top of page
  • Writer's pictureAkhi

Dan Rasulullah Saw. pun Menangis


Buku yang saya pegang sekarang ini berjudul Pada saat Itu Menangislah Nabi Saw. ditulis oleh Abu Abdurrahman. Ia pernah menulis buku sebelumnya yang berjudul Pada Saat Itu Tersenyumlah Nabi. Anak-anak SMA Plus Muthahhari pernah mencoba menerjemahkan buku itu. Sedangkan buku yang sekarang ini bercerita tentang peristiwa-peristiwa yang menyebabkan Nabi menangis. Apa saja yang menyebabkan beliau menangis? Dalam keadaan apa Rasulullah Saw. menangis? Ketika peristiwa apa? Buku sebelumnya juga memuat hadits-hadits yang mengumpulkan peristiwa-peristiwa ketika Rasulullah Saw. tersenyum. Apa yang menyebabkan beliau tersenyum? Pada keadaan apa tersenyum? Dan untuk apa tersenyum?


Tersenyum, menangis, makan, minum adalah perbuatan-perbuatan yang di dalam fiqih disebut dengan perbuatan jibillah basyariyyah, artinya perbuatan Rasulullah sebagai manusia biasa. Hal-hal seperti itu, tidak wajib dicontoh. Misalnya, kalau Rasulullah Saw. batuk, kita tidak usah mencontoh batuk beliau. Sekiranya Rasulullah Saw. batuk tiga kali setelah takbiratul ihram karena beliau flu, kita tidak boleh batuk tiga kali setelah takbiratul ihram, apakah kita sedang flu atau tidak. Jadi ini sifat-sifat basyariyyah Rasulullah. Beliau pun makan. Ketika kita makan kita tidak menjalankan sunnah Nabi karena Nabi Saw. manusia biasa dan kita manusia biasa, dalam pengertian fisik. Jadi makan dan minum kita itu tidak mencontoh Nabi Saw. Ini adalah hal-hal yang bersifat basyariyyah. Akan tetapi, sifat-sifat basyariyyah ini berubah menjadi sunnah yang harus ditiru kalau kita membicarakan "bagaimananya". Misalnya makan dan minum itu perbuatan biasa saja. Namun, ia menjadi sunnah apabila Nabi menjelaskan cara dan bagaimana beliau makan.


Suatu saat orang menemukan Nabi tengah duduk di lantai dan beliau bersabda, "Aku makan seperti makannya budak belian, dan aku duduk seperti duduknya budak belian." Nabi Saw. ingin menjelaskan salah satu sunnah Nabi untuk makan dengan posisi seperti masyarakat yang dianggap paling rendah. Seakan-akan Nabi ingin mengajarkan kepada kita untuk makan yang sederhana seperti orang-orang kecil dan duduk seperti duduknya orang-orang kecil. Cara makan berubah menjadi sunnah.


Menangis, tersenyum atau tertawa Nabi itu adalah perbuatan manusia biasa. Akan tetapi, hal itu bisa berubah menjadi lebih dari perbuatan biasa kalau di dalam tangisan dan tawa Nabi itu ada pelajaran yang berharga bagi kita. Bukan menangisnya tetapi cara menangisnya. Termasuk juga ketika Rasulullah Saw. marah. Amarah beliau menjadi sunnah yang harus ditiru dengan mempertimbangkan alasan yang mengakibatkan amarah Nabi.


Suatu saat ada seorang sahabat Nabi, Abdullah bin 'Amr bin Al-'Ash. Dia adalah salah satu sahabat Nabi yang waktu itu mampu menulis dan membaca. Jadi ketika Nabi berbicara, dia membuat catatan-catatan. Yang lain hanya mengandalkan ingatannya saja. Akan tetapi, Abdullah bin 'Amr bin Al-'Ash menuliskannya. Abu Hurairah pernah berkata ketika banyak orang mengkritik dia, "Aku memang banyak meriwayatkan hadits karena aku tidak punya kerjaan. Muhajirin dan Anshar sibuk di pasar mereka. Aku tidak memikirkan dunia. Aku hanya kalah oleh Abdulah bin 'Amr bin 'Al-Ash karena dia mencatatnya sementara aku mengingatnya."


Waktu Abdullah bin 'Amr bin Al-'Ash menulis hadits Nabi Saw., dia ditegur oleh penguasa-penguasa Quraisy yang sudah masuk Islam. "Mengapa kamu menuliskan hadits-hadits Nabi? Karena beliau itu kadang-kadang marah, kadang-kadang ridha." Abdullah bin 'Amr bin Al-'Ash pun berhenti menulis. Itu larangan menuliskan hadits yang pertama kalinya dilakukan oleh sahabat Nabi. Kelak saat Nabi meninggal dunia, bahkan sebelum Nabi meninggal dunia, ada sahabat yang melarang orang menuliskan hadits. Yang pertama kali dilarang adalah Nabi Saw. sendiri. Bayangkan Nabi Saw. sendiri dilarang oleh sahabatnya untuk menuliskan hadits. Kita harus tambahkan hal ini dalam Delapan Keajaiban Dunia pada Masa Lalu. Di samping Taman Gantung Babilonia, keajaiban dunia yang lain adalah larangan sahabat untuk menuliskan hadits Nabinya.


Karena ketakutan, Abdullah bin 'Amr bin Al-'Ash berhenti menuliskan hadits. Dia datang menemui Rasulullah Saw. Dia menceritakan mengapa dia tidak menuliskan hadits lagi. Kata Nabi, "Tulislah haditsku ini karena tidak pernah keluar dari mulut ini baik dalam keadaan marah atau ridha kecuali kebenaran." Jadi memang Rasulullah juga pernah marah.


Saya baru saja membeli buku tentang tipe-tipe amarah manusia, Letting Go of Anger: The Ten Most Common Anger Styles. Di antaranya ada tipe orang-orang yang tidak mau marah, menghindari marah, tidak pernah marah sama sekali dan lain sebagainya. Sifat-sifat itu ternyata merupakan sejenis gejala orang yang mengalami gangguan kejiwaan. Jadi orang yang tidak pernah marah sama sekali dan menghindari marah sebetulnya adalah orang-orang yang ketakutan kalau marah dia akan mendapatkan risiko yang tidak enak. Jika selalu menahan marah, lama-lama ia menggelegar jadi penyakit. Insya Allah, ia bisa meninggal dengan cepat. Selain itu, ada juga tipe orang yang menjadikan amarahnya sebagai kebiasaan. Jadi setiap pulang ke rumah dia marah. Hal-hal yang kecil saja mudah menyulut amarahnya. Itu juga merupakan gangguan kejiwaan. Orang seperti ini biasanya marah untuk menunjukkan kekuasaan dia. Kemarahan itulah yang dilarang oleh Rasulullah Saw.


Hadits-Hadits Nabi Menangis

Kembali pada buku ini, kita akan membicarakan saat-saat Nabi Saw. menangis. Kita mu- lai dengan hadits yang pertama. Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, diriwayatkan juga oleh Thabrani dalam Al-Kabir-nya, oleh Al-Haitsâmi dalam Majma'ul Zawa'id dan kata para ahli hadits, seluruh sanadnya bisa dipercaya. Dulu, pada saat Ramadhan, saya menghindari baca hadits, hanya membaca Al-Quran saja untuk pengajian kita. Dalam Mazhab Ja'fari, apabila orang membuat hadits- hadits palsu yang dinisbahkan kepada imam, puasanya batal dan dia harus menebusnya. Kifaratnya membacakan hadits palsu ialah membebaskan budak belian plus puasa dua bulan terus-menerus plus memberi makan enam puluh orang miskin. Biasanya buat kesalahan lainnya yang tiga itu boleh dipilih. Kalau pada bulan Ramadhan ini, Anda bergaul dengan istri pada siang hari, tebusannya adalah salah satu yang tiga itu.


Tadi saya sebutkan khusus untuk orang yang membacakan hadits palsu pada bulan Ramadhan, ketika dia puasa maupun di malam harinya ketika dia tidak sedang berpuasa, ia melakukan dosa besar jauh lebih besar dosanya dibandingkan dengan melakukan hubungan suami istri pada siang hari karena tebusannya sangat berat. Kalau satu hadits palsu diriwayatkan, ia harus dua bulan puasa terus-menerus, dan kalau ̶misalkan ̶ enam hadits palsu, ia harus puasa satu tahun; disambung lagi dengan puasa, bisa puasa terus-menerus. Oleh karena itu, pada bulan Ramadhan kita disuruh untuk berhati-hati untuk tidak berbohong apalagi berbohong atas nama Nabi Saw., atau berbohong atas nama ulama, menisbahkan atas mereka yang sebetulnya tidak mereka ucapkan. Yang paling berat tentu berbohong atas nama Nabi Saw.


Saya menemukan, ternyata di kalangan para ustadz ada kebiasaan untuk menyampaikan hadits-hadits yang maudhu', hadits-hadits yang palsu. Itu kreatifnya ustadz-ustadz kita. Mudah-mudahan mereka tidak tahu bahwa hadits-hadits itu palsu.


Sekarang kita akan baca sebuah buku yang mengkritik hadits-hadits di kalangan Ahlul Bait. Saya sering dikritik orang, "Mengapa ustadz itu hanya mengkritik hadits-hadits Sunni. Mengapa tidak mau mengkritik hadits-hadits Syi'ah?" Waktu itu saya berkata, saya kritik hadits-hadits Sunni karena yang saya ajak bicara adalah Sunni, kalau yang saya ajak bicara itu Syi'ah, maka akan saya kritik juga hadits-hadits Syi'ah.


Karena itu, kita berusaha juga untuk kritis terhadap hadits-hadits Ahlul Bait sekalipun agar kita tidak sampai meriwayatkan hadits-hadits palsu. Sekarang muncul beberapa orang, kalau saya tidak salah, dimulai oleh Ma'ruf Al-Husaini yang mengkritik hadits-hadits baik dari Ahlul Sunnah maupun dari kalangan Ahlul Bait. Bukunya kecil, Dirasat Hadits wal Muhadditsin atau Studi tentang Hadits dan Para Ahli Hadits. Ia kemudian juga menulis tentang hadits-hadits maudhu' di kalangan Ahlul Bait yang tersebar di masyarakat.


Hadits-hadits tentang peristiwa 'Asyura itu banyak yang lemah tetapi para ulama masih juga menyebarkannya, mungkin untuk menggerakkan emosi orang-orang awam. Dulu, para ulama sering menggunakan hadits-hadits lemah untuk menyentuh hati orang. Ulama sekarang pun banyak yang melakukannya dengan tujuannya untuk menyentuh hati orang. Bedanya, dulu para ulama merujuk kepada hadits walaupun haditsnya lemah, sekarang malah tanpa hadits sama sekali.


Kembali lagi kepada hadits tangisan Nabi Saw. Diriwayatkan oleh Abdullah ibn Mas'ud, dia adalah seorang sahabat yang paling bagus bacaan Al-Quran-nya, sehingga Rasulullah Saw. bersabda, "Kalau kalian ingin mendengarkan bacaan Al-Quran yang segar seperti segarnya kurma yang baru dipetik, dengarkan bacaan Al- Quran dari Abdullah ibn Mas'ud." Saya bacakan riwayat ini. Jadi pada suatu hari Rasulullah Saw. berkunjung ke Masjid Bani Zhafar, sebuah kabilah yang tidak jauh dari Madinah. Lalu, Rasulullah Saw. duduk di atas batu yang kebetulan berada di Masjid Zhafar. Sekadar gambaran saja, masjid-masjid dahulu itu tidak beratap dan tidak berlantai tikar. Jadi tanah saja langsung. Waktu haji, saya berkunjung ke sebuah masjid yang dibangun untuk mengenang Bai'atur Ridwan. Ketika para sahabat berjanji di sebuah pohon. Pohon itu masih ada di sana. Dulu, di pohon itulah Rasulullah Saw. bersandar. Selama ribuan tahun pohon itu tetap bertahan berada di masjid. Jemaah haji sering kali berkunjung ke tempat itu. Saya dan jamaah saya datang ke situ. Masjid itu harus buru-buru dikunjungi sebelum berubah menjadi mall atau pusat belanja. Di Saudi banyak tempat-tempat bersejarah berubah menjadi mall. Kami berkunjung ke situ. Apa yang kami saksikan, mereka membakar pohon itu. Karena apa? Pohon itu setiap kali dipotong selalu tumbuh lagi semakin kuat. Jadi mereka bakar pohon itu. Saya mengambil sisa-sisa pembakaran itu dan saya mengambil berkah dari sisa pembakarannya.


Rasulullah Saw. duduk di atas batu di Masjid Bani Zhafar. Bersama beliau Abdullah ibn Mas'ud, Mu'ad bin Jabal, Wa unasun min ash habih, dan sekelompok sahabatnya. Lalu, Rasulullah Saw. berkata kepada Ibn Mas'ud, 'Bacakan kepadaku Al-Quran!' Kataku (kata Ibnu Mas'ud), 'Ya Rasulullah, aku bacakan Al-Quran kepadamu sedang Al-Quran itu turun kepadamu.' Rasulullah Saw. berkata, 'Memang benar Al-Quran turun kepadaku tetapi aku ingin mendengarkan Al-Quran dibacakan oleh orang selainku. Mulailah aku membaca surah An-Nisa'. Aku bacakan surah An-Nisa itu di hadapannya. Ketika aku sampai pada, ... bagaimana kalau aku datangkan seorang saksi dari satu umat, dan kami pun akan mendatangkan kamu sebagai saksi atas mereka,' (QS. An-Nisa' [4]: 41). Belum sampai ayat itu, kata Ibn Mas'ud, aku angkat kepalaku mungkin karena ada orang mencubit aku di sampingku, lalu aku mengangkat kepalaku, aku lihat air mata Nabi Saw. berlinang. Lalu, beliau pun menangis sampai bergetar janggutnya, kemudian beliau bergumam, 'Duhai Tuhanku aku bersaksi, aku akan menjadi saksi dari sahabat-sahabatku yang sezaman dengan aku. Bagaimana aku bisa bersaksi dengan mereka yang tidak sezaman dengan aku.' Pada saat, itulah Nabi Saw. menangis. Beliau menangis ketika ayat Al-Quran dibacakan kepadanya."


Ada hadits lain yang menyebutkan kalau Rasulullah Saw. menangis ketika membaca Al-Quran. Apa sunnah yang kita peroleh dari sini. Kita dianjurkan untuk menangis ketika membaca Al-Quran. Di antara keajaiban Al-Quran, ada orang yang tersentuh dengan bacaan Al-Quran itu, walaupun ia tidak memahami artinya. Akan tetapi, jumlahnya kecil, kecil sekali. Kebanyakan orang tersentuh bacaan Al-Quran karena dia memahami kandungan Al-Quran itu. Bagi yang tidak paham, saya menganjurkan, agar ketika membaca Al-Quran itu dengan tidak terlalu mengejar khatam. Cobalah setiap hari ada ayat yang direnungkan maknanya sampai kita terharu, kalau bisa sampai kita menangis. Karena menangis ketika mendengarkan Al-Quran adalah sunnah Nabi Saw.


Menurut Al-Quran, menangis itu menjadi sunnah orang- orang saleh sepanjang sejarah, sunnah para nabi sebelumnya. Allah Swt. berfirman dalam QS Maryam [19] ayat 58, "Mereka adalah orang-orang yang mendapat anugerah Allah berupa kenikmatan." Siapakah mereka yang mendapatkan kenikmatan itu? Dalam shalat ketika kita baca Al-Fatihah, kita menginginkan jalan yang lurus yaitu jalan orang-orang yang Allah anugerah- kan kenikmatan kepada mereka. Siapakah orang-orang yang mendapat anugerah kenikmatan itu? Dalam QS Maryam tersebut, Allah Swt. berfirman, "Mereka adalah orang-orang yang mendapat anugerah Allah adalah para Nabi dari keturunan Adam dan di antara orang-orang yang Kami angkat bersamamu dan dari keturunan Ibrahim dan Israil dan di antara orang-orang yang Kami tunjuk dan Kami pilih sebagai manusia pilihan." Apa ciri mereka itu semua? "Apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Allah Yang Maha Pengasih, mereka merebahkan dirinya, sujud dan menangis."


Menurut Ibnu Katsir, "Apabila mereka mendengar firman Allah yang mengandung hujjah-Nya, dalil-Nya, dan burhan-Nya, mereka bersujud kepada Tuhan dengan penuh kerendahan dirinya, dengan penuh tawadhu' sambil memuji dan bersyukur atas anugerah yang telah Dia berikan kepada mereka."


Jadi menangis ketika membaca ayat-ayat Allah adalah ciri orang-orang yang mendapat anugerah Allah Swt. yang akan digabungkan dengan para Nabi, para shiddiqin, para syuhada dan para shalihin. Berulang kali Al-Quran menyuruh menghadapkan hati kita ketika membaca Al-Quran sampai kita menangis karena mendengarkannya. Sedangkan orang-orang yang durhaka, boro-boro menangis, malah mencemoohkan. Al-Qurthubi mengungkapkan di dalam tafsirnya, ketika sampai kepada ayat, "Apakah ketika kalian mendengarkan Al-Quran itu kalian takjub? Tapi kalian tertawa-tawa dan tidak menangis" bahwa, "Ini adalah teguran Allah ketika mendengarkan Al-Quran dibacakan kepada mereka. Kemudian, mereka mendustakan dan mencemoohkan Al-Quran itu, dan tidak mau menangis (ketika membaca dan menelaahnya)."


Mari kita mulai belajar menghayati isi Al-Quran sampai berlinang air mata atau ketika kita membaca Al-Quran. Kemudian, apa kiat-kiatnya supaya kita bisa sampai kepada tangisan ketika membaca Al-Quran? Pertama, kita harus belajar bersikap takzim, bersifat sopan ketika menghadapi Al-Quran. Kita agungkan Al-Quran. Kita harus mengagungkan dan memuliakan Al-Quran ini.


Saya menganjurkan Anda untuk berwudhu ketika akan membaca Al-Quran. Saya dulu punya kawan. Ia menganggap berwudhu sebelum membaca Al-Quran itu dhaif haditsnya. Jadi kata dia, wudhu sebelum membaca Al-Quran itu hukumnya bid'ah. Yang lebih penting ̶kata dia ̶ bukan bacaan Al-Qurannya akan tetapi hukum-hukum yang ada di dalam Al-Quran itu sendiri. Al-Quran itu mulia karena hukum-hukumnya kita praktikkan. Kemudian, dia membawa Al-Quran ke mimbar, lalu di hadapan para jamaah ia merobek-robek Al-Quran itu. Kata dia, "Ini hanya kertas, yang penting itu hukum-hukumnya." Jamaah marah dan dia hampir dibunuh ramai-ramai. Orang itu pun berlari kepada saya. Dia meminta perlindungan saya. Ini kejadian puluhan tahun yang lalu. Dia keliru sih. Betul hukum-hukumnya harus kita tegakkan, betul bahwa maknalah yang paling penting. Akan tetapi, tempat menyimpan makna itu harus kita agungkan dan kita muliakan pula.


Ulama-ulama yang saleh, di mana pun mereka membaca Al- Quran, mereka cium Al-Quran itu sebelum maupun sesudah membaca Al-Quran. Jadi, ketika menghadapi Al-Quran, kita membawa hati yang penuh penghormatan kepada Dia yang berfirman di dalam ayat suci itu. Kita membayangkan diri berhadapan dengan Allah Swt. Kita menghadirkan Allah Swt.


Saya pernah menceritakan tentang seorang pemuda yang mau mulai belajar tasawuf, mau mengungkap cahaya ilahi. Jadi dia datang menemui gurunya. Gurunya memberikan pelajaran yang pertama. Pemuda itu rajin shalat malam dan pada shalat malam tentu dia bacakan ayat-ayat Al-Quran. Kata gurunya, "Nanti kalau kamu shalat malam, bacalah Al- Quran dan bayangkan aku guru kamu mendengarkannya di hadapanmu." Biasanya dia selalu khatam. Setiap kali shalat malam dia khatam Al-Quran, biasanya begitu. Akhirnya dia mulai membaca dan menghadirkan sosok gurunya. Esoknya dia melapor, "Guru, saya hanya bisa sampai satu juz saja, saya tidak bisa menyelesaikan seluruh Al-Quran."


Kata gurunya, "Sekarang bayangkan oleh kamu, nanti ketika kamu shalat malam dan membaca ayat Al-Quran, bayangkan kamu membaca di hadapan para sahabat Nabi." Besoknya, dia melapor lagi bahkan satu juz pun tidak selesai. Pada hari yang ketiga ia dianjurkan untuk melakukan lagi shalat malam dan membayangkan bahwa di hadapannya ada Rasulullah Saw. mendengarkan bacaan Al-Quran. Lalu, keesokan harinya, anak itu melapor kembali, "Hampir saja Al-Fatihah pun tidak selesai." Yang terakhir dia dianjurkan untuk membayangkan di hadapan nya Allah Swt. mendengarkan bacaan Al-Quran. Padahal, kita semua tahu kalau kita shalat, kita berhadapan dengan Allah Swt. Keesokan harinya dia tidak datang lagi untuk melapor. Gurunya mendengar kabar bahwa dia jatuh sakit. Ketika dikunjungi, murid itu berkata bahwa semalam dia hanya sampai kepada "lyyala na'budu wa iyyaka nasta'in..." lalu dia pingsan, dia tidak sanggup lagi menanggungnya. Akhirnya, dia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Tampaknya, dia tidak sanggup lagi menanggung kehadiran Allah Swt. pada waktu membaca Al-Quran. Atau mungkin pemuda itu terlalu cepat ingin merasakan kehadiran Allah Swt. atau gurunya terlalu cepat membimbing dia dan jiwanya tidak sanggup menanggungnya.


Itu para sufi jaman dulu. Untuk jaman sekarang ada kursus shalat khusuk dengan membayar satu juta setengah, dalam satu hari beres. Kalau memang benar beres dalam satu hari, para peserta akan meninggal dunia sama seperti pemuda itu. Ada juga orang di Jakarta mengajarkan bahwa dalam satu minggu kita bisa melihat Allah sampai pada tahap makʼrifat. Biayanya tidak mahal, hanya enam ratus ribu. Saya pun pernah ditawari untuk bisa melihat Allah dengan cepat, akan tetapi saya menolak tawaran itu. Bukan saya enggan mengeluarkan uang enam ratus ribu tetapi saya takut bernasib sama seperti pemuda itu. Untuk manusia seperti kita, hal itu terlalu jauh.


Kiat kita sekarang, paling tidak kita menghadirkan hati ketika membaca Al-Quran. Jangan dulu membayangkan Allah hadir di hadapan kita atau bayangkannya sedikit saja. Atau mungkin lakukanlah seperti yang dilakukan Iqbal. Setiap bada Subuh ia selalu membaca Al-Quran. Bapaknya selalu menganjurkan Iqbal untuk membaca Al-Quran. Saat itu, bapaknya selalu berkata, "Bacalah Al-Quran," seakan-akan dia belum membaca Al-Quran. Kata-kata itu selalu diucapkan, sampai Iqbal kecil penasaran, mengapa bapaknya selalu berkata seperti itu. Bapaknya pun menjawab, "Bacalah Al-Quran seakan-akan Al-Quran itu turun hanya untuk kamu." Dengan kata lain, bayangkanlah bahwa Al-Quran itu sedang berdialog dengan kamu, sedang berbicara dengan kamu.


Jadi, kita bisa membaca Al-Quran. Anda pun bisa membaca terjemahannya, lalu membayangkan kalau ayat-ayat itu ditunjukkan kepada Anda. Misalnya, Anda sampai pada ayat "... orang-orang kafir itu adalah orang-orang yang diberi peringatan atau tidak diberi peringatan sama saja mereka tidak mau beriman." Bayangkanlah kalau ayat itu adalah teguran bagi kita. Mendapat nasihat ataupun tidak, kita sama saja tidak berubah. Kita dengar pengajian atau tidak, tetap saja begitu. Bayangkan bahwa itu teguran untuk kita. Insya Allah setiap ayat itu akan memasukkan keharuan yang mendalam. Itu cara supaya pembacaan Al-Quran pada bulan Ramadhan meningkat lebih daripada Ramadhan sebelumnya.


Saya sangat tidak menganjurkan orang yang berusaha membaca Al-Quran dengan lagu-lagu supaya orang yang mendengarnya itu menangis. Bukan karena mereka paham tetapi karena ketularan imamnya. Imamnya menangis bohongan, makmumnya menangis beneran. Saya pernah ikut shalat Jumat di pinggiran jalan di Bandung. Tiba-tiba Imamnya itu saya dengar membaca Al-Quran dengan nada memelas. Makmum banyak yang menangis, saya tidak. Saya pikir Abdullah Ibn Mas'ud tidak membaca Al-Quran seperti itu karena bacaannya sudah merusak makhraj dan tajwid. Sekali lagi yang menjadi sunnahnya bukan menangisnya itu tetapi karena apa ia menangis. Yang menjadi sunnah itu bukan karena Rasulullah menangis tetapi pada waktu seperti apa beliau menangis. JR wa mā taufīqī illā billāh, 'alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb


Allâhumma shalli 'alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ'atahum


***

KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).

16 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page