top of page
  • Writer's pictureAkhi

Berlarilah Menuju Allah


Islam adalah agama yang melanjutkan tradisi Nabi Ibrahim a.s. Ibadah haji, misalnya, adalah salah satu contoh tradisi Ibrahim yang masih terus dilaksanakan. Demikian juga dengan ibadah kurban. Dalam ibadah shalat, kita mengakhiri shalat kita dengan membaca shalawat kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya, di samping kepada Nabi Muhammad Saw. dan keluarganya.


Al-Quran pun banyak menceritakan perjalanan kehidupan Ibrahim. Berkaitan dengan hal ini, Al-Quran mengisahkan saat Tuhan bertanya kepada Ibrahim: "Fa aina tadzhabun." Lalu, akan ke mana kamu pergi? (QS Al-Takwir [81]: 26). Al-Quran mengisahkan jawaban Ibrahim: "Sesungguhnya aku pergi menghadap Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku" (QS Al-Shaffàt (37): 99).


Pertanyaan fa aina tadzhabun, "Lalu ke mana kamu pergi?" juga dikenal dalam istilah Latin yang menyebutnya, "Quo Vadis?" Istilah Latin itu ditujukan untuk orang yang agak menyimpang atau aneh. Demikian pula dengan AlQuran. Dengan itu Al-Quran bertanya kepada orang-orang yang jalannya melenceng; kepada mereka yang ada di persimpangan jalan. Pertanyaan itu mengandung arti apa sebenarnya tujuan akhir dari perjalanan hidup kita. Apakah itu berupa karier, kedudukan, kekayaan, atau kemasyhuran.


Seperti jawaban Nabi Ibrahim a.s., seorang sufi adalah ia yang telah mengambil keputusan bahwa perjalanannya adalah untuk menuju Tuhan. Dalam hidupnya, seorang sufi senantiasa pergi ke arah hadirat Tuhannya.


Allah menciptakan manusia dari tanah yang merupakan lambang dari kehinaan dan kekotoran. Al-Quran menyebutkannya sebagai nutfah atau saripati tanah. Setelah proses penciptaan dari tanah itu, Allah menyatakan: Lalu aku tiupkan ke dalamnya ruh-Ku (QS Al-Hijr [15]: 29).


Karena terbuat dari tanah, sifat kemanusiaan (basyariyyah) manusia menjadi selalu kotor. Seorang sufi ingin menafikan kekotoran basyariyyah-nya, yakni seluruh sifat tanahnya, dan ingin menyerap unsur ruh Tuhan yang ditiupkan kepadanya. Ia meninggalkan sifat tanahnya untuk kemudian pergi dalam perjalanan menuju Allah. Perjalanan dari unsur tanah pada unsur ruh Ilahiah itulah yang dikenal sebagai tasawuf.


Al-Quran senantiasa mengingatkan kita untuk mulai berangkat menuju Tuhan. Allah Swt berfirman, Oleh karena itu, bersegeralah berlari kembali menuju Allah(QS AlDzariyat [51]: 50).


Al-Quran tidak hanya menyuruh kita untuk berjalan, tetapi ia bahkan memerintahkan kita berlari kepada-Nya. Hidup terlalu singkat untuk diisi dengan pergi menuju Tuhan dengan cara berjalan. Kita harus berlari sebelum waktu kita di dunia habis dan berakhir.


Kita harus berlari dari segala yang menarik perhatian kita, menuju kepada yang satu, Allah Swt. Sebuah hadis riwayat Ahmad dan Al-Thabrani berbunyi, "Barang siapa yang mendekati Allah sesiku, Dia akan mendekatinya sehasta. Barang siapa mendekati Allah sambil berjalan, Allah akan menyambutnya sambil berlari." Balasan dari Allah selalu lebih hebat daripada apa yang kita lakukan. Dalam AlQuran Surah Luqman, ayat 15, Allah Swt. juga berfirman, Ikutilah jalan orang yang kembali pada-Ku. Kemudian, hanya kepada-Kulah kembalimu. Lalu Aku memberitahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.


Nabi Saw. pernah bertanya kepada para sahabatnya, "Bagaimana keadaan kalian, seandainya di antara kalian suatu saat berada di padang pasir membawa perbekalan dan unta, lalu kalian tertidur; dan ketika bangun, kalian mendapati unta dan perbekalanmu hilang?" Para sahabat menjawab, "Tentu cemas sekali, ya Rasulullah!" Rasulullah melanjutkan, "Pada saat kalian cemas, tiba-tiba kalian melihat unta itu kembali dari tempat jauh dan menghampiri kalian dengan membawa seluruh perbekalanmu. Apa perasaan kalian?" Para sahabat kembali menjawab, "Tentu kami akan bahagia sekali."


Nabi yang mulia lalu berkata, "Allah akan lebih bahagia lagi melihat hamba-Nya yang datang kepada-Nya daripada kebahagiaan seseorang yang kehilangan unta kemudian ia melihat untanya datang kembali kepadanya."


Berulang-ulang Allah mengingatkan kita untuk mengikuti jalan orang yang kembali kepada-Nya. Menurut para sufi, jalan yang dimaksud itu adalah jalan tasawuf. Karena para sufilah yang kembali kepada Allah. Salah satu jalan kepada Allah itu adalah dengan menyucikan diri-meninggalkan unsur tanah kita untuk menyerap sifat-sifat Allah.


Perjalanan menuju Tuhan harus dilakukan dengan menyucikan diri dan membersihkan hati. Hati kita sering terkotori dengan dosa yang kita lakukan. Dosa-dosa itu meng hijab kita dari Tuhan. Mereka yang mampu berjumpa dengan Tuhan adalah mereka yang membawa hati yang bersih; bukan yang membawa harta dan anak-anaknya.


Dalam bahasa Arab, kata tazakka yang berarti menyucikan diri, juga berarti "tumbuh". Oleh karena itu, di dalam Islam, pertumbuhan seseorang diukur dari tingkat kesucian dirinya. Semakin suci dan bersih seseorang, semakin tinggi pulalah derajatnya.


Psikologi Humanistik juga mengenal hal ini. Abraham Maslow menyebut puncak pertumbuhan manusia adalah pertumbuhan kepribadiannya. Ia menamakannya dengan aktualisasi diri atau self actualization. Islam menyebutnya tazakka.


Upaya kita menyucikan diri harus kita iringi dengan proses meninggalkan rumah kita. Allah Swt. berfirman, Barang siapa yang keluar dari rumahnya dengan maksud untuk berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, lalu kematian menjemputnya, maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah ... (QS Al-Nisa' [4]: 100).


Biasanya orang menafsirkan ayat ini secara harfiah mengartikannya sebagai orang yang pergi meninggalkan Makkah menuju Madinah dalam peristiwa Hijrah. Para sufi menafsirkan kata "rumah" dalam ayat itu sebagai diri, egoisme, atau keakuan kita.


Kita selalu berpikir akan kepentingan pribadi semata. Jika kita beribadah, itu pun dilakukan dalam konteks kepentingan diri kita. Kita bersedekah untuk menolak bencana demi keselamatan diri kita. Kita menunaikan shalat agar terhindar dari neraka dan mengharapkan pahala. Kita sering beribadah dengan ibadah para pedagang. Kita menjual ibadah kita untuk ditukar dengan pahala. Dalam ibadah, kita mengutamakan kepentingan pribadi kita.


Hal ini berbeda dengan para sufi. Mereka berupaya keluar dari rumah mereka. Mereka beribadah bukan karena mengharapkan pahala, melainkan karena rasa terima kasih kepada-Nya. Mereka merasa berutang budi atas segala anugerah Allah kepada mereka. Itulah ibadah yang sesungguhnya. Hubungan sufi dengan Tuhannya bukanlah hubungan bisnis, melainkan hubungan cinta.


Al-Quran menyebut orang yang beribadah kepada Tuhan tanpa meninggalkan dirinya-karena terlalu cinta akan dirinya-sebagai orang yang telah mengambil tuhan selain Allah. Ia mencintai dirinya lebih daripada ia mencintai Tuhan. Allah Swt. berfirman, Di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sama seperti mereka mencintai Allah. Sementara orang-orang yang beriman sangat mencintai Allah (QS Al-Baqarah (2): 165).


Syahdan, Ibrahim a.s. akan meninggal dunia. Malaikat Izrail datang untuk mencabut nyawanya. Nabi Ibrahim berkata kepadanya, "Mana mungkin Sang Khalik mematikan kekasih-Nya?" Nabi Ibrahim seakan menggugat mengapa seorang pencinta mematikan pencintanya. Allah lalu menjawab, "Bagaimana mungkin seorang kekasih tak mau berjumpa dengan kekasihnya?" Mendengar jawaban agung itu, Ibrahim berkata, "Kalau begitu, ambillah nyawaku sekarang juga."


Dalam sebuah hadis qudsi, Tuhan melukiskan dengan indah keadaan seseorang yang telah sampai dalam perjalanan mendekati-Nya: "Tidak henti-hentinya hambahamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan ibadah-ibadah nawafil (di samping ibadah fardhu) hingga Aku mencintainya. Kalau Aku sudah mencintainya, Aku akan menjadi telinganya yang dengannya ia mendengar; Aku akan menjadi matanya yang dengannya ia melihat; Aku akan menjadi tangannya yang dengannya ia memegang; Aku akan menjadi kakinya yang dengannya ia berjalan. Jika ia bermohon kepada-Ku, Aku akan mengabulkan permohonannya. Jika ia berlindung kepada-Ku, Aku akan melindungi dirinya." (HR Bukhari) []


KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).

37 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page