Akhi
Diam Itu Emas
Salah satu praktek yang harus ditempuh para sufi dalam perjalanan mereka mendekati Tuhan disebut dengan Al-Shumt. Dalam praktek ini, seorang sufi berusaha mengendalikan lidahnya dengan membiasakan diri untuk banyak diam dan mengurangi pembicaraan.
Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali menceritakan seorang saleh yang mempunyai kebiasaan untuk bicara hanya setelah salat Isya saja. Kebiasaan ini ia kerjakan selama lebih dari empat puluh tahun. Jika tidak ada hal yang sangat perlu untuk ia bicarakan, ia lebih memilih untuk diam. Dengan ini ia mengurangi pembicaraannya hampir pada tingkat nol.
Menurut Sayyid Haidar Amuli, jika kita menutup mulut untuk tidak bicara, itu berarti kita mengizinkan hati kita untuk bicara lebih banyak. Sebenarnya kita memiliki hati yang selalu mengajak kita berbicara. Salah satu pembicaraan hati adalah mengecam perilaku-perilaku kita yang kurang baik. Seperti disebutkan dalam Al-Quran: Sungguh aku bersumpah demi hati yang selalu mengecam. (QS Al-Qiyamah: 2)
Hati bisa berbicara. Ketika mulut seseorang terlalu banyak bicara, ia tidak akan dapat mendengar suara hati nuraninya. Suara hatinya tersumbat oleh riuhnya suara-suara mulutnya sendiri.
Tuhan memberikan isyarat-isyarat gaib-Nya kepada kita melalui hati kita. Jika kita terlalu banyak bicara, isyarat-isyarat gaib itu akan terhalang. Dalam Al-Quran, Allah swt menunjukkan kemurkaan-Nya kepada orang-orang yang berbicara: Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu membicarakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (QS. Al-Shaf: 3) Meskipun demikian, dalam Al-Quran juga disebutkan bahwa kemampuan bicara adalah fitrah manusia yang diberikan oleh Allah seperti dinyatakan dalam surat Al-Rahman: Tuhan Yang Mahapemurah, Yang telah mengajarkan Al-Quran. Dia menciptakan manusia dan mengajarnya pandai berbicara. (QS. Al-Rahman: 1-4)
Masih dalam Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali mengelompokkan pembicaraan kepada empat macam. Pertama, pembicaraan yang hanya mengandung bahaya saja dan tidak memiliki manfaat. Kedua, pembicaraan yang mempunyai manfaat dan tidak di dalamnya tidak mengandung bahaya. Ketiga, pembicaraan yang selain ada manfaatnya juga ada bahayanya. Keempat, pembicaraan yang tidak mengandung bahaya dan tidak memiliki manfaat.
Pembicaraan yang banyak mengandung bahaya dan tidak memiliki manfaat jelas harus kita hindari. Kita pun harus menghindari pembicaraan yang tidak ada manfaatnya dan tidak ada bahayanya. Pembicaraan seperti itu adalah pembicaraan yang berlebihan. Nabi saw bersabda, “Manusia yang paling baik adalah manusia yang memberikan kelebihan hartanya dan menahan kelebihan omongannya.”
Jenis pembicaraan yang ketiga, yaitu pembicaraan yang selain ada manfaatnya juga ada bahayanya itu juga lebih baik kita hindari. Sesuai satu dalil dalam Ushul Fiqh yang menyatakan bahwa bahwa bila di dalam satu unsur terdapat bahaya sekaligus manfaat, maka unsur itu harus kita tinggalkan. Misalnya, di dalam rokok terkandung manfaat dan bahaya sekaligus. Yang harus lebih dahulu kita perhatikan adalah bahaya yang terdapat dalam rokok itu. Karena itu, kita tinggalkan rokok. Demikian pula halnya dengan minuman keras. Al-Quran bercerita tentang manfaat yang ada dalam minuman keras namun bahaya yang terdapat di dalamnya lebih besar: Katakanlah pada keduanya itu (khamar dan judi) terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya. (QS. Al-Baqarah: 219)
Imam Al-Ghazali hanya memperbolehkan satu jenis pembicaraan saja; yaitu pembicaraan yang hanya memiliki manfaat dan tidak mengandung bahaya.
Keutamaan Diam
Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang diam, dia pasti selamat.” Sementara pada waktu lain, Rasulullah saw berkata, “Diam itu kearifan tetapi sangat sedikit orang yang melakukannya.”
Hadis lain yang diriwayatkan dari Abdullah bin Sufyan menceritakan seseorang yang datang menemui Rasulullah saw. Orang itu meminta, “Wahai Rasulallah, ceritakan kepadaku tentang Islam, yang setelah engkau tiada aku tidak akan bertanya lagi kepada siapa pun.”
Nabi menjawab, “Katakanlah: Kamu beriman kepada Allah lalu beristiqamahlah kamu.”
Orang itu bertanya lagi, “Ya Rasulallah, dari hal apa aku harus berhati-hati?”
Rasulullah saw menjawab dengan isyarat tangan yang menunjuk kepada lidahnya.
Uqbah bin Amir pernah bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulallah, apakah arti dari keselamatan itu?”
Nabi saw menjawab, “Kendalikanlah lidah kamu; jadikanlah rumahmu sebagai tempat yang dapat mendatangkan kebahagiaan dan ketentraman dengan kehadiran orang-orang saleh;, dan menangislah akan kesalahan kamu.”
Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang ingin menjaminkan kepadaku apa yang ada di antara kedua gerahamnya dan apa yang ada di antara kedua kakinya, aku jaminkan bagi dia surga.”
Hadis yang lain meriwayatkan Rasulullah saw berkata, “Tidak akan lurus iman seseorang sebelum lurus hatinya dan tidak akan lurus hati seseorang sebelum lurus lidahnya. Dan tidak pernah masuk surga seseorang yang tetangganya tidak aman dari gangguan lidahnya.”
Orang yang lidahnya senang mengganggu tetangganya diharamkan masuk surga. Di zaman Nabi, suatu hari dilaporkan kepada Nabi perihal seorang perempuan yang kerjanya setiap hari berpuasa dan setiap malam salat tahajud, tetapi perempuan ini sering menyakiti hati tetangganya dengan lidahnya. Rasulullah saw mengatakan, “Dia berada di neraka.”
Seorang Arab dari dusun pernah datang menemui Nabi saw seraya berkata, “Wahai Rasulallah, tunjukanlah aku kepada satu amal yang bisa memasukkan aku ke dalam surga.”
Nabi berkata, “Berikanlah makanan kepada yang lapar, berikanlah minuman kepada yang dahaga, perintahkan kebaikan, dan larang keburukan. Jika engkau tidak mampu melakukan itu semua, tahan lidahmu kecuali untuk yang baik saja.”
Sebuah hadis yang lain menyebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Amal yang paling ringan dilakukan tubuh kita adalah diam.”
Diam adalah satu-satunya amal yang bentuknya tidak sulit untuk dikerjakan, tetapi dalam prakteknya susah untuk dilakukan. Padahal, diam merupakan amal saleh. Dalam riwayat lain, Rasulullah berkata, “Selamatnya manusia adalah karena ia memelihara lidahnya. Ketergelinciran lidah lebih berbahaya daripada luka-luka di dalam tubuh.” Ketergelinciran lidah adalah kebinasaan yang paling berat.
Abdullah bin Masud berkata, “Demi Allah Yang tiada Tuhan kecuali Dia, tidak ada yang kita perlukan untuk kita penjarakan selama-lamanya selain lisan kita.”
Thawus Al-Yamani, salah seorang sufi besar, pernah berkata, “Lidahku adalah binatang buas. Kalau aku lepaskan dia, dia akan memakanku.”
Wahab bin Munabbih menyebutkan, “Wajiblah buat orang yang berakal untuk bertindak arif dalam mengetahui keadaan zamannya dan menjaga lisannya serta memperhatikan urusannya.”
Seorang tokoh sufi lain, Hasan Al-Bashri, berkata, “Belum sempurna agama seseorang sebelum dia menjaga lisannya.”
Dalam Nahjul Balaghah, Imam Ali berkata, “Al-lisan mizanul insan. Lidah itulah ukuran manusia.” Dalam riwayat lain, Imam Ali menyebutkan, “Lisan itu adalah penerjemah hati.”
Imam Ali juga berkata, “Betapa banyaknya darah tertumpah karena lidah; betapa banyaknya manusia yang binasa karena lidahnya; dan betapa banyaknya ucapan yang menyebabkan kamu kehilangan kenikmatan. Maka simpanlah perbendaharaan lidahmu sebagaimana kamu menyimpan perbendaharaan emas dan uangmu.”
Ucapan Imam Ali yang lain tentang hal ini adalah, “Kecelakaan manusia karena lidahnya dan keselamatan manusia terletak dalam pengendalian lidahnya.”
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).