Akhi
BUSANA MUSLIMAH: TINJAUAN PSIKOLOGI SOSIAL

Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu,
anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin:
"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka."
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal
sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(QS 33: 59)
Ayat ini menjelaskan bahwa salah satu hikmah memakai busana Muslimah ialah "supaya lebih mudah diketahui sehingga tidak diganggu". Kata yu'rafna berarti diketahui, dikenal, dipersepsi -- ini berhubungan dengan persepsi sosial. Fa là yu'dzain --sehingga tidak diganggu-- menunjukkan efek behavioral yang timbul sebagai akibat persepsi yang mendahuluinya. Dalam tulisan ini, saya akan membahas fungsi busana Muslimah dalam memengaruhi persepsi sosial yang saya bedakan antara konsep diri dan persepsi interpersonal.
Persepsi Sosial
Secara singkat, persepsi adalah proses menyimpulkan informasi, menafsirkan pesan, atau memperoleh makna dari sensasi. Bila saya melihat senyuman di bibir Anda dan saya menafsirkannya sebagai sambutan hangat dari Anda, saya melakukan persepsi. Saya dapat memersepsikan benda-benda mati, seperti batu, angin, bangunan, atau bintang. Tetapi saya juga dapat memersepsikan mahasiswi saya, guru saya, atau presiden.
Pada 1950-an, di kalangan psikolog sosial timbul aliran baru (disebut New Look) yang meneliti pengaruh faktor-faktor sosial seperti, pengaruh interpersonal, nilai-nilai kultural, dan harapan-harapan yang dipelajari secara sosial-- pada persepsi individu, bukan saja terhadap objek-objek mati, melainkan juga objek-objek sosial. Lahirlah istilah persepsi sosial yang didefinisikan sebagai "the role of socially generated influences on the basic processes of perception" (McDavid dan Harari, 1968: 173). Akhir 1950-an dan awal 1960-an fokus penelitian tidak lagi pada faktor-faktor sosial yang memengaruhi persepsi, tetapi pada objek-objek dan peristiwa-peristiwa sosial. Mereka tidak lagi meneliti bagaimana tanggapan Anda pada titik, balok, atau pohon beringin; mereka mempelajari bagaimana tanggapan Anda pada istri Anda, bos Anda di kantor, atau teman Anda; bagaimana Anda mengambil kesimpulan tentang karakteristik orang lain.
Sekarang persepsi sosial diartikan sebagai persepsi pada objek- objek sosial. Objek-objek sosial boleh jadi diri kita sendiri atau orang lain. Untuk memudahkan pembicaraan, yang pertama kita sebut persepsi diri atau konsep diri dan yang terakhir persepsi interpersonal.
Busana Muslimah dan Konsep Diri
Kita mulai dengan pengaruh busana Muslimah pada pembentukan konsep diri. "Konsep diri," kata Anita Taylor, "adalah semua yang Anda pikirkan dan Anda rasakan tentang diri Anda, seluruh kompleks kepercayaan dan sikap tentang Anda yang Anda pegang teguh." Konsep diri menentukan perilaku Anda. Ambillah contoh, seorang yang memandang dirinya sebagai orang yang selalu gagal. Sering kalau upayanya hampir berhasil, ia dipukul kegagalan yang tidak terduga. Para psikiater menyebut orang seperti itu masokhis -- orang-orang yang cenderung menyengsarakan dirinya dan merancang situasi begitu rupa sehingga ia akhirnya gagal. Menurut psikolog, orang masokhis ingin "setia pada dirinya", ingin memperteguh konsep dirinya sebagai orang gagal dengan menciptakan kegagalan.
Kemudian, lahirlah konsep self-fulfilling prophecy-yaitu, kecenderungan untuk berperilaku sesuai dengan konsep diri. Bila Anda merasa Anda bukan orang baik, segala perilaku Anda akan disesuaikan dengan konsep diri tersebut. Anda akan bergaul dengan orang-orang jahat, berbicara kasar, dan melakukan tindak kejahatan. Apa hubungan konsep diri dengan busana Muslimah?
Menurut Kefgen dan Touchie-Specht, busana mempunyai tiga fungsi: (1) diferensiasi, (2) perilaku, dan (3) emosi. Dengan busana, orang membedakan dirinya, kelompoknya, atau golongannya dari yang lain. Busana memberikan identitas-memperteguh konsep diri. Kelompok anak muda yang ingin menegaskan identitas --yang sebetulnya masih kabur-- berusaha menunjukkan pakaian yang aneh-aneh. Dengan berperilaku aneh, ia membedakan dirinya dengan orang-orang tua. Busana Muslimah memberikan identitas keislaman. Dengan itu, seorang Muslimah membedakan dirinya dari kelompok wanita lain.
Di dunia modern, banyak wanita mengalami alienasi (keterasingan dari dirinya). Mereka mencari-cari identitas dengan menampilkan pakaian-pakaian yang sedang in atau menjadi mode zamannya. Seorang wanita yang tiba-tiba naik pada posisi tinggi mengalami krisis identitas. Untuk memperteguh identitas dirinya, ia akan mencari busana yang melambangkan status barunya. Perhatikan, misalnya, kegilaan pada haute couture di kalangan orang kaya baru. Dalam perubahan yang sangat cepat, tidak jarang wanita mengalami guncangan citra-diri (disturbance of self-image).
Busana Muslimah, bagi seorang Muslim, memberikan citra diri yang stabil. Ia mencerminkan tekad untuk berkata, "Isyhadû bi anna muslimûn!" Seorang Muslimah, dengan jilbabnya, ingin menunjukkan pada dunia bahwa ia menolak seluruh sistem jahiliah dan ingin hidup dalam sistem islami. Karena itu, selembar kain kerudung yang menutup rambut dan lehernya telah menjadi simbol keterlibatan (commitment) pada Islam.
Dari sini, busana Muslimah mendorong pemakainya untuk berperilaku yang sesuai dengan citra-diri Muslimah. Busana Muslimah mendefinisikan peran dengan tegas. Ia membantunya dalam role-playing dan menghindari role-confusion. L. Langner menulis bahwa "dengan memakai pakaian seragam kelompok tertentu, seseorang menunjukkan-melalui pakaian seragamnya itu-bahwa ia telah melepaskan haknya untuk bertindak bebas sebagai seorang individu dan (sebaliknya) mesti bertindak sesuai dengan dan dalam batas-batas kaidah-kaidah kelompoknya." ABRI yang berpakaian seragam akan merasakan perilakunya berbeda ketika ia berpakaian preman. Santri yang menanggalkan sarung dan peci serta menggantinya dengan celana jins dan t-shirt akan merasakan perubahan perilaku.
Pakaian juga mempunyai fungsi emosional. Pakaian mencerminkan emosi pemakainya dan, pada saat yang sama, memengaruhi emosi orang lain. Walaupun reaksi emosional pada pakaian bergantung latar belakang psikososial, pakaian telah lama digunakan untuk menggelorakan emosi kelompok atau bangsa. Kita dapat berhipotesis, busana Muslimah -- lebih-lebih kalau diungkapkan secara massal akan mendorong emosi keagamaan yang konstruktif.
Emosi dan perilaku sebenarnya kembali kepada fungsi pertama pakaian, yaitu diferensiasi. Sebagian peneliti menyebutkan fungsi dekoratif sebagai fungsi primer, tetapi kata Leathers, "Fungsi dekoratif busana cenderung memberi identifikasi khas kepada seorang perancang yang cerewet (kritis)."
Busana Muslimah dan Persepsi Interpersonal
Bila kita berjumpa dengan orang lain, kita akan mengategorikan orang itu dalam satu kategori yang terdapat di dalam laci memori kita. Kita akan segera mengelompokkannya sebagai mahasiswa, cendekiawan, atau kiai. Kita menetapkan kategori orang itu berdasarkan deskripsi verbal, petunjuk proksemik, petunjuk kinesik, petunjuk wajah, petunjuk paralinguistik, dan petunjuk artifaktual." Pada kendala waktu yang singkat, yang kita pergunakan umumnya petunjuk artifaktual-yang paling penting darinya ialah busana.
"Busana," kata Kefgen dan Touchie-Specht, "menyampaikan pesan." Busana sudah terlihat sebelum suara terdengar. Kepekaan pesan yang disampaikan bergantung pada sejumlah variabel, seperti setting, task acquaintanceship, latar budaya, pengalaman, dan kesadaran. Beberapa jenis busana selalu berkaitan dengan perilaku tertentu. Pelaku persepsi akan secara otomatis menghubungkan tindakan dengan pakaian.
Sebuah penelitian yang dilakukan Gibbins pada gadis-gadis sekolah menengah menunjukkan bahwa manusia memang betul-betul menilai orang lain atas dasar busananya, dan makna yang disampaikan oleh busana tertentu cenderung disepakati.
Dengan bahasa yang sederhana, jenis pakaian tertentu melahirkan makna tertentu. Baju hijau memberikan makna ABRI, peci putih haji, baju safari pegawai negeri, dan blangkon orang Jawa. Berdasarkan kategori-kategori itu, kita segera melahirkan sejumlah keterangan tambahan tentang objek persepsi kita. Jadi, begitu saya maknakan ABRI, saya segera mengeluarkan dari memori saya sejumlah karakteristik tentang ABRI. Saya pun mulai mengatur transaksi sosial saya.
Menurut Stone, "Penampilan ... adalah fase transaksi sosial yang menegaskan identitas para partisipan (pemeran-serta transaksi sosial tersebut). Penampilan itu, sebagaimana adanya, bisa dibedakan dengan wacana, yang kita konseptualisasikan sebagai teks transaksi yakni, apa yang diperbincangkan oleh kelompok- kelompok itu. Penampilan dan wacana adalah dua dimensi berbeda dari transaksi sosial. Yang disebut lebih dahulu tampaknya bersifat lebih mendasar. Ia memungkinkan, menopang, menetapkan batas-batas, dan menyediakan ruang bagi (perwujudan) kemungkinan-kemungkinan wacana dengan jalan memastikan kemungkinan-kemungkinan bagi diskusi yang bermakna."
Dalam hubungannya dengan busana Muslimah, wanita yang memakainya akan segera dipersepsi dalam kategori Muslimah. Boleh jadi berbagai konotasi dikaitkan dengan kategori ini, bergantung pada pengalaman dan latar belakang psikososial pelaku persepsi-busana fundamentalis, wanita salihah, istri yang baik, dan sebagainya. Apa pun konotasinya, inti persepsinya tidak mungkin lepas dari kategori Muslimah. Dari persepsi itu, orang kemudian mengatur perilakunya terhadap pemakai busana Muslimah. Ia tidak akan melakukan sexual harassment, ia tidak akan berani berbuat tak senonoh-paling-paling "gangguan" kecil, seperti ucapan "Assalamu 'alaikum" yang dilontarkan secara bercanda. Inilah barangkali yang dimaksud Tuhan dengan "sehingga mereka tidak diganggu" (QS 33: 59).
***
Busana Muslimah mempunyai fungsi penegas identitas. Dengan busana itu, seorang Muslimah mengidentifikasikan dirinya dengan ajaran-ajaran Islam. Karena identifikasi ini, ia akan terdorong untuk berperilaku sesuai dengan ajaran Islam. Dalam hubungan interpersonal, busana Muslimah akan menyebabkan orang lain memersepsi pemakainya sebagai wanita Muslimah dan akan memperlakukannya seperti itu pula. Dalam bahasa Al-Quran, busana Muslimah dipakai "supaya dikenal" dan "sehingga mereka tidak diganggu." JR
***
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).