@miftahrakhmat
(6) Al-Baaqiyaat al-Shaalihaat

Akhirnya, sampailah kita di pertigaan itu. Dari imroah menuju shohibah atau zawjah.
Di dalam Al-Qur’an, Allah Swt berfirman: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi ‘al-baqiyaat al-shaalihat’ adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. Al-Kahfi [18]:15) Al-Qur’an kembali mengajarkan kita dengan istilah lainnya: _al-baqiyaat al-shaalihat_. Hampir semua kitab tafsir induk menerjemahkannya dengan amal saleh yang kekal di hari akhir nanti. Dengan beberapa keterangan, seperti dalam Tafsir Ibn Katsir misalnya, seorang sahabat bertanya pada Khalifah Utsman bin Affan tentang al-baaqiyaat al-shaalihat. Khalifah menjawab: laa ilaaha illallah, subhanallah, walhamdulillah, wallahu akbar, wa laa hawla wa laa quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘azhim.
Al-Qur’an memang kitab teramat dalamnya untuk digali, teramat luasnya untuk dimaknai, teramat tingginya untuk dapat dipahami. Selayaknya kita mencari penafsiran dari mereka yang paling mengerti. Apa itu al-baqiyaat al-shaalihat? Amal saleh yang kekal di hari akhir nanti. Menarik bagaimana al-baqiyaat al-shaalihat disandingkan dengan harta dan anak-anak. Bahwa mereka adalah hiasan dunia, dan al-baaqiyaat al-shaalihat adalah hiasan (dunia dan) akhirat. Itulah sebaik-baiknya pahala, dan sebaik-baiknya harapan. Bukankah kita ini makhluk teramat berharap pada kasih sayang Tuhan? Sebaik-baik harapan itulah al-baaqiyaat al-shaalihaat.
Mengapa pula tidak ada istri atau suami, tidak ada pasangan yang dinisbatkan sebagai perhiasan dunia itu? Bukankah sebaik-baik perhiasan dunia adalah perempuan yang shalihah? Sesungguhnya Baginda Nabi Saw bersabda: “Dunia adalah perhiasan. Dan sebaik-baik perhiasan adalah perempuan yang shalihah.” (HR. Muslim 2668; Shahih al-Jami’ al-Albani 3413) Dalam ayat yang lain Allah Ta’ala menyebutkan perhiasan itu dengan kata ‘zuyyina’, dihiaskan. Terjemahan Indonesia memilih kata: dijadikan indah. “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan pada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali Imran [3]:14) Yang dihiaskan dalam diri manusia itu adalah kecintaan kepada hal-hal di atas. Sedangkan ayat sebelumnya menegaskan bahwa harta dan anak-anak, itulah perhiasan kehidupan dunia. Dengan kata lain, semua kecintaan itu adalah akar dari cinta dunia. Padahal, tidak akan masuk surga seseorang yang dalam hatinya ada sebutir debu dari cinta dunia. Adakah cinta pada pasagan dan anak-anak bagian dari cinta dunia?
Wanita yang menjadi sebab cinta dalam ayat di atas menggunakan kata nisaa’, bentuk jamak dari imro’ah. Sedangkan perempuan shalihah adalah wasilah untuk menuju kesempurnaan berpasangan: zawjah. Demikian dalam hadits Baginda Nabi Saw, “Tidak ada yang mendatangkan faidah kebaikan bagi seorang mukmin setelah ketakwaan pada Allah ‘azza wa jalla selain seorang istri yang salihah.” (Kanzul ‘Ummal 44410)
Lalu apa itu al-baaqiyaat al-shaalihat? Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala menyandingkannya dengan mereka yang diberi petunjuk: “Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk. Dan amal-amal saleh yang kekal itu lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu dan lebih baik kesudahannya.” (QS. Maryam [19]:16)
Sekali lagi, Al-Qur’an teramat indahnya. Hanya dua kali kata kata itu disebutkan. Pertama, setelah harta dan anak-anak. Dan kedua, setelah mereka yang mendapatkan petunjuk. Apa kaitannya dengan berpasangan?
Sebelum menjawab itu, mari telusuri kembali makna zawjah. Pasangan yang akan menemani di kampung keabadian. Zawjah mensyaratkan kesesuaian, keselarasan, kesetaraan. Mungkin ini yang dimaksud dengan kufuw. Penekanannya bukan pada sebelum pernikahan, melainkan setelahnya. Bila suami atau istri kita ahli ibadah, maka kita sedapat mungkin mendekati (tingkat) ibadahnya. Bila suami atau istri kita ahli berkhidmat, maka kita berusaha untuk juga membantunya. Lakukan apa saja, agar dapat 'setara' dengan pasangan kita. Sesuai, sepadan, selaras secara ruhaniah.
Bagaimana bisa? Peluang perkhidmatan dan ibadah setiap kita berbeda. Benar sekali, karena itulah Islam mengajarkan cara untuk tetap dapat bersama itu: dengan memperbanyak berkhidmat pada sesama. Mungkin suami atau istri kita yang ahli ibadah. Dengan berkhidmat kepadanya kita memperoleh bagiannya. Mungkin suami atau istri kita yang rajin mengaji. Dengan membantu dan meringankan kesibukannya kita juga beroleh kebaikannya. Dalam Al-Qur’an, kata zawj disifatkan pada bahij dan karim. Indahnya lagi, ia dinisbatkan lebih luas dari manusia. “Dan Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata.” (QS. Qaf [50]:7)
Al-Qur’an mengisahkan tentang pasangan yang ‘ditumbuhkan’ di atas permukaan bumi. Terjemahan bahasa Indonesia memilihnya: tumbuh-tumbuhan. Kata dasarnya adalah zawj. Sifat untuk zawj dalam ayat itu adalah bahij: indah dipandang mata. Maka pasangan yang baik adalah pasangan yang indah dipandang mata. Kapan saja memandangnya, akan membahagiakan hati. “Tidak ada yang memberi kebaikan bagi seorang hamba kecuali pasangan yang salih: yang bila dipandang membahagiakan, bila berjauhan ia menjaga harta dan kehormatan.” (Al-Bihar 2:217).
Dalam ayat yang lain, kata bahij diterjemahkan sebagai indah. “…hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.” (QS. Al-Hajj [22]: 5). Bahij sendiri berasal dari kata ‘bahija’ yang artinya bahagia, sukacita, indah dan mempesona.
Sifat lain yang dinisbatkan pada zawj adalah karim: mulia. “Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya Kami tumbuhkan di bumi itu berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik.” (QS. Al-Syu’ara [26]: 7); “…dan Kami turunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan padanya segala macam tumbuh-tumbuhan yang baik.” (QS. Luqman [31]: 10). Pilihan kata ‘baik’ dalam kalimat adalah terjemahan dari ‘karim’ yang artinya mulia. Sifat yang juga dinisbatkan pada segala hal yang utama: ‘arays, nabi, derajat dan sebagainya. “…dan telah datang kepada mereka seorang rasul yang mulia.” (QS. Ad-Dukhan [44]: 17).
Maka, kesimpulannya. Pasangan yang akan menyertai adalah pasangan yang saling memuliakan. Saling membahagiakan. Yang indah bila memandangnya, yang mendatangkan sukacita dan pesona. Dia yang mengisi relung pikiran kita dalam setiap harinya.
Tetapi, tunggu dulu. Berharap jadi zawjah ternyata juga belum sepenuhnya ‘aman’. Belum tentu selamat dan beroleh janji kebersamaan.
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu. Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Taghabun [64]: 14) Dalam ayat ini, Al-Qur’an menggunakan kata ‘azwaj’ untuk menyebutkan istri-istri itu.
Bagaimana ini? Bukankah azwaj mensyaratkan keselerasan? Bagaimana bisa mereka menjadi musuh? Anak dan istri bagaimana yang bisa jadi musuh?
Lalu, bagaimana dengan al-Baqiyaat al-Shaalihat?
(bersambung)
@miftahrakhmat