Akhi
Akan Kudoakan Kamu

Kau duduk di mimbar itu untuk terakhir kalinya Serban basah membalut kepalamu Demam panas mengguncang tubuhmu Pucat-pasi wajahmu Tapi masih juga tersungging senyummu
“Kalian takkan melihatku lagi di mimbar ini selamanya Aku harus penuhi tuntutan Yang tidak bisa digantikan siapa pun Siapa yang pernah kucambuk punggungnya Inilah punggungku, cambuklah Siapa yang pernah kuambil hartanya Inilah hartaku, ambillah Siapa yang aku runtuhkan kehormatannya Inilah diriku, kecamlah Jangan bilang: Aku takut dimusuhi Rasul Allah Karena permusuhan bukan akhlakku Orang yang paling aku cintai….. Ialah….. orang yang mengambil haknya dariku Atau menghalalkannya untukku Sehingga aku dapat berjumpa dengan Tuhanku Tanpa berbuat zalim kepada sesamaku” Serak dan parau suaramu Tapi masih juga tersungging senyummu “Saudara-saudara… Adakah di antaramu yang merasakan keburukan dirinya Berdirilah, katakanlah, dan akan kudoakan kamu.” Pada hari-hari terakhirmu Kautawarkan anugerah besar dari hidupmu Doa yang menyempurnakan misimu Seorang sahabat meloncat Ingin ia rebahkan dirinya di bawah kakimu Ingin ia basuh telapak kakimu dengan air matanya Tapi kau berkata: “Berdirilah, katakanlah, dan akan kudoakan kamu.” Perlahan ia berdiri, tanpa berani memandang wajahmu Ia malu tetapi ia juga bahagia Malu dengan onggokan keburukan dirinya Bahagia dengan tawaran kasih Nabiyyur Rahmah Lidahnya bergetar, tetapi suaranya tidak keluar Dan meledaklah tangisan, dalam sesal dan harapan “Ya Rasul Allah, aku….. MUNAFIK, aku….. PEMBOHONG….. Aku tukang maksiat…..” Kauangkat tanganmu: “Ya Allah anugerahkan kepadanya ketulusan dan keimanan Jauhkan dia dari segala keburukan.” Duhai, anugerah besar apalagi dari seorang Manusia Suci Selain doa buat kesucian diri Tetes-tets air mata mengalir Bersama getaran doamu Hampir habis kekuatanmu Tapi masih juga tersungging senyummu Kau duduk di mimbar itu untuk terakhir kalinya Serban basah membalut kepalamu Demam panas mengguncang tubuhmu Pucat-pasi wajahmu Tapi masih juga tersungging senyummu “Tuntutlah aku untuk setiap kezalimanku kepada kalian.” Ya Nabiyyar Rahmah, pernah datang ke rumahmu Seorang Yahudi debt collector penagih utang Di depan pintu rumahmu, ia berteriak lantang “Hai anak Abdul Muthalib, utangmu bayarlah Kalian sudah terkenal sebagai penunggak yang parah” Kaubayarkan utangmu dan kaulebihkan sukatannya “Izinkan daku menghajar Yahudi yang kurang ajar”, kata sahabatmu “Tidak. Aku harus berterima kasih kepadanya. Ia ingatkan utang-utangku Karena itu aku lebihkan pembayarannya.” Waktu itu, selalu, kausinggungkan senyum di wajahmu! Kini pada detik-detik terakhir hidupmu Seorang lelaki berdiri menagih utangmu “Kau berutang padaku tiga dirham, ya Rasul Allah.” Kauminta bukti dengan suara selembut sutra, “Saudaraku, aku tidak pernah berkata dusta atau melanggar janji….. bilakah itu terjadi?” “Tidakkah engkau ingat, ketika seorang pengemis lewat Kausuruh aku memberi dia tiga dirham Aku bayarkan dia sebagai utangmu padaku.” Kau tersenyum lagi Kau tampak bahagia menyaksikan keberanian umatmu Atau karena mereka tahu limpahan kasihmu “Tuntutlah aku untuk setiap kezalimanku kepada kalian” Dari barisan paling ujung Sawadah bin Qais, orang kampung, menyeruak terhuyung “Ya Rasul Allah, dahulu kaupukul perutku dengan cambukmu Kini aku ingin menuntut qishash atasmu.” Ia berkata kepada Bilal, “Bawakan cambuk itu Biarkan Sawadah menuntut balas atasku.” Beginilah perpisahanmu, ya Nabiyyah Rahmah Dalam gejolak geram hati para pecintamu Dalam luapan amarah karena ulah Sawadah yang tanpa malu Setega itulah sahabat memperlakukanmu yang santun dan pengasih Yang kini diterpa demam, demam terakhir Nabi terkasih Dengan tanganmu yang mulia kauserahkan cemeti Seakan waktu berhenti, kami tunggu apa yang akan terjadi Dengan suara gemetar, Sawadah membungkuk dan meletakkan cemeti “Ya Rasul Allah, bukakan perutmu yang mulia!” Seakan seluruh alam semesta termangu Detik demi detik berjalan lambat Perlahan-lahan Kekasih Tuhan menyingkapkan perutnya Sawadah mengangkat kepalanya Menatap wajah indah itu terakhir kalinya “Perkenankan aku, ya Rasul Allah, meletakkan mulutku pada perutmu yang mulia!” “Na’am,” suaramu lirih Duhai bahagianya Sawadah Ia merapatkan mukanya ke perut Nabi dan menciuminya Dan airmatanya mengalir tanpa henti “Aku berlindung kepada Allah dari api neraka dalam lindungan tempat qishash al-Musthafa.” “Apakah kau sudah memaafkan aku, ya Sawadah”, suaramu lirih “Sudah ya Rasul Allah, sudah!” “Terima kasih Sawadah”, Lalu kauangkat tanganmu: “Ya Allah, ampuni Sawadah, karena ia telah memaafkan NabiMu!” Wajahmu makin pucat Tapi senyummu makin indah (Karya Ustadz Jalaluddin Rakhmat yang dibacakan oleh beliau pada acara Haul (Syahadah) Baginda Nabi saw. Imam Hasan as dan Imam Ali Ridha as di Aula Muthahhari, 19 November 2017).