Akhi
BENARKAH PERPECAHAN ITU TAKDIR?
Segera setelah Rasulullah Saw. wafat, para sahabat hampir bertengkar di Saqifah Bani Sa'idah. Orang Anshar mencalonkan Sa'ad bin Ubadah sebagai khalifah dan kaum Muhajir mengusulkan Abu Bakar. Pada zaman Utsman, perpecahan memuncak dengan terbunuhnya Utsman. Ketika Ali berkuasa, Aisyah beserta sahabat-sahabat lainnya melakukan pemberontakan. Segera setelah pasukan Aisyah dikalahkan, Muawiyah mengerahkan pasukan untuk menyerang Ali. Ketika Muawiyah menjadi khalifah, dia hanya dapat mempertahankan kekuasaannya dengan membasmi lawan-lawan politiknya.
Perpecahan seperti itu terus berulang dalam sejarah Islam. Irak menyerbu Iran, negara yang baru saja menyatakan diri sebagai Republik Islam. Perang Iran berlangsung selama delapan tahun (1980-1988). Sebagian besar negara berpenduduk Islam, yang tergabung dalam OKI, memihak Irak. Perang ini disertai perang urat-saraf (psywar) melalui masjid dan media Islam. Setiap pihak mengafirkan pihak yang lain. Lalu, terjadilah Krisis Teluk. Dari tempat peristirahatan yang sejuk dan mewah di Tha'if, Syaikh Abdulaziz bin Baz, mufti Arab Saudi, memberikan fatwa, "Membela Kerajaan Saudi dan melindungi Tanah Suci dari serbuan Saddam adalah jihad. Kita harus memberikan penghargaan dan rasa terima kasih kita kepada bangsa Amerika yang telah bersusah payah melindungi Tanah Suci. Dari Baghdad, Saddam juga menyerukan panggilan jihad kepada seluruh kaum Muslim untuk membebaskan Tanah Suci dari penjajahan Amerika dan penindasan Dinasti Saudi yang korup. Akhir-akhir ini, Ayatullah Ali Khomeini dari Teheran juga memberikan fatwa, "Perjuangan melawan agresi, kerakusan, rencana, dan kebijakan AS di Teluk Persia akan dinilai sebagai jihad."
Menarik bahwa baik Arab Saudi maupun Irak mengerahkan kaum Muslim untuk berjihad melawan sesama Muslim. Orang Islam di Indonesia, walaupun secara resmi tidak memihak, secara tidak resmi terpecah pada dua kelompok juga. Ada kelompok yang aktif menghimpun sukarelawan untuk menyambut seruan Abdulaziz bin Baz. Kelompok ini mengajak kaum Muslim untuk berdampingan dengan Amerika dalam melindungi Tanah Suci. "Setiap melihat Saddam di televisi, saya ingin sekali membanting televisi itu," kata kawan saya dari kelompok ini. Arab Saudi tidak dapat dipersalahkan dengan mengundang Amerika Serikat demi mempertahankan kehormatan Tanah Suci."
"Arab Saudi keterlaluan," kata kawan saya dari kelompok yang lain. "Keluarga Saudi telah menodai Tanah Suci dengan mendatangkan pasukan kafir ke negeri tempat kelahiran Islam. Ketika tentara kafir Abrahah akan menghancurkan Ka'bah, Abdul Muththalib menyerahkan perlindungan Ka'bah kepada Allah. Ketika orang-orang Islam Irak ingin merebut Ka'bah, keluarga Saudi menyerahkan perlindungan Ka'bah kepada orang kafir. Apakah dunia sudah terbalik?"
Kawan saya yang lain kebingungan. Dia memberi penjelasan, "Sepanjang sejarah, umat Islam selalu bertengkar. Perpecahan sudah menjadi takdir yang tidak dapat diubah. Tugas Anda ialah memilih pihak mana yang sesuai dengan selera Anda. Bukankah dalam menjalankan agama pun kita terpecah menjadi berbagai mazhab: Syafi'i, Hanbali, Maliki, Hanafi, dan orang-orang yang mengaku tidak bermazhab? Kita pilih saja mazhab yang kita sukai."
Betulkah kita hanya memilih kelompok Muslim mana yang harus kita perangi? Betulkah perpecahan dalam Islam sudah merupakan takdir? Di samping menggunakan argumentasi determinisme retrospektif- perpecahan tidak dapat kita hindari, karena sepanjang sejarah kita selalu pecah-sebagian orang menunjukkan dalil-dalil Al-Quran dan hadis untuk mempertahankan perpecahan.
Dalil Perpecahan
Salah satu ayat yang dijadikan dalil perpecahan adalah ayat, Katakan, "Dia Mahakuasa untuk mengirimkan azab kepadamu dari atas atau dari bawah kakimu, atau dijadikannya kamu menjadi beberapa golongan, dan sebagian mendatangkan bahaya kepada yang lain. Perhatikanlah bagaimana Kami menjelaskan keterangan- keterangan supaya mereka mengerti." (QS 6: 65)
Para mufasir kemudian meriwayatkan hadis yang menceritakan tiga permohonan Nabi. Dua dikabulkan dan satu tidak. Yang tidak dikabulkan ialah permohonan Nabi agar umat Islam tidak saling mencelakakan atau tidak berpecah.
Di samping itu, hadis yang sangat populer untuk menjustifikasi perpecahan adalah hadis berikut, "Orang Yahudi sudah pecah menjadi tujuh puluh satu golongan, orang Nasrani sudah pecah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan akan pecah umatku menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semua masuk neraka, kecuali satu golongan saja."
Dalam perkembangan periwayatan, ditambahkan keterangan tentang golongan yang selamat (al-firqah al-najiyyah). Muawiyah, yang menyebut umat Islam yang mengikutinya sebagai Al-Jama'ah, meriwayatkan bahwa golongan yang satu itu ialah Al-Jama'ah." Al-Syahrustani menambah satu kata lagi, "Yang selamat ialah Ahlu-Sunnah wa Al-Jama'ah."
Apa pun tambahan yang dilakukan oleh para perawi hadis-sesuai dengan kepentingan golongannya-hadis ini dengan jelas menunjukkan bakal adanya perpecahan. Jadi, perpecahan sudah merupakan kehendak Allah!
Takdir atau Azab
Ayat tersebut (QS 6: 65), bila dibaca kembali, tidak menunjukkan bahwa perpecahan kaum Muslim sebagai takdir yang tidak dapat ditolak. Ayat itu menunjukkan kemungkinan Allah menurunkan tiga macam azab kepada kaum Muslim: (1) azab dari atas kakimu (menurut Ibn Abbas adalah "kekejaman penguasa"), (2) azab dari bawah kakimu (menurut Ibn Abbas adalah "pemberontakan rakyat atau pengkhianatan anak buah"), dan (3) perpecahan umat menjadi berbagai golongan, yang masing-masing berusaha mencelakakan yang lain.
Apakah sudah menjadi takdir bahwa umat Islam selalu diperintah oleh penguasa yang zalim, atau mengalami kerusuhan karena keresahan rakyat kecil, atau perpecahan? Dalam konsep Al-Quran, azab adalah akibat dari perbuatan maksiat yang dilakukan umat Islam. Karena itu, berbeda. dengan takdir, azab dapat dihindari bila kaum Muslim bersedia menghilangkan maksiat yang menjadi menyebab azab itu. "Bila kalian bersyukur, sesungguhnya Aku akan menambah nikmat-Ku. Bila kalian kufur, sesungguhnya azab-Ku sangat berat" (QS 14: 7). Jadi, datangnya azab berkaitan dengan perilaku kita.
Kita akan diberi penguasa yang zalim bila kita ikut membantu menegakkan kezaliman itu. "Kezaliman hanya dapat bertahan karena kerja sama," kata Ali bin Abi Thalib, "antara orang zalim yang menzalimi dan orang lain yang rela dizalimi." Kita menyaksikan pembangkangan rakyat kecil, bila kita menindas mereka sampai suatu tingkat yang menyebabkan mereka tidak sanggup lagi menahannya. Akhirnya, kita pecah, karena kita tidak setia lagi pada misi hidup yang mempersatukan kita (ajaran Islam). tetapi berpaling pada kepentingan-kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan.
Walhasil, berdasarkan ayat tadi (QS 6: 65), perpecahan bukan harus diterima begitu saja (taken for granted), tetapi harus diselesaikan dengan melakukan introspeksi pada perilaku kita. Lalu, bagaimana dengan hadis bahwa Allah tidak mengabulkan permohonan Nabi yang ketiga? Pertama, bukankah ada hadis lain yang menerangkan bahwa doa Nabi selalu dikabulkan oleh Allah? Mengapa kali ini Allah tidak memperkenankannya? (Pertanyaan usil ini dimaksudkan untuk menguji kesahihan hadis ini.). Kedua, bila hadis ini dianggap sahih, maka perpecahan harus kita anggap bakal terjadi di kalangan kaum Muslim, tetapi tidak boleh diartikan selalu terjadi. Ketika Nabi menyebutkan bahwa di antara umatnya ada yang taat dan ada yang maksiat, Nabi sedang menunjukkan alternatif. Kita dapat melakukan perbuatan yang membawa pada perpecahan, seperti juga perbuatan yang membawa pada persaudaraan. Alternatif itu selalu ada, dan kita selalu bebas untuk memilihnya.
Hadis tentang 73 golongan, menurut kritik sanad, juga bukan hadis yang sahih. Dalam rangkaian perawi hadis itu, ada nama-nama yang dha'if. seperti Muhammad bin Amr, Abdurrahman bin Ziyad bin An'am, Katsir bin Abdullah, Ubad bin Yusuf, Rasyid bin Sa'ad, Al-Walid bin Muslim, dan nama-nama lainnya yang majhul." Menarik untuk dicatat di sini bahwa menurut beberapa peneliti hadis, seperti Syaikh Muhammad Al-Ghazali dan Muhammad bin Ahmad Al-Basyari, hadis yang lebih sahih mengatakan, "Akan pecah umatku menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semua masuk surga kecuali satu." Bila keterangan ini kita terima, maka yang dimaksud perpecahan di sini adalah perbedaan pendapat. Berapa pun banyaknya perbedaan pendapat-yang sesungguhnya sangat alamiah -maka perbedaan pendapat itu dapat membawa orang ke surga. Hanya pendapat yang jelas-jelas membenarkan kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya yang membawa orang ke neraka.
Akhirul kalam, perpecahan tidak sama dengan perbedaan pendapat. Orang dapat berbeda pendapat tanpa harus berpecah. Syafi'i dan Ahmad bin Hanbal banyak berbeda pendapat, tetapi mereka saling menyayangi dan menghormati. Orang juga dapat sama pendapatnya, tetapi mereka berpecah.[]
****
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).