top of page
  • Writer's pictureAkhi

APAKAH KEBAHAGIAAN ITU? (Bagian 1)


"Seorang anak muda yang gagah menderita begitu banyak musibah sehingga ia hampir-hampir putus asa. Ia mengeluhkan tenggorokannya yang kering dan hidupnya yang miskin. Ia mengadu kepada ayahnya dan memohon izinnya untuk melakukan perjalanan agar dengan kekuatannya sendiri ia bisa berhasil mencapai keinginannya.


Kalau tidak diperlihatkan, sia-sia segala keutamaan dan keahlian:

Mereka lemparkan cendana ke dalam api dan menghancurkan Wewangian.


Sang ayah berkata: "Anakku! Lepaskan dari pikiranmu gagasan yang tidak berguna ini. Tutupkan jubah ketenangan ke bawah kaki kepuasan: sebagaimana dikatakan orang arif, "kebahagiaan tidak dicapai dengan jerih payah; kebahagiaan diperoleh dengan mengurangi keinginan."


Tidak seorangpun meraih keberuntungan dengan tangan yang kuat.

Menaburkan celup kepada orang buta tidaklah bermanfaat


Sekiranya kamu punya dua ratus kemuliaan pada setiap helai rambutmu.

Musibah buruk tidak akan mengubah suratan tanganmu.


Mungkinkah pemuda gagah yang bernasib buruk beruntung?

Jika, betapapun kuatnya takdir perkasa menjatuhkan pentung?


Sang anak menjawab: Ayahku, keuntungan safar berlipat ganda: mencerahkan jiwa, memberi manfaat, melihat hal-hal yang indah, mendengarkan keajaiban dan berbahagia melewati negeri-negeri baru, berhubungan dengan sahabat, memperoleh kedudukan, menambah kekayaan dan keuntungan, serta alat untuk memperoleh persahabatan dan membuktikan berbagai keberuntungan;


sebagaimana para sufi pernah-berkata kamu berkutat di warung dan rumahmu

Hai orang yang dungu, kamu tidak bakal jadi manusia.


Berangkatlah dengan ceria, mengembara di seluruh dunia

Sebelum kamu meninggalkan duniamu


Sang ayah menjawab, "Duhai anakku memang benar besar manfaat perjalanan yang sudah kamu sebut. Tetapi hanya lima jenis orang yang memperoleh manfaat dalam perjalanan. Orang pertama, pedagang kaya, yang karena memiliki kekayaan dan kemewahan, budak-budak yang rajin dan budak-budak perempuan yang cantik, serta pelayan yang berani, menikmati semua kemewahan dunia. Setiap hari ia berada dalam kota dan setiap malam di tempat penginapan, serta setiap saat dalam kenikmatan.


Di gunung dan rimba atau di sahara orang kaya tidak sengsara

Kemanapun ia pergi kemah dipancangkan dan tempat tidur dihamparkan

Tetapi dia yang tidak punya harta tak juga punya mitra

Bahkan di negeri sendiri, tak ada yang berbakti atau memberi


Orang kedua adalah orang yang berilmu, yang fasih berbicara dan pandai berbahasa. Kemana pun dia pergi, semua orang bersegera berkhidmat kepadanya dan memuliakannya.


Orang bijak bagai emas murn yang cemerlang

Kemanapun ia datang ilai dan harganya tidak berkurang

Tetapi orang besar yang bodoh mendapat kemuliaan

Hanya di negeri tempat ia dilahirkan


Orang ketiga adalah orang yang cantik jelita. Karena. kecantikannya hati semua orang terpaut kepadanya. Bergaul dengannya dianggap orang banyak sebagai keberuntungan, dan perkhidmatan kepadanya dikira sebagai penghormatan. Sering dikatakan bahwa sedikit kecantikan lebih baik dari banyak kekayaan, wajah yang indah adalah obat bagi hati yang menderita dan kunci bagi pintu yang tak terbuka.


Biarkan kecantikan pergi kemana saja, karena kehormatan akan datang menjelangnya

Walaupun orang tuanya dengan murka mengusirnya dari rumahnya

Suatu hari di tengah lembaran Al-Quran kutemukan bulu burung merak

Aku berkata, "Tempat ini tidak layak bagimu karena nilainya jauh di atasmu"

'Diam!' jawabnya, "karena setiap orang yang mengenakan pesona keindahan

ke manapun ia pergi sebagai kewajiban.

Jika seorang anak punya keramahan dan kecantikan menghormatinya

Jangan pedulikan betapa masamnya sang tuan

Dialah mutiara yang jika kulitnya dicampakkan

Siapapun akan mengambilnya tanpa pedulikan


Orang keempat adalah orang yang memiliki suara bagus, yang dengan tenggorokan nabi Daud, menahan air untuk tidak mengalir menghalang burung untuk tidak terbang, dan dengan keindahannya, memesona hati setiap orang dan semua orang ingin bersahabat dengannya


Pendengaranku terpaku kepada lagu

Siapa dia yang 'kan memetik senar harpa

Betapa perkasanya suara yang lembut mendayu

Yang menyentuh telinga sahabat sebelum subuh berlalu

Membuatnya bahagia karena suara, lebih karena rupa

Yang ini menggembirakan indra, yang itu jwa


Orang kelima adalah orang yang punya keterampilan, yang memperoleh penghasilan dengan karya tangannya, sehingga perilakunya tidak terganggu karena urusan makanannya. Seorang bijak pernah berkata:


Sekiranya penduduk kota mengusirnya

Seorang perajut kapas takkan menderita karenanya:

Tapi jika seorang penguasa jatuh dari tahtanya la akan kelaparan di tempat tidurnya


Sifat-sifat yang sudah aku sebutkan adalah alat untuk memperoleh hiburan dalam perjalanan dan sebab yang manis untuk memperoleh kebahagiaan. Orang yang tidak memiliki apa yang aku sebutkan akan memasuki dunia dengan harapan hampa. Orang tidak akan mendengarkan lagi namanya dan melihat sedikitpun jejak yang ditinggalkannya.


Kisah Sa’di itu mengungkapkan dengan sangat indah makna kebahagiaan sebagaimana yang dipahami oleh kebanyakan orang. Cerita Sa’di tentang orang-orang bahagia adalah cerita kita semua sepanjang masa. Berbahagialah orang kaya karena ia dapat mengubah penjara menjadi surga. Berbahagialah orang berilmu karena ia dapat membuat duka menjadi suka. Berbahagialah orang jelita karena di mana-mana ia merebut cinta. Berbahagialah para biduan karena di mana-mana ia menjadi pujaan. Berbahagialah orang yang punya keterampilan, karena di mana pun ia bekerja, ia selalu sempat punya... sambilan!


Kebahagiaan memang sudah menjadi pokok bahasan para sastrawan, agamawan, dan para filusuf sejak berabad-abad.


Kebahagiaan (Ingr. Happiness, Jer. Glück, Lat. Felicitas, Yun. Eutychia, Eudaimonia. Ar. Falah, Sa'adah) dalam berbagai bahasa Eropa dan Arab menunjukkan keberuntungan, peluang baik, dan kejadian yang baik. Dalam bahasa Cina, xing fu, kebahagian terdiri dari gabungan kata "beruntung" dengan "nasib baik. Saya pikir tema pertama dalam wacana filsafat sejak zaman Yunani adalah kebahagiaan. Ketika manusia dari berbagai bangsa, mengalihkan perhatiannya dari persoalan sehari-hari kepada persoalan kehidupan, yang pertama menarik perhatiannya adalah persoalan kebahagiaan.


Dalam benak setiap orang, sejak anak kecil sampai orang dewasa, sejak orang awam sampai filusuf, ada gambaran tentang kebahagiaan.


Suruh anak-anak menggambarkan orang bahagia, maka mereka akan melukis seorang lelaki yang bertubuh besar, tersenyum besar, di depan rumah besar, di samping mobil besar. Tetapi orang dewasa (beneran, bukan hanya umur) akan berpikir bahwa gambaran itu tidak seluruhnya benar. Apa yang digambarkan anak itu menunjukkan kebahagiaan; ia hanya menunjukkan kekayaan. Tidak semua orang yang bertubuh besar bahagia. Bahkan ada banyak orang bertubuh besar menderita, sehingga mereka berusaha mencari obat untuk melangsingkan tubuh. Tidak semua orang yang tersenyum besar juga bahagia; karena ada banyak orang (sebagian di antara mereka pelawak dan artis) yang menyembunyikan derita di balik ketawa lebarnya. Tidak semua orang yang tinggal di rumah besar bahagia. Banyak di antara mereka yang justru menderita karena tinggal di rumah besar itu.


Para filusuf, seperti pernah kita jumpai pada pembahasan-pembahasan sebelumnya, berbeda-beda dalam mendefinsikan kebahagiaan. Ada di antara mereka yang menggambarkan kebahagiaan seperti apa yang dilukiskan anak itu. Filusuf besar seperti Aristoteles melihat kebahagiaan jauh di atas itu. Kebahagiaan dalam bentuk kesenangan jasmaniah - seperti makan, bersenang-senang- tidak membedakan kita dari makhluk Tuhan lainnya. Manusia tentu melihat kebahagiaan jauh di atas kesenangan-kesenangan fisik.


Sebagian filusuf bahkan menetapkan kebahagiaan sebagai landasan moral. Baik buruknya suatu tindakan diukur sejauh mana tindakan itu membawa kita pada kebahagiaan. Jika makan membuat kita bahagia, makan itu menjadi perbuatan baik. Jika makan banyak membuat kita sakit perut dan menderita, makan banyak menjadi perbuatan buruk. Kaum hedonis - seperti Aristippus dan Epicurus dan utilitarian - Bentham dan J.S Mills - berada di sini.


Di seberang lainnya ada filusuf yang mengatakan bahwa perbuatan baik dan buruk tidak ada hubungannya dengan kebahagiaan, karena ada tindakan yang membuat kita bahagia tetapi disepakati tidak bermoral. Mungkin koruptor berbahagia ketika mengambil hak rakyat, tetapi hanya orang gila yang mengatakan "Karena korupsi membuat bahagia, maka korupsi adalah perbuatan baik. Menurut kelompok filusuf yang ini, perbuatan baik adalah tuntutan etis untuk menjalankan kewajiban, walaupun kewajiban itu membuat kita menderita. Tetapi, kita bertanya mengapa orang memilih berbuat baik kalau jelas-jelas tidak mendatangkan kebahagiaan. Immmanuel Kant dan para pengikutnya yang berada di sini sulit untuk menjawab pertanyaan ini.


Bersambung ke pembahasan selanjutnya (mengapa orang memilih berbuat baik kalau jelas-jelas tidak mendatangkan kebahagiaan)


KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).

165 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page