Akhi
Dewi Filsafat : Mengubah Sudut Pandang (reframing) 2
DAHULU, di Romawi, ada seorang bernama Anicius Boethius yang besar dalam keluarga aristokrat kaya. Ia menikah dengan putri aristokrat itu. Anicius hidup kira-kira tiga puluh tahunan sebelum Rasulullah lahir.
Saat itu, Anicius menduduki jabatan tertinggi, yaitu sebagai konsul, berkat kecerdasan dan kejujurannya. Jabatannya itu ia manfaatkan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat sampai kemudian dituduh berkhianat kemudian dipenjarakan. Akhirnya, ia tewas dieksekusi. Kelak, Katolik Roma mengangkatnya menjadi santo, orang yang disucikan. Saat dalam penjara itu, ia merenung, kesalahan apa yang ia lakukan hingga harus dibui, padahal pengabdiannya sebagai konsul ia curahkan untuk kepentingan rakyat. Selama dibui itu, ia juga menulis sebuah buku yang kemudian menjadi karya masterpiece-nya berjudul The Consolation of Philosophy.
Dalam buku itu, Anicius menulis, seorang perempuan sangat cantik mendatanginya, lalu berkata, "Dulu, saat keberuntungan memelukmu, kau tak sadar bahwa dunia selalu berubah. Pada saatnya, pelukannya pasti akan terlepas. Tidakkah kau tahu, keindahan musim semi akan segera undur dan berganti musim panas?! Bukankah alam menyediakan angin sepoi-sepoi basah yang mengantarkan para nelayan ke laut dan pada saat yang sama ia juga bisa mengembuskan badai dan topan?!” Anicius menyebut, perempuan itu adalah Dewi Filsafat. Kepada Anicius, Dewi itu juga bercerita bahwa apa yang terjadi pada Anicius hanyalah pengulangan sejarah masa lalu. Jauh sebelumnya,. Socrates juga mengalami hal yang kurang lebih sama, yaitu diracun oleh bangsanya sendiri.
Jadi, Dewi Filsafat itu me-reframing pola pikir Anicius saat dalam penjara itu, dengan menceritakan kisah-kisah masa lalu, agar Anicius tak menyesali apa yang terjadi.
Buku itu menjadi pegangan para pendeta Katolik. Jika sedang dirundung duka, mereka membaca buku tersebut yang memang berisi “hiburan filsafat”.
Jadi, sebetulnya, kita ini selalu berfilsafat. Ketika berusaha mencari atau memberi makna di setiap peristiwa yang terjadi, kita sedang berfilsafat. Tak sedikit orang yang mengharamkan filsafat. Tapi, tidak dengan saya. Sebab itulah saya pernah dianggap mengajarkan kesesatan. Saya langsung melakukan reframing. Ah, barangkali orang-orang itu sebetulnya tak paham filsafat. Jadi, saya tak terganggu dengan anggapan-anggapan seperti itu.
SELAIN reframing, ada pula teknik lain mengubah keadaan pikiran dan perasaan, yaitu mengonsumsi obat-obatan dan ramuan-ramuan tertentu.
Ada seorang psikolog di Amerika yang selalu berandai-andai jika suatu saat ia dipecat dari tempatnya bekerja. Lama ia memikirkan hal itu hingga membuatnya cemas. Ia menjadi mudah tersinggung dan lebih sensitif. Jika mendapat kritikan dari mahasiswanya, akan menjadi beban pikiran yang membuatnya sulit tidur. Ia sadar dengan apa yang terjadi. Lalu, ia mengonsumsi obat froska untuk menghilangkan kecemasannya. Setelah tiga minggu mengonsumsi obat itu, kecemasannya pun hilang. Tak lagi mudah tersinggung dan lebih tenang pembawaannya. Hari-harinya selalu di awali dengan perasaan tenang. Namun, yang menjadi masalah selanjutnya adalah efek samping obat itu. Ia menjadi pelupa. Banyak hal yang terlupakan, termasuk nama-nama mahasiswanya. Menyadari demikian, ia pun berpikir, lebih baik menderita stres daripada hidup tenang tapi hilang ingatan.
Obat-obat kimiawi memang cepat bereaksi. Namun, selalu tak steril dari efek samping. Dan efek samping yang berat adalah ketergantungan terhadap obat itu. Jika berhenti mengonsumsi, penyakit akan kumat. Bahkan, mungkin akan lebih parah daripada sebelumnya. Nah, yang tanpa efek samping tentu saja cara yang pertama, yaitu reframing. Memang, itu perlu proses, latihan terus-menerus, istikamah, tidak instan seperti reaksi obat-obatan kimiawi. []
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).