top of page
  • Writer's pictureAkhi

Akhlak Rasulullah Saw. dalam Memimpin



Dalam Surah Ali Imran ayat 159-160, Allah Swt. berfirman:

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya. Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang Mukmin bertawakal.


Asbabun nuzul ayat ini sebetulnya sama dengan ayat-ayat sebelumnya yang berkenaan dengan Perang Uhud. Seperti Anda ketahui, pada Perang Uhud kaum Muslim menderita kekalahan yang besar. Hamzah, misalnya, gugur pada peperangan itu. Dan yang menyedihkan dalam peperangan ini adalah bahwa kebanyakan sahabat melarikan diri dari medan pertempuran. Padahal melarikan diri dari pertempuran ini adalah dosa besar. Sehingga Rasulullah Saw., menurut satu riwayat, hanya dikawal oleh delapan orang sahabat. Dalam riwayat yang lainnya, beliau dikawal oleh empat belas orang sahabat.


Sebagian sahabat ada yang lari untuk menemui istrinya, tetapi istri-istri sahabat itu melempari suami mereka dengan tanah ke wajah mereka. Sebagian lagi ada yang lari ke sekitar Bukit Uhud itu. Bahkan ada lagi yang lari ke tempat yang sangat jauh dan baru kembali lagi setelah tiga hari. Penjelasan seperti ini saya baca dari Tafsir Al-Fakhrurrazi.


Ini semua untuk menggambarkan betapa menderitanya hati Rasulullah Saw. pada perang itu. Orang-orang yang dikasihinya meninggal dunia dalam keadaan yang mengenaskan. Kaum Muslim menderita kekalahan. Rasulullah sendiri terluka, masuk ke dalam lubang dan penutup kepalanya mengenai wajahnya. Dalam saat seperti itu, banyak pula orang yang melarikan diri.


Setelah Rasulullah Saw. kembali ke Madinah, para sahabat yang lari ini juga kembali menemui Rasulullah. Ketika Rasulullah melihat mereka kembali, beliau tidak berkata kasar dan tidak menunjukkan wajah yang marah. Tetapi Nabi tetap memperlakukan mereka dengan penuh keramahan. Itulah yang dimaksud dengan ayat, Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Jadi, ketika itu Nabi melihat sahabatnya datang kepada beliau. Nabi tidak berkata yang kasar, tetapi beliau berkata dengan lemah-lembut. Itu suatu hal yang sangat luar biasa buat pemimpin suatu kaum.


Dalam Surah Ali Imran ayat 159 ini, dijelaskan mengenai akhlak yang harus dimiliki oleh orang yang memimpin umat, orang yang mengajak kepada jalan kebaikan. Pertama, hendaklah dia bersiap-siap untuk kecewa melihat kinerja para pengikutnya. Tetapi selain siap kecewa juga harus siap tidak marah. Dia harus bersikap lemah-lembut. Itu sangat sulit. Ketika orang kecewa, akan sulit bila dia harus bersikap lemah-lembut. Orang tidak bisa melakukannya kecuali dengan rahmat Allah Swt.


Para ahli tasawuf memahami ayat ini sebagai berikut. Ketika kita mencoba mendekati Allah Swt., maka yang harus kita lakukan adalah menyerap sifat-sifat Allah. Makin dekat dengan Allah, makin banyak sifat-sifat yang harus diserapnya. Ketika Allah Swt. berfirman "Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka", maka Rasulullah Saw. telah menyerap rahmat Allah sehingga dia menjadi lemah-lembut.


Seorang Muslim harus menyerap sifat-sifat Allah itu. Allah sangat pengasih termasuk kepada hamba-hamba-Nya yang berbuat maksiat. Tentang kasih sayang Allah itu ada satu kisah yang menarik. Pada malam Qadar, para malaikat ingin tahu perkembangan umat manusia. Pertama, ia melihat daftar kebaikan amal saleh manusia. Kemudian ketika dia sampai pada daftar kejahatan, tiba-tiba tirai ditutupkan sehingga para malaikat tidak bisa melihatnya. Malaikat kemudian mengatakan, "Mahasuci Allah yang menampakkan yang indah-indah dan menutupi yang jelek-jelek." Jadi, salah satu bentuk kasih sayang Allah adalah menyembunyikan kejelekan hamba-Nya, walaupun hamba itu berbuat jelek. Dia tutup kejelekan itu sampai kepada malaikat muqarrabin sekalipun.


Anda pun dalam kehidupan ini banyak berbuat maksiat, tetapi karena kasih sayang Allah, Allah tutup kejelekan itu. Padahal Allah tidak senang dengan kemaksiatan itu. Allah marah dengan kejelekan itu. Tetapi walaupun demikian, Allah tetap menutupi kejelekan itu supaya tidak banyak manusia yang mengetahui kejelekan Anda. Sehingga dalam doa Kumayl kita mengatakan, "Betapa banyak kejelekan telah Engkau sembunyikan dariku, dan betapa pujian yang bagus Engkau sebarkan."


Sebagian rahmat Allah itu pun dijatuhkan ke bumi ini. Dalam sebuah hadis disebutkan ada seratus rahmat Allah, dan satu di antaranya dijatuhkan ke bumi. Dari yang dijatuhkan itu dibagikan kepada makhluk-Nya. Karena satu rahmat itulah, di antaranya binatang buas bisa menyayangi anaknya. Sebagian rahmat lagi dimasukkan ke dalam kalbu Rasulullah sehingga Rasulullah lemah-lembut terhadap sahabat-sahabatnya, walaupun mereka sudah berbuat maksiat dan meninggalkan pertempuran.


Akhlak yang lemah-lembut itu dijelaskan dengan ayat selanjutnya yaitu tidak fazhzhan dan tidak ghalizhal qalbi.


Kata Al-Fakhrurrazi, “Kalau kita belum paham perbedaan antara fazhzhan dan ghalizhal qalbi, perhatikan contoh ini. Mungkin ada orang yang akhlaknya tidak jelek. Tidak pernah mengganggu orang lain, lidahnya tidak pernah menyakiti orang tapi dalam hatinya tidak pernah ada rasa kasihan kepada orang lain. Orang ini tidak kasar, tetapi dalam hatinya tidak ada rasa kasih sayang. Ia tidak fazhzhan, tapi ghalizhal qalbi. Kedua sifat itu tidak boleh menempel pada diri seorang pemimpin. Dia tidak boleh berperilaku yang mengganggu orang lain dan juga tidak boleh mempunyai hati yang keras. Karena itu, Sekiranya kamu ini bertingkah-laku kasar dan hati kamu keras, maka orang-orang itu akan lari darimu."


Pernah ada seorang pembicara di sini yang mengatakan, "Islam itu menyuruh menegakkan yang haq, dan tidak menyuruh menghancurkan yang bathil, sebab kalau haq itu sudah tegak, maka yang bathil dengan sendirinya runtuh."


Tetapi kalau berdakwah, sering kali kita terasa lebih nikmat kalau kita menyerang. Tentu kita mempunyai banyak dalil untuk membenarkan kita. Memang boleh menyerang, tetapi caranya harus lemah-lembut, supaya orang tidak lari dari kita. Lantas bagaimana kalau tingkah laku mereka itu menjengkelkan? Allah Swt. pun berfirman kepada rasul-Nya, "... maafkan mereka dan mohonkan ampunan buat mereka..."


Kata sebagian ahli tafsir, kata "maafkan mereka" kalau kesalahan mereka itu berkenaan dengan hak kita. Artinya, kalau mereka ini menyerang kita, seperti mengecewakan kita, menyakiti kita, dan mengkhianati kita, maka mereka harus kita maafkan. Tetapi kalau dosa mereka itu dilakukan terhadap Allah, maka mohonkan ampunan buat mereka.


Jadi, pemimpin itu harus memiliki dua hal sekaligus. Satu, memaafkan kesalahan pengikutnya dan memohonkan ampunan terhadap Allah untuk dosa-dosa mereka terhadap Allah.


Kata Al-Fakhrurrazi, "Sifat lemah-lembut dan kasih sayang itu tidak boleh dijalankan apabila meninggalkan kewajiban kita kepada Allah. Dalam menegakkan hukum Allah tidak boleh kita lemah-lembut dan kasih sayang. Dalam Al-Quran disebutkan bahwa Allah menyuruh Nabi bersifat keras, Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka... (QS 9: 73). Dalam menghukum orang yang melakukan zina, Allah berfirman, ... janganlah menaruh belas-kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk menegakkan hukum Allah... (QS 24: 2).


Jadi, dalam Al-Quran memang dipertentangkan antara sifat ini, yaitu sifat lemah-lembut terhadap kaum Mukmin dan sifat keras terhadap orang-orang kafir. Mengapa ada perintah untuk bersikap lemah-lembut dan mengapa ada perintah kasar. Maksudnya adalah supaya kita tidak jatuh. Islam selalu memelihara keseimbangan. Jangan terlalu lemah-lembut yang akhirnya menjadi rusak, tetapi jangan juga terlalu kasar. Carilah sifat yang tengah-tengah.


Tetapi khusus untuk jamaah kaum Muslim, kita harus lemah-lembut, dan kepada orang-orang kafir atau jelas-jelas munafik kita boleh bersifat keras. Karena itu, gerakan sempalan, sebagian dakwahnya ditandai dengan kekerasan sikap yang keras luar biasa.


Saya pernah mendengar seorang ustad berkata bahwa Allah itu kalau mengutus pembawa risalah, Dia akan memberi wajah yang baik dan akhlak yang baik pula. Dia mempunyai akhlak yang lemah-lembut. Sebab sekiranya Nabi mempunyai akhlak yang kasar, orang akan berlari. Nanti di Hari Kiamat, ketika mau dihukum, orang bisa mencari alasan kenapa tidak mengikuti Nabi, "Karena dia kasar dan sering menyakiti."


Untuk kita yang sekarang menyampaikan risalah, wajah yang bagus mungkin sulit, karena sudah begitu dari sananya. Tetapi kita bisa menggunakan kebaikan akhlak. Ini agak filosofis. Akhlak orang yang baik akan memengaruhi per ubahan fisiologis orang itu dan wajahnya akan semakin baik juga.


Begitu juga, kalau orang itu wajahnya baik tetapi hatinya kasar maka wajahnya lama-kelamaan akan berubah juga. Paling tidak, dia tidak menarik. Cantik tapi tidak menarik. Padahal biasanya orang memilih yang menarik, walaupun tidak cantik.


Saya pernah bercerita, bila sepasang suami-istri saling mencintai lama-kelamaan wajahnya akan saling mirip satu dengan yang lain. Terjadi perubahan fisiologis di antara mereka. Ini disebabkan oleh perubahan psikologis. Karena itu, mulailah dari perubahan akhlak, nanti fisik akan mengikutinya. Tapi kalau dimulai dari perubahan fisik, maka yang terjadi hanya semacam kosmetik saja. Akan cepat luntur.


Ayat selanjutnya adalah anjuran untuk bermusyawarah dalam segala urusan. Nabi adalah utusan Tuhan yang jelas benar. Dan kalau beliau mengeluarkan pendapat maka pendapatnya adalah wahyu. Walaupun demikian, Nabi disuruh bermusyawarah dengan para sahabatnya. Kata sebagian mufassirin, ini sebagai contoh untuk umatnya di kemudian hari bahwa mereka harus selalu bermusyawarah.


Dalam bahasa Arab, kata musyawarah berasal dari kata syara yang kemudian menjadi syawara. Syara artinya mengeluarkan madu. Akhlak yang lain yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin Muslim adalah kemauan untuk bermusyawarah. Ada sebagian ahli tafsir yang mengatakan bahwa ini bukan hanya untuk masyarakat saja, tetapi juga untuk keluarga. Seorang ayah, sebagai pemimpin rumah tangga, harus lemah-lembut, tidak boleh kasar. Dia harus sering mendoakan anggota-anggota keluarganya dan memaafkan kesalahan mereka. Di samping itu, seorang ayah harus sering mengadakan musyawarah di antara mereka. Oleh karena itu, keluarga bisa dijadikan sebagai media latihan untuk kepemimpinan.



Dalam komunikasi keluarga, ada yang disebut komunikasi untuk monitoring. Jadi, kalau kita sudah berkeluarga cukup lama, sewaktu-waktu hendaknya kita berkumpul berdua saja. Di situ, kita harus memonitor perkembangan yang akan terjadi. Dalam sebuah keluarga, sudah pasti terjadi perubahan. Karier suami makin tinggi, pengetahuannya makin lama makin banyak. Istri, misalnya, mulai ikut arisan dan dia mulai menyerap informasi baru dari ibu-ibu di sekitarnya.


Maka ada terjadi perubahan di dalam keluarga. Oleh karena itu, perubahan itu sebaiknya kita bicarakan dengan jujur. Inilah monitoring communication.


Oleh karena itu, bermusyawarahlah kamu dan mulailah dari tengah-tengah keluarga kamu. Apabila kamu sudah mengambil keputusan, maka bertawakallah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal. Jadi, yang disebut tawakal adalah jika putusan sudah kita putuskan dan tindakan sudah kita jalankan. Itu yang disebut tawakal.


Sayidina Ali k.w. pada suatu hari menemukan orang-orang yang sedang berkumpul di masjid dan bertasbih. Setiap hari begitu. Kemudian Sayidina Ali bertanya kepada mereka, "Kamu ini sedang apa?" Mereka menjawab, "Kami ini orang yang tawakal." "Tidak," kata Sayidina Ali, "Kamu ini kaum yang menunggu-nunggu makanan datang. Kalau kamu ini orang yang betul-betul tawakal, maka apa hasilnya tawakal kamu ini." Mereka menjawab, "Kami ini kalau menemukan sesuatu yang kami makan ya makan, dan kalau tidak ada ya tidak apa-apa."


Sayidina Ali kemudian berkata, "Itu juga yang dilakukan oleh anjing-anjing kami." Jadi, tawakal sejati adalah mengambil keputusan bertindak dan kemudian hasilnya diserahkan kepada Allah Swt.

Apabila kamu selesai melakukan pekerjaan, maka lakukanlah pekerjaan yang lain dengan sungguh-sungguh, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap. (QS 94: 7-8) JR


***

KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).



64 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page