Akhi
ANTARA IBADAH DAN MUAMALAH
Pada suatu hari, salah seorang sahabat Rasulullah Saw, lewat di sebuah lembah yang bermata air dengan air yang jernih dan segar. Lembah itu sangat memesona, sehingga sahabat itu berpikir untuk mengasingkan diri dari masyarakat dan menghabiskan waktu untuk beribadah di lembah itu. la datang memberitahukan maksudnya kepada Rasulullah Saw. Rasul yang mulia berkata,
"Janganlah engkau lakukan itu. Kedudukan engkau di jalan Allah lebih utama daripada shalat yang engkau lakukan di rumahmu selama tujuh puluh tahun. Tidakkah engkau ingin agar Allah mengampuni dosamu dan memasukkanmu ke surga? Berjuanglah di jalan Allah."
Berjuang di jalan Allah adalah hidup di tengah-tengah masyarakat, mempertahankan akidah yang diyakininya dan menyebarkannya kepada orang. lain, menjadi "saksi-saksi kebenaran di tengah-tengah masyarakat" (syuhada' 'ala an-nas). Islam memandang bahwa kehadiran seorang Muslim sebagai anggota masyarakat merupakan suatu hal yang sangat penting. Islam tidak datang hanya untuk mengajarkan zikir dan doa. Nabi datang untuk menjelaskan halal dan haram, menyuruh yang baik, melarang yang mungkar, dan membebaskan manusia dari beban. penderitaan dan belenggu-belenggu yang memasung kebebasan mereka." Seorang Muslim datang ke tengah-tengah masyarakat untuk melanjutkan tugas para nabi, memperbaiki masyarakatnya, setelah ia memperbaiki dirinya. Ia harus menjadi orang saleh dan mushlih, hâdin dan muhtadin (yang mendapatkan petunjuk dan yang memberikan petunjuk), bukan fasid dan mufsid (yang rusak dan merusak), atau dhal dan mudhil (yang sesat dan yang menyesatkan).
Di dalam Islam, tugas-tugas kemasyarakatan (muamalah) ini mempunyai kedudukan sedemikian penting, sehingga dihargai lebih tinggi daripada ibadah-ibadah ritual (mahdhah).
Pengertian Ibadah dan Muamalah
Menurut Al-Quran, jin dan manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah. Semua rasul diutus Allah untuk mengajak manusia beribadah kepada-Nya.' Islam memandang seluruh hidup kita haruslah merupakan ibadah kepada Allah Swt. Dalam pengertian ini, ibadah didefinisikan oleh Ibnu Taimiyah sebagai "sebuah kata yang menyeluruh, meliputi segala yang dicintai dan diridhai Allah, menyangkut segala ucapan dan perbuatan yang tidak tampak maupun yang tampak." Jadi, ibadah bukan saja berzikir, shalat, dan shaum, melainkan juga menolong yang teraniaya, melepaskan dahaga yang kehausan, atau memberikan pakaian kepada yang telanjang.
Jadi, pengertian ibadah sama dengan pengertian syariat Islam. Seperti syariat Islam, kita dapat membagi cakupan ibadah menjadi dua kategori:
1. Ibadah yang merupakan upacara-upacara tertentu untuk mendekatkan diri kepada Allah, seperti shalat, zikir, dan shaum;
dan
2. Ibadah yang mencakup hubungan antar-manusia dalam rangka mengabdi kepada Allah.
Ibadah pertama bersifat ritual; ibadah kedua bersifat sosial. Untuk tidak mengacaukan orang awam (juga para ahli), para fukaha menyebut ibadah pertama sebagai ibadah mahdhah (ibadah dalam arti khas), taabbudi atau taalluh (menurut Abul A'la Al-Maududi). Ibadah kedua lazim disebut sebagai muamalah atau al-'adah. Memang, dalam menetapkan hukum bagi kedua urusan ini dipergunakan kaidah yang berlainan. Ushul al-fiqh menyatakan bahwa dalam urusan ibadah, semuanya haram, kecuali bila secara pasti terdapat dalil yang memerintahkan; sedangkan dalam urusan 'adah (muamalah), semuanya boleh (mubah), kecuali bila secara pasti terdapat dalil yang melarang.
Dalam pembahasan ini, saya mengartikan ibadah seperti yang dimaksud dengan ibadah mahdhah, yang hanya terdiri atas delapan hal: thaharah, shalat, shaum, zakat, haji, mengurus jenazah, udhhiyah (penyembelihan) dan aqiqah, zikir dan doa. Dalam delapan hal ini, kita tak boleh mengembangkan hal-hal yang baru-semuanya haram, kecuali bila ada dalil yang memerintahkan. Di sini sifat kreatif dan inovatif dilarang. Bahkan kita harus menjalankannya tanpa merenungkannya secara aqliyyah. "Ghair maqulat al-mana," ujar ahli ushul al-fiqh. Kita harus mengangkat tangan ketika mengucapkan Allahu Akbar, menengok ke kanan dan kiri ketika menyebut assalamu 'alaikum. Mengapa? Wallahu a'lam. Kita jalankan saja, karena meniru contoh Nabi Saw. Ini adalah urusan taabbudi. Kita lakukan bi là kaifa tanpa bertanya, kenapa? Caranya, waktunya, tempatnya sudah ditentukan oleh Rasulullah Saw.
Ibadah kedua-yang dalam pembicaraan sebelumnya disebut muamalah-menuntut kita untuk kreatif dan inovatif. Islam hanya memberikan petunjuk umum dan pengarahan. Kita diperintahkan qital (memerangi) kaum yang zalim. Nabi Saw. mencontohkan dengan pedang, panah, perisai, kuda, dan unta. Islam memberikan petunjuk umum: berperanglah dengan senjata dan kendaraan. Sekarang ini, kita tentu menggunakan senapan, bom, bahkan rudal-tidak lagi pedang dan panah. Kita mengendarai tank-tank baja, pesawat tempur, atau mungkin peralatan mutakhir lainnya. Di sini, cara, waktu, dan tempat tidak ditentukan secara fixed oleh Rasulullah Saw.
Antara Urusan Ibadah dan Urusan Muamalah
Secara sederhana bolehlah disimpulkan bahwa urusan ibadah adalah urusan antara seorang hamba dan Ma'bud-nya-hablun minallah; sedangkan urusan muamalah adalah urusan antara hamba dan hamba Allah yang lain-hablun minannas. Yang pertama adalah urusan ritual, yang kedua adalah urusan sosial. Sekarang marilah kita perbandingkan kedua urusan ini dalam keseluruhan ajaran Islam.
Islam ternyata adalah agama yang menekankan urusan muamalah lebih besar daripada urusan ibadah. Islam ternyata lebih banyak memperhatikan aspek kehidupan sosial daripada aspek kehidupan ritual. Islam adalah agama yang menjadikan seluruh bumi ini masjid, tempat mengabdi kepada Allah. Muamalah jauh lebih luas daripada ibadah (sekali lagi, dalam arti khusus). Beberapa alasannya ialah:
Pertama, dalam Al-Quran atau kitab-kitab hadis, proporsi terbesar kedua sumber hukum Islam itu berkenaan dengan urusan muamalah. Menurut Ayatullah Khomeini, dalam Al-Hukumah Al-Islamiyyah, perbandingan antara ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan sosial adalah satu berbanding seratus-untuk satu ayat ibadah, ada seratus ayat muamalah. Tanda-tanda orang beriman terdapat dalam QS 23: 1-9: Orang beriman ialah orang yang khusyuk dalam shalatnya (ibadah), menghindarkan diri dari perbuatan yang tidak bermanfaat (muamalah), menjaga amanat dan janjinya (muamalah), dan memelihara shalatnya (ibadah). Dari sekian tanda orang yang beriman, hanya dua yang menyangkut ubudiyyah: shalat dan zakat. Dan terdapat pula tanda- tanda orang takwa dalam QS 3: 133-135: infak dalam suka dan duka (muamalah), menahan amarah (muamalah), memaafkan manusia (muamalah), berbuat baik (muamalah dan ibadah), zikir (ibadah) bila berbuat dosa atau menzalimi diri sendiri, serta meminta maaf atas dosa- dosanya (ibadah).
Di dalam buku-buku hadis, bab ibadah hanya merupakan bagian kecil dari seluruh hadis. Dari dua puluh jilid Fath Al-Bâri bi Syarh Shahih Al- Bukhari, hanya empat jilid berkenaan dengan urusan ibadah. Dari dua jilid Shahih Muslim, hadis-hadis ibadah hanya terdapat pada sepertiga jilid pertama. Begitu pula dalam Musnad Imam Ahmad, Al-Kabir-nya Thabrani, Kanz Al-'Ummál, atau kitab hadis mana pun.
Tetapi aneh sekali, dewasa ini umat Islam lebih memperhatikan urusan ibadah daripada urusan muamalah. Kadang-kadang perbedaan kecil dalam urusan ibadah dibesar-besarkan, sehingga mempertajam perpecahan umat Islam. Cara ibadah berdasarkan fikih tertentu dijadikan "merek dagang" golongan. Yang berbeda bacaan ruku'-nya saja dipandang sebagai bukan saudara. Di Afghanistan-konon-pernah seorang mushalli dipukul telunjuknya sampai patah, hanya karena ia menggerak- gerakkan telunjuknya pada waktu tasyahud. Di Indonesia, di beberapa kampung, shalat Jumat dipisahkan, dan masjid baru dibuat berdampingan dengan masjid lama, hanya karena perbedaan azan Jumat. Kita sering berpanjang-panjang membicarakan urusan ubudiyyah dan melupakan muamalah. Sehingga, ada pengajian yang bertahun-tahun hanya membahas urusan ibadah-dari istinja sampai haid dan nifas, dari takbiratul ihram sampai doa qunut. Bila kita memperhatikan Al-Quran dan hadis, sepatutnya kita lebih banyak membicarakan muamalah ketimbang ibadah. Akibatnya, seperti dikatakan Syaikh Al-Ghazali dan Sayyid Quthb, kita bertengkar dalam urusan ibadah, sementara satu demi satu bidang kehidupan diambil oleh musuh-musuh Islam. Kita ribut tentang bid'ah dalam shalat dan haji, tetapi dengan tenang melakukan bid'ah dalam urusan ekonomi dan politik.
Kedua, alasan lain lebih ditekankannya muamalah dalam Islam ialah adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (tentu bukan ditinggalkan). Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik, Rasulullah Saw. berkata, "Aku sedang shalat dan aku ingin memanjangkannya, tetapi aku dengar tangisan bayi. Aku pendekkan shalatku, karena aku maklum akan kecemasan ibunya karena tangisannya itu." Begitulah, Nabi Saw. memendekkan shalat karena memikirkan kecemasan seorang ibu. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Al- Jama'ah, kecuali Abu Dawud dan An-Nasa'i, dari Abi Qatadah.
Dalam hadis lain, Rasulullah Saw. mengingatkan imam supaya memperpendek shalatnya bila di tengah jamaah ada yang sakit, orang lemah, orang tua, atau orang yang mempunyai keperluan. Siti Aisyah berkata,
"Rasulullah Saw. shalat di rumah, dan pintu terkunci. Lalu aku datang (dalam riwayat lain: aku minta dibukakan pintu), maka Rasulullah Saw. berjalan membuka pintu, kemudian kembali ke tempat shalatnya."
Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Khamsah, kecuali Ibnu Majah. Hadis ini menunjukkan bahwa diperbolehkan berjalan ketika shalat sunnah untuk satu keperluan, kata Asy-Syaukani.
Diriwayatkan oleh Bukhari dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah Saw. mendinikan shalat Jumat bila udara terlalu dingin, atau mengundurkan shalat Jumat bila udara terlalu panas. Bukankah ini semua menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. memperhatikan kemaslahatan umatnya, yaitu mempertimbangkan aspek-aspek sosial atau muamalah. Satu contoh lagi: Suatu hari, setelah ashar, Ibnu Abbas berkhutbah. Matahari sudah tenggelam, bintang gemintang sudah muncul. Ibnu Abbas masih juga berkhutbah. Orang-orang berteriak, "Ash-shalah, ash-shalah!" Ibnu Abbas terus saja berkhutbah. Seorang laki-laki dari Bani Tamim mendekati Ibnu Abbas, "Shalah, shalah!" Dengan kesal Ibnu Abbas berkata, "Kamukah yang mengajarkan kepadaku Sunnah, atau akukah yang mengajarkan kepadamu?" (Maksudnya, siapakah yang lebih mengetahui Sunnah Rasul daripada Ibnu Abbas; bukankah Rasulullah mendoakan supaya Ibnu Abbas difakihkan dalam urusan agama.) "Aku pernah melihat Rasulullah Saw. men-jama' Zhuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya." Saya menduga, Rasul Allah melakukannya karena suatu urusan kemasyarakatan yang penting, sebagaimana Ibnu Abbas menangguhkan shalat Maghrib karena menyelesaikan khutbahnya. Yang meriwayatkan hadis ini, Abdullah bin Syaqiq, merasa heran. "Hatiku tidak enak," kata Abdullah, "lalu aku mendatangi Abu Hurairah. Aku tanyai dia tentang hal itu, dan Abu Hurairah menganggap benar ucapan Ibnu Abbas." Hadis ini diriwayatkan Bukhari, Muslim, Malik, dan Ahmad.
Ketiga, ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar daripada ibadah yang bersifat perseorangan. Karena itu, shalat jamaah lebih tinggi nilainya daripada shalat munfarid (sendirian) dua puluh tujuh derajat-menurut riwayat-riwayat yang sahih dalam Bukhari, Muslim, dan ahli hadis yang lain. Dalam riwayat Ahmad, Abu Dawud, An- Nasa'i, Ibnu Majah, dari Ubay bin Ka'ab, Rasulullah Saw. bersabda,
"Shalat seorang laki-laki dengan seorang lain lagi lebih suci daripada shalatnya sendirian; shalatnya dengan dua orang lain lebih suci daripada shalatnya dengan seorang lain; makin banyak kawan shalat, makin dicintai Allah Azza wa Jalla."
Shalat jamaah, shalat Jumat, ibadah haji, juga zakat, karena banyak melibatkan segi sosial, mendapatkan perhatian besar dari ajaran Islam. Ibadah-ibadah itu tidak hanya ritual.
Keempat, bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal karena melanggar pantangan tertentu, kifarat-nya (tebusannya) ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan muamalah. Bila shaum tidak mampu dilakukan, fidyah-makanan bagi orang miskin-harus dibayarkan. Bila suami istri bercampur siang hari pada bulan Ramadhan -atau ketika istri dalam keadaan haid-tebusannya ialah memberi makan kepada orang miskin. Dalam hadis qudsi, salah satu tanda orang yang diterima shalatnya ialah menyantuni orang-orang lemah, menyayangi orang miskin, anak yatim, janda, dan yang mendapat musibah."
Sebaliknya, bila orang tidak baik dalam urusan muamalah, urusan ibadah tidak dapat menutupnya. Yang merampas hak orang lain tidak dapat menghapus dosanya dengan shalat Tahajud. Yang berbuat zalim tidak hilang dosanya dengan membaca zikir seribu kali. Bahkan, dari beberapa keterangan, kita mendapatkan kesan bahwa ibadah ritual tidak diterima Allah bila pelakunya melanggar norma-norma muamalah. "Dikatakan kepada Rasulullah Saw. bahwa seorang wanita shaum di siang hari dan berdiri shalat di malam hari, tetapi ia menyakiti tetangganya. Rasulullah Saw. menjawab, 'Perempuan itu di neraka."
Di sini tampak betapa shalat dan shiyam menjadi tidak berarti jika pelakunya merusak hubungan baik dengan tetangganya. Dalam hadis- hadis lain, orang-orang yang tidak baik dengan tetangganya, yang memutuskan silaturahim, yang merampas hak orang lain, bukan saja ibadahnya tidak diterima, bahkan tidak lagi termasuk orang beriman. Nabi bersabda,
"Tidak beriman kepadaku orang yang tidur dalam keadaan kenyang, se- mentara tetangganya kelaparan."
"Tidak masuk surga orang yang memutuskan silaturahim,"
"Tidak masuk surga orang yang dalam hatinya ada perasaan takabur, walau hanya sebesar debu."
Dalam Al-Quran, orang-orang yang shalat akan celaka bila ia menghardik anak yatim, tidak memberi makan orang miskin, riya dalam amal, dan tidak mau memberikan pertolongan." Dalam hadis lain diriwayatkan tentang orang muflis (orang bangkrut) pada hari kiamat, yang kehilangan seluruh ganjaran shalat, shaum, dan hajinya, karena merampas hak orang lain, menuduh yang tidak bersalah, atau menyakiti hamba Allah.
Kelima, melakukan amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar daripada ibadah sunnah, sebagaimana disebutkan dalam hadis-hadis berikut ini:
"Orang yang bekerja keras untuk menyantuni janda dan orang-orang miskin adalah seperti pejuang di jalan Allah, (atau aku kira beliau berkata) dan seperti orang yang terus-menerus shalat malam dan terus- menerus puasa."
"Maukah kamu aku beri tahukan derajat apa yang lebih utama. daripada shalat, shiyam, dan sadaqah? (Sahabat menjawab, "Tentu!") Yaitu, mendamaikan dua pihak yang bertengkar."
"Berpikir satu saat adalah lebih baik daripada bangun shalat satu malam."
"Mencari ilmu satu saat adalah lebih baik daripada sembahyang satu malam, dan mencari ilmu satu hari adalah lebih baik daripada puasa tiga bulan."
"Barang siapa bangun di waktu pagi dan berniat menolong orang yang teraniaya dan memenuhi keperluan orang Islam, baginya ganjaran seperti haji mabrur. Hamba yang paling dicintai Allah ialah yang paling bermanfaat bagi manusia, dan amal yang paling utama ialah memasukkan rasa bahagia pada hati orang yang beriman-menutup rasa lapar, membebaskan dari kesulitan, atau membayarkan utang"
Hadis-hadis di atas menunjukkan bahwa amal-amal baik dalam muamalah yang oleh Yusuf Qardhawi disebut sebagai ibadah sosial- seperti menyantuni kaum dhuafa, mendamaikan pihak yang bertengkar, berpikir dan mencari ilmu, meringankan penderitaan orang lain, adalah lebih besar ganjarannya daripada ibadah-ibadah sunnah.
Bila saya menunjukkan bahwa muamalah itu penting, saya sama sekali tidak memandang enteng shalat, shaum, haji, dan ibadah-ibadah mahdhah lainnya. Saya hanya ingin menempatkan muamalah pada proporsi yang tepat dalam ajaran Islam. Saya hanya ingin mengingatkan bahwa kita tidak boleh merasa puas menjadi Muslim hanya karena kita telah shalat, shaum, zakat, dan haji. Di luar itu, masalah muamalah masih terbentang luas.
Sebagai akhir pembicaraan ini, saya paparkan sekelumit kehidupan Ibnu Abbas. Suatu hari, Ibnu Abbas iktikaf di masjid Rasulullah Saw. Kemudian masuk seorang laki-laki, mengucapkan salam dan duduk. Ibnu Abbas berkata, "Hai Fulan, aku lihat engkau sedih sekali." Orang itu menjawab, "Benar, wahai Putra Paman Rasulullah. Aku harus memenuhi hak si fulan (mungkin utang) yang-demi kehormatan penghuni kubur ini (yakni Rasulullah Saw.)-aku tidak sanggup membayarnya." "Bagaimana kalau aku bantu engkau berbicara kepadanya?" Ia berkata, "Silakan, bila Anda mau melakukannya. Lalu berangkatlah Ibnu Abbas membantu melepaskan kesulitan sahabatnya. Sahabatnya berkata, "Anda lupa akan iktikaf yang Anda lakukan." Ibnu Abbas menyahut, "Tidak. Tetapi aku mendengar penghuni kubur ini (Rasulullah Saw.) berkata (kelihatan Ibnu Abbas berlinang air mata), 'Barang siapa berjalan memenuhi keperluan saudaranya dan menyampaikan keinginannya, itu lebih baik daripada iktikaf sepuluh tahun. Dan barang siapa iktikaf satu hari untuk mencari ridha Allah, Allah menjadikan penghalang antara ia dan neraka tiga khandaq, yang jauhnya lebih dari jarak bumi dan langit."
Secara keseluruhan, peran Muslim sebagai anggota masyarakat dipadatkan dalam ucapan Ali Zainal Abidin, cucu Rasulullah Saw:
"Hak saudaramu seagama ialah memelihara keselamatan dan kasih sayang mereka, menyayangi orang yang jelek di antara mereka, berlaku. lemah-lembut kepada mereka, dan berusaha memperbaiki mereka; berterima kasih kepada mereka yang berbuat baik, menahan diri untuk tidak menyakiti mereka, mencintai untuk mereka apa yang engkau cintai untuk dirimu, membenci pada mereka apa yang kau benci pada dirimu, jadikanlah yang tua seperti bapakmu, yang muda seperti saudaramu, wanita tua sebagai ibumu, dan anak-anak kecil seperti anakmu."
***
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).