top of page
  • Writer's pictureAkhi

Doa Bukan Lampu Aladin


Dahulu, ia mubaligh populer di kalangan anak muda. Suaranya keras, baik volume maupun isinya. Kini, ia datang kepada saya dengan terseok-seok, hampir seperti "rongsokan tubuh". Wajahnya muram. Kekecewaannya begitu besar, sehingga tidak menyisakan sedikit pun ruang pada air mukanya untuk harapan. Ia kecewa kepada pemerintahnya, karena tidak memelihara "fakir miskin dan anak-anak terlantar." Ia kecewa kepada jamaahnya. Dulu, mereka mengelu-elukannya. Kini, tak seorang pun di antara mereka menegurnya. Mereka ribut mengumpulkan dana untuk memperbaiki pengeras suara masjid, tapi tak seorang pun memperhatikan tenggorokannya yang rusak. Ia kecewa kepada organisasinya. Hanya karena sakit, bukan saja tidak dibantu, ia malah dicoret dari daftar anggota.


Dari seorang "somebody," sekarang ia dijatuhkan menjadi "nobody". Dari seorang tokoh yang selalu disapa, menjadi bukan siapa-siapa. Ia kecewa kepada agamanya. Agama tidak membantunya mengatasi kesulitan hidupnya. Akhirnya, ia kecewa kepada Tuhan.


"Aku lakukan salat malam. Aku amalkan doa dan wirid. Aku hanya meminta Dia membebaskan. ku dari ketergantungan terhadap obat. Aku muakdengan pil, injeksi, atau obat-obat kimia lainnya. Karena tergantung kepada obat, setiap bulan aku harus mengemis bantuan kepada orang-orang yang sudah bosan melihatku. Karena biaya pengobatan yang mahal, aku telah menyengsarakan keluargaku. Cuma satu aku minta, 'Tuhan, sekiranya Engkau tidak mau menyembuhkanku, bebaskan aku dari ketergantungan kepada obat.' Itu saja. Tapi, sudah puluhan tahun aku berdoa, Tuhan tidak menjawab doaku. Mungkin doaku tidak dikabulkan karena dosa. Aku sadar, aku mempunyai banyak dosa. Tapi, siapa di antara kita yang tidak berdosa. Kalau begitu, apa gunanya aku berdoa. Toh, doaku tidak akan didengar."


Tentu, banyak orang seperti dia. Semula, ia kecewa kepada kehidupan kemudian kecewa kepada Tuhan. Orang miskin yang selalu diperlakukan tidak adil oleh masyarakat di sekitarnya; mahasiswa cerdas yang dijatuhkan dosen yang iri akan kecerdasannya; perempuan berjilbab yang dikhianati suaminya, yang dahulu terkesan saleh dan alim; profesor yang memilih "kafir" karena ditipu puluhan juta oleh seorang kiai; pemikir Islam yang kecewa dengan keadaan umat Islam yang miskin dan terbelakang. Mereka semua sampai pada kesimpulan: berdoa tidak perlu. Ada dua alasan utama mengapa mereka sampai pada kesimpulan itu.


Pertama, kesulitan hidup tak pernah selesai dengan doa; Kedua, bila doa kita tidak dikabulkan karena gelimang dosa, sedang semua orang pasti berdosa, apa perlunya berdoa.


Sayang sekali. Pasalnya, mereka lupa untuk meninjau kembali konsep doa. Kita bisa saja memandang doa sebagai mantra magis untuk mengendalikan alam semesta, namun Tuhan tidak bisa dilihat sebagai kekuatan gaib yang harus tunduk kepada kemauan kita. Jika demikian, doa kita mirip lampu Aladin dan Tuhan menjadi jin. Ketika kita berdoa, Tuhan harus keluar untuk bersimpuh di depan kita, "Tuan, katakan kehendak Tuan." Karena itu, ketika Tuhan tidak memenuhi kehendak kita, kita marah kepada-Nya. Kita kecewa dan segera membuang lampu Aladin itu.


"Bila Anda ingin tahu posisi Anda di sisi Tuhan, lihatlah di mana posisi Tuhan di hati Anda," ujar Imam Ja'far al-Shadiq. Alangkah rendahnya kita di mata Tuhan bila memperlakukan Dia hanya sebagai jin dalam lampu Aladin. Kita mungkin bisa berdalih, doa adalah ungkapan cinta. Masalahnya, kita hanya berdoa kepada-Nya ketika memerlukan-Nya. Cinta masa puber. Kita mencintai-Nya karena kita memerlukan-Nya. Erich Fromm, seorang pakar psikoanalisis, menulis, "Immature love says, 'I love you because I need you.' Mature love says, 'I need you because I love you.""


KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari, SMP Plus Muthahhari, SMP Bahtera, dan SMA Plus Muthahhari).

- www.scmbandung.sch.id

- www.smpbahtera.sch.id

- www.smpplusmuthahhari.sch.id

- www.smaplusmuthahhari.sch.id





40 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page