top of page
  • Writer's pictureAkhi

ALLAH, RABB AL-MUSTADH’AFIN


Ibnu Mas’ud, seorang sahabat yang fakir, pernah bercerita tentang pengalamannya bersama Nabi SAW, ”Pembesar-pembesar Quraisy bermaksud menemui Rasulullah. Mereka mengutus Al-Aqra bin Habis at-Tamimi dan Uyainah bin Hushain. Mereka melihat di sekitar Rasulullah s.a.w. duduk Suhaib, Bilal, Khabab, Ammar, dan orang-orang seperti mereka dari kalangan dhu‘afa Muslimin.


Mereka berkata, “Orang-orang terkemuka Arab akan datang menemuimu dan kami malu. Mereka akan melihat kami duduk dengan budak-budak yang hina ini. Apakah kau senang mempunyai pengikut seperti mereka? Apakah kami harus ikut mereka? Apakah mereka orang yang diberi karunia oleh Allah? Usirlah mereka dari sisimu. Jika engkau mengusir mereka, kami akan menjadi pengikutmu.”


Lalu Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat:

Dan janganlah kamu “mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedang mereka menghendaki ridha-Nya” . . . sampai akhir ayat QS 6:52.


Rasul yang mulia tidak mengusir mereka. Bahkan sejak turun ayat ini, Nabi SAW makin sering duduk bersanding beserta mereka.


Peruntuh Tahta Kisra

Inilah Nabi kaum mustadh’afin yang tidak segan-segan mengendarai keledai, menjahit baju janda tua yang miskin, memeluk orang dusun, memperbaiki sandal anak yatim. Inilah Nabi kelompok tertindas yang menjawab pertanyaan orang yang ingin mengetahui di mana ia dapat ditemui, “Carilah aku di tengah, tengah kaum dhu’afa. Bukanlah kalian ditolong dan diberi rizki karena bantuan orang-orang dhu’afa kalian?”


Inilah Abul Fuqara yang tidur di atas tikar kasar, sujud di atas tanah, tinggal di gubuk kecil yang hanya diisi ghariba air, dan berdoa, “Ya Allah, himpunkan aku pada hari kiamat beserta orang-orang miskin.” Inilah pemimpin orang kecil yang wajahnya muram melihat penderitaan mereka, dan bersinar-sinar karena melihat kebahagiaan mereka.


Suatu hari lewatlah di depan beliau seseorang. ” Bagaimana pendapatmu tentang orang ini?” tanyanya. ”Ini laki-laki terhormat. Demi Allah, ia orang mulia. Kalau melamar, akan dinikahkan. Kalau minta prioritas, akan didahulukan.” Nabi SAW diam.


Lewatlah orang yang lain. ”Bagaimana pula pendapat kamu tentang dia?” tanya Rasulullah SAW. “Ya Rasulullah, orang ini sebagian dari fukara Muslimin. Kalau melamar, tidak dinikahkan, kalau meminta keistimewaan tidak diberikan, kalau bicara, tidak didengarkan.” Nabi berkata,” Ia lebih baik daripada sepenuh bumi orang yang tadi.”


Inilah Nabi akhir zaman yang mengembuskan harapan kepada kaum tertindas, mengangkat derajat mereka di atas para bangsawan dan raja-raja, membangkitkan semangat hidup mereka, menanamkan harga diri mereka, sehingga kelak . . . mereka memacu kudanya ke sebelah utara dan meruntuhkan tahta Kisra dan Kaisar.


Sejarah menyaksikan langkah-langkah tegap salah seorang di antara mereka ketika memasuki istana Panglima Rustam dan menambatkan keledainya pada kursi yang gemerlapan seraya berkata, “Kami kaum pilihan Allah, yang akan mengeluarkan manusia dari pengabdian kepada manusia ke pengabdian kepada Allah saja, dari kezaliman berbagai agama ke keadilan Islam.”


Sejarawan tertegun ketika kaum yang selama berabad-abad dianggap bodoh (sufaha), bergelimang debu kotor, dan para pekerja kasar, dapat tampil membuka cakrawala peradaban baru selama ratusan tahun. Seorang budak yang pernah dijual seperti hewan — setelah menjadi pengikut Nabi Mustadh’afin — berhasil mendirikan sebuah dinasti. Sejarah menyebut dinastinya sebagai dinasti budak — Mamluk!


Di berbagai negeri, raja-raja dianggap keturunan dewa, dan Tuhan dinyatakan di dunia lewat tangan-tangan mereka. Maka tangan-tangan kurus dengan penuh kekhidmatan mengangkat batu-batu buat istana atau kuburan para pangeran. Dengan rasa beragama yang dalam, mereka antarkan hasil keringat mereka ke ambang keraton, dan seraya mengunjuk sembah, mereka bergumam. “Nyawa dan harta kami di bawah duli tuanku, duhai putra para dewa!”


Di saat itu, ketika Tuhan dianggap memihak para raja, Muhammad SAW berdoa di kebun Utbah bin Rabi’ah dengan kaki yang berlumuran darah, “Ya Allah, kepada Engkau kuadukan kelemahan tenagaku, kekurangan diriku, dan kerendahanku di hadapan manusia. Ya Allah, yang paling kasih dari segala yang mengasihi, Engkaulah Tuhan yang memelihara kaum tertindas, Engkaulah Rabbul Mustadh’afin.” Allah kini tidak dipanggil sebagai “ayah” para bangsawan, Allah kini menjadi Rabbul Mustadh’afin.


Ketika di tempat-tempat ibadah didirikan patung raja-raja yang mangkat, ketika tokoh-tokoh agama menabur berkat di atas mahkota, dan firman Tuhan bergema lewat mulut para pangeran, seorang Nabi turun dari puncak gunung membawa Kitab yang mengejek para raja, dan Allah berfirman:

Kami bermaksud memberikan karunia kepada orang-orang tertindas di bumi. Kami akan menjadikan mereka pemimpin dan pewaris bumi.” [QS 28:5]


Pesan Rabb Al-Mustadh’afin

Hal yang aneh terjadi. Kitab-kitab suci biasanya mengajarkan hikmah lewat para pangeran. Baghawad Gita bercerita tentang jelmaan Tuhan, Krisna, yang menasihati putra Pandu, Pangeran Madukara, Raden Arjuna. Dalam agama Buddha, wahyu turun lewat Pangeran Sidharta Gautama yang baru meninggalkan keraton karena ingin mencari jatining urip. Pararaton dan Negara Kertagama dipenuhi dengan kisah dari istana. Folklor bercerita tentang para putri dan pangeran yang mempunyai hubungan darah dengan tuhan-tuhan di langit. Al-Quran, kitab yang dibawa Muhammad, malah bercerita tentang kaum mustadh’afin dan menyebut-nyebut mereka tujuh belas kali lebih banyak daripada kaum pembesar (kubara).


Belum lagi dihitung dua belas kali kata faqir atau fuqara dan dua puluh tiga kali kata miskin atau masakin. Lalu berapa kali Al-Quran menyebut kata ”raja” yang mengacu kepada manusia dan bukan Tuhan? Sepuluh kali. Satu di antaranya berbunyi,”

Dia berkata: Sesungguhnya raja-raja, apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina.” (QS 27:34).


Dan satu lagi berkata: “…di hadapan mereka ada seorang raja yang mengambi perahu (orang miskin yang bekerja di lautan) dengan paksa.” [QS 18:71]


Tetapi Fir’aun disebut tujuh puluh empat kali dalam Al-Quran. Benar, tetapi berbeda dengan raja-raja dalam Mahabharata, atau cerita-cerita Buddha, Fir’aun dilukiskan sebagai tiran durhaka perusak, penindas, pembunuh orang yang tak bersalah, penipu dan fasik. Dengarkan bagaimana Al-Quran melukiskan al-mala (para bangsawan) dan al-mutrafin (orang kaya yang hidup mewah) sebagai penentang kebenaran dan sumber kerusakan:


“Dan tidak kami utus pada setiap negeri seorang pemberi peringatan, kecuali berkata mutrafun-nya: Sesungguhnya kami kafir kepada apa yang kamu diutus untuk menyampaikannya. Dan mereka berkata: kami lebih banyak harta dan anak, dan kami tidak akan tersiksa.” [QS 34:34-35].


“Dan begitulah, tidak Kami utus sebelummu di sebuah negeri seorang pemberi peringatan, kecuali mutrafun-nya berkata: “Sungguhnya kami dapati nenek moyang kami mengikuti suatu kepercayaan, dan kami akan mengikuti jejak mereka.” [QS 43:23]


“Dan bila Kami ingin membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah), tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan) Kami, kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” [QS 17:16]


Berkata al-mala’ yang kafir dari kaumnya: Kami tidak melihat engkau kecuali manusia juga seperti kami, dan tidak kami lihat pengikut-pengikutmu kecuali orang-orang yang hina-dina diantara kami, yang lekas percaya, dan kami tidak melihat kamu memiliki kelebihan di atas kami, bahkan kami yakin kamu semua pembohong.” [QS 11:27]


Pada saat yang sama Al-Quran berbicara tentang kewajiban membebaskan kaum mustadh’afin, menyantuni anak yatim, fuqara dan masakin, membela budak-budak belian, para tawanan, dan siapa saja orang malang yang ”bergelimang debu”. Dalam Islam, Tuhan muncul tidak di belakang para raja, tetapi di samping mereka yang tertindas. Dia bukan Rabbul Mustakbirin. Dia Rabbul Mustadh’afin.


Dia berfirman: “Dan Kami wariskan kepada kaum yang tertindas seluruh timur bumi dan seluruh baratnya yang Kami berkati.” [QS 7:137]


Dia mengutus para rasul bukan semata-mata untuk amar ma’ruf nahi munkar, atau mengajak akan syariat saja, tetapi juga “melepaskan beban penderitaan dan belenggu-belenggu yang ada di atas mereka.” [QS 7:157]. Dia melukiskan sejarah manusia sebagai gerakan kaum mustadh’afin di bawah pimpinan para rasul melawan kaum mustakbirin.


Di tengah-tengah suatu bangsa, ketika orang-orang kaya hidup mewah di atas penderitaan orang-orang miskin, ketika budak-budak belian merintih dalam belenggu tuan-tuannya, ketika para penguasa membunuhi orang-orang tak berdaya hanya untuk kesenangan, ketika para hakim memihak pemilik kekayaan dan memasukkan ke penjara orang-orang kecil yang tidak berdosa, Rasulullah SAW menyampaikan pesan dari Rabbul Mustadh’afin:


“Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan membela orang-orang yang tertindas, baik laki-laki, wanita-wanita, maupun anak-anak, yang semuanya berdoa: Ya Tuhan kami, keluarkan kami dari negeri yang zalim penduduknya ini, dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau,” [QS 4:75] JR


***


KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).

96 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page