top of page
  • Writer's pictureAkhi

Derita Karena Kesenangan


Nico Frijda, seorang peneliti emosi dari Belanda, berkata, “Terus menerus kesenangan akan habis juga... Kesenangan selalu bergantung pada perubahan dan lenyap setelah terus menerus dipuaskan.” Situasi lenyapnya kenikmatan menimbulkan acedia. Yang paling berat, setelah permuasan kesenangan timbul kesedihan. Plato pernah berkata, “Ajaib benar hal yang orang sebut sebagai kesenangan! Dan betapa aneh hubungannya dengan apa yang dianggap sebagai lawannya, derita! Ketika yang satu datang, yang lainnya ikut”.


Untuk menyenangkan kamu, ambillah zat adiktif yang keras, seperti cocaine. Cocaine membanijri sel-sel otak dengan neurotransmitter yang membuat kamu fly. Tetapi otak akhirnya mengurangi pasokan neurotransmitter-nya sendiri. Ketika pengaruh obat itu hilang, kamu akan mengalami depresi. Harga yang harus dibayar dengan meloncatnya kesenangan adalah jatuh ke dalam kesedihan. Ini mendorong kamu untuk menggunakan lagi drug dengan dosis yang lebih tinggi agar merasa enak lagi (fenomena yang disebut drug tolerance). Makin banyak dosis yang kamu makan, makin berat: kepedihan kamu sesudahnya. Richard Solomon, peneliti psikologi dari Univeristy of Pensylvania, menyebut gejala ini sebagai opponent process: Emosi akan memicu emosi yang berlawanan.


Euforia karena drug akan memicu depresi. Kesenangan terus menerus akan melahirkan secara tiba-tiba perasaan sedih yang tidak jelas asal-usulnya. Sebaliknya, penderitaan yang terus menerus akan memicu perasaan sangat senang. Berakit-rakit ke hulu, bersenang-senang kemudian, Solomon menemukan teori emotions-triggeropposing emotions inl pada binatang dan manusia, dengan catatan kecil yang sangat penting: Ini hanya berlaku untuk kesenangan atau penderitaan tubuh.


Jika kesenangan indrawi tidak menjamin kita untuk bisa meraih kebahagiaan, dan bahkan bisa melahirkan penderitaan, kesenangan apakah yang harus kita cari? Menurut para psikolog, kesenangan indrawi ini berasal dari luar diri kita, Manisnya gula bukan datang dari kita, tetapi dari gula itu sendiri. Kenikmatan kita dipenuhi oleh ganjaran yang datang dari luar. Inilah -sekali lagi- yang disebut sebagai ganjaran ekstrinsik. Kebahagiaan — jika mengandalkan kesenangan indrawi- akan sangat rentan dan sulit dipertahankan untuk waktu yang lama. “Gluck und Glas, wie bald bricht das.” kata orang Jerman. Kebahagiaan dan kaca, betapa mudahnya pecah.!


Untuk mencari kesenangan yang tidak mudah pecah, carilah macam-macam kesenangan jiwa —kesenangan estetik, kesenangan empatik, atau kesenangan ruhaniah. Mudah-mudahan cerita Zawawi Imran (untuk terakhir kalinya kita kutip dengan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada beliau dari seorang muridnya yang jauh), kita bisa menemukan kesenangan yang abadi.


Seorang ustadz yang sering berceramah di kota pulang ke desanya. la memang sudah sering mengisi pengajian di hotel-hotel dan mesjid di kota- kota besar. Tentu saja ia membawa oleh-oleh uang buat anak isterinya. Tetapi ia tidak lupa kepada manusia-manusia yang hidup di kanan kirinya. Ia selalu membagi-bagikan sebagian uangnya kepada fakir miskin, baik itu famili maupun tetangganya.


Pada suatu malam, ia mengisi acara pengajian di desa sebelah, Jamaahnya kebanyakan terdiri dari orang-orang ekonomi lemah, Ketika ia akan pulang, takmir mesjid menyampaikan tanda terima kasih berupa amplop berisi uang. la menolak Keras.


“Mohon uang ini diterima, jangan ditolak, Nanti jamaah tersinggung karena uang ini amat sedikit. Ini uang halal. Sebab jamaah kita tak ada kesempatan untuk korupsi. Mereka adalah penyabit rumput, penyadap nira siwalan, buruh harian, tukang batu, petani kecil dan lain-lain. Uang ini adalah hasil kucuran keringat mereka. Hargailah sebagai ikatan persaudaraan sesama musim.”


Hati sang ustaz gemetar mendengar ucapan itu. la tak kuasa menolak. Terpaksa ia terima amplop dengan penuh rasa haru, Kemudian ia pulang dengan perasaan yang lain dari yang lain.


Semalam penuh ia tak bisa tidur memikirkan pemberian orang-orang Kecil itu. Keesokan harinya ia pergi ke pasar membeli baju batik sederhana dengan uang pemberian tersebut.


Sejek itu, tiap akan mengisi ceramah di mana-mana, baju itulah yang ta minta dipersiapkan kepada isterinya. Sampai pada suatu ketika isterinya bertanya:


"Kenapa baju ini yang paling sering engkau pakai, padahal kainnya tidak bagus dan coraknya biasa- biasa saja?"


“Baju ini sangat istimewa bagiku. Ini merupakan pemberian fakir miskin di desa sebelah. Bila aku memakai baju ini, tubuhku bagaikan berselimut kasih sayang mereka yang tercelup sibgha Allah. Lalu aku ingin senyumku menjadi bagian dari senyum mereka dan aku ingin air mataku senapas dengan air mata mereka."


KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).

70 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page