top of page
  • Writer's pictureAkhi

Bergabung Bersama Kafilah Rasulullah Saw.


Allah Swt. berfirman, Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan, serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kembali yang baik. (Yaitu) Surga 'Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama- sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya, dan anak-cucunya, sedangkan malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu. (Seraya mengucapkan), "Salam 'alaykum bima shabartum." Maka alangkah baiknya tempat kembali itu. (QS 13: 21-24)


Ayat-ayat itu menceritakan hamba-hamba Allah yang beruntung. Pada Hari Kiamat nanti, mereka diberi anugerah oleh Allah Swt. masuk ke surga beserta keluarganya, orang tua-orang tua mereka, istri mereka, dan juga keturunan mereka.


Al-Quran melukiskan dengan indah kedatangan keluarga hamba Allah yang beruntung ini. Malaikat memberi sambutan khusus kepada mereka. Ada resepsionis khusus yang ditugaskan Allah untuk menyambut mereka. Mereka berbaris pada setiap pintu seraya mengucapkan salamun 'alaykum bima shabartum fani'ma 'uqbaddar (Selamatlah bagi kalian semua itu lantaran kalian bersabar dahulu dan inilah tempat kembali yang paling indah bagi kalian).


Apa yang menyebabkan mereka bisa masuk ke surga bersama-sama keluarganya? Mengapa mereka bisa mengadakan reuni di akhirat nanti, reuni yang tidak lagi dibatasi oleh ruang dan waktu?


Kalau hal ini terlalu abstrak dan filosofis, maka yang dimaksud adalah bahwa kalau kita sekarang ini mengadakan silaturahim, yang datang ke silaturahim itu hanyalah orang- orang yang berasal dari satu tempat. Keluarga yang tempatnya berjauhan sangat sulit untuk berkumpul di tempat itu. Jadi mereka dibatasi oleh ruang. Mereka tidak mengadakan reuni silaturahim yang melintasi waktu. Artinya, anggota keluarga yang sudah meninggal tidak lagi bisa bersilaturahim dengan kita, begitu pula keturunan kita. Akan tetapi di akhirat nanti ada orang-orang yang bisa mengadakan reuni dengan keluarganya baik yang sudah meninggal mendahului mereka maupun yang meninggal sesudah mereka.


Al-Quran menyebutkan dengan kata abaihim, artinya generasi terdahulu; azwajihim, artinya generasi yang sezaman; dan dzurriyyatihim, artinya dengan generasi keturunan mereka.


Sekali lagi, siapa gerangan orang yang beruntung bisa mengadakan silaturahim kembali di Hari Kiamat nanti beserta semua keluarganya?


Dalam Surah Al-Ra'd ayat 21-24, yang dikutip di atas disebutkan bahwa salah satu tanda orang yang beruntung di Hari Akhirat nanti ialah orang yang di dunia ini senang menyambungkan tali silaturahim yang diperintahkan Allah untuk menyambungkannya. Karena di dunia ini mereka senang menyambungkan tali persaudaraan, maka Allah menyambungkan tali kekeluargaan nanti di Hari Akhirat.


Dalam sebuah hadis qudsi, Allah Swt. berfirman, "Akulah yang Maha Pengasih. Aku menciptakan al-rahim (kekeluargaan) ̶ kebetulan kata al-rahim dan al-rahman berasal dari satu kata ̶ dan Aku berikan nama-Ku sendiri. Karena itu siapa yang memutuskan rahim, Aku akan memutuskan hubunganKu dengan dirinya. Dan siapa yang menyambungkan tali kekeluargaan, Aku pun akan mengukuhkan kekeluargaan nanti."


Itulah salah satu akhlak orang yang beruntung. Ia dapat berjumpa dengan keluarganya nanti pada Hari Kiamat. Pertemuannya bukan di sembarang tempat. Ia melakukan pertemuan di tempat yang paling baik. Dan inilah tempat kembali yang paling baik, yaitu di Surga 'Adn. la masuk ke situ beserta orangtua, istri-istri, dan keturunan mereka. Lalu malaikat masuk pada setiap pintu menyambut kedatangan mereka.


Kalau Anda ingin tahu orang-orang yang sangat penting (VIP) pada Hari Akhirat itu, maka itulah mereka. Mereka mendapatkan keistimewaan karena mereka dapat berkumpul dengan semua anggota keluarganya. Mereka melakukan reuni kembali, yang mungkin ketika di dunia dulu mereka satu demi satu berpisah dan mungkin mereka menangisi perpisahan itu. Sekarang, Allah mempertahankan kembali mereka di Surga 'Adn bersama-sama, betapapun tingkat amal mereka berbeda.


Apa yang menyebabkan keluarga ini bisa bergabung? Karena mereka di dunia senang menghubungkan tali kekeluargaan. Lalu dengan siapa saja sebenarnya kita harus menghubungkan tali kekeluargaan itu?


Pertama, "dzal qurba", keluarga yang dekat. Orang-orang yang dekat dengan kita. Yaitu keluarga yang dihubungkan dengan kita karena ada pertalian rahim. Keluarga yang satu nasab, keluarga satu rahim. Kebetulan dalam bahasa Arab, kata rahim juga berarti organ wanita yang menyimpan kita dahulu sebelum lahir. Mungkin rahimnya adalah rahim nenek kita yang kesekian. Atau rahim nenek kita yang paling dekat. Makin dekat rahim itu, seharusnya semakin kuat kita menjalin kekeluargaan. Oleh karena itu, keluarga juga disebut rahim, dan bentuk jamaknya disebut al-arham.


Di dalam Al-Quran, silaturahim ini merupakan perintah yang kedua setelah takwa. Allah Swt. berfirman, Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan mempergunakan nama-Nya kamu saling memohon, dan peliharalah hubungan silaturahim (QS 4: 1)


Jadi, perintah takwa selalu digandengkan dengan perintah menyambungkan silaturahim. Dalam Surah Al-Ra'd tersebut juga disebutkan orang-orang yang beruntung bisa bergabung di Hari Akhirat bersama seluruh keluarganya. Di situ diberi tanda juga yaitu "yakhsawna rabbahum" (mereka yang takwa kepada Tuhan mereka). Walhasil, kata "takwa" dan "silaturahim" selalu digandengkan di dalam Al-Quran. Keduanya merupakan dua hal yang tidak boleh dipisahkan. Artinya, kalau seseorang bertakwa kepada Allah, tentu dia menyambungkan tali silaturahim. Dan kalau dia memutuskan tali silaturahim, tentu dia bukan orang yang bertakwa.


Dalam Al-Quran, Surah Muhammad, disebutkan, Maka apakah kiranya jika kamu tidak bertakwa kamu akan membuat kerusakan di atas bumi dan memutuskan tali silaturahim (QS 47: 22).


Sebelum saya melanjutkan, izinkanlah saya bercerita tentang hal yang agak gaib sedikit. Ada sebuah buku yang berjudul Nafasurramanfima li Ahbabillah min 'Uluwwisysyan, karangan As-Sayyid Ismail bin Mahdi bin Hamid Al-Ghurbani Al-Hasani. Buku tersebut menguraikan dalil-dalil dari Al-Quran dan hadis yang sahih yang berkenaan dengan konsep- konsep yang biasanya dipahami di kalangan tarekat. Misalnya karamah, tabarruk, dan tawassul yang oleh sebagian kalangan Muslim dianggap sebagai perbuatan musyrik. Buku ini menjelaskan bahwa apa yang dianggap musyrik oleh sekelompok orang itu sesungguhnya sama sekali tidak musyrik, karena mempunyai dasar yang kuat dari Al-Quran dan sunnah Rasulullah Saw.


Salah seorang pengikut tarekat pernah mendapatkan tugas dari tarekat yang diikutinya untuk mengumpulkan dalil-dalil Al-Quran dan Sunnah tentang ajaran-ajaran tarekat itu. Karena biasanya orang-orang tarekat itu, kalau diserang oleh orang-orang modern, mereka hanya bisa menjawab dengan analogi. Jadi dengan kias, tidak dengan dalil-dalil yang gath'i dari Al-Quran atau hadis.


Buku tersebut saya peroleh antara lain untuk saya sumbangkan kepada kawan kita itu untuk memperkuat tarekatnya. Sebetulnya upaya untuk memperkuat dunia tarekat, cenderung dianggap sebagai perbuatan musyrik oleh sekelompok kecil kaum Muslim. Saya segera akan menjelaskan hal ini karena nanti saya akan membuat konsep silaturahim yang boleh jadi dipandang oleh sebagian orang di antara kita sebagai perbuatan musyrik.


Sebetulnya menurut orang-orang tarekat (saya tidak bermaksud mengajarkan tarekat ini) ada beberapa tingkatan alam. Ada alam nasut, ada alam malakut, dan ada alam jabarut. Alam nasut, sering dibagi juga menjadi beberapa alam, alamul mulk dan alamul mitsal. Dan kita tidak akan membicarakan alam-alam ini secara teperinci.


Pada diri manusia, sebetulnya tergabung dua alam sekaligus. Yaitu alam nasut dan alam malakut. Untuk menyederhanakan, alam nasut adalah alam material kita. Alam yang bisa kita persepsi dan bisa kita rasakan dengan alat-alat indra kita. Tubuh kita ini (tangan, mata, dan baju kita) berada dalam alam nasut. Ruh kita sebetulnya merupakan bagian dari alam malakut. Karena itu kemudian manusia ditarik oleh kedua alam itu sekaligus.


Makin tertarik dia dengan alam nasut, makin sibuk dia dengan materi. Makin tertarik dia dengan alam materi, makin lepas dia dari alam malakut.


Saya pernah membaca sebuah tulisan yang menjelaskan hadis Nabi Saw. "Innal malaikata latadhau ajnihataha li thalibil 'ilmi" (Sungguh para malaikat akan menghamparkan sayapnya bagi orang-orang yang sedang mencari ilmu). Begitu orang yang mencari ilmu keluar dari rumahnya, para malaikat segera menghamparkan sayapnya. Malaikat itu sebagian berasal dari alam malakut dan sebagian lagi berada di alam jabarut. Akan tetapi ada malaikat yang berada di alam malakut dan menghamparkan sayapnya untuk manusia. Orang-orang yang terikat materi seperti kita ini, yang terlalu disibukkan untuk mengejar dunia, tidak akan bisa masuk ke alam malakut.


Jadi, walaupun kita menginjak sayap malaikat, kita tidak menyaksikan sayap malaikat itu. Akan tetapi, kalau orang itu masuk ke alam malakut, dia akan merasakan menginjak sayap para malaikat itu. Kita tidak menyaksikan itu semua karena kita tidak berada di alam malakut. Bahkan boleh jadi alam malakut itu ditutupkan kepada kita. Ditutup sehingga kita tidak bisa melihat alam malakut itu.


Sekali lagi, ruh kita ini berada di alam malakut dan tubuh kita berada di alam nasut. Orang yang sedang melakukan silaturahim, tubuh-tubuhnya berada di alam nasut dan ruhnya berada di alam malakut. Perintah silaturahim itu bukan hanya ditujukan kepada makhluk-makhluk di alam nasut, tetapi juga (malahan ini yang hakiki) silaturahim itu adalah silaturahim di antara ruh kita dengan ruh kaum Muslim. Artinya, silaturahim yang bersifat malakut, bukan silaturahim yang bersifat nasut. Karena bisa saja seseorang melakukan silaturahim secara nasuti. Artinya dia hanya bersilaturahim di alam nasut tapi ruhnya tidak.


Contohnya, kalau kita mengadakan acara halal bi halal kemudian kita bersalam-salaman. Yang satu mengatakan, "Mohon maaf lahir dan batin." Kemudian yang lain lagi mengatakan, "Sama-sama mohon maaf lahir dan batin." Tetapi di dalam hati mereka, misalnya, masih tersimpan rasa dendam dan tidak memaafkan orang itu. Ketika ia minta maaf, masih ada ganjalan di dalam hatinya.


Sering kali orang bersilaturahim di alam nasut tapi di alam malakut, ruhnya tidak ikut bersilaturahim. Dan sebaliknya, boleh jadi ada orang yang tidak pernah berjumpa secara fisikal tetapi di antara mereka ada jalinan silaturahim. Ada hubungan yang sangat erat seperti sudah dipertalikan jauh sebelumnya.


Di kalangan para psikolog ada yang disebut fenomena deja vu. Deja vu itu suatu gejala, seperti kalau seseorang berjalan di suatu tempat, ia berpikir seakan-akan dia pernah mendatangi tempat tersebut. Maka orang yang mengalami hal seperti itu adalah sedang mengalami gejala deja vu.


Contoh lainnya, misalnya seseorang berjumpa dengan seseorang yang lain yang baru kali itu saja ia berjumpa, tapi tiba-tiba terasa akrab, padahal dengan tetangga sekian lama tidak bisa akrab. Secara fisikal ada silaturahim dengan tetangga, tetapi secara ruhaniah tidak ada.


Gejala deja vu yang dijelaskan oleh para psikolog agak berbeda dengan apa yang saya jelaskan di sini. Saya tidak akan menjelaskan apa yang dimaksud oleh para psikolog, karena ini bukan kuliah psikologi. Sebetulnya deja vu ini terjadi karena ruh-ruh itu pernah melakukan silaturahim di antara mereka. Ada jalinan silaturahim di antara mereka. Di dalam Al-Quran Al-Karim, Allah Swt. berfirman, Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (QS 9: 119).


Di alam malakut ada dua kafilah ruhani. Satu kafilah ruhani yang sedang bergerak menuju Allah Swt. dan yang satu lagi menjauhi Allah Swt. Satu kafilah ruhani yang sedang meninggalkan tanah liat menuju Allah Swt., dan satu lagi kafilah ruhani yang meninggalkan cahaya Allah menuju kegelapan yang gelap gulita.


Pada kafilah yang menjauhi Allah Swt. ada iblis, setan, jin dan manusia, lalu orang-orang yang durhaka sepanjang sejarah. Semuanya bergabung dalam rombongan yang sama. Mereka ini masih membantu ruh-ruh yang sejenis dengan mereka yang masih hidup.


Al-Quran menyebutkan bahwa orang-orang munafik saling membantu satu dengan yang lain, termasuk di alam malakut itu. Ruh-ruh mereka saling membantu dan mendorong berbuat maksiat dan berbagai dosa.


Pada rombongan yang lain terdapat orang-orang yang taat kepada Allah dan rasul-Nya. Di dalam rombongan itu mereka digabungkan dengan para nabi dan pimpinannya adalah Ra- sulullah Saw. Al-Quran Al-Karim menyebutkan,


Dan barang siapa menaati Allah dan rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS 4: 69)


Itulah rombongan orang-orang yang taat kepada Allah dan rasul-Nya. Di dalam rombongan itu mereka digabungkan dengan para nabi yang dipimpin oleh Rasulullah Saw., sayyidul mursalin, junjungan para rasul, yang tanpa dia tidak akan diciptakan alam semesta ini. Itu barisan yang paling depan. Dan sesudah itu para ash shiddiqin, orang-orang yang selalu benar dan lurus, para wali Allah, baru kemudian para syuhada', yaitu orang-orang yang mati syahid. Lalu para ash- shalihin, orang-orang yang saleh. Mereka semuanya berada di satu alam yang disebut alam barzakh.


Kitab tersebut menceritakan beberapa hadis Nabi yang menunjukkan bahwa orang-orang saleh itu di alam barzakh masih hidup. Tetapi di situ juga diceritakan bahwa mereka masih membaca Al-Quran, masih berdoa juga buat saudara-saudaranya yang masih berada di alam nasut.


Di sini ada sebuah kisah yang antara lain dikutip oleh Bukhari. Pernah satu saat ada beberapa orang sahabat yang mendatangi suatu tempat. Mereka tidak menduga bahwa tempat itu adalah kuburan. Kemudian mereka hamparkan jubah untuk tempat duduknya di atas tempat itu. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka mendengar ada suara orang sedang membaca Surah Al-Kahfi (kalau tidak salah). Dia terkejut dan mendengarkan bacaannya sampai selesai. Kemudian ia sampaikan peristiwa itu kepada Rasulullah Saw. Kata Rasulullah, "Dia sedang membaca sesuatu yang bisa mencegahnya dari azab kubur." Nabi tidak mengatakan bahwa hal itu adalah takhayul, atau musyrik. Nabi malah membenarkannya.


Pengarang buku ini mengatakan, "Ini merupakan pembenaran dari Nabi Saw. bahwa ruh orang-orang suci itu masih beribadah bahkan di alam barzakh."


Di dalam shalat pun kita dianjurkan untuk menyambungkan ruh diri kita ini, melakukan silaturahim yang melintasi ruang dan waktu. Hubungkanlah silaturahim kita dengan kafilah ruhani orang-orang suci itu supaya kita diperkuat, supaya mereka membantu kita dengan doa mereka.


Meminta doa mereka itu disebut tawassul, yang oleh sebagian orang disebut musyrik karena mereka telah meninggal dunia, yang dianggap tidak bisa mendoakan lagi. Keterangan orang yang mengatakan bahwa orang yang sudah mati itu tak bisa mendoakan, tiada dalilnya. Dan buku tersebut menunjukkan dalil-dalil bahwa orang yang mati itu masih bisa mendoakan, bahkan masih bisa membantu orang yang masih hidup.


Salah seorang cendekiawan pernah berbicara di hadapan kelompok modernis pada sebuah peringatan Isra' Mi'raj. la bercerita tentang pertemuan antara Rasulullah Saw. dan Nabi Musa a.s. Bagaimana Nabi Musa a.s. memohon kepada Rasulullah agar shalat lima puluh rakaat dikurangi menjadi lima rakaat. la ingin menunjukkan bahwa ruh orang yang sudah mati masih memikirkan orang yang hidup dan masih memperjuangkan kepentingan mereka.


Oleh karena itu, di dalam shalat, kita dianjurkan untuk menghubungkan tali silaturahim dengan ruh-ruh yang suci untuk memperkuat iman dan ruh kita. Lalu bagaimana caranya kita bergabung dengan ruh-ruh yang suci itu?


Bayangkanlah di situ ada rombongan ruh-ruh yang suci. Kita hanya bisa membayangkan karena kita berada di alam nasut. Ruh kita tidak memiliki ketajaman untuk memasuki alam malakut, karena itu kita hanya bisa membayangkan.


Bayangkanlah bahwa di alam malakut itu ada rombongan ruhani yang suci, termasuk yang masih hidup. Semuanya bergabung menjadi satu kafilah. Rasulullah Saw. pernah bersabda: "Para ruh di alam malakut itu seperti tentara yang dipertemukan. Kalau mereka saling mengenal, maka mereka akan saling berpelukan. Tapi kalau mereka tidak saling menge- nal, mereka saling bertengkar di alam ruh itu."


Ruh kita ini sebetulnya akan bergabung di antara ruh yang kita kenal. Tinggal dengan kelompok mana ruh kita ini bertengkar dan dengan kelompok mana ia berpelukan di alam arwah itu.


Supaya kita bergabung dengan ruh-ruh yang suci, ucapkanlah salam kepada mereka secara khusus, dan salamnya langsung, tidak dititipkan. Karena itu, ketika shalat supaya kita dapat bergabung kepada orang-orang yang suci itu, kita ucapkan salam kepada pimpinan kafilahnya, yaitu kepada Rasulullah Saw. "Assalamu 'alayka ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barakatuh," Dan kita tidak mengucapkan, "Assalamu 'alayhi."


Mungkin sebagian orang menganggap bahwa hal itu musyrik karena menuju selain Allah, karena kita selain memanggil Allah juga memanggil Rasulullah, dan sesudah itu kita ucapkan kepada ruh-ruh kaum Muslim semuanya.


Walhasil, kalau kita bisa bergabung dengan orang-orang suci, mudah-mudahan kita juga dapat bergabung di Surga 'Adn bersama keluarga kita, orangtua kita, keturunan kita pada tempat yang sama. JR wa mā taufīqī illā billāh, 'alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb


Allâhumma shalli 'alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ'atahum


***

KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).

36 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page