Akhi
Antara Sa'adah dan Syaqawah

Dalam tulisan ini akan dibicarakan hadis-hadis yang berkenaan dengan sa'adah. Sa'adah artinya "keberuntungan" atau "kebahagiaan". Sa'id artinya "orang yang berbahagia" atau "orang yang beruntung". Lawan kata sa'id adalah syaiy (artinya "orang yang celaka"). Dan syaqawah artinya "kemalangan". Oleh karena itu, Sayidina Ali bin Abi Thalib k.w. (karramallahu wajhah) pernah mengatakan, "Seseorang tidak akan merasakan manisnya sa'adah (kebahagiaan) sebelum dia merasakan pahitnya syaqawah (kemalangan)."
Ada sebuah doa yang diajarkan oleh Rasulullah Saw., "Ya Allah, aku memohon kepadamu kedudukan para syahid (syuhada') dan kehidupan para penikmat kebahagiaan (su'ada')."
Di dalam Al-Quran, kata syaqiy dan sa'id ini dijelaskan dalam Surah Hud ayat 105-108, yaitu:
Di kala datang hari itu, tidak ada seorang pun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada yang celaka (syaqiy) dan ada yang berbahagia (sa'id). Adapun orang orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka mengeluarkan napas dan menariknya (dengan merintih). Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki. Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya. (QS 11: 105-108)
Rasulullah Saw. bersabda: "Orang yang berbahagia itu adalah orang yang takut siksaan Allah kemudian dia beriman, yang mengharapkan pahala dari Allah kemudian dia berbuat baik dan merindukan surga serta dia bekerja keras untuk mencapai surga itu.
Jadi, orang yang berbahagia, kata Rasulullah Saw., adalah orang yang memilih sesuatu yang nikmatnya kekal dan meninggalkan sesuatu yang nikmatnya cepat binasa tetapi azabnya tidak habis-habis.
Kata "bahagia" di dalam Al-Quran itu disebut dengan istilah al-baqiyat ash-shalihat. Jadi kalau kita memilih harta untuk berfoya-foya, itu berarti memilih sesuatu yang cepat rusaknya, sementara azabnya tidak ada habis-habisnya. Sebaliknya, kalau kita memilih menginfakkan harta kita, berarti kita memilih yang kekal yang kenikmatannya abadi. Lalu, orang yang bahagia itu adalah dia yang memberikan apa yang dia peroleh dengan kedua tangannya sebelum dia digantikan oleh orang yang beruntung karena mengeluarkan infak, sementara pemilik harta itu sendiri celaka karena dia yang mengumpulkannya.
Maksudnya ialah ada orang-orang yang mengumpulkan harta, menghabiskan waktu dan umurnya sehingga dia tidak sempat beribadah, tidak sempat menginfakkan hartanya dan hanya melakukan suatu perbuatan semata untuk mengumpul-ngumpulkan hartanya. Bahkan dia tidak sempat menikmati hartanya itu, karena ia meninggal dunia dan kemudian digantikan dengan ahli warisnya. Ahli warisnya itulah orang yang beruntung karena dia bisa menginfakkan harta itu di jalan Allah Swt.
Dengan demikian, said adalah orang yang berbahagia, yang memilih nikmat yang abadi di atas kenikmatan yang fana, akan tetapi nikmatnya tiada akan habis, serta menginfakkan harta yang dimilikinya sebelum datangnya waktu di mana akan digantikan oleh orang lain. Itulah tanda orang yang berbahagia.
Ja'far Ash-Shadiq, penghulu para ahli sufi, menambahkan kriteria orang yang berbahagia itu dengan ilmu. Sebagaimana yang dikatakannya: "Tidak pantas seseorang yang tidak berilmu dihitung sebagai orang yang berbahagia."
Kita biasanya mengukur kriteria kebahagiaan itu dari materi dan jumlah kekayaan yang banyak, walaupun orang tersebut bodoh. Oleh karena itu, kita boleh saja iri hati (ghibthah) kepada orang yang berilmu, karena dia termasuk orang-orang yang beruntung. Hal ini bukan berarti bahwa tidak ada kriteria lain yang mendatangkan kebahagiaan.
Rasulullah Saw. pernah menyebutkan tanda-tanda orang yang beruntung (sa'id) itu. Pertama, adalah sabda Rasulullah Saw. berikut: "Di antara kebahagiaan seorang Muslim adalah apabila dia mempunyai anak yang mirip dengan dia."
Konon, menurut sebuah riwayat, Siti Fatimah itu sangat mirip Rasulullah Saw. yang mulia. Oleh karena itu, mungkin Rasulullah Saw. memproyeksikan kebahagiaan kepada anaknya yang mirip dirinya. Dan rasa bahagianya bukan hanya karena itu saja, tetapi juga kemiripan yang menyeluruh dari segi penampilan (khalq) maupun dari segi akhlak (khuluq)-nya.
Kalau akhlak dan kebaikan anak-anak kita sama dengan kita, maka kita akan merasakan suatu kebahagiaan. Kebanyakan orangtua pun menginginkan anak-anaknya memiliki akidah yang sama dengan akidah yang diyakininya. Walaupun kata Umar Khayam, "Janganlah kamu memaksakan anak-anakmu menjadi panah yang kamu lepaskan untuk masa depan dan bukan untuk zaman kamu." Sayyidina Ali bin Abi Thalib k.w. juga pernah mengatakan: "Jangan kamu paksakan anak kamu seperti kamu karena dia diciptakan untuk zaman yang bukan zaman kamu."
Maksud ucapan Umar Khayam dan Sayidina Ali di atas tentu bukan suatu hal yang berkenaan dengan masalah akidah. Kalau kita yakin bahwa akidah itu benar, maka harus kita paksakan agar si anak berakidah sama dengan kita. Yang dimaksud dengan ucapan-ucapan tersebut mungkin seperti pekerjaan atau kesenangan kita sehari-hari.
Seorang anak, yang merupakan amanah Allah, sering kita paksakan untuk meningkatkan status kita. Misalnya, anak tersebut kita paksa untuk belajar terus-menerus agar ia menempati ranking tertinggi di kelasnya. Karena kalau anak kita dapat menempati ranking tersebut, kita merasa memperoleh status yang tinggi. Itulah mungkin yang dimaksud dengan ucapan, "Jangan paksakan anak kamu untuk menjadi seperti kamu, karena dia diciptakan bukan untuk zaman kamu."
Kedua, "memiliki istri yang cantik dan memiliki agama." Mencari istri yang cantik itu bisa kita rencanakan. Mencari istri yang memiliki agama juga bisa kita rencanakan. Dan saya kira kecantikan itu sangat relatif, walaupun ada standar khusus yang mengukur kecantikan itu. Jadi, beruntunglah kalau kita mendapat istri yang cantik dan agamanya juga baik. Atau sebaliknya, memperoleh suami yang tampan yang memiliki agama.
Ketiga, "kendaraan yang enak dan nyaman." Tentu saja kendaraan yang nyaman itu tidak selalu mahal, walaupun pada umumnya mahal. Dalam hadis yang lain, Rasulullah Saw. menyebutkan bahwa kebahagiaan adalah memiliki istri yang cantik dan kendaraan yang cepat.
Keempat, "mempunyai rumah yang luas atau mempunyai tempat tinggal yang luas."
Oleh karena itu, jika Anda mempunyai tujuan hidup, maka cara operasionalnya adalah bagaimana Anda menciptakan anak yang bisa melanjutkan khiththah perjuangan Anda; bagaimana Anda memiliki istri yang bisa membahagiakan Anda sekaligus memiliki agama; bagaimana Anda memiliki kendaraan yang nyaman dan tempat tinggal yang luas.
Dalam hadis lain disebutkan bahwa ada tiga hal yang membahagiakan seseorang, yaitu istri yang mendatangkan kebahagiaan, anak yang berbuat baik, dan rezeki yang menghidupi kehidupannya. Dan dalam hadis yang lain juga disebutkan bahwa ada empat hal yang membahagiakan, yaitu sahabat-sahabat yang saleh, anak yang berbuat baik, istri yang membahagiakan, dan mempunyai penghidupan yang diusahakan di negeri sendiri.
Yang dimaksud oleh Rasulullah Saw. dengan hadis-hadis tadi tentu saja berkaitan dengan salah satu jenis sa'adah, yaitu, kebahagiaan di dunia. Orang Islam diperintahkan untuk mengejar kebahagiaan dunia dan akhirat. Untuk mengejar kebahagiaan di akhirat, Rasulullah Saw. menjelaskannya di tempat lain. JR
***
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).