top of page
  • Writer's pictureAkhi

Berjumpa dengan Allah


Dalam Al-Quran ada beberapa ayat yang sering diperdebatkan oleh para ulama, yaitu ayat tentang melihat Allah. Sebagian ulama berpendapat bahwa tidak seorang pun di antara makhluk Allah yang dapat melihat Allah Swt. Alasannya. Allah itu Al-Khalik (Maha Pencipta), dan karena itu Dia tidak bisa dipersepsi oleh makhluknya. Allah adalah Zat yang transenden, yang melintasi ruang dan waktu. Sementara persepsi kita dibatasi ruang dan waktu. Allah itu Mahabesar, sedangkan kita hanya mampu mencerap yang kecil-kecil saja. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah kaum mu'tazilah yang kita kenal sebagai kelompok yang rasional. Menurut mereka, kita tidak mungkin melihat Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Argumentasi mereka menunjuk pada ayat Al- Quran: la tudrikuhul abshâr wa huwa yudrikul abshår, tidak ada penglihatan yang dapat mencerapnya, tetapi Dialah yang mencerap seluruh penglihatan.


Para ulama lainnya, berdasarkan ayat Al- Quran yang sangat jelas dan juga hadis-hadis, menjelaskan bahwa kita dapat melihat Allah Swt. Kalau tidak di dunia, nanti di akhirat. Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa kenikmatan yang paling besar bukanlah tinggal di surga, tapi kesempatan memandang wajah Allah Swt. Sebagaimana kenikmatan seorang perindu, bukanlah memperoleh hadiah dari orang yang dirindukannya, tapi bisa memandang wajah-Nya. Dalam Al-Quran disebutkan, wujuhuy yawmaidzin nådhirah, ila rabbihâ nâzhirah. wajah-wajah pada hari kiamat itu riang gembira, memandang wajah Tuhannya. Kata 'nâzhirah' artinya memandang, dari kata nazhara. Bagi mu'tazilah. 'nâzhirah' bermakna menunggu, bukan memandang. Jadi ayat itu diartikan, wajah-wajah itu riang gembira, sedang menunggu Tuhannya.


Dalam hadis, misalnya yang diriwayatkan dari Aisyah, orang-orang bertanya kepada Rasulullah, apakah nanti di hari akhirat kami bisa memandang Tuhan? Rasulullah lalu menunjuk pada bulan purnama. "Kamu lihatkah bulan di langit itu?" "Ya," kata para sahabat. Kalian akan melihat Allah nanti, lebih jelas dari kalian lihat bulan sekarang ini." Kemudian banyak juga doa-doa dari Rasulullah Saw dan orang-orang suci sepanjang sejarah Islam yang menunjukkan kata-kata melihat. Misalnya. dalam doa Shahifah Sajjadiyyah, Imam Ali Zainal Abidin berdoa: Wamnun bin nazhari ilaika 'alayya.... wa lâ tashrif 'anniy wajhaka. Ya Allah, anugerahkanlah kepadaku kesempatan memandang wajah-Mu, dan jangan palingkanlah wajah-Mu dariku. Di situ jelas-jelas disebut kata melihat, an-nazhar. Tentu bukan anugerahkan kepadaku menunggu-Mu, tapi anugerahkan kepadaku kenikmatan memandang wajah-Mu.


Imam Ali pernah ditanya seseorang. "Apakah Anda melihat Tuhan Anda?" Beliau menjawab pendek, "Lam a'bud rabban lam aráhu, Aku tidak pernah menyembah Tuhan yang tidak bisa aku lihat." Kemudian ada hadis terkenal di antara kita, ketika Nabi ditanya oleh malaikat Jibril tentang Ihsan. Rasulullah berkata, "Ihsan itu adalah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya." Dalam hadis itu digunakan kata 'ka annaka' seolah-olah, karena Nabi berbicara di hadapan orang kebanyakan. Ka annaka taráhu. seakan-akan engkau melihat-Nya, fa in lam takun tarâhu fa innahu yarâka, jika kamu tidak sanggup melihatnya, perhatikanlah bahwa Tuhan meihat kamu. Kata "kamu tidak sanggup" menunjukkan ada sekelompok orang yang sanggup melihat Allah Swt.


Dalam hadis yang lain juga disebutkan bahwa sekejap mata memandang Allah, jauh lebih baik dari ibadah ribuan tahun. Oleh karena itu, bagi kaum sufi, merindukan melihat Allah itu tidak hanya pada hari akhirat saja.


Pada hari akhirat, insya Allah seluruh kaum mukminin yang diselamatkan Allah akan melihat Dia. Tapi di antara manusia ada sekelompok orang yang ingin melihat Allah sekarang juga. Mereka diberi anugerah untuk memandang-Nya saat ini.


Dua Macam Pertemuan dengan Allah

Dalam Al-Quran, selain kata melihat Allah, ada kata yang semakna dengan itu-al-liqâ. pertemuan. Dalam bahasa Inggris, pertemuan yang sakral tidak sebagai meeting, tapi encounter, pertemuan ruhaniah atau pertemuan pemikiran (batiniah). Kata liqa disebut lebih dari dua puluh kali dalam Al-Quran, umumnya menunjukkan pertemuan dengan Tuhan setelah kematian. Misalnya, fa dzûqû bi mâ nasitum liqâ-a yawmikum hadza- Rasakanlah siksa karena kamu melupakan pertemuan kamu hari ini (Al-Sajdah: 14). Berdasarkan itu sebagian penafsir Al-Quran menetapkan bahwa kita hanya berjumpa dengan Allah pada waktu atau setelah kematian. Itu memang benar. Semua kita akan berjumpa dengan Allah Swt pada waktu kita meninggal dunia.


Menurut Ibn Arabi, ada dua macam pertemuan dengan Allah itu. Ada pertemuan yang terpaksa, ruju' idhthirâri. Mau tidak mau, suka tidak suka, kita pada suatu saat akan berjumpa dengan Allah Swt, yaitu pada saat kematian. Ada lagi pertemuan yang sukarela, ruju' ikhtiyâri. Inilah pertemuan dengan Allah yang kita pilih sendiri, yang kita rencanakan, yang kita usahakan.


Ada beberapa ayat yang mengandung kata liqâ atau mulâquw yang menimbulkan kemusykilan untuk diartikan sebagai kematian. Sebagai misal adalah ayat terakhir surah Al-Kahfi. Menurut sebagian ulama ayat terakhir bagus dijadikan wirid sebelum tidur. Bacalah satu ayat itu, dan sebutkan pada jam berapa kita akan bangun. Insya Allah kita akan bangun pada waktu yang kita rencanakan. Ayat itu berbunyi qul innamâ ana basyarun mitslukun yuhá ilayya annamâ ilâhukum ilahuw wâhid, faman kâna yarjuw liqâ'a rabbihi fal ya'mal amalan shâlihâ, wa lâ yusyrik bi'ibâdati rabbihi ahadam. Kalimat yang dicetak tebal berarti "barang siapa yang ingin berjumpa dengan Tuhannya. hendaklah dia beramal saleh."


Berjumpa di sini tidak dapat diartikan sebagai kematian, karena kematian itu akan datang juga orang mengharapkannya atau tidak. Jadi kata liqa' di sini hanya bisa diartikan dengan pertemuan dengan Allah Swt di dunia ini juga. Dan dalam ayat itu dinyatakan, siapa yang ingin atau merindukan untuk bisa berjumpa dengan Tuhannya, syaratnya ada dua. Pertama, harus beramal saleh, yang kedua, tidak mempersekutukan Tuhan dengan sesuatu pun dalam menyembah Dia. Yang dimaksud dengan tidak menyekutukan Allah itu, hampir semua mufasir mengatakan, ialah tidak mengharapkan selain Allah. Menurut sebagian besar ulama yang dimaksud musyrik di sini ialah riya'. Ketika beribadah kepada Tuhan itu, hendaknya tidak bersyarikat dalam ibadah itu dengan yang lain-lain. Salah satunya adalah riya'. beribadah karena ingin mendapat penilaian baik dari manusia. Itu sudah musyrik. Kita musyrik kalau kita mensyarikatkan Allah dengan mengharapkan penilaian dari manusia atau kalau ibadah kita sudah dipengaruhi reaksi orang lain terhadap diri kita. Setiap hari kita sibuk. kecapaian dan kelelahan hanya untuk memenuhi citra yang orang lain telah persiapkan untuk kita. Kesibukan ini-mempertahankan dan mempromosikan citra kita di depan manusia- akan menghapuskan peluang untuk berjumpa dengan Allah Swt (liqa' ilallah) sekarang. dengan pertemuan yang kita pilih. Tentu saja pada saat kematian kita akan bertemu dengan Allah, pertemuan yang justru tidak ingin kita alami.


Termasuk yang tidak berjumpa dengan Allah Swt. adalah orang yang menjadikan peribadatan kita kepada Allah itu sebagai wasilah (perantara) untuk memperoleh pahala atau untuk menghindari siksa. Jadi Allah itu disembah, bukan karena Dia. Tapi karena pahala-Nya. Kita musyrik, karena kita menjadikan Allah alat untuk mencapai kepentingan-kepentingan kita sendiri. Dalam Syarah 40 Hadis. Imam Khomeini bercerita tentang ini dengan sangat bagus. Ia menyindir kita semua. Kita semua adalah orang-orang musyrikin. Karena itu dalam Al-Quran disebutkan, sedikit sekali di antara hamba-hamba yang tidak musyrik: Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, kecuali dalam keadaan musyrik (Yusuf 106). Hampir semua kita, itu musyrik. Mengapa? Karena ketika kita menyembah Tuhan, pusat perhatian kita hanya pahala dan siksa.


Saya sering membimbing jamaah haji. Saya selalu menemukan pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan pahala. Ketika saya mengajak ibu-ibu berziarah ke masjid Quba, pertanyaannya adalah pahalanya. Sebagai mubalig, saya mengumpulkan hadis-hadis tentang pahala dan itulah yang kita sampaikan untuk mendorong mereka beramal. Misalnya, barang siapa yang shalat di masjid Nabawi 40 kali akan begini dan begitu. Shalat di Masjidil Haram sama nilainya dengan seratus ribu shalat di masjid-masjid yang lain. Rata-rata kita hafal dengan pahala ini. Karena ia menjadi pusat perhatian kita. Jadi kita beribadah kepada Allah bukan karena kecintaan kita kepada Dia. Bukan karena rindu untuk liqâ kepada Dia. Tapi karena kita mengharapkan hadiah, pahala atau upah.


Kita menyembah Allah seperti pembantu melayani kita di rumah. Di rumah pembantu itu melayani kita bukan karena mereka mencintai kita. Bahkan boleh jadi mereka menyimpan kebencian di hatinya. Tapi mereka memenuhi perintah kita karena menunggu upah di ujung bulan. Seperti itulah kita menyembah Allah Swt. Kita berkhidmat karena menunggu upah di hari akhir. Bahkan kita menjalankan perintah Tuhan lebih buruk dari pembantu menjalankan perintah kita. Karena kita seringkali menuntut upahnya dengan segera. Kita rajin betul shalat malam karena kita berharap Tuhan menyelamatkan kita dari kebangkrutan ekonomi dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Atau kita rajin bersedekah untuk menolak bencana. Ibadat kita adalah investasi yang kita harapkan "quick yielding", menyerahkan hasilnya dengan cepat dengan ROI yang tinggi. JR


***

KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).

172 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page