Akhi
Bagaimana Sekolah Kita?
Kisah Dua Budaya
Seperti banyak ekspektasi budaya dalam bidang pembelajaran dan perkembangan anak, normanorma dari budaya lain dapat membuat kita mempertanyakan hal-hal yang selama ini kita anggap benar. Beberapa tahun lalu, saya melihat contoh yang menakjubkan sekaligus tragis tentang apa yang terjadi bila dua budaya yang berbeda bersinggungan.
Di Afrika Selatan, anak-anak pedalaman Afrika yang tak memiliki buku, menyerap tradisi lisan yang amat kaya, dan memiliki pandangan periferal dan tiga dimensi yang luar biasa. Mereka dapat berbicara dalam tiga bahasa yang berbeda, meskipun biasanya kurang fasih dalam bahasa Inggris. Pada usia lima tahun, saat mereka mulai masuk sekolah, para terapis di Kuazulu menemukan bahwa mereka “lebih unggul” ketimbang anak-anak kulit putih di hampir semua tes prasekolah (hanya pada tiga tes saja anak kulit putih lebih baik). Pada tahap ini, mereka memasuki British Standard Schools yang mengharuskan mereka membaca abjad dalam dua minggu pertama, dan membaca dalam bahasa Inggris pada setahun pertama. Namun, karena mata mereka belum mengembangkan kelenturan lensa untuk fokus foveal, mereka hanya mampu melihat samar-samar ketika membaca halaman buku. Kurikulum tidak dirancang untuk memberikan waktu bagi pengembangan fokus foveal. Meskipun anak-anak ini memiliki motivasi dan dukungan keluarga yang kuat, mereka harus mengalami kegagalan dan rasa malu. Sekitar 25,4% keluar dari sekolah pada tahun pertama. Karena ekspektasi yang tak alamiah, stres, dan kurangnya waktu untuk mengembangkan fokus foveal, Afrika Selatan telah menderita kehilangan amat besar dari sumber daya yang berharga ini.
Kurikulum tidak dirancang untuk memberikan waktu bagi pengembangan fokus foveal.
Bagaimana Sekolah Kita?
Mudah untuk melihat, ketika ditunjukkan, di mana kesalahan sekolah di Afrika Selatan. Tetapi bagaimana sekolah kita mengakomodasi evolusi natural dari kecakapan dan kebutuhan gerakan anak-anak? Dan bagaimana ekspektasi dan pemahaman kita tentang perkembangan mereka sesuai dengan ekspektasi dan tugastugas yang kita bebankan pada mereka?
Dari kelas yang paling awal, anak-anak sekolah telah diajarkan untuk tidak menggerakkan badan mereka ketika berada di kelas. Mereka juga diajar untuk tidak melihat selain ke papan tulis dan meja di hadapannya. Laranganlarangan ini mengabaikan kenyataan bahwa melihat dan “menggerakkan lensa” sangat terkait dengan gerakan. Bola mata belum sepenuhnya dibentuk dengan serat kolagen sampai usia sembilan tahun. Oleh karena itu, waktu membaca yang lama tanpa mengistirahatkan fokus kepada jarak yang lebih jauh dapat menyebabkan cedera pada mata dan pembesaran bola mata dapat menyebabkan miopi atau rabun dekat.
Banyak tekanan pada mata timbul karena kebergantungan berlebih pada fokus foveal, keseringan menatap, dan kurangnya mengedip. Mengedip itu penting karena ia memelihara mata tetap lembap dan sehat, juga membantu mengistirahatkan fokus. Mengedip amat dianjurkan. Rehat setiap 710 menit juga dianjurkan supaya mata dapat mempertahankan pandangan periferal dan tiga dimensinya dalam keadaan yang santai dan alami.
Tentang miopi ini, ada tiga hal yang disepakati para peneliti: (1) Dewasa ini, jumlah penderita miopi pada usia dini lebih besar ketimbang di masa, lalu (2) tingkat dan jumlah miopi meningkat seiring dengan naiknya seorang anak dari kelas dua SD sampai SMA, dan (3) tingkat miopi saat ini lebih tinggi daripada 20 tahun lalu. Penelitian F.A. Young menunjukkan bahwa dengan membatasi ruang visual pada monyet, tingkat miopi pada monyet tersebut akan berkembang lebih signifikan. Miopi juga sering dihubungkan dengan tingkat kegelisahan dalam lingkungan belajar.
Sebuah penelitian terhadap 538 murid kelas enam dilangsungkan di sebuah sekolah umum di Cheshire, Texas, pada 1974. Murid-murid dalam eksperimen melakukan kegiatan selama setengah jam setiap harinya, yang diarahkan pada perkembangan sensor motorik, sementara murid-murid di luar eksperimen tidak. Murid-murid dalam eksperimen juga diberikan kebebasan untuk melakukan aktivitas yang beragam, sehingga mereka tidak perlu terfokus kepada satu hal dalam jangka waktu lama seperti biasanya. Murid-murid dalam eksperimen ini menunjukkan tingkat miopi yang jauh lebih rendah, tingkat kecemasan yang lebih rendah, dan tingkat keberhasilan akademik yang lebih tinggi.
Kapankah Mata Siap Membaca?
Di usia tujuh atau delapan tahun, di saat lobus frontal dari otak menjadi lebih matang, koordinasi motorik yang sempurna untuk seluruh tubuh berkembang secara alami. Sebelum usia ini, kita memang memiliki pandangan periferal yang baik, namun hanya pada saat matangnya bagian lobus frontal otaklah, koordinasi sepasang mata kita menjadi mampu untuk melihat fokus dua dimensi. Kerja sama dua bola mata akan terjadi ketika satu mata yang lebih dominan menyusuri selembar halaman bacaan, dan mata yang lain mengikuti gerakan yang sama dan memasukkan informasi yang diperoleh, menghasilkan pandangan binokular yang optimal. Karena adanya hidung di tengah dua mata kita, kita takkan pernah memilki pandangan binokular yang sempurna. Oleh sebab itu, satu bola mata yang dominan akan memimpin gerakan sepasang mata kita.
Hal ini dapat dibuktikan dengan cara memfokuskan dua mata kita pada pulpen yang dipegang secara vertikal di depan tubuh kita, lalu kita arahkan pada struktur vertikal di ruangan. Pejamkan sebelah mata secara bergantian, dan perhatikan mata sebelah mana yang tetap mempertahankan gambaran pulpen itu. Itulah mata yang dominan. Gerakan motorik yang halus ini akan memastikan kemudahan pengumpulan informasi dan menjadi alasan fisiologis lain mengapa proses membaca sebaiknya tidak dimulai sebelum usia tujuh atau delapan tahun.
Penglihatan dan Stres
Dalam situasi yang stres secara emosional, fenomena menarik terjadi ketika kita hampir tidak dapat membaca satu halaman tulisan. Saat refleks kita merespons keadaan bahaya, mata akan bergerak ke sekeliling untuk mengambil sebanyak-banyaknya informasi. Hal ini membuat mata menjadi sulit bekerja sama dan sukar membaca satu halaman buku pun. Cobalah membaca sesuatu sesaat setelah kita menonton film horor atau setelah berada dalam situasi traumatis. Kita pasti akan menemui kesulitan.
Ketika orang hidup dalam kondisi stres yang berkelanjutan, otot eksternal mata mereka akan menjadi lebih kuat, otot internal mata menjadi lebih panjang, menjadikan fokus foveal dan menyusuri bacaan menjadi lebih sukar. Pada anak-anak yang mengalami pelecehan seksual atau yang traumatis ditemukan apa yang disebut dengan “mata tembok”. Dalam keadaan ini, mata mereka tetap bertahan pada fokus periferal. Saat saya mengajar mereka dalam kelaskelas khusus, saya menemukan bahwa mata inilah kuncinya. Ketika saya minta mereka untuk menatap telunjuk saya yang saya gerakkan maju mundur, mereka merasa mata mereka sakit. Tak heran anak-anak ini mengalami kesulitan membaca dan tak mau membaca. Otot-otot mereka sakit dan harus dilatih dulu sebelum mereka dapat membaca dengan nyaman. Brain Gym memberikan cara mudah untuk mengaktifkan semua otot mata. Latihanlatihannya akan mengurangi reaksi stres dan membantu untuk membaca dan memahami secara lebih mudah.
Gerakan adalah bagian tak terpisahkan dari belajar dan berpikir. Setiap gerakan menjadi hubungan yang vital dengan pembelajaran dan pengolahan pikiran. Seperti halnya dengan sistem sensor, setiap orang harus mengembangkan jaringan saraf yang rumit untuk pola-pola gerakan, sebagai suatu “ensiklopedi gerakan”. Berpikir adalah respons kepada dunia jasmaniah. Dalam mempelajari otak, kita hanya dapat memahaminya dalam konteks realitas jasmaniah, realitas tindakan. Gerakan adalah bagian integral dari semua proses mental, mulai dari gerakan atom yang menembakkan gerakan molekul yang lalu menyusun sebuah gerakan selular (elektrik), sampai ke pikiran yang ditampakkan dalam tindakan.
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam)dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari, SMP Plus Muthahhari, SMP Bahtera, dan SMA Plus Muthahhari).