. Lantas, karena tak ada kawan dan keluarga semasa hidup, ia berpikir, jika meninggal kelak, pastilah tidak ada orang yang akan datang ke pemakamannya. Sebab itu, ia berwasiat, setengah dari kekayaannya akan diberikan kepada siapa saja yang mau menghadiri pemakamannya, memberikan penghormatan terakhir. Orang itu kemudian meninggal. Dan saat pemakaman, dibuatlah buku tamu untuk mengetahui siapa saja yang menghadiri pemakaman itu. Dan ternyata, laki-laki yang kebelet buang air itulah satu-satunya orang yang mengisi buku tamu tersebut. Ia pun berhak mendapatkan setengah dari kekayaan orang terkaya di New York itu. Laki-laki itu pun akhirnya lega. Awalnya dia mengira akan tersangkut kasus hukum yang membuatnya cemas dan gelisah. Ya, begitulah. Terkadang kita terlalu mencemaskan masa depan yang sesungguhnya belum tentu seperti yang kita pikirkan. Dan, semua itu lahir dari prasangka buruk yang menyelubungi pikiran kita. DALAM Al-Quran, Allah berfirman, menunjuk orang-orang yang tak ikut berperang karena berprasangka buruk bahwa mereka yang bergabung dalam pasukan perang bersama Rasulullah tidak akan kembali kepada keluarga masing-masing, selamanya. Allah berfirman, Setan telah menghias prasangka itu di hati kalian. Kalian telah berprasangka buruk. Maka, jadilah kalian kaum yang menderita (al-Fath: 12). Jadi, saat para sahabat bersemangat berjuang bersama Rasulullah, ada sementara orang yang pesimis yang mengkhawatirkan akan terjadi hal buruk jika ikut peperangan itu. Kenapa pada satu realitas yang sama, dalam hal ini peperangan pimpinan Rasulullah, sebagian para sahabat begitu penuh semangat bergabung, sementara, sebagian yang lain cemas, takut terbunuh, tidak akan kembali kepada keluarga, sehingga mereka tidak berani bergabung dalam peperangan itu? Semua itu bermula dari cara berpikir: prasangka baik sebagian para sahabat mendorong mereka bergabung bersama Rasulullah, prasangka buruk menyebabkan sebagian yang lain enggan bergabung. Kenapa itu terjadi? Kita akan lihat dari sisi ilmiah … Secara psikologis, buruk sangka memang menyebabkan berbagai penderitaan jiwa: marah, cemas, dan beragam emosi negatif lainnya. Di otak manusia, ada bagian yang disebut amigdala (amygdale), yaitu bagian otak yang berfungsi memproses emosi. Kita mesti memahami ini agar dapat mengendalikan diri saat emosi. Pada kondisi emosional, amygdale memegang peranan yang sangat menentukan. Hal ini disebabkan amygdale memindai semua informasi yang masuk melalui pancaindra dengan pertanyaan yang sangat sederhana, bahkan primitif, seperti: Apakah yang Anda hadapi ini adalah hal yang Anda benci/takuti? Jika jawaban pertanyaan itu adalah “ya” maka amygdale mengirimkan sinyal ke semua bagian otak untuk siaga. Jika jawabannya adalah “tidak” maka otak akan mengirimkan sinyal aman. Jadi, bisa dibuat analogi bahwa amygdale itu semacam alarm yang akan berbunyi jika terjadi kebakaran atau semisalnya. Ketika sebagian para sahabat melihat bahwa peperangan bersama Rasulullah itu hanya mengantarkan nyawa pada kematian, dan pasti akan membawa kesedihan pada keluarga yang ditinggalkan, segera saja amygdale dalam otak mereka memberi sinyal siaga: peperangan itu harus dihindari. Merekalah orang-orang yang cemas, yang jiwa mereka menderita. Berbeda dengan para sahabat yang melihat peperangan saat itu sebagai manifestasi pembelaan kepada agama, amygdale mereka memberi sinyal bahwa peperangan itu adalah sesuatu yang baik sehingga mereka tak gentar bergabung bersama Rasulullah. Maka, baiklah kita selalu melatih diri untuk selalu berprasangka baik. Sebab, dari situlah kebahagiaan jiwa bermula. HANYA dalam tiga hal ini kita boleh berprasangka buruk, pertama, terhadap musuh atau di daerah yang tak aman. Dalam peperangan, misalnya, kita harus sû’u al-zhann. Jika melihat musuh menghampiri, kita tidak boleh berprasangka baik: ah, barangkali dia mau memberikan pedangnya atau minumannya. Dalam kondisi perang seperti itu, kita harus berpikir bahwa setiap musuh yang menghampiri pasti hendak menghunuskan pedangnya. Dalam konteks keseharian, misal, jika naik bis, kereta, atau sejenisnya, di mana kita sama sekali tak mengenal satu sama lain, kita mesti sû’u al-zhann. Kita tidak pernah tahu, orang yang duduk di samping kita itu benar-benar penumpang atau sesungguhnya adalah copet. Kita mesti berprasangka buruk, misal, kepada orang yang sama sekali tak kenal dan baru berjumpa, yang memberi makanan atau minuman. Siapa tahu dia adalah penjahat yang telah memberi obat bius dalam makanan atau minuman tersebut. Kemungkinan-kemungkinan semacam itu mesti kita pertimbangkan dalam pikiran kita. Semua sû’u al-zhann atau waspada itu adalah dalam rangka menyelamatkan diri kita. Kedua, dalam memberi amanah. Kita harus berhati-hati dalam memberikan kepercayaan kepada orang. Kita harus benar-benar kenal orang tersebut. Suatu ketika, ada yang datang kepada saya, meminta saya menjadi bapak asuh untuk beberapa anak tak mampu di sekitar Majalengka agar tetap bisa melanjutkan sekolah dasar. Awalnya, saya hanya menjadi bapak asuh untuk lima belas anak. Kebutuhan pendidikan mereka saya jamin. Lalu, orang itu juga saya bawa kepada ibu-ibu di Jakarta. Dan, bertambahlah anak-anak asuh itu sampai berjumlah sekitar tujuh ratusan. Semua itu berlangsung sekitar satu tahun. Selama itu pula, saya tidak pernah tahu tentang anak-anak yang menjadi asuhan saya itu. Saya hanya memercayakan saja kepada orang tersebut. Suatu ketika, saya meminta mahasiswa saya untuk melakukan penelitian di daerah tempat anak-anak asuh itu tinggal, mendatangi SD mereka. Mencengangkan! Ternyata sekolah-sekolah yang disebut oleh orang yang mendatangi saya itu fiktif. Memang ada beberapa sekolah yang benar adanya. Namun, pihak sekolah mengatakan bahwa memang ada orang yang menjanjikan bantuan untuk sekolah tersebut, tapi, ternyata bantuan itu tak pernah datang. Artinya, selama ini saya dan beberapa ibu-ibu di Jakarta tertipu. Tentu saja setelah itu kami menghentikan sama sekali bantuan itu. Dan awalnya, kami berniat mengadukan ini ke polisi untuk kasus penipuan, namun, kami urungkan. Jadi, begitulah, kita mesti hati-hati betul soal kepercayaan ini. Orang yang kita kenal baik pun belum tentu adalah orang dapat dipercaya. Ketiga, terkait soal ilmu agama. Tujuannya adalah untuk menjaga kemurnian sumber-sumber keagamaan. Dalam tradisi ilmu hadis, misalkan, hadis yang sampai kepada kita, yang bisa kita baca di kitab-kitab hadis itu, Shahih al-Bukhari, misalkan, untuk dikatakan sahih, valid, sehingga bisa menjadi sandaran hukum, sudah melewati pengujian ketat terhadap para periwayat hadis itu. Imam Bukhari, penulis kitab itu, telah meneliti jati diri dan kapasitas keilmuan para periwayat hadis yang ia tulis dalam kitabnya tersebut. Dalam proses penelitian itu, tentu saja bukan asal anggap saja. Semua periwayat yang diteliti, dianggap dengan asumsi awal bahwa mereka belum tentu baik sampai terbukti para periwayat tersebut sudah sesuai standar keilmuan, sehingga hadisnya dapat digunakan sebagai sandaran hukum. Semua itu dilakukan untuk memelihara sumber-sumber keagamaan agar tak dipalsukan. Maka, kita tahu, ada hadis-hadis palsu, artinya sebuah hadis disandarkan kepada Rasulullah, padahal ia tak pernah mengucapkannya. Biasanya, penyandaran semacam itu dilakukan untuk melegitimasi kepentingan-kepentingan tertentu. JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Kekeliruan BerpikirDecember 1, 2024Kekeliruan berpikir tak jarang menyebabkan depresi, ketakutan, keinginan membalas dendam dan berbagai gangguan kejiwaan lainnya. Di dalam Al-Quran, kekeliruan berpikir disebut dengan zhann yang diterjemahkan dengan “buruk sangka”. Allah berfirman, Jauhi banyak berprasangka buruk. Sebab, ada dosa terselip di sana. Pula, jangan senang mencari-cari dan membicarakan keburukan sesama. Bukankah kau tak suka memakan daging saudaramu yang telah tiada?! Bertakwalah kepada Allah Yang Maha Penerima Tobat dan Maha Penyayang (al-Hujurat: 12). Jadi, dalam Islam, prasangka buruk atau kekeliruan berpikir dipandang dosa, peringatan keras untuk dijauhi. Mengapa demikian? Sebab, orang yang selalu berprasangka buruk menyimpan kesalahan dalam pola pikirnya. Tak terlihat dari matanya selain kesalahan dan keburukan orang lain. Jika tak ditemukan, ia akan mencari-cari. Kekeliruan atau kerusakan berpikir bisa disebabkan salah satunya oleh pertengkaran. Jadi, korban pertama dari pertengkaran sesungguhnya adalah pola pikir. Segala kesalahan yang sebelumnya terpendam menjadi mencuat. Masing-masing pihak berusaha memojokkan dengan memaparkan deretan kesalahan lawannya. Jika cara berpikir sudah salah maka apa pun yang dipandang akan tampak salah. Pola pikir sangat berpengaruh terhadap kejiwaan seseorang. Ada sekian ayat di beberapa Surah Al-Quran, antara lain al-Baqarah: 189, Ali ‘Imran: 130, yang artinya Bertakwalah kepada Allah agar kalian bahagia. Ayat yang menyandingkan ketakwaan dengan kebahagiaan. Dan, salah satu orang bertakwa, seperti dalam ayat Surah al-Hujurat di atas, adalah menjauhi zhann, buruk sangka atau kekeliruan berpikir. Dari situ, kita bisa tahu korelasi pola pikir dengan kejiwaan seseorang. Saya pernah menjenguk seseorang di ICU. Di sana, ada seorang wanita yang menangis sedemikian histeris karena ibunya meninggal. Ia menangis bukan hanya karena kepergian sang ibu, melainkan juga karena merasa menjadi penyebab kematiannya. Ia berkata dengan histeris bahwa jika saja ia tak membawa ibunya ke rumah sakit itu. Sementara, saudara-saudaranya berusaha menenangkan, menghibur bahwa kematian sang ibu sudah takdir Tuhan. Wanita itu terus menangis histeris, tetap berpikir bahwa kematian sang ibu karena ulahnya. Ia begitu merasa bersalah, atau bahkan sudah pada tingkat depresi. Sebab, salah satu gejala depresi adalah selalu menyalahkan diri. Atau, misal, seorang ibu yang menyalahkan diri karena prestasi sekolah anaknya yang hancur. Ia akan menyalahkan, bahwa dirinya memang bukan ibu yang baik, tak mampu membuat anaknya berprestasi. Ya, seperti itulah zhann, kekeliruan berpikir. Dalam psikologi, kekeliruan berpikir, seperti yang dialami wanita di atas, disebut dengan control palsy, yaitu merasa dirinya adalah pengendali alam semesta, merasa bertanggung jawab terhadap peristiwa yang terjadi, termasuk pada contoh kematian sang ibu atau prestasi anak. KEKELIRUAN berpikir lainnya adalah sebutan self blame (menyalahkan diri). Contohnya seperti ini: Seorang istri mengetahui suaminya berselingkuh. Tapi, si istri tak menyalahkan perselingkuhan suaminya itu, tapi justru menyalahkan diri sendiri. Ia berpikir, barangkali dirinya tak menarik lagi, atau mungkin dirinya seperti ini, seperti itu. Ia menyalahkan diri, seolah-olah menjadi penyebab perselingkuhan suaminya itu. Lalu, justru ia yang meminta maaf kepada suaminya, dan berusaha mengubah diri agar suaminya tak berselingkuh. Ia tak berpikir bahwa atas alasan apa pun, perselingkuhan tetap yang disalahkan. Maka, seharusnya si suami yang meminta maaf kepada istrinya, dan barulah si istri memaafkan. Memaafkan harus menyalahkan si penyinggung bukan yang tersinggung. KEMUDIAN, ada juga sebutan over generalization. Misal, kita sering mendengar kata-kata ‘dasar bodoh!’. Padahal, kesalahan yang dilakukan orang yang dimaksud bisa saja terhadap satu atau dua hal, tapi ia disebut bodoh untuk keseluruhan. Dengan mengatakan ‘dasar bodoh!’, seolah-olah orang yang dimaksud selalu bodoh setiap saat. Over generalization juga bisa kita lihat dalam ramalan zodiak atau shio. Itu semuanya over generalization. Maka, tak perlu kita percaya kepada zodiak atau shio. Itu bagian dari kesalahan berpikir, zhann. Ada cerita … Bertahun-tahun, seseorang merasa shionya adalah kerbau. Berbagai peristiwa dalam hidupnya memang sesuai dengan ramalan-ramalan shio kerbau. Sampai suatu ketika ditemukanlah akta kelahirannya yang selama ini hilang dan diketahui bahwa shio sebenarnya adalah tikus. Namun, karena sudah merasa cocok dengan shio kerbau, akhirnya orang tersebut mengubah shio yang sebenarnya, yaitu tikus, menjadi shio kerbau. Suatu ketika saya makan di sebuah restoran. Saya pilih menu fried chicken. Saat makanan hampir habis, saya lihat ada puntung rokok di piring saya. Dan, sejak saat itu, saya tak pernah datang lagi ke sana. Ini juga over generalization. Kesimpulan yang keliru. Efek paling parah dari over generalization adalah kehilangan kepercayaan terhadap orang yang bersangkutan. Pikiran kita sudah tertutup untuk menilai-lain orang tersebut. Itulah yang disebut dengan global labelling. ADA seorang lajang menjabat kepala akuntansi di sebuah kantor. Ia mengajak makan malam salah seorang pegawainya. Namun, pegawai perempuan itu menolak karena suatu alasan. Sejak saat itu, kepala kantor tersebut tak lagi mau mengajak makan malam pegawainya. Ia telah telanjur berkesimpulan bahwa tak satu pun perempuan di kantornya yang tertarik dengannya. Padahal ia baru sekali mengajak pegawainya makan malam, dan kebetulan pegawainya itu menolak. KESALAHAN berpikir lainnya adalah filtering, yaitu menyaring beragam informasi yang sampai kepada kita, lalu hanya memilih bagian yang dianggap sesuai dengan kecenderungan kita. Suatu ketika, seorang petani kehilangan kapak, dan mencurigai tetangganya sebagai pencuri kapak itu. Setiap melihat tetangga tersebut, si petani selalu memandang sinis. Ia menunggu perubahan sikap tetangganya itu untuk membuktikan bahwa dia memang pencuri kapaknya. Si tetangga yang merasa ada yang tak biasa dengan tingkah petani itu akhirnya risih juga, dan berusaha menghindar jika bertemu dengannya. Si petani pun akhirnya berkesimpulan, jangan-jangan tetangga itu memang pencuri kapaknya. Jika tidak, kenapa ia merasa risih dan selalu menghindar jika bertemu. Sampai kemudian, si petani menemukan kapaknya yang ternyata tertimbun tumpukan jerami. Jika kita mengumpulkan informasi yang hanya sesuai dengan kemauan kita, karena pikiran kita sesungguhnya sudah terarahkan pada satu kesimpulan maka itulah filtering. Gejala filtering juga, misal, jika kita hanya melihat keburukan yang dilakukan seseorang kepada kita dengan mengabaikan kebaikan-kebaikan yang juga pernah ia lakukan. KEKELIRUAN berpikir lainnya adalah mind reading, yaitu kita seperti bisa membaca pikiran orang yang berisi ejekan kepada kita—padahal hanya dugaan. Orang-orang di sekitar kita seperti meremehkan, menurut pikiran kita. Ada seorang anak yang bertahun-tahun tidak akur dengan bapaknya. Si anak tidak mau menemui bapaknya karena berpikir bahwa bapaknya tidak mencintainya. Suatu ketika, si anak diminta segera pulang karena bapaknya sedang sekarat. Si anak pun segera pulang. Namun, sayang, sebelum kedua- nya sempat bertemu, si bapak telah meninggal dunia. Ibunya menyampaikan kepada anaknya itu bahwa sebelum meninggal bapak sempat berkata, ia begitu mencintai dan bangga terhadap anaknya tersebut. Tentu saja si anak menyesal begitu dalam. Selama ini dugaannya keliru. Begitulah … Kita sering salah duga karena kesimpulan kesimpulan yang keliru. MENURUT kaum psikolog kognitif, seluruh perasaan kita sesungguhnya lahir dari pikiran, apakah itu perasaan sedih, marah, gembira dan sebagainya. Seorang wanita di atas merasa bersalah dengan kematian ibunya karena ia berpikir, dialah penyebab kematian ibunya—dengan membawa si ibu ke rumah sakit. Ia berpikir, andai saja ibunya tak dibawa ke rumah sakit, barangkali kisahnya akan lain. Seorang anak menyesal begitu dalam dengan kepergian bapaknya setelah selama ini ia salah sangka, kemudian tahu bahwa sang bapak sesungguhnya demikian cinta dan bangga terhadapnya. AL-QURAN sudah menegaskan, jauhilah zhann, kekeliruan berpikir, dan berpikir negatif. Jadi, jika terhadap suatu peristiwa kita menyalahkan diri, segera saja kecenderungan itu kita bantah dari dalam jiwa kita sendiri, agar keadaan tetap terkendali. Jangan terburu-buru mengambil kesimpulan bahwa diri kita adalah sumber kesalahan. Jauhilah segala prasangka. Dalam sebuah hadis qudsi, Rasulullah menyampaikan apa yang pernah Allah firmankan, “Aku menyesuaikan diri dengan prasangka seorang hamba. Aku selalu bersamanya jika ia berdoa kepadaku. Jika ia sebut nama-Ku di hatinya, Kusebut namanya di hati-Ku” (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah). Jadi, jika kita berpikir positif, berprasangka baik kepada diri kita maka Allah akan memberi kebaikan dan ketenangan. Demikian sebaliknya, jika benak kita dipenuhi prasangka buruk maka kesempitan jiwa yang akan kita dapatkan, semua yang terlihat akan tampak buruk. Sekadar berpikir positif saja sudah baik, meski tanpa bukti yang mengarah ke situ. Namun, akan lebih baik lagi jika pikiran-pikiran positif kita terhadap sesuatu disertai dengan bukti-bukti yang membenarkan pikiran kita. Jadi, pikiran kita tidak tertipu. JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
MemaafkanDecember 1, 2024Saya pernah menjadi korban fitnah. Dituduh telah melakukan sesuatu yang sesungguhnya tak pernah saya lakukan. Saya merasa dikhianati. Secara tidak langsung, itu adalah pengusiran. Saya pun pulang ke Bandung dengan perasaan depresi. Sedemikian sakit hati, terlintas ingin membalas dendam. Ini respons alamiah, menurut saya. Dan, memang, keinginan membalas dendam itu benar-benar menjadi beban pikiran, makan tidak enak, tidur tidak nyenyak, kepercayaan kepada orang lain hilang. Dan, semua itu akan sirna, hati ini akan sembuh dan lega, jika dendam itu dilampiaskan. Kebetulan, ada orang-orang di sekitar Tanjung Priok, Bekasi, dan sekitarnya, yang menganggap saya ustaz, guru mereka. Mereka itu para preman yang siap menjadi kaki tangan jika saya ingin melampiaskan dendam, siap melakukan sesuatu bahkan yang paling berisiko sekali pun. Saya bilang, jangan. Pun seandainya mesti balas dendam, saya sekadar ingin memberi pelajaran kepada orang-orang yang memfitnah saya itu. Tapi, semua itu saya urungkan. Saya pulang saja ke Bandung. Saya ceritakan peristiwa itu kepada istri dan anak-anak saya. Mereka tampak muram mendengar cerita saya. Rupanya saya masih menyimpan sakit hati. Di depan mereka, saya berceloteh bahwa saya benar-benar ingin membalas dendam. Tiba-tiba, anak laki-laki terbesar saya, yang dikenal pendiam di keluarga, berkata, “Hidup bahagia adalah cara membalas dendam yang paling baik.” Hati saya langsung tersentuh mendengar ucapannya itu. Maksudnya, yang terjadi, ya, sudahlah. Perhatian kita jangan dihabiskan untuk meratapi masa lalu. Kehidupan yang kita dapatkan dan kebahagiaan yang kita fokuskan di keluarga ini, saat ini, sudah cukup untuk mengobati sakit hati tanpa harus membalas dendam kepada orang yang menyakiti hati. DALAM Al-Quran disebutkan, Balaslah perbuatan mereka setimpal dengan apa yang mereka perbuat kepadamu. Namun, jika kau lebih memilih menahan diri, itu lebih baik (al-Nahl:125). Jadi, menurut Al-Quran, obat terbaik untuk menyembuhkan sakit hati adalah tak membalas sakit hati, menahan diri untuk kemudian memaafkan. Bagaimana caranya? Pertama, sadari bahwa yang mereka lakukan kepada kita adalah sebuah kesalahan. Dan, jika mereka menyakiti kita maka barangkali kita pun pernah menyakiti hati orang lain. Apa yang akan terjadi jika kehidupan dunia penuh dengan aksi balas dendam?! Kedua, lepaskan hak untuk membalas, menahan diri. Coba, perhatikan ayat di atas, kita hanya diperbolehkan—dan itu hak—membalas perlakuan menyakitkan, dengan perlakuan yang serupa. Namun, ini sangat sulit, apalagi jika hati dan perasaan kita ikut sakit. Sebab, barangkali sudah menjadi kecenderungan bahwa kita akan sangat puas jika sudah melakukan pembalasan dengan hal yang lebih buruk. Dan, itu sesungguhnya tak menghapus sakit hati. Jika demikian, kita akan terjerumus pada kesalahan yang sama atau bahkan lebih buruk dari kesalahan orang yang menyakiti hati kita. Maka, agar tak terjerumus pada kesalahan itu, lebih baik menahan diri, tak membalas, untuk kemudian memaafkan. Ketiga, setelah memahami dan melepaskan hak membalas, dan ini yang paling berat, adalah mencintai orang yang menyakiti hati kita. Kapan maaf kita berikan? Maaf diperlukan ketika luka yang kita derita begitu dalam, mungkin berkepanjangan, dan tak terlupakan. Sebab, jika tidak memaafkan, luka itu justru akan semakin dalam, semakin berkepanjangan, dan semakin lama akan semakin mengarat di hati. Dengan tidak memaafkan, berarti kita sedang merajut kepedihan hati sendiri, terus-menerus. Kalau kesalahan kecil, luka-luka kecil, tentu mudah dilupakan dan cepat sembuh. Dan, secara otomatis termaafkan. DI Pasca Sarjana Unpad, saya pernah meminta para mahasiswa memfotokopi buku saya. Saat dikembalikan, buku itu jadi kotor, basah, padahal itu buku baru. Saya tanya mereka, apakah kotor dan basah buku itu sudah ada tiga minggu lalu sejak saya meminjamkan atau baru saja. Salah seorang dari mereka menjawab bahwa kotor dan basah itu sudah lama. Saya tahu mereka berbohong, mungkin agar tak disalahkan. Seketika saya tersinggung dan sakit hati. Saya bilang kepada mereka bahwa ada dua makhluk yang saya cintai di dunia ini: istri saya dan buku. Dan, mereka telah mengotori dan merusak salah satunya. Bukan hanya karena itu saya sakit hati, melainkan karena mereka juga telah berbohong. Tidak mungkin basah buku itu sudah tiga minggu sejak saya pinjamkan. Sebab, sebasah apa pun, tidak akan selama itu. Mereka tahu saya marah. Lalu, mereka pun minta maaf. Saya bilang kepada mereka, jika tidak memaafkan, saya akan lebih menderita daripada sekadar sebab buku saya yang rusak. Nah, yang sulit itu mempraktikkan cara memaafkan yang ketiga, yaitu mencintai orang yang berbuat salah. Wah, kalau seperti itu, nanti para mahasiswa saya akan tidak bertanggung jawab dan akan merasa tenang jika kelak kembali merusak buku saya. Jadi, yang ketiga itu memang tak mudah, tapi tak berarti mustahil. Dan, yang seperti itu harus dilatih. MAKA, jadilah seorang pemaaf. Sebab, kebaikan maaf ternyata justru berpulang kepada diri kita, yaitu mengobati rasa sakit hati. Saya yakin, orang yang mudah memaafkan adalah orang yang hidupnya bahagia. Sebab, memaafkan tidak lahir kecuali dari hati yang bahagia. JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Mengubah Sudut PandangNovember 29, 2024Allah berfirman, Ada malaikat-malaikat pengiring yang secara bergiliran membantu manusia menjakan perintah Allah. Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mau memulai sendiri perubahan itu. jika la berkehendak menimpakan keburukan kepada suatu kaum maka siapa pula yang mampu mencegahnya. Untuk mereka, tidak ada pelindung selain Allah, la memperlihatkan halilintar yang membuat kalian takut dan pada saat yang sama kalian menyampaikan harapan. Allah pula yang membentuk awan mendung itu (al-Ra’d: 11-12). Ada ayat lain yang memiliki semangat sama dengan ayat tersebut, yaitu ayat ke-58 Surah al-Anfal, Allah tak akan mencabut anugerah suatu kaum sampai mereka sendiri sesungguhnya yang berulah. Demikianlah Allah menghukum Firaun dan kaumnya. Artinya, sebaliknya, jika kita berbuat sesuatu yang mendukung hadirnya anugerah maka Allah pun akan membantu prosesnya. Begitulah. Dalam dua ayat di atas Allah menyelipkan pesan bahwa kerja keras dan optimisme semestinya menjadi satu paket yang niscaya dalam kehidupan. Akan selalu ada hasil jika kita fokus pada apa yang kita kerjakan. Selalu ada konsekuensi dari setiap pilihan yang diambil. HIDUP kita ini tak beralas realitas. Kita hanya berdiri di atas definisi dan penafsiran terhadap realitas. Saya ulangi inti pembahasan artikel sebelum ini: keberuntungan dan kemalangan, anugerah dan musibah, adalah keniscayaan hidup. Namun, derita dan bahagia adalah sikap dan ada dalam kendali hati. Artinya, tak bisa kita katakan, orang yang tertimpa kemalangan dan musibah pasti menderita. Demikian sebaliknya, kita tak bisa pastikan, anugerah materi duniawi selalu membuat orang bahagia. Dalam Surah al-Rad di atas, Allah memberikan tamsil, Allah memperlihatkan halilintar yang membuat kalian takut dan pada saat yang sama kalian menyampaikan harapan. Allah pula yang membentuk awan mendung itu. Menurut saya, tamsil tersebut benar-benar indah dan menarik: halilintar itu dapat menimbulkan ketakutan, dan pada saat yang sama bisa melahirkan harapan, tergantung dari sudut mana kita memandang. Dari sudut pandang yang positif, tentu saja halilintar dan awan mendung hitam adalah harapan akan turunnya hujan. Betapapun hallintar itu begitu terang di mata dan demikian terngiang di telinga, betapa pun awan mendung hitam itu begitu kelam, kesan menakutkan akan segera sirna bila yang kita lihat adalah turunnya air, sumber kehidupan. Realitasnya tunggal: halilintar. Namun, penafsiran atas realitas itu tak tunggal: ketakutan atau harapan, tergantung sudut pandang. Dengan memahami demikian, kita tidak akan mempersoalkan musibah, lalu menyalahkan Tuhan. Musibah itu niscaya. Jika Tuhan berkehendak, tak ada seorang pun yang dapat menghindar. Maka, ubahlah sudut pandang Anda sendiri agar setiap musibah tak menjadi derita. Contoh lain, senyuman. Di mana-mana senyuman itu sama saja: bibir yang melebar, menampakkan gigi, atau sekadar senyuman mesem yang tanpa menampakkan gigi. Siapa saja dan di mana saja, begitu yang namanya senyum. Namun, arti senyuman itu akan bermacam-macam: keramahan, ejekan, terpesona, dan lain-lain. Maka, kita terkadang salah tangkap. Kita pikir, orang tersenyum karena terpesona, lalu, kita pun senang. Padahal, bisa saja ia tersenyum karena sedang mengejek diam-diam. Di SMA Plus yang saya kepalai, pada hasil ujian akhir nasional (UN), dewan guru tak meluluskan seorang siswa yang cerdas. Nilai hasil ujian akhirnya itu bahkan rata-rata 8,5. Kami tak meluluskan, sebab anak itu mengabaikan ujian lokal sekolah. Dia pikir, jika nilai UAN saja sedemikian bagus dan tentu saja lulus maka tak perlulah ikut ujian lokal. Ia pun menggampangkan. Namun, sekolah kami tak hanya melihat sisi akademis, perilaku para siswa Juga kami perhatikan. Kami pikir, orang tua si siswa akan shock, stres, marah, atau tak terima, melihat masa depan pendidikan anaknya yang terhambat. Ternyata tidak. Bahkan, mereka malah berterima kasih setelah kami Jelaskan. Mereka menganggap yang terjadi sebagai pelajaran penting agar si, anak mau memperbaiki kecenderungan buruk dirinya. Lebih baik diperlihatkan halilintar dengan suara demikian ngiang saat ini daripada tersambar pada, puncak kariernya kelak. Halilintar yang bergelegar di telinga tak mereka anggap sebagai ketakutan, tapi harapan: agar anaknya mawas diri dan mau berubah untuk kebaikan di masa depan. Menurut para psikolog, itulah yang dikenal dengan reframing: mengubah sudut pandang, melihat objek pandangan dari sisi berbeda. Seperti, jika kita membidik objek foto: bila dari satu sisi kita tahu hasil bidikan tidak akan bagus maka, coba carilah sisi lain sampai bidikan benar-benar bagus. Jadi, yang diubah adalah sudut, bukan objek pandangan. Seperti itulah kita memahami ayat, Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mau memulai sendiri perubahan itu (al-Ra’d: 11). Perubahan itu salah satunya adalah dengan mengubah sudut pandang. Saat sakit, misalkan, janganlah seluruh pikiran digunakan untuk meratap. Sebab, itu akan menjadikan keadaan lebih buruk. Tapi, berpikirlah untuk menemukan kebaikan. Coba perhatikan, orang yang sakit tentu akan lebih banyak waktu berkumpul bersama keluarga, saudara-saudara, dan para tetangga yang menjenguknya. Suatu kesempatan yang barangkali tak bisa dilakukan dengan baik saat sibuk oleh pekerjaan, kala sehat. Kehadiran kerabat-kerabat di sisi saudara yang sakit akan membantu memulihkan keadaan dari sisi psikologis, dan berangsur-angsur akan berpengaruh pada kondisi fisik. ADA orang kaya berkat kesuksesan usahanya. Baik pula. Sering membantu saudara-saudara dan para tetangganya, menanggung kebutuhan mereka. Namun, ia punya kekurangan, yaitu berpikir bahwa hidup saudara-saudara dan para tetangganya bergantung kepadanya. Jika saja ia tak ada, pasti melarat hidup mereka, siapa lagi yang akan menanggung beban ekonomi mereka. Ia selalu merasa demikian. Suatu ketika, orang itu menunaikan ibadah haji bersama keluarganya. Di Makkah, ia jatuh sakit. Agak parah, bahkan sampai sekembalinya ke Tanah Air. Di sini pun ia cukup lama menanggung sakitnya. Dengan kasih sayang, keluarga merawatnya. Sampai kemudian tersadar, betapa ia yang dulu pernah berpikir menjadi penanggung hidup dan menjadi tempat bergantung keluarga, kini harus tak berdaya dan malah berbalik bergantung kepada mereka. Ia menyadari, betapa mereka sayang kepadanya. Selama ini matanya samar karena tertutup keangkuhan. Kondisi sakitnya itulah yang mengubah cara pandang terhadap keluarganya. Ia tak lagi meletakkan keluarganya dalam bingkai materi. BEGITULAH. Untuk menunjukkan kekurangan diri, terkadang seseorang perlu diberi guncangan-guncangan dan gelegar-gelegar halilintar. DAHULU, di Romawi, ada seorang bernama Anicius Boethius yang besar dalam keluarga aristokrat kaya. Ia menikah dengan putri aristokrat itu. Anicius hidup kira-kira tiga puluh tahunan sebelum Rasulullah lahir. Saat itu, Anicius menduduki jabatan tertinggi, yaitu sebagai konsul, berkat kecerdasan dan kejujurannya. Jabatannya itu ia manfaatkan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat sampai kemudian dituduh berkhianat kemudian dipenjarakan. Akhirnya, ia tewas dieksekusi. Kelak, Katolik Roma mengangkatnya menjadi santo, orang yang disucikan. Saat dalam penjara itu, ia merenung, kesalahan apa yang ia lakukan hingga harus dibui, padahal pengabdiannya sebagai konsul ia curahkan untuk kepentingan rakyat. Selama dibui itu, ia juga menulis sebuah buku yang kemudian menjadi karya masterpiece-nya berjudul The Consolation of Philosophy. Dalam buku itu, Anicius menulis, seorang perempuan sangat cantik mendatanginya, lalu berkata, “Dulu, saat keberuntungan memelukmu, kau tak sadar bahwa dunia selalu berubah. Pada saatnya, pelukannya pasti akan terlepas. Tidakkah kau tahu, keindahan musim semi akan segera undur dan berganti musim panas?! Bukankah alam menyediakan angin sepoi-sepoi basah yang mengantarkan para nelayan ke laut dan pada saat yang sama ia juga bisa mengembuskan badai dan topan?!” Anicius menyebut, perempuan itu adalah Dewi Filsafat. Kepada Anicius, Dewi itu juga bercerita bahwa apa yang terjadi pada Anicius hanyalah pengulangan sejarah masa lalu. Jauh sebelumnya,. Socrates juga mengalami hal yang kurang lebih sama, yaitu diracun oleh bangsanya sendiri. Jadi, Dewi Filsafat itu me-reframing pola pikir Anicius saat dalam penjara itu, dengan menceritakan kisah-kisah masa lalu, agar Anicius tak menyesali apa yang terjadi. Buku itu menjadi pegangan para pendeta Katolik. Jika sedang dirundung duka, mereka membaca buku tersebut yang memang berisi “hiburan filsafat”. Jadi, sebetulnya, kita ini selalu berfilsafat. Ketika berusaha mencari atau memberi makna di setiap peristiwa yang terjadi, kita sedang berfilsafat. Tak sedikit orang yang mengharamkan filsafat. Tapi, tidak dengan saya. Sebab itulah saya pernah dianggap mengajarkan kesesatan. Saya langsung melakukan reframing. Ah, barangkali orang-orang itu sebetulnya tak paham filsafat. Jadi, saya tak terganggu dengan anggapan-anggapan seperti itu. SELAIN reframing, ada pula teknik lain mengubah keadaan pikiran dan perasaan, yaitu mengonsumsi obat-obatan dan ramuan-ramuan tertentu. Ada seorang psikolog di Amerika yang selalu berandai-andai jika suatu saat ia dipecat dari tempatnya bekerja. Lama ia memikirkan hal itu hingga membuatnya cemas. Ia menjadi mudah tersinggung dan lebih sensitif. Jika mendapat kritikan dari mahasiswanya, akan menjadi beban pikiran yang membuatnya sulit tidur. Ia sadar dengan apa yang terjadi. Lalu, ia mengonsumsi obat froska untuk menghilangkan kecemasannya. Setelah tiga minggu mengonsumsi obat itu, kecemasannya pun hilang. Tak lagi mudah tersinggung dan lebih tenang pembawaannya. Hari-harinya selalu di awali dengan perasaan tenang. Namun, yang menjadi masalah selanjutnya adalah efek samping obat itu. Ia menjadi pelupa. Banyak hal yang terlupakan, termasuk nama-nama mahasiswanya. Menyadari demikian, ia pun berpikir, lebih baik menderita stres daripada hidup tenang tapi hilang ingatan. Obat-obat kimiawi memang cepat bereaksi. Namun, selalu tak steril dari efek samping. Dan efek samping yang berat adalah ketergantungan terhadap obat itu. Jika berhenti mengonsumsi, penyakit akan kumat. Bahkan, mungkin akan lebih parah daripada sebelumnya. Nah, yang tanpa efek samping tentu saja cara yang pertama, yaitu reframing. Memang, itu perlu proses, latihan terus-menerus, istikamah, tidak instan seperti reaksi obat-obatan kimiawi. JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Mensyukuri MusibahNovember 28, 2024Salah satu nabi yang yang sering diceritakan Rasulallah dalam sabda-sabdanya adalah Nabi Daud. Rasulallah pernah mengatakan bahwa orang paling baik adalah yang seperti Nabi Daud. Meski seorang raja. Nabi Daud memenuhi kebutuhan sehari-hari dari hasil jerih payahnya sendiri. Kita tahu. Nabi Daud dianugerahi kemampuan untuk mengubah besi menjadi barang-barang berguna dengan tangannya sendiri, kemudian menjualnya di pasar. Seperti itulah ia menghidupi kesehariannya. Suatu ketika, ia menyuruh pembantunya menjual barang-barang tersebut ke pasar. Beberapa waktu kemudian. Nabi Daud terkejut saat pembantunya itu pulang tanpa membawa untung. Dagangannya utuh, tidak ada yang laku. Selidik punya selidik, ternyata hampir semua orang pergi ke kuburan. Pasar sepi, aktivitas sosial terhenti. Semua itu terjadi karena sebelumnya Nabi Daud menangkap dan memenjarakan para iblis (ini juga menjadi salah satu karunia Nabi Daud). Akhirnya, Nabi Daud membebaskan kembali para iblis. Apa pelajaran yang bisa kita petik dari cerita itu? Ternyata kehadiran iblis, makhluk yang terkutuk itu, juga berperan dalam kehidupan kita. Tanpa kehadiran iblis, aktivitas duniawi terhenti. Barangkali kita pernah bertanya-tanya, kenapa perlu diciptakan keburukan dan penderitaan? Itu bisa jadi menjadi pertanyaan siapa pun yang menderita, bukan hanya kaum filosof saja. Dan tentu saja akan ada jawaban beragam. Seseorang mungkin akan menjawab, penderitaan diciptakan Tuhan untuk mengetahui kadar ketakwaan hamba. Namun, jika sekadar ingin tahu, bukankah Tuhan mengetahui segalanya. Atau mungkin untuk meningkatkan kualitas ketakwaan hamba. Dengan ujian penderitaan itu, diharapkan ketakwaan hamba tersebut dapat meningkat. Tapi, kenapa ada orang yang pada mulanya tampak baik-baik saja, namun begitu diuji dengan penderitaan, ia justru kehilangan nilai-nilai moralitas. Mungkin juga ada orang yang mengatakan, penderitaan dan keburukan di dunia sesungguhnya adalah investasi akhirat. Orang yang diuji dengan itu akan mendapat pahala berlipat di akhirat kelak. Maka, terimalah semua .itu dengan sabar dan lapang dada, sebab Allah selalu bersama orang-orang yang sabar. Jadi, agama selalu dihubungkan dengan penderitaan. Bagi para filosof, jawaban-jawaban di atas sangat tidak mengenakkan. Bagaimana itu semua menjadi jawaban, sementara Tuhan adalah Maha Pengasih dan Penyayang?! Kenapa pula untuk sekadar memberi pahala harus menimpakan penderitaan dulu?! Dulu, kakek saya termasuk orang kaya di kampung. Setiap kali panen, ia selalu berbagi dengan orang-orang miskin, caranya, mereka dibariskan di halaman rumah, satu per satu maju mengambil bagian, tapi sebelumnya, tangan mereka dipukul hingga bekas pukulannya baru hilang setelah satu minggu. Dan, kakek saya punya kenikmatan tersendiri melakukan hal demikian. Nah, tentu saja, kita tak akan mengatakan bahwa yang dilakukan kakek saya itu perbuatan baik. Lalu, apakah Tuhan seperti itu? Ada kisah tentang Nabi Daud yang menurut saya cukup populer, meski sejauh yang saya tahu, kisah tersebut tak disebutkan dalam kitab hadis mana pun. Tuhan mewahyukan kepada Nabi Daud bahwa ada orang perempuan yang kelak menjadi pendampingnya di surga. Disebutkan, perempuan itu bernama Khuludah binti Aud. Nabi Daud pun mencari, dan akhirnya ketemu, kemudian menceritakan maksud kedatangannya. “Mungkin kau salah. Itu memang namaku, tapi barangkali bukan aku yang kaumaksud. Bahkan, aku tidak tahu kenapa aku bisa masuk surga, jika yang kaukatakan itu benar,” kata perempuan itu. “Tidak. Tidak salah lagi. Kau perempuan itu,” kata Nabi Daud berusaha meyakinkan. “Coba, ceritakan kehidupan sehari-harimu.” Perempuan itu lalu menceritakan bahwa setiap kali mendapat musibah apa pun, ia selalu bersabar. Tak hanya itu, bahkan ia bersyukur dengan musibah itu. “Itulah amalan yang akan mengantarkanmu menuju surga,” kata Nabi Daud menanggapi. Jadi, perempuan itu memperoleh kedudukan tinggi karena selalu bersyukur bahkan terhadap musibah. Bersabar terhadap musibah, meski pun berat, itu hal biasa dan tak istimewa, sebagaimana bersyukur terhadap karunia. Yang istimewa adalah jika bersyukur terhadap musibah. Bagaimana caranya bersyukur saat ditimpa musibah? Yaitu dengan melihat sisi-sisi positif dan kebaikan dalam musibah itu, seperti dalam doa Imam Ali Zainal Abidin saat ia sakit, “Ya Allah, aku tidak tahu, apakah aku harus bersyukur atau bersabar dalam kondisi sakitku ini. Sebab, berkat sakit ini, aku terhindar dari berbagai kenistaan, aku lebih punya banyak waktu untuk berzikir dan berkumpul bersama keluarga.” ADA sebuah buku berjudul The Divine Message of the DNA karya Kazuo Murakami. Ada yang menarik dalam buku itu, yaitu penelitian yang akan menjawab pertanyaan dalam tulisan ini: mengapa kita harus mensyukuri musibah? Sebab, musibah adalah suatu keniscayaan yang tak bisa dihindari dalam kehidupan manusia. Namun, musibah itu akan membawa derita atau justru bahagia, tergantung bagaimana sikap orang yang menerima musibah itu. Dalam karya orang Jepang itu tersirat pesan-pesan Tuhan di dalam DNA. Dalam tubuh kita, struktur kehidupan yang paling dasar adalah gen. Ia ibarat microchip yang memprogram seluruh anggota tubuh. Rambut hitam, rambut putih, menjadi pembenci atau pecinta dan sebagainya, semua sudah terekam dalam struktur genetik. Kita tertawa atau berduka, semua di gerakkan oleh gen-gen kita. Dan, struktur kode genetik kita merupakan kombinasi dari struktur sel neuron yang terdiri lebih dari tiga miliar gen. Sederhananya, ada tiga miliar gen yang menentukan tingkah laku dan perubahan fisik kita; ada gen yang menentukan warna rambut, gen yang menentukan cara berpikir, gen yang memengaruhi perasaan dan indra perasa, gen yang memengaruhi saraf mata. Semua aktivitas yang terjadi merupakan instruksi dari gen-gen kita. Nah, dari tiga miliar itu, hanya lima sampai sepuluh persen gen saja yang aktif, yang memberi instruksi pada aktivitas tubuh, pola pikir, dan sebagainya. Dan, sisanya, yang sembilan puluh persen itu tidak aktif, masih menjadi potensi yang pada masanya akan bereaksi. Seperti anak-anak remaja putri yang mengalami menstruasi saat memasuki usia tertentu, atau remaja putra yang suaranya mulai membesar. Semua itu karena gen-gen dalam struktur tubuh mereka telah aktif. Dan, memasuki usia-usia senja, pada wanita, gen-gen itu akan kembali non aktif, tak lagi menstruasi atau dikenal dengan menopause. Ibu-ibu yang sudah menopause lalu mendatangi dokter, “Dok, tolong saya dikasihi injeksi hormonal.” Bahasa mudahnya, diaktifkan kembali hormonnya. Jadi, kita mungkin punya “tombol” untuk mengaktifkan dan me-non-aktifkan gen-gen. Salah satu yang memengaruhi atau merangsang gen-gen yang tak aktif menjadi aktif adalah lingkungan. Baik dan buruk lingkungan akan, merangsang gen-gen non-aktif itu menjadi aktif lalu memberikan instruksi baik atau buruk pada perilaku. Memberi dan selalu mengungkapkan rasa terima kasih serta rasa syukur juga dapat mengaktifkan gen-gen positif dalam tubuh. Sebab, semua itu lahir dari kebahagiaan. Kebahagiaan itulah tombol yang mengaktifkan gen-gen positif tersebut. SAMPAI sekarang, kanker masih menjadi penyakit yang misterius. Terlalu banyak hal yang dinisbahkan menjadi sebab-sebab penyakit itu, rokok salah satunya. Tapi, tak semua perokok kemudian menjadi penderita kanker atau tak sedikit penderita kanker yang bukan perokok. Ada juga penyakit kanker yang tiba-tiba menghilang dari tubuh penderitanya. Semua itu masih menjadi misteri dalam dunia kedokteran, meski ada sementara jawaban statistik penyebab penyakit kanker, semisal sodium glutamate, udara yang berpolusi, unsur logam yang berlebihan dalam darah, dan stres. Soal stres itu, ada penelitian tentang manakah yang lebih berdampak menyebabkan kanker, antara merokok dan perceraian. Hasilnya adalah ternyata satu kali perceraian lebih cepat menyebabkan kanker dibanding dengan merokok dua puluh batang perhari. Tentu saja bukan perceraiannya yang menyebabkan kanker, melainkan stres yang muncul akibat perceraian itu. Nah, jika stres lebih cepat menyebabkan kanker maka sebaliknya, kebahagiaan (tidak stres) bisa menghilangkan sel-sel kanker. Dunia genetika juga membuktikan, ternyata stres bisa menyebabkan kerontokan rambut atau membuatnya putih. Penjelasannya juga sama, yaitu stres menghidupkan gen-gen yang memberi instruksi pada kerontokan rambut atau gen-gen yang menyuburkan rambut menjadi bungkam. Dan, kita pun bisa berpikir sebaliknya, berarti kebahagiaan bisa menyuburkan dan menghitamkan rambut. Singkat kata, situasi kejiwaan dapat memengaruhi kondisi tubuh. Dalam buku The Divine Message of the DNA itu juga di paparkan hasil percobaan terhadap icoli, bakteri yang mengonsumsi glukosa. Pada awalnya, orang-orang yang terlibat dalam percobaan itu berasumsi bahwa bakteri tersebut hanya mengonsumsi glukosa. Jika tidak ada glukosa, ia akan mati. Asumsi mereka keliru, sebab icoli ternyata juga mengonsumsi laktosa. Ajaib, kata mereka. Mereka bertanya-tanya, apakah bakteri tersebut secara genetis memang pemakan laktosa atau kecenderungan itu hanya muncul kemudian? Akhirnya diketahui bahwa icoli memang memiliki dua kecenderungan: pemakan glukosa—dan itu yang biasa, lalu, saat glukosa tidak ada, gen-gen yang biasa memberi instruksi icoli untuk memakannya menjadi padam, kemudian yang hidup adalah gen-gen yang memberi instruksi memakan laktosa. Contoh gampang saja, kita, orang Indonesia, terbiasa mengonsumsi nasi, gen-gen tubuh kita memang memberi instruksi itu. Namun, jika nasi tidak ada, ubi, jagung, singkong pun jadi. Begitulah kira-kira. DALAM buku itu juga dikemukakan hasil penelitian di Jepang tentang apakah pola pikir memengaruhi peningkatan glukosa dalam tubuh penderita diabetes? Yang menjadi objek penelitian adalah para penderita diabetes stadium kedua. Satu kelompok diminta menghadiri perkuliahan yang sangat tidak menyenangkan dan membosankan. Satu kelompok lain mendengarkan hiburan lucu, mengajak mereka tertawa dan hanya tertawa. Kemudian, setelah makan, masing-masing dari dua kelompok itu diukur kadar glukosanya. Apa yang terjadi? Para penderita diabetes yang menghadiri kuliah membosankan itu mengalami peningkatan glukosa sebesar kira-kira 123 mg. Sementara, mereka yang menonton acara komedi hanya sekitar 77 mg saja. Percobaan itu tak hanya dilakukan sekali dua kali. Peningkatan kadar glukosa itu ditentukan oleh kode genetik dalam tubuh. Dan, kode genetik itu dipengaruhi oleh pola pikir. Pola pikir yang cenderung negatif, stres, akan meningkatkan kadar glukosa. Sebaliknya, pola pikir positif, perasaan gembira, cenderung menekan peningkatan kadar glukosa. Jadi, begitulah. Teknologi modern telah membuktikan bahwa berpikir positif dapat mengaktifkan gen-gen positif yang memengaruhi kondisi tubuh manusia, serta memberikan instruksi aksi positif. APA artinya semua itu? Artinya, dalam diri kita sesungguhnya ada kemampuan yang masih berupa potensi, yaitu gen-gen yang bisa dihidupkan dengan berpikir positif, yang kemudian akan menginstruksikan aksi-aksi positif serta memengaruhi perubahan kondisi tubuh. JADI, seperti itulah kurang lebih penjelasan ilmiah dari ayat Sungguh, bersama kesulitan selalu ada kemudahan. Bersama kesulitan benar-benar selalu ada kemudahan (al-Insyirah: 5-6), yang telah di sebutkan di pada artikel sebelumnya. KARENA itu, musibah yang niscaya ada dalam hidup tak perlu diratapi. Mengeluh dan meratapi musibah akan menghidupkan gen-gen negatif yang menginstruksikan pada aksi-aksi negatif pula serta memengaruhi kondisi tubuh. Sebaliknya, jika orang tertimpa musibah kemudian menata jiwa dan pikirannya maka itu akan menghidupkan gen-gen positif dalam tubuh. Maka, benarlah jika dikatakan, musibah itu keniscayaan, sedangkan penderitaan adalah sikap dan pilihan. Tak semua orang akan terpuruk dan menderita oleh musibah yang mendera, dan mungkin kehidupan selanjutnya justru lebih baik, karena kejiwaan dan pola pikirnya mengarahkan pada pilihan itu. Dan, tentu saja tak sedikit barangkali yang terpuruk dan menderita oleh musibah. Sebabnya sama: kejiwaan dan pola pikirnya memilih demikian. Pada akhirnya, musibah mengubah cara pandang seseorang dalam memahami kehidupan atau bahkan lebih mencerahkannya dalam menilai kehidupan. Semua itu bermula dari pola pikir. Maka, berpikirlah positif, yaitu dengan bersyukur dan bertawakal. Dalam Al-Quran disebutkan. Katakanlah, “Apa yang menimpa kami ini telah Allah gariskan. Dialah pelindung kami. Hanya kepada Allah semata semestinya orang-orang mukmin itu bertawakal” (al-Tawbah: 51). Itulah terapi berpikir positif yang diajarkan Al-Quran untuk menyikapi musibah agar tak menjadi derita. Ada seorang tokoh psikologi kebahagiaan, pendiri mazhab psikologi positif. Ia menulis buku tentang apa yang bisa kita ubah dan yang tidak. Ia mengatakan, sesuatu yang terjadi tanpa bisa kita usahakan mengubahnya maka kita pasrah saja. Sebab, jika melawan sementara sesuatu itu sesungguhnya tak bisa dilawan maka perlawanan itu akan melahirkan derita. Percayalah! JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Di Balik Kesulitan Ada KemudahanNovember 28, 2024Bukankah sudah kulapangkan dadamu, kuturunkan beban berat di pundakmu, dan kumuliakan namamu?! Sungguh, bersama kesulitan selalu ada kemudahan. Bersama kesulitan benar-benar selalu ada kemudahan. Jika telah selesai dengan satu pekerjaan, bersiaplah pada pekerjaan selanjutnya. Dan, kepada Tuhanmu semata hendaknya kau berharap (al-Insyirâh: 1-8). Ayat ‘bersama kesulitan selalu ada kemudahan’ bisa pula dipahami kebahagiaan selalu ada bersama-sama penderitaan’. Nah, dalam ayat itu, kenapa Allah mendahulukan kesulitan atau penderitaan (al-‘usr) ketimbang kemudahan atau kebahagiaan (al-yusr)? Apa yang bisa kita pelajari dari penempatan seperti itu? BARANGKALI sudah menjadi karakter kebanyakan manusia, kita cenderung lebih memperhatikan penderitaan ketim bang kebahagiaan, something wrong lebih mengalihkan per hatian daripada something right. Dalam bahasa bisnis media massa: bad news is good news. Sebuah gigi yang sakit akan lebih diperhatikan daripada sekian gigi yang sehat. Satu ang gota badan yang sakit akan lebih menyita perhatian daripada anggota-anggota badan lain yang tak sakit. Bisa disebutkan sekian contoh bagaimana kita pernah mengalami penderitaan dan kesulitan. Begitu menyita perhatian, terkadang penderitaan dan kesulitan membuat orang berputus asa, merasa hidupnya sempit dan buntu. Dengan ayat itu, Allah hendak mengatakan bahwa kesulitan tak berdiri sendiri. Ia selalu berdampingan dengan kemudahan. Bahkan, Allah perlu mengatakan itu dengan kalimat-kalimat penegasan. Dalam redaksi ayatnya, kita lihat ada dua tanda penegasan: pertama kata inna yang diartikan dengan sungguh atau benar-benar. Yang kedua adalah pengulangan kalimat ‘kesulitan akan ada kemudahan’. Penegasan itu meyakinkan agar seseorang selalu optimis dan tak sepatutnya larut dalam duka musibah dan bencana. Surah alam nasyrah itu juga disebut dengan al-Insyirâh, yang berarti kelapangan hati atau kebahagiaan. Orang bahagia itu berhati lapang, sebab beban-beban di hatinya telah hi lang. SURAH alam nasyrah turun sebagai penghibur Rasulullah saat ia dalam derita-yaitu ketika ia dan keluarganya diasingkan dan diisolasi di sebuah lembah. Pada saat itu, juga diturunkan Surah al-Dhuha, Demi pagi saat matahari di sepenggalah, demi malam sunyi… Tuhanmu tak sedang meninggalkanmu, pula tak sedang benci. Sungguh, pada akhirnya akan lebih baik daripada saat ini. Tuhanmu akan memberimu anugerah, lalu kau pun puas. Bukankah Ia mendapatimu sebagai yatim, lalu Ia melindungimu?! Bukankah Ia melihatmu sedang bingung, kemudian la memberimu petunjuk?! Bukankah Ia mendapatimu sedang kekurangan, lalu Ia mencukupimu?! Sebab itu, jangan kau sewenang-wenang terhadap anak yatim dan jangan menghardik peminta-minta. Dan, bersyukurlah atas nikmat Tuhanmu (al-Dhuhâ: 1-11). Sebagian ulama mengatakan, Surah al-Insyirâh diturunkan tak lama setelah Surah al-Dhuha itu, pada saat pengasingan tersebut. Seperti Surah al-Insyirah, Surah al-Dhuhâ juga diturunkan untuk menghibur Rasulullah, keluarga, dan para sahabatnya yang menderita di pengasingan. Tak sedikit ayat yang Allah turunkan untuk menghibur dan menenangkan batin Rasulullah. Misal saja ayat, Jangan kau sedih oleh omongan mereka. Aku tahu apa saja yang mereka rahasiakan dan mereka tampakkan (Yâsîn: 76). Dengan ayat itu, Allah hendak menenangkan Rasulullah: jangan terlalu memperhatikan omongan orang-orang yang membencimu. Anggap saja sebagai angin lalu. Jika omongan mereka diperhatikan, mereka akan senang dan sebaliknya Rasulullah akan sedih karena menjadi beban pikiran beliau. Saya juga pernah diomongin orang-orang, dikritik habishabisan karena pernah menyelenggarakan acara yang menurut mereka terlalu cengeng. Ngapain tuh, agama kok cengeng gitu, kata mereka. Padahal, dalam Al-Quran disebutkan, Jika dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah, mereka tersungkur, bersujud, dan menangis (Maryam: 58). Siapa mereka’? Mereka adalah para nabi, rasul, dan orang-orang saleh. Karena memahami ayat-ayat Allah itu, hati mereka tersentuh dan bukan menangis karena ‘komando’ ustadz yang memimpin pengajian, bukan tangisan yang dijual, seperti yang kita lihat di televisi-televisi itu. Namun, itu belum apa-apa dibandingkan dengan kandungan omongan dan cacian yang diterima Rasulullah saat awal-awal mendakwahkan Islam. Beliau bahkan dianggap sudah gila. Allah kemudian segera menghiburnya dengan menurunkan ayat untuk membela Rasulullah. Kata Allah, Temanmu (Muhammad) sama sekali bukan orang gila (al-Takwir: 22). RASULULLAH pernah mengalami masa-masa menyedihkan dalam sejarah hidupnya, yang dikenal dengan ‘am al-huzn (tahun berkabung), yaitu meninggalnya sang paman, Abu Thalib, dan sang istri, Khadijah. Keduanya meninggal dalam jarak waktu yang tak jauh, pada tahun yang sama. Khadijah sangat dicintai dan dihormati Rasulullah. Sehingga, selama bersamanya, Rasulullah enggan berbagi hati. Meski Khadijah telah meninggal dan Rasulullah pun telah kembali beristri, namun bayangan Khadijah tak pernah hilang. Sejarah Khadijah telah memenuhi hati Rasulullah. Tak jarang Rasulullah memujinya hingga membuat Aisyah cemburu. Dalam sebuah hadis riwayat Imam Bukhari dikisahkan: Suatu saat, Rasulullah dan Aisyah sedang bercengkerama di depan rumah mereka. Saat demikian, melintaslah seorang perempuan tua. Rasulullah segera menyambut perempuan itu dan mengajaknya bertamu. Rasulullah lantas melepas serban, menggelarnya, kemudian mempersilakan orang tua itu duduk di atasnya. Keduanya lalu bercakap-cakap. Setelah perempuan tua itu berlalu, Aisyah menanyakan perihal tamu yang diperlakukan begitu istimewa. “Perempuan tua itu mengingatkanku pada Khadijah … Saat Khadijah masih hidup, perempuan itu sering datang ke rumahnya, dan Khadijah selalu menyambutnya dengan penuh hormat. Aku menghormatinya sebagaimana Khadijah dulu melakukannya,” cerita Rasulullah. Aisyah mungkin cemburu mendengar Rasulullah bercerita seperti itu. “Kau masih saja sebut-sebut perempuan yang sudah mati itu. Bukankah kini telah ada perempuan yang lebih baik daripada dirinya?!” kata Aisyah. Mendengar Aisyah berkata demikian, seketika wajah Rasulullah memerah. Raut wajah seperti itu hanya tampak saat ia menerima titah ilahiah atau ketika sedang marah. Tapi, jelas, kali itu, Rasulullah sedang marah. Rasulullah lalu menghadapkan wajahnya ke Aisyah dan berkata, “Aisyah, perlu kautahu, Allah tidak akan mendatangkan pengganti sebaik atau yang lebih baik daripada Khadijah! Tidak akan ada lagi perempuan seperti dia!” “Ia telah terjaga akan kenabianku ketika orang lain masih terlelap berselimut jahiliah, ia memastikan ucapanku sebagai kebenaran saat orang lain menganggapnya bualan, ia tak segan melimpahkan hartanya untuk kebutuhanku tatkala orang lain menyembunyikan tangan, dan darinya Allah memberiku keturunan ketika dari istriku yang lain tidak. Kau perlu tahu semua itu, Aisyah!” Rasulullah benar-benar marah. Dan, sejak saat itu, Aisyah mengetahui posisi Khadijah di hati Rasulullah. Dari situ, kita memahami kesedihan Rasulullah atas kepergian Khadijah. Sebelumnya, masih pada tahun yang sama, paman Rasulullah, Abu Thalib, juga telah berpulang. Abu Thalib adalah tokoh Quraisy yang paling disegani dan dipanuti. Sejak umur delapan tahun, Rasulullah telah berada di bawah asuhannya. Dengan cinta, ia berperan sebagai ayah bagi Rasulullah. Ia tidak tidur kecuali Muhammad kecil ada di sampingnya. Ia tidak keluar rumah kecuali si yatim Muhammad menyertainya. Ia dan keluarganya tidak akan makan kecuali Muhammad telah datang dan mendapatkan bagian. Ia dan keluarganya tak sayang mendapatkan sedikit jatah makanan, asal Muhammad kenyang. Jadi, tahun itu memang masa paling berduka bagi Rasulullah. Belum lagi, tak lama kemudian, Rasulullah, keluarga, dan para sahabatnya diasingkan di sebuah lembah. Dalam kesedihan beruntun itu, Allah menurunkan Surah al-Insyirah dan Surah al-Dhuha di atas sebagai penghibur dan penenang jiwa. Ada cerita terkait dengan Surah al-Dhuha. Saya pernah punya kawan novelis. Pada mulanya, ia menulis novel-novel “panas” Tapi, pada masa-masa akhir hayatnya, ia menjadi religius. Karya-karya novelnya lebih “sejuk” Kisah di novel terakhirnya terkait Surah al-Dhuha. Jadi, si novelis itu termspirasi oleh pimpinan kantor yang alur hidupnya seperti dalam surah itu: menjadi anak yatim dan hidup miskin, lalu merantau ke kota, berjuang dengan segenap penderitaan dan perjuangan, sampai akhirnya, singkat cerita, ia menjadi pimpinan kantor dan tentu saja tak miskin lagi, memetik kebahagiaan yang ia perjuangkan. Si novelis itu akhirnya lebih terkesan dengan pesan Surah al-Dhuha tersebut. Surah al-Dhuha adalah simbol yang melambangkan perjalanan hidup setiap kita. Perhatikanlah kandungan surah itu. Matahari yang naik di seukuran galah dengan sinarnya yang benderang itu telah melewati malam yang kelam, menggambarkan bahwa kesulitan dan penderitaan akan berakhir dengan kemudahan dan kebahagiaan. Kesulitan dan penderitaan hanyalah pengantar menuju kemudahan dan kebahagiaan. Dan kemudahan dan kebahagiaan akan betul-betul terasa nikmatnya jika diawali dengan kesulitan dan penderitaan. Siang hari kita rasakan semakin benderang jika kita kenang kelam malam. Kita akan lebih merasakan nikmatnya sehat jika sudah pernah merasakan sakit. Seperti itu bukan?! Jika demikian maka pada saat berada dalam kebahagiaan, kemudahan, dan kondisi sehat, kita akan lebih bersyukur. ADA sebuah buku karya Jonathan Haidt berjudul The Happiness Hypothesis yang berisi kumpulan hasil-hasil penelitian. Jika para psikolog meneliti akibat-akibat buruk dari stres, dalam buku itu justru dipaparkan keuntungan-keuntungannya. Disebutkan bahwa stres ternyata bisa meningkatkan kualitas kebahagiaan. Jika kita, misalnya, meraih gelar doktor dengan melewati proses yang membuat stress maka gelar itu akan kita terima dengan sangat lega dan bahagia. Atau, Anda pasti akan bahagia luar biasa begitu mendapatkan kekasih yang sekian lama Anda coba dapatkan dengan susah payah dan stress. Begitu, bukan?! Setelah baca buku itu, saya berdoa, semoga stress kembali datang dalam hidup saya agar kualitas kebahagiaan saya bisa meningkat. Ketika Tuhan bersumpah demi matahari yang baru tampak sepenggalah, ada makna tersirat bahwa agar kita menengok saat sebelumnya, yaitu malam yang kelam. Dengan demikian, kita akan lebih dalam memaknai arti matahari pagi itu. Saat di pengasingan itu, tentu saja Rasulullah menderita. Ketika Allah menurunkan ayat ‘Bukankah la mendapatimu sebagai yatim, lalu ia melindungimu?!, ada makna tersuat yaitu agar Rasulullah menengok masa lalunya, masa masa kecilnya yang sulit karena terlahir sebagai yatim, Lalu, Allah mengirim tangan-tangan penuh kasih yang melindunginya: ada kakeknya, Abdul Muththalib, yang merawat Muhammad kecil sepeninggal ibunya. Lalu, sepeninggal sang kakek, ada pamannya, Abu Thalib, yang mengasuhnya hingga Rasulallah dewasa. Dengan demikian, derita di pengasingan itu akan terasa ringan. SELANJUTNYA, coba perhatikan ayat Bukankah la melihatmu sedang bingung, kemudian la memberimu petunjuk?! Bukankah Ia mendapatimu sedang kekurangan, lalu la mencukupimu?! Sebab itu, jangan kau sewenang wenang terhadap anak yatim dan jangan menghardik peminta minta. Dan, bersyukurlah atas nikmat Tuhanmu (al-Dhuhi: 7 11) Jika kita perhatikan, rangkaian ayat itu sesungguhnya berbicara tentang proses kebahagiaan. Setelah kebahagiaan itu didapat maka bagikan dan tebarkanlah kebahagiaan itu kepada orang lain. Jika pernah menjadi yatim yang perlu mendapat perlindungan maka selanjutnya jadilah pelindung anak-anak yatim. Jika pernah hidup kekurangan dan miskin maka setelah hidup berkecukupan, Jadilah orang yang dermawan. Semua itu sebagai ungkapan rasa syukur atas karunia Tuhan. Sebab, kebahagiaan tidak akan berkurang jika dibagi-bagikan, tapi justru akan bertambah. Rangkaian ayat di atas akan disatukan oleh titik temu ayat ini, Sungguh bersama kesulitan selalu ada kemudahan, Bersama kesulitan benar-benar selalu ada kemudahan (al-InsyirAh;5-6) SAYA akan menjelaskan kandungan dua ayat Surah al-Insyirh dengan sudut pandang psikologi modern. Ada peribahasa seperti ini: always there is the silver line in the cloud, selalu ada garis perak di antara awan kelabu. Peribahasa itu memang kurang tepat untuk menjelaskan dua ayat itu. Sebab, peribahasa tersebut mengisyaratkan bahwa di tengah penderitaan ada secercah kebahagiaan. Kalau namanya secercah sudah tentu sedikit. Maksud dua ayat di atas tidak seperti itu, tapi justru sebaliknya: setitik kelabu di antara hamparan cahaya. Jadi, sebenarnya, yang sedikit itu kelabu, penderitaan, bukan cahaya, kebahagiaan. Namun, karena seluruh perhatian tertuju pada penderitaan itu, dengan mengabaikan kebahagiaan yang ada, maka penderitaan itu tampak lebih besar. Itulah yang menurut para psikolog disebut dengan missing style syndrome. Contohnya ketika kita masuk ke rumah yang sangat bagus, kemudian melihat ada satu gentengnya yang hilang. Maka, lubang kecil itulah yang menjadi pusat perhatian kita. Kita mengabaikan genteng-genteng lain yang tertata rapi, keindahan keramik, keindahan perabot lain yang harganya mahal. Atau, jika kita melihat mobil yang sangat bagus, lalu kita temukan sedikit goresan saja. Maka, itulah yang menjadi perhatian kita. ADA orang menderita gangguan kejiwaan mendatangi psikiater. Ceritanya, ia memasang wallpaper di dinding rumahnya. Orang itu selalu merasa ada satu wallpaper yang selalu tidak pas. Berhari-hari ia memikirkan itu sampai membuatnya gelisah. Stres. “Bagaimana menurut tetangga-tetangga Anda tentang wallpaper itu?” kata dokter berusaha memahami apa yang terjadi. “Mereka bilang sudah bagus. Tapi saya tetap merasa tidak pas. Ada satu wallpaper yang tidak menempel dengan pas.” “Berapa inci?” “Sedikit. Hanya sepersekian inci saja.” Si psikiater lalu mendatangi rumah orang itu, ingin melihat sendiri wallpaper yang dimaksud. Setelah memandangi, si psikiater melihat, wallpaper itu sudah pas. Namun, orang tersebut tetap merasa tidak seperti itu. WAKTU masih SMA dulu, saya punya celana wol. Untuk ukuran masa itu, celana tersebut sudah sangat bagus, mahal pula harganya, meski kalau dipakai terasa panas luas biasa. Suatu ketika, bagian lutut celana itu robek meski sekilas tak tampak, dan tidak ada yang memperhatikan. Tapi saya merasa seolah seluruh orang memperhatikan bagian celana saya yang robek itu. Saya jadi minder sendiri, padahal tidak ada orang yang memperhatikan. SEORANG filosof dan penyair Iran bernama Sa’di bercerita. Suatu ketika ia mendirikan shalat di Masjid Bani Umayah di Damaskus (masjid itu bernama ‘Bani Umayah’ karena Umayah yang membangunnya. Sekarang sudah tidak digunakan sebagai masjid lagi, melainkan sebagai objek wisata). Selesai shalat, ia melihat sepatunya sudah tidak ada lagi. Ia menggerutu, meratapi sepatunya yang hilang. Hatinya menyalahkan setiap orang yang ada. Ia berbisik, di tempat ibadah kok malah terjadi pencurian. Sa’di lalu kembali ke dalam masjid, hendak menanyakan, barangkali ada yang tahu di mana sepatunya berada. Belum lagi sempat bertanya, ia melihat orang tua dengan senyum selalu terkulum di wajahnya, menyemburatkan bahagia di hatinya. Yang membuat Sa’di tertegun adalah ternyata orang tua itu cacat, kehilangan kedua kakinya. Sa’di lantas merenung, bagaimana bisa aku menggerutu hanya karena kehilangan sepatu, sementara wajah orang tua itu memancarkan Bahagia meski kedua kakinya telah tiada. CERITA yang kurang lebih sama juga terdapat dalam buku How To Stop Worrying and Start Living karya Dale Carnegie. Dalam buku itu dikisahkan, seorang pebisnis di Amerika memasang sebuah tulisan di kantornya: Aku pernah berduka karena kehilangan sepatu sampai aku berjumpa dengan orang yang kehilangan kedua kakinya. Ceritanya, perusahaan si pebisnis itu bangkrut. Setelah menyelesaikan urusan piutang dengan bank, ia memutuskan pulang kampung, berkumpul bersama keluarganya. Saat hendak menyeberang jalan, ia disapa dengan ekspresi bahagia oleh orang yang berjalan dengan kursi roda. Ia tertegun, melihat kondisi orang yang menyapanya itu. Karena peristiwa itulah ia mencoba bangkit, merintis kembali usahanya dan akhirnya ia kembali menjadi pengusaha besar dan sukses. KISAH-KISAH di atas menggambarkan gejala missing style syndrome: setitik derita menjadi seolah raksasa karena perhatian hanya tertuju padanya, dengan mengabaikan bahwa yang setitik itu sesungguhnya berada di tengah belantara bahagia. ADA istilah half empty dan half full. Maksud half empty bisa saya contohkan seperti ini: saya membuat segelas minuman yang sangat nikmat. Saya minum sampai kemudian tersisa setengah, kemudian dengan nada menyesal, saya mengatakan, “Yah, tinggal setengah, deh, atau, “Habis, deh, setengahnya.” Sedangkan maksud half full maka saya akan mengatakan, “Syukur, masih tersisa setengah.” Bisa kita pahami perbedaannya. Jika half empty meratapi yang telah berlalu dan yang telah tiada, sedangkan half full mensyukuri yang masih tersisa dan yang masih ada. Nah, missing style syndrome itu tak berbeda dengan karakter half empty: keduanya sama-sama menjadikan apa yang telah tiada menjadi fokus perhatian, yang memunculkan sikap pesimis dan putus asa. Kakak perempuan saya, di Sumedang, punya teman yang anaknya meninggal dunia pada proses operasi penyakit amandel di rumah sakit. Si teman ini merasa bersalah dan begitu menyesal, sekiranya ia tak membawa anaknya ke meja operasi mungkin saja tidak meninggal. Hampir tiap hari mengunjungi makam anaknya itu, pada setiap siang dan sore, meratapi ia yang telah tiada, sampai anak-anaknya yang masih ada jadi telantarkan. Saya kemudian mendekati si teman itu, membantu mengobatinya dengan terapi ayat ‘bersama kesulitan benar-benar selalu ada kemudahan. Berproses bersama waktu, si teman itu akhirnya menyadari, jika yang telah tiada begitu berharga sehingga diratapi maka yang ada seharusnya akan lebih berharga. Ia menjadi lebih sayang dan penuh perhatian kepada anak-anaknya yang masih ada. Begitulah, dari ketiadaan, kita akan mengetahui betapa berharganya sesuatu yang ada. ADAPUN half full itu sama dengan yang kita kenal dalam kearifan Jawa, yaitu ‘falsafah untung’: keduanya sama-sama berfokus pada yang masih ada, mengajarkan tetap berpikir positif dan optimis terhadap apa pun yang terjadi. Bukankah kearifan semacam itu selaras dengan nilai-nilai Al-Quran?! Dikisahkan, dalam kondisi sakit. Imam Ali Zainal Abidin berdoa, “Ya Allah, aku tidak tahu, apakah aku harus bersyukur atau bersabar dalam kondisi sakitku ini. Berkat sakit ini, aku terhindar dari berbagai dosa, aku lebih punya banyak waktu untuk berzikir dan berkumpul bersama keluarga.” DEMIKIAN Al-Quran mengajarkan: bersama kesulitan benar-benar selalu ada kemudahan. Jangan habiskan perhatian kita pada penderitaan dan kesulitan, sebab itu akan membawa pada penderitaan dan kesulitan selanjutnya, melainkan, arahkan perhatian kita pada kenikmatan yang ada. Niscaya kita akan menjadi hamba yang bersyukur. DALAM psikologi dikenal istilah post traumatic stress atau menderita stres karena trauma oleh sebuah peristiwa, seperti kehilangan anak, suami, istri, dan sebagainya. Stress itu mengakibatkan sistem imun penderita menjadi lumpuh. Ia lebih mudah tersinggung, tidak bisa merasakan kenikmatan-hidup yang terkecil sekali pun. Ada juga post traumatic growth yaitu kejiwaan yang tumbuh lebih baik setelah menderita trauma, seperti dalam kisah pada artikel sebelumnya, yang kasih sayangnya tumbuh lebih besar kepada anak-anaknya setelah menderita trauma kepergian salah satu anaknya. PADA penutup pembahasan ini, saya akan bercerita tentang seorang laki-laki bernama Greg. Cerita bermula saat Greg kehilangan jejak istri dan anak-anaknya. Setelah sekian lama, Greg kemudian menyewa detektif untuk mencari tahu keberadaan mereka. Akhirnya diketahui, ternyata istrinya kabur Bersama laki-laki lain setelah keduanya berjumpa di sebuah maill, dua minggu sebelumnya. Greg mengalami keguncangan hebat, pikirannya kacau, stres. Cinta yang selama ini ia curahkan ternyata dibalas dengan pengkhianatan. Greg lalu berkonsultasi dengan psikolog bernama H. Joursen. “Orang yang  membawa kabur istrimu itu tentu bukan orang baik, orang gila yang tidak tahu malu dan tidak punya keterikatan moral. Orang seperti itu hanya akan memanfaatkan orang lain, menguras keuntungan darinya. Ia tidak akan membahagiakan orang lain. Istrimu akan menyesali perbuatannya,” kata psikolog itu. Benar saja. Akhirnya, Amee, nama wanita itu, kembali kepada Greg. Dan, tentu saja, Greg sudah tidak mau menerima kehadirannya lagi. Dua bulan berikutnya, Greg mendapatkan hak asuh terhadap anak-anaknya, menjadi single parent. Meski, kehidupan Greg selanjutnya masih belum cerah. Uang yang ia dapatkan dari gaji sebagai asisten dosen telah terkuras untuk membiayai perjuangannya mendapatkan hak asuh anak-anaknya di pengadilan. Garapan-garapan bukunya juga berantakan. Ia pun mencemaskan kondisi mental anak-anaknya sebab harus hidup tanpa seorang ibu. Hari demi hari berlalu, luka hati Greg semakin kering, meski tetap berbekas. Ia merenungi kondisi berat yang pernah ia lalui itu. Ia tersentuh, sebab selama dalam penderitaan, banyak hikmah ia dapatkan. Banyak kawannya yang lebih memperhatikannya dan ikut membantu meringankan beban kehidupannya. Orangtuanya menjual rumah kemudian pindah ke tempat yang lebih dekat dengan Greg untuk membantu membesarkan anak-anak Greg. Greg mengatakan bahwa pengalaman telah mengubah kehidupannya, mengajarkan bagaimana harus memperlakukan orang lain. Ia mengalami perubahan nilai-nilai  dalam hidupnya. Kini ia lebih mudah berempati dan memaafkan orang lain dan tak lagi menjadi pemarah. Berangsur kehidupannya membaik. Garapan-garapan buku yang sempat tertunda dapat ia selesaikan. Tak lama kemudian ia mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Begitulah. Terkadang tragedi membawa kebaikan dan kesadaran baru bagi penderitanya, untuk kemudian menjalani kehidupan yang lebih baik. JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Supaya Kalian BerbahagiaNovember 28, 2024Dalam Al-Qu’ran, di antara kata yang paling tepat menggambarkan kebahagiaan adalah aflaha. Di empat ayat Al-Quran (yaitu QS 20: 64, QS 23: 1, QS 87:14, QS 91:9) kata itu selalu didahului kata penegas qad (yang memiliki arti ‘sungguh’) sehingga berbunyi qad aflaha atau ‘sungguh telah berbahagia’. Aflaha adalah kata turunan dari akar kata falâh. Kamus-kamus bahasa Arab klasik memerinci makna falah sebagai berikut: kemakmuran, keberhasilan, atau pencapaian apa yang kita inginkan atau kita cari; sesuatu yang dengannya kita berada dalam keadaan bahagia atau baik; terus-menerus dalam keadaan baik; menikmati ketenteraman, kenyamanan, atau kehidupan yang penuh berkah; keabadian, kelestarian, terus-menerus, keberlanjutan. Bagi saya, perincian makna falah tersebut merupakan komponen-komponen kebahagiaan. Kebahagiaan bukan hanya ketenteraman dan kenyamanan saja. Kenyamanan atau kesenangan satu saat saja tidak melahirkan kebahagiaan. Mencapai keinginan saja tidak dengan sendirinya memberikan kebahagiaan. Kesenangan dalam mencapai keinginan biasanya bersifat sementara. Satu syarat penting harus ditambahkan, yaitu kelestarian atau menetapnya perasaan itu dalam diri kita. Ingatkah Anda bahwa setiap hari, paling tidak sepuluh kali, muazin di seluruh dunia Islam meneriakkan hayya ala al-falâh, atau ‘marilah meraih kebahagiaan? Dalam Mazhab Ahlul Bait, setelah hayya ala al-falah, mereka membaca hayya ‘ala al-khayr atau ‘marilah kita berbuat baik. Orang yang bahagia cenderung berbuat baik. Anda diajak dulu berbahagia. Setelah itu, Anda diajak untuk mempertahankan kebahagiaan itu dengan berbuat baik. Jadi, suara muazin itu saja sudah cukup menjadi bukti bahwa agama Islam memanggil umatnya setiap saat untuk meraih kebahagiaan. Kata turunan selanjutnya dari aflaha adalah yuflihu, yuflihâni, tuflihu, tuflihâni, yuflihna (semua kata itu tidak ada dalam Al-Quran), dan tuflihûna (disebut sebelas kali dalam Al-Quran dan selalu didahului dengan kata la’allakum. Makna la’allakum tuflihûna adalah ‘supaya kalian berbahagia’). Dengan mengetahui ayat-ayat yang berujung dengan kalimat la’lakum tuflihûna (dalam QS 2: 189, QS 3: 130, QS 3: 200, QS 5: 35, QS 5: 90, QS 5: 100, QS 7: 69, QS 8: 45, QS 22: 77, OS 24:31. OS 62: 10) kita diberi pelajaran bahwa semua perintah Tuhan dimaksudkan agar kita hidup bahagia. Saya kutipkan ayat-ayat yang memuat kalimat tersebut. Bertakwalah kepada Allah agar kalian berbahagia (QS 2: 189). Wahai orang-orang beriman! Janganlah kalian memakan riba yang berlipat-lipat. Bertakwalah kepada Allah agar kalian berbahagia (QS 3: 130) Wahai orang-orang beriman! Bersabarlah dan saling menyabarkan, serta perkuat persatuanmu agar kalian berba hagia (QS 3: 200). Wahai orang-orang beriman! Bertakwalah kepada Allah. Carilah jalan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Berjuanglah di jalan Allah agar kalian berbahagia (QS 5:35) Wahai orang-orang beriman! Sesungguhnya minuman keras, perjudian, undian, dan taruhan adalah kotoran dari perbuatan setan. Jauhilah, agar kalian berbahagia (QS 5: 90). Katakanlah: tidak sama antara keburukan dan kebaik an, walaupun banyaknya keburukan memesona kalian. Bertakwalah kepada Allah agar kalian berbahagia (QS 5: 100). Kenanglah anugerah-anugerah Allah agar kalian berbaha gia (QS 7:69). Wahai orang-orang beriman! Jika kalian berjumpa dengan sekelompok musuh, teguhkanlah hatimu. Banyaklah berzikir kepada Allah agar kalian berbahagia (QS 8:45). Wahai orang-orang beriman! Rukuklah dan sujudlah. Beribadahlah kepada Tuhanmu, serta berbuatlah kebaikan agar kalian berbahagia (QS 22:77). Bertobatlah kalian kepada Allah seluruhnya, wahai orang orang beriman, agar kalian berbahagia (QS 24:31). Apabila selesai melaksanakan shalat, menyebarlah di penjuru bumi. Carilah anugerah Allah dan banyaklah ingat kepada Allah agar kalian berbahagia (QS 62: 10). Ayat-ayat di atas tidak saja menunjukkan bahwa tujuan akhir dari semua perintah Tuhan adalah supaya kalian berbahagia, tetapi juga perincian perbuatan yang bisa membawa kita kepada kebahagiaan. Di dalam beberapa hadis, membahagiakan orang lain dipandang sebagai amal saleh yang sangat mulia di hadapan Allah. Sebelum sampai kepada hadishadis itu, simaklah kisah berikut ini. Ada satu masa ketika para pengikut Ahlul Bait dikejarkejar oleh para penguasa kala itu, nama mereka dimasukkan dalam daftar hitam. Para penguasa merampas hak mereka sebagai manusia, merampas harta, kehormatan, dan nyawa mereka. Salah seorang murid Imam Musa ibn Ja’far berniat menyelamatkan diri dengan berhaji. Sebelum keberangkatannya, ia menyempatkan diri menemui Imam Musa dan mengadu kepadanya. Ia juga diberi tahu bahwa ada salah seorang komandan militernya yang telah menjadi pengikut mazhab Ahlul Bait secara diam-diam. Imam Musa menyuruh muridnya itu untuk membawa surat kepada sang komandan. Dalam surat itu tertulis: “Dengan nama Allah yang Mahakasih dan Mahasayang … Ketahuilah! Di bawah arsy ada perlindungan yang tidak ditempati kecuali oleh orang yang memberikan bantuan kepada saudaranya, membebaskan kesulitannya, dan memasukkan kebahagiaan ke dalam hatinya. Pembawa surat ini adalah saudaramu. Wasalam.” “Sepulang berhaji,” kata pembawa surat itu, “aku mengunjungi sang komandan dan memberikan surat Imam Musa kepadanya. Ia mencium surat itu sambil berdiri. Setelah membacanya, ia memanggil orang untuk menghadiahkan harta dan pakaian kepadaku. Ia juga menghapus aku dari daftar hitam. Aku menerima surat kebebasan dari segala macam tuntutan. Setelah itu, aku pun berlalu. Dalam hati, aku berkata: rasanya aku tidak bisa membalas kebaikannya kecuali aku akan berhaji lagi tahun depan. Aku akan berdoa baginya. Aku akan menyampaikan kabar dirinya kepada Imam Musa. Pada musim haji berikutnya, aku menemui Imam Musa. Aku ceritakan perihal komandan yang membantuku itu. Wajah Imam tampak bersinar gembira. Aku bertanya kepadanya: Apakah komandan itu membuatmu bahagia? Imam menjawab: Benar. Demi Allah! la telah membahagiakanku dan membahagiakan Amirul Mukminin (pemimpin kaum mukmin). Demi Allah! Ia juga telah membahagiakan kakekku, Rasulullah. Demi Allah! Ia juga telah membuat Allah rida kepadanya.” Apa yang disampaikan Imam Musa sebetulnya menjelaskan apa yang disabdakan Nabi Muhammad: “Siapa yang membahagiakan seorang mukmin berarti ia telah membahagiakan aku. Siapa yang membahagiakan aku berarti telah membahagiakan Allah.” Ketika Nabi ditanya tentang amal yang paling utama, beliau menjawab, “Engkau masukkan rasa bahagia pada hati seorang mukmin, engkau lepaskan kesulitannya, engkau hibur hatinya, engkau lunasi utang-utangnya.” Pada hari kiamat, manusia akan dibangkitkan di padang mahsyar. Ketika Allah membangkitkan seorang mukmin, la juga membangkitkan seseorang yang mirip dengannya. Orang yang mirip itu berjalan seraya membimbing si mukmin. Ketika si mukmin melihat sesuatu yang menakutkan, orang yang mirip itu menenteramkannya. Ketika si mukmin melihat hal-hal yang menyedihkan, orang yang mirip itu menghiburnya. Kemudian, di hadapan pengadilan Tuhan, orang yang mirip itu membela si mukmin. Pada akhir pengadilan, si mukmin mendapatkan keputusan: adkhilâhu al-jannah! Masukan dia ke dalam surga! Orang yang mirip itu kemudian mengantarkan si mukmin ke tempat yang penuh dengan kebahagiaan. Si mukmin terpesona dengan kesetiaan orang yang mirip dengannya itu, dan bertanya, “Siapa kau sebenarnya?” Orang yang mirip itu menjawab, “Dulu, di dunia, setiap kali kau membahagiakan manusia, Allah menciptakan makhluk sepertiku agar aku bisa memberikan kebahagiaan kepadamu pada hari ini.” Anda mungkin berkata, “Hadis-hadis ini tidak relevan dengan tesis bahwa kita wajib berbahagia. Dari situ kita hanya dapat menyimpulkan bahwa kita wajib membahagiakan orang lain.” saya akan menjawab, “Dalam hadis-hadis itu, kita tidak disuruh untuk membahagiakan orang lain. Nabi menyuruh kita membahagiakan mukmin. Dan mukmin yang paling dekat dengan kita adalah diri sendiri.” Untuk beramal saleh, Nabi menegakkan prinsip “ibda’binafsik”, “mulailah dari dirimu. Sebelum menyucikan orang lain, sucikanlah dirimu lebih dahulu. Anda tidak dapat mencintai orang lain dengan tulus sebelum Anda mencintai diri Anda sendiri. Anda boleh meminta maaf setelah Anda memaafkan. Akhirnya, Anda hanya bisa membahagiakan orang lain jika Anda sudah berhasil membahagiakan diri Anda. Karena itu, Nabi dan Imam Ali memberikan contoh doa memohon kehidupan yang bahagia: Ya Allah! Aku memohon kepada Engkau, anugerahkan kepadaku keberuntungan dalam ketentuan-Mu, kedudukan para pejuang kebenaran, kehidupan orang-orang yang bahagia, pertolongan dari musuh-musuh, dan berkumpul bersama para Nabi. Nabi juga mengajarkan kita untuk memohon perlindungan dari hal-hal yang dapat merampas kebahagiaan kita: اللهم إني أعوذ بك من الهم والحزن، وأعوذ بك من العجز والكسل، وأعوذ بك من الجبن والبخل، وأعوذ بك من غلبة الدين وقهر الرجال. Ya Allah! Aku berlindung kepadamu dari kesusahan dan penderitaan, dari kelemahan dan kebosanan, dari kepengecutan dan kebakhilan, dari belitan utang dan pengendalian orang lain. JR — Wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...

Buku Karya KH. Jalaluddin Rakhmat

« of 2 »

Videografi

This error message is only visible to WordPress admins

Unable to retrieve new videos without an API key.

Error: No videos found.

Make sure this is a valid channel ID and that the channel has videos available on youtube.com.

Audiografi

UJR-MFR

“Jangan remehkan racun walau setetes. Jangan remehkan dosa sekecil apapun”

​KH. Jalaluddin Rakhmat
@katakangjalal

Contact Jalan Rahmat

Jl. Kampus II No. 13-15. Kiaracondong. Bandung