top of page
  • Writer's pictureAkhi

Dari Karena Allah Menuju Untuk Allah


Rasulullah Saw. pernah ditanya sahabatnya berkenaan dengan tafsir Al-Quran Surah Al-Kahfi ayat 110: Dan siapa yang mengharapkan akan menemui Tuhannya, hendaklah ia mengerjakan pekerjaan yang baik dan janganlah mempersekutukan dalam menyembah Tuhannya dengan siapa pun. Ia menjelaskan, “Siapa saja yang shalat karena ingin dilihat manusia ia sudah musyrik .... Siapa saja yang mengerjakan amal yang diperintahkan Allah tetapi mengharapkan penghargaan dari manusia ia sudah musyrik” (Bihar Al-Anwar 72: 297).


Inilah bentuk kemusyrikan yang sangat tersembunyi; lebih tersembunyi dari semut hitam di atas batu hitam pada malam yang gelap. Jarang sekali manusia selamat dari padanya. Syadad bin Aws menemukan Rasulullah Saw. sedang menangis. "Ya Rasul Allah, apa yang membuatmu menangis?" tanya Syadad. Nabi yang mulia berkata, "Aku cemas sekali memikirkan kemusyrikan yang akan menimpa umatku. Mereka tidak menyembah berhala, matahari, atau bulan; tetapi mereka melakukan riya' dengan amal-amal mereka" (Ihya ‘Ulum Al-Din 3: 387).


Riya' telah kita artikan sebagai beramal bukan karena Allah. Riya' dalam pengertian ini masih mudah kita deteksi dan lebih mudah kita obati. Yang lebih sukar kita amati adalah riya' dalam arti beramal bukan untuk Allah. Riya' yang pertama mengubah Mukmin menjadi munafik. Riya' kedua mengubah Mukmin menjadi musyrik.


Untuk siapakah Anda beramal? Bila jawaban Anda untuk memperoleh kesenangan (ridha) manusia, Anda musyrik. Bila untuk mencapai ridha Allah, Anda orang yang ikhlas. Tidak sulit bagi Anda menghindari amal yang ditujukan untuk memperoleh ridha orang lain. Bersamaan dengan kedewasaan psikologis dan kepercayaan diri yang tinggi, Anda tidak merasa perlu lagi dengan pujian atau penghargaan orang lain. Anda sudah melakukan apa saja semata-mata karena Allah memerintahkannya, tidak peduli apa pun reaksi orang lain terhadap perbuatan Anda. Anda tetap memberikan pertolongan kepada orang yang menderita kesulitan, tidak jadi soal apakah orang itu berterima kasih atau tidak, bahkan walaupun orang itu membalas susu dengan air tuba. Anda bergeming dari keyakinan Anda, sekalipun orang-orang mencemooh, mengejek, bahkan mengafirkan Anda.


Anda telah selamat dari upaya mencari keridhaan orang lain; tetapi belum tentu Anda selamat dari upaya mencari keridhaan diri Anda sendiri. Anda boleh jadi masih beramal demi kepentingan diri Anda sendiri. Amal Anda sudah karena Allah, tetapi belum untuk Allah. Keikhlasan Anda baru mencapai tingkat elementer karena Allah; belum mencapai tingkat pertengahan (intermediate) untuk Allah; dan tentu saja masih jauh dari tingkat maju (advanced) kepunyaan Allah. (Seperti Anda ketahui "lillah" berarti karena Allah, untuk Allah, dan kepunyaan Allah).


Beramal untuk kepentingan Allah, bukan untuk Dia. Ibn 'Arabi, sufi besar yang dikenal sebagai khatamul-awliya atau Syaikh Al-Akbar, menyebutkan bahwa dalam tahap ini Anda masih terbenam dalam La Huwa (bukan Dia). Bila Anda memberikan pertolongan supaya Anda satu saat ditolong Allah ketika berada dalam kesulitan, Anda beramal untuk keselamatan Anda. Bila Anda mendawamkan zikir dan wirid tertentu supaya Allah memberikan kekuatan gaib kepada Anda, Anda beribadat untuk kekuatan Anda. Bila Anda menjalankan riyadhah batiniah dengan memasuki atau menjalani tarekat --supaya kasyaf tersingkap, hijab terbuka, sehingga Anda masuk ke alam malakut --Anda berbuat untuk memuaskan keinginan Anda. Dalam semua contoh itu, Anda masih belum bisa meninggalkan rumah Anda, yakni, ego Anda.


"Definisi yang luas tentang syirik dalam ibadah, yang meliputi berbagai tingkatnya, adalah memasukkan ridha siapa pun selain Allah, baik itu diri sendiri maupun orang lain. Bila dilakukan untuk kesenangan orang lain, amal itu adalah syirik lahiriah yang disebut riya' dalam fiqih. Jika dilakukan untuk kesenangan sendiri, ia adalah syirik batiniah yang tersembunyi. Yang ini pun membatalkan ibadah menurut pandangan para ahli makrifat dan membuat ibadah itu tidak diterima Tuhan.


"Contoh-contohnya adalah melakukan shalat malam untuk meningkatkan penghidupan, memberikan sedekah untuk keselamatan dari bencana atau mengeluarkan zakat supaya kekayaan bertambah; yakni, ketika orang melakukan perbuatan ini untuk memperoleh hal-hal ini dari rahmat-Nya. Walaupun ibadah-ibadah itu sah dan orang yang melakukannya dianggap telah melaksanakan kewajiban dan memenuhi persyaratan syariat, ibadah-ibadah itu bukanlah menyembah Allah Swt., bukan juga ditandai dengan keikhlasan dan kemurnian tujuan. Ibadat-ibadat semacam ini ditujukan untuk tujuan-tujuan duniawi dan memuaskan hawa nafsu. Karena itu tindakan orang tersebut tidak benar adanya.


"Begitu pula, jika ibadah dilakukan karena takut neraka dan merindukan surga, ibadah itu bukan untuk Allah dan tidak didasarkan pada niat yang ikhlas, kita dapat mengatakan bahwa ibadah seperti itu hanyalah untuk setan dan diri sendiri. Ridha Allah tidak menjadi niat orang yang melakukan ibadah tersebut sehingga ibadahnya dihitung syirik. la telah menyembah berhala besar, induk dari segala berhala, berhala dari hawa nafsunya sendiri" (Imam Khomeini, Al-Arba'un Haditsan).


Seperti telah disebutkan di muka, sangat sedikit orang selamat dari syirik ini. Hanya karena rahmat Allah juga, Dia memberikan ampunan (mudah-mudahan) kepada hamba-hamba-Nya yang belum mencapai tingkat ikhlas untuk Allah. Ali bin Abi Thalib k.w. berkata, "Ada kaum yang menyembah Allah karena mengharapkan pahala. Inilah ibadat pedagang. Ada kaum yang menyembah Allah karena takut. Inilah ibadat budak. Dan ada kaum yang menyembah Allah karena bersyukur kepada-Nya. Inilah ibadat orang merdeka" (Syarh Nahj Al-Balaghah 19: 68).


Tanda-Tanda Ikhlas untuk Allah

Ibadat untuk Allah lahir karena rasa syukur, rasa terima kasih, rasa berutang budi kepada-Nya. Yang mendorongnya untuk mengabdi kepada Allah bukan lagi keinginan akan pahala atau ketakutan akan siksa, tetapi cinta kepada-Nya. Cinta ini tumbuh bersamaan dengan kesadaran betapa banyaknya anugerah Allah yang telah ia terima. Apa pun yang ia lakukan tidak akan sebanding dengan apa yang telah ia peroleh.


Pernahkah Anda mendengar seorang istri yang berbulan-bulan menunggu kehadiran suaminya? Ketika suaminya datang, ia berusaha berkhidmat padanya, dengan melakukan apa pun yang diperintahkannya. la lakukan semuanya dengan hati yang bahagia. Tidak terpikir padanya keinginan untuk memperoleh upah atau ketakutan akan siksaan. Seluruh perhatiannya terpusat kepada kebahagiaan suaminya. Ia hanya memikirkan apakah perilakunya menyenangkan suaminya atau tidak; bukan apakah ia akan diberi uang atau diancam pukulan. Satu-satunya yang ia takuti ialah kehilangan suaminya lagi. Inilah pengkhidmatan istri yang sejati; pengkhidmatan yang lahir karena cinta!


Dari mana cinta yang tulus itu datang? Dari rasa syukur. Dari rasa terima kasih yang mendalam. Dari kesadaran akan segala kebaikan suaminya. la tahu bahwa suaminya telah memberinya kebahagiaan yang tidak lagi dapat ia balas. Di hadapan suaminya, ia merasa tidak lagi sanggup melakukan apa pun yang sepadan dengan apa yang dilakukan suaminya kepadanya. Bila kini ia menjerang air pada waktu dini hari untuk mandi suaminya, atau bekerja keras mempersiapkan makanan kesenangan suaminya, ia tidak mengharapkan upah yang lebih tinggi. Ia hanya ingin membuat kekasihnya bahagia.


Seperti istri itu terhadap suaminya, seorang hamba yang ikhlas berbakti kepada Tuhan yang dicintainya. Ia tidak lagi menghiraukan ganjaran dan siksaan. Seorang penyair Persia menulis:


Dar zamir-e man migonjad be ghair dust-e kas,

har do 'alam ro be dosyman deft ke ma ro dust bas

Dalam hati kami tidak ada tempat bagi selain Kekasih. Berikan kedua dunia kepada musuh, bagi kami cukuplah Sang Kekasih.


Perhatikan ibadah yang Anda lakukan. Anda telah mencapai tingkat ikhlas untuk Allah bila Anda menghabiskan sebagian besar dalam zikir dan shalat; dan Anda tidak merasakan lelah atau mengantuk. Bahkan Anda tersentak karena azan subuh telah terdengar lagi. Sebentar lagi siang datang, dan Anda akan kehilangan kenikmatan beraudiensi dengan Allah. Atau Anda senang mengenyangkan orang yang lapar, memberi pakaian kepada orang telanjang, menghibur orang yang kesusahan, karena di situ Anda "menemukan" Allah Swt. Akan selalu terngiang di telinga Anda panggilan Ilahi, "Carilah Aku di tengah-tengah orang yang hancur hatinya" (Hadis Qudsi).


Nabi Muhammad Saw. tentu saja contoh utama hamba Allah yang beribadatnya hanya untuk Allah. Aisyah bercerita bagaimana Nabi Saw. bangun di tengah malam. Ia terus-menerus beribadat, sambil tidak henti-hentinya menangis. Ketika sahabat bertanya mengapa Nabi harus beribadat seperti itu? Bukankah Allah telah mengampuni seluruh dosanya, yang dahulu maupun yang kemudian. Nabi Saw. berkata, "Afalam akun 'abdan syakura" (Bukankah aku belum menjadi hamba yang bersyukur).


Salah seorang cucu Nabi Saw. digelari Zain Al-'Abidin (Penghias Ahli Ibadat) dan Al-Sajjad (Yang Banyak Sujud). la mewariskan kepada kita doa-doa yang panjang dan me nyentuh hati. Salah satu dari doanya kita kutipkan untuk mengakhiri tulisan ini.


Tuhanku, runtunan karunia-Mu telah melengahkan aku untuk benar-benar bersyukur kepada-Mu.

Limpahan anugerah-Mu telah melemahkan aku untuk menghitung pujian atas-Mu.

Iringan ganjaran-Mu telah menyibukkan aku untuk menyebut kemuliaan-Mu.

Rangkaian bantuan-Mu telah melalaikan aku untuk memper banyak pujaan pada-Mu.

Ilahi, besarnya nikmat-Mu mengecilkan rasa syukurku.

Memudar di samping limpahan anugerah-Mu tak terhingga,

sehingga kelu lidahku menyebutkannya.

Karunia-Mu tak terbilang sehingga lumpuh akalku memahaminya.

Bagaimana mungkin aku berhasil mensyukuri-Mu,

karena rasa syukurku pada-Mu memerlukan syukur lagi.JR


***

KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).

38 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page