Akhi
Disharmoni Keluarga, Mengapa Terjadi?
Ujian atau guncangan yang dihadapi keluarga, atau yang mengancam ketahanan keluarga sering karena adanya perubahan relasional-perubahan dalam pola hubungan antara anggota keluarga. Hubungan, seperti sudah saya jelaskan, adalah sebuah proses becoming bukan being, selalu berubah. Perubahan perubahan itu mengancam keluarga.
Setidaknya ada empat macam perubahan besar. Pertama, perubahan yang terjadi pada individu-individu yang terlibat dalam keluarga itu, baik pada suami atau pada istri. Yaitu perubahan jasmaniah yang memengaruhi juga ketahanan keluarga. Misalnya daya tarik istri mulai memudar, setelah lewat usia 45 tahun. Kemampuan seksual seorang suami mulai berkurang, pada saat kemampuan seksual istri justru mulai naik. Perubahan fisikal seperti ini memengaruhi pola hubungan di antara mereka.
Dr. Achmad Tafsir pernah bercerita; orang sering meremehkan masalah seksual dalam keluarga, padahal banyak krisis keluarga sebetulnya karena masalah-masalah seksual yang tidak diselesaikan. Dua-duanya tidak terbuka. Dalam perkembangan waktu, masalah-masalah itu kemudian berakumulasi, dan akhirnya meledak menjadi krisis keluarga. Ada sikap-sikap ekstrem terhadap seks itu, yang tidak seluruhnya benar. Mungkin itulah sebabnya seminar-seminar tentang seks sekarang ini, seperti yang biasa diberikan oleh Dr. Naek L. Tobing, menarik perhatian ibu-ibu (dan bapak-bapak) yang sudah berumah tangga cukup lama.
Menurut informasi, seminar tentang seks di Jakarta, sangat laris. Salah satu dari panitia seminar itu pernah mengundang saya. Yang menarik bagi saya, pesertanya kebanyakan ibu-ibu. Dalam seminar seks itu, saya berpikir apakah mereka-ibu-ibu-lebih banyak mengalami krisis kekecewaan ketimbang bapak-bapak? Saya tidak tahu.
Tetapi, mungkin itu terlalu ekstrem, meletakkan titik berat masalah kepada selera. Ekstrem yang lain adalah mengabaikan unsur seks sama sekali dan menganggap bahwa seks itu tidak penting. Ia punya pendapat, yang penting saling memahami. Dia lupa bahwa dalam keluarga, saling memahami perilaku seksual pun penting. Sebetulnya bagi kita, yang lebih baik adalah kadarnya. Islam itu memilih sikap pertengahan, khairul umur ausathuha. Paling tidak memilih sikap seperti itu, yaitu tanpa seks pun harus kita perhitungkan di dalam kehidupan keluarga.
Kedua, yang menjadi tantangan kita adalah unsur perubahan usia dari pihak-pihak yang terlibat dalam keluarga. Demikian juga perbedaan jenjang pendidikan, sering menjadi masalah. Misalnya ketika mereka menikah, si istri memiliki tingkat pendidikan yang sama dengan suami. Tapi selanjutnya si suami memperoleh kesempatan untuk mengembangkan pendidikannya. Sampailah mereka pada suatu posisi, ketika suami terus-menerus berkembang di dunia pendidikan sementara istrinya tetap pada proses tertentu-padahal sebetulnya dia juga memerlukan perubahan dalam budaya hubungan mereka dalam rational culture mereka. Bila tidak ada perubahan yang sama, terjadilah ancaman. Dengan demikian, masalah pekerjaan pun berpengaruh terhadap hubungan keluarga.
Ketika karier suami makin lama makin meningkat, suami lebih sering aktif di luar. Suami boleh jadi menjadi direktur dan memiliki sekretaris, atau menjadi dosen dan membimbing banyak mahasiswi, yang sudah pasti memiliki usia di bawah istri, atau menjadi idola yang dikejar-kejar perempuan dan sebagainya. Hal ini bisa jadi ancaman bagi keluarga tadi. Atau sebaliknya, bila istri mempunyai status sosial ekonomi yang lebih tinggi daripada suami, kemesraan keluarga juga terancam.
Ketiga, adanya perubahan pandangan hidup. Misalnya, ada satu keluarga yang sudah rukun, kemudian salah seorang di antara anggota keluarga itu masuk kelompok pihak yang satu. Atau misalnya, semula si istri sangat berkhidmat kepada suaminya, lalu ia mengalami perubahan kebiasaan. Misalnya, ia aktif di perkumpulan ibu-ibu, kemudian secara tidak langsung, ia menyerap norma-norma baru. Ia lebih bebas, lebih tegas dalam menyatakan pendapat, juga lebih banyak memerlukan waktu untuk diri sendiri. Dalam perkumpulan ibu-ibu itu, ia mempelajari banyak hal, yang akhirnya menyebabkan pandangan hidupnya berubah. Dahulu, menerima apa saja yang diberikan suami, sekarang dia tidak lagi. Dia membandingkan suaminya dengan suami ibu-ibu yang lain. Terjadilah perubahan pandangan hidup dalam keluarga.
Kasus lain, misalnya, karena ada perubahan dalam bidang ekonomi keluarga. Banyak keluarga tumbuh mesra ketika ekonominya pas-pasan, tapi mulai guncang justru ketika ekonomi mereka mulai bangun. Atau sebaliknya, ada keluarga yang hidup rukun ketika penghidupan mereka stabil, dan mulai guncang ketika ekonomi mereka bangkrut. Jadi, situasi ekonomi memengaruhi pola hubungan dalam ketahanan keluarga.
Keempat, adanya perubahan sosial. Pergeseran nilai di tengah-tengah masyarakat membutuhkan rekonstruksi peran. Istri semula bekerja hanya untuk membantu suaminya, tapi kemudian berkembang menjadi konglomerat. Istrinya menjadi pengusaha besar. Perubahan itu akan memengaruhi hubungan di dalam keluarga. Begitu pula perubahan situasi politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya, memengaruhi ketahanan keluarga.
Perubahan seperti itu, dalam hubungan keluarga kita, menimbulkan masalah atau tantangan terhadap ketenangannya. Ada jalan keluar, memang. Tetapi biasanya jalan keluar yang ditawarkan itu terlalu sederhana. Ada yang mengatakan pangkal dari ketenangan keluarga adalah iman. Ada pula yang menganjurkan agar memperbanyak zikir di tengah kehidupan keluarga. Keluarga akan tetap tentram dengan zikir karena ala bi zikrillahi tathmainnul qulub. Itu pemecahan yang terlalu sederhana. Begitu sederhana sehingga bisa dikatakan tidak memecahkan masalah. Boleh jadi suami mulai berzikir mengatasi guncangan di dalam keluarga dan mengatasi perubahan itu, namun paling tidak dia pun harus menganjurkan istrinya berzikir pula. Bila suami saja yang berzikir, dia sendiri yang tenteram, anggota keluarga yang lain malah makin gelisah. Untuk itu, dia harus mengubah pola hubungan dalam keluarga itu. Bukan mengambil zikir saja, tapi mengubah pola hubungan di antara keluarga itu. Sering terjadi pemecahan seperti itu lebih mirip narkotik daripada penyembuhan yang sebenarnya.
Jadi, cara ini memberikan ketenangan, tapi ketenangan yang semu. Zikir pun sering berfungsi sebagai narkotik. Orang bisa kecanduan zikir, dan merasa tenteram hanya dengan zikirnya, melupakan persoalan-persoalan yang lain, yang sebetulnya lebih berat. Jadi, zikir bukan sebuah panasea - sebuah obat yang bisa menyelesaikan semua persoalan. Kita tidak bermaksud merendahkan makna zikir. Dengan kata lain, salah satu upaya menata ketenteraman hubungan keluarga adalah dengan meningkatkan kualitas hubungan antaranggota keluarga. Dan dalam arti luas, ini disebut zikir juga.
Sebagian orang mengartikan zikir itu sebagai pengetahuan karena sambungan ayat fas 'alu ahladz dzikri itu adalah in kuntum là ta'lamun (QS An-Nahl [16]: 43). Kalau yang dimaksud zikir itu mengucapkan là il aha ilallah, maka sambungannya adalah inkuntum ghofilin. Dalam konteks ini, memang, zikir lawan katanya lalai, kullama dzakara dzakirun, waghofala an dzikrikal ghaafilun. Dalam ayat fas'alu ahladz dzikri in kuntum laa ta'lamun (bertanyalah kepada ahli zikir kalau kamu tidak tahu), maka tentulah yang dimaksud ahli zikir itu adalah orang yang tahu, termasuk yang membicarakan pengetahuan. Jadi, pendeknya, termasuk zikir adalah mempelajari strategi komunikasi dalam keluarga.
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam)dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari, SMP Plus Muthahhari, SMP Bahtera, dan SMA Plus Muthahhari).