Akhi
Doa dan Penderitaan
Alkisah, ada seorang sufi berkunjung kepada temannya yang juga sufi. Temannya itu kebetulan. sedang sakit dan ia mengeluh tentang sakit yang dideritanya. Sufi yang datang menengok itu berkata, "Bukan seorang pencinta sejati bila ia mengeluhkan penyakit yang diberikan oleh kekasihnya. "Lalu sufi yang sakit itu menjawab, "Bukan seorang pecinta sejati bila ia tidak menikmati pemberian kekasih sejati."
Dari cerita di atas kita dapat menarik pelajaran berharga bahwa hendaknya kita harus mengubah persepsi tentang sakit yang pernah kita alami. Persepsi kita selama ini adalah menganggap sakit itu sebagai suatu penderitaan yang diberikan Allah kepada kita. Dari anggapan ini kita berkesimpulan bahwa Allah tidak mencintai kita lagi. Sikap yang bijak adalah menikmati keindahan sakit seperti yang dialami sufi tadi. Menikmati bukan berarti berdiam, pasrah tanpa tindakan, tapi merenung lebih dalam akan hakikat sakit yang diberikan oleh Allah. Proses perenungan ini akan meng-hasilkan nilai atau pandangan yang akan mendatangkan kenikmatan bagi kita. Dan kita akan tahu betapa nikmatnya merasakan cinta Allah dalam bentuk sakit.
Sufi itu juga mengajarkan kepada kita hendaknya tabah dalam menerima cobaan Allah. Penderitaan akan mengantarkan kita kepada posisi mendekati Allah dan membuka pintu kasih sayang Allah. Bukankah Imam Ja'far al-Shadiq a.s. pernah berkata, "Kalau seseorang berada dalam kesedihan, bergegaslah berdoa. Karena pada saat itulah Allah akan mengijabah doa orang itu." Rahmat Allah datang dan mendekat ketika kita sedang didera derita. Timpaan derita perlahan-lahan akan membuat hati kita menjadi lebih lembut dan dekat dengan Allah. Jika pada kondisi seperti ini kita berdoa, insya Allah Tuhan membuka pintu ijabah-Nya.
Kadang kita tidak tahan dengan penderitaan yang menimpa. Kita tidak sabar sehingga kita menganggap Allah tidak adil. Kita mencerca Allah dan berkata Allah sedang menjauhkan kasih sayang-Nya dari kita. Dalam ilmu jiwa, kita ini disebut sebagai orang yang memiliki kecerdasan emosional yang rendah. Kesabaran atau emosi kita lemah. Kita tuding Allah dengan emosi kekesalan. Kita tidak menilai Allah dengan kelembutan cinta dan hati yang bersih. Tidak tahukah kita bahwa kasih sayang dan keadilan Allah sungguh lebih besar dari kasih sayang seorang ibu kepada anaknya?
Pernah suatu hari Rasul bersama para sahabat dalam perjalanan kembali dari perang melihat seorang ibu lari menyeruak ke tengah-tengah bekas pertempuran. Ia gelisah. Di wajahnya tersimpan kekhawatiran yang mendalam. Ia sedang mencari putranya. Ia berlari dihadang debu yang beterbangan disapu angin. Akhirnya ia menemukan putranya itu. Ia dekap putranya dengan kerinduan dan kecemasan. Diberinyalah air susu. Matahari menyengat panas mengenai kulit anak itu. Dengan perlahan ibu itu menggerakkan tubuhnya, ia hadang sengatan matahari itu dengan punggungnya. Rasul menyaksikan kejadian itu, lalu ia berkata pada sahabat yang lain, "Lihat betapa sayangnya ibu itu kepada anaknya. Mungkinkah ibu itu melemparkan anaknya ke api neraka?" Para sahabat menjawab, "Tidak mungkin, Ya Rasulallah." Lalu Rasul berkata, "Kasih sayang Allah jauh lebih besar daripada kasih sayang ibu itu."
Rasul pernah didatangi oleh seorang sahabat. Ia berkata, "Ya Rasulallah, harta saya hilang dan tubuh saya sakit." Lalu Nabi berkata, "Tidak ada baiknya orang yang tidak pernah hilang hartanya dan sakit badannya. Sesungguhnya jika Allah mencintai hambanya ia akan coba hambanya dengan berbagai penderitaan." Orang yang pernah kehilangan dan kesakitan menurut Rasul ada nilai kebaikan di dalamnya. Kebaikan bisa berarti akan tambah lembutnya hati dan mengantarkan kita untuk terus berdoa. Allah berfirman, "Rintihan seorang mukmin lebih disukai Allah daripada gemuruh suara tasbih."
Setiap saat kita mengalami penderitaan atau memerlukan sesuatu pada Allah. Doa adalah sarana utama untuk mencapai dan mengangkat keinginan kita itu. Jika kita menyelidiki doa-doa dalam wacana kehidupan manusia, ada keterkaitan yang erat antara doa dan penderitaan.
Doa juga memiliki ciri-ciri tertentu. Ciri ini menjadikan doa memiliki jenis atau tingkatan tertentu. Di sisi lain jenis doa menunjukkan tingkat perkembangan ruhani seseorang. Jenis doa itu adalah: Pertama, doa yang paling rendah tingkatannya yaitu doa yang berisi tentang sesuatu yang berhubungan dengan diri manusia yang sifatnya khusus. Seperti doa: Ya Allah kayakan aku, sehatkan badanku, dan bukakan pintu keberuntungan untukku. Isi doa itu berkenaan dengan kepentingan pribadi. Biasanya doa jenis ini bercirikan adanya kalimat perintah kepada Allah agar Dia berkhidmat kepadanya. Kebanyakan di antara kita menerapkan jenis doa seperti ini. Doa ini secara langsung mengidentifikasi tingkat ruhani kita yang masih rendah. Kita letakkan kepentingan kita di atas segalanya di hadapan Allah. Kita lupa bahwa mengagungkan Allah jauh lebih penting didahulukan daripada kepentingan pribadi.
Jenis doa yang kedua, adalah jenis doa yang menunjukkan adanya pengakuan kehinaan diri dan mengagungkan Allah. Jenis ini seperti doa Nabi Yunus: Tiada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim (al-Anbiya: 87) dan doa Nabi Adam: Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan membe ri rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang rugi (al-A'raf: 23)
Doa jenis ketiga adalah doa yang menunjukkan adanya cinta kasih hamba kepada Allah. Doa ini dipenuhi oleh jeritan rindu hamba kepada kekasihnya. Doanya berisi penyerahan total segala curahan jiwa yang ia khususkan untuk Allah saja. Jenis doa ini, seperti yang kita ketahui, banyak dilantunkan oleh bibir-bibir suci Ahli Bait Nabi. Simaklah doa Imam Zainal Abidin dalam Shahifah Sajjadiyyah, pada Doa Penempuh Jalan Tarekat:
Ya Allah, untuk-Mu saja segala tercurah himmahku.
Kepada-Mu jua terpusat hasratku.
Engkaulah hanya tempat kedambaanku, tidak yang lain.
Karena-Mu saja aku tegak terjaga, tidak karena yang lain.
Perjumpaan dengan-Mu kesejukan hatiku.
Pertemuan dengan-Mu kecintaan diriku.
Kepada-Mu kedambaanku.
Pada cinta-Mu tumpuanku.
Pada kasih-Mu seluruh rinduku.
Isi doa di atas menunjukkan betapa kepentingan pribadi ia letakkan pada tempat yang paling bawah dari kerinduan cinta dan keagungan kekasihnya, Allah swt. Jelaslah bahwa orang seperti dia maqam ruhaninya sangat dekat dengan Allah.
Jenis doa kedua dan ketiga terkadang menyatu dalam satu doa. Di dalamnya menunjukkan adanya pengakuan kelemahan dan kehinaan diri, pengagungan kepada kekasihnya, dan cinta kasih. seorang hamba yang ia khususkan tidak kepada selain Allah. Hal ini dapat dilihat lagi dalam doa Imam As-Sajjad dalam Shahifah Sajjadiyyah:
Ya Allah, kepada-Mu terpaut hati yang dipenuhi cinta. Untuk mengenal-Mu dihimpunkan semua akal yang berbeda. Tidak tenang kalbu kecuali dengan mengingat-Mu. Tidak tenteram jiwa kecuali dengan memandang-Mu. Engkaulah yang ditasbihkan di semua tempat, yang disembah di setiap zaman, yang maujud di seluruh waktu, yang diseru oleh setiap lidah, yang dibesarkan dalam setiap hati.
Ada orang di antara kita yang tidak pernah merasa menderita. Ia malu mengakui penderitaannya di hadapan Allah. Ia merasa cukup akan keadaan dirinya. Bahkan ia tidak menyeru Allah dalam kondisi yang mengkhawatirkannya. Biasanya orang seperti ini hatinya keras membatu.
Orang seperti ini kalau berdoa tidak akan pernah khusyuk karena dirinya selalu merasa cukup. Sikap yang paling baik adalah membiasakan diri kita untuk mengakui kelemahan kita di hadapan-Nya dan belajar untuk lebih dekat merasakan penderitaan orang-orang yang lapar, tertindas, yatim piatu, dan orang yang terpenjara karena menegakkan amar makruf nahi munkar.
Melalui proses belajar inilah kita akan diantar ke arah lembutnya hati, yang ketika berdoa Allah akan membuka pintu ijabah-Nya. Kita raih cinta Allah lewat belajar berempati agar ketika kita berdoa, kita dapat mengucapkan: Ya Allah, jadikanlah aku pecinta sejati kepada-Mu. Bukalah tabir penutup cintaku pada-Mu dengan ampunan-Mu.
Kita berucap seperti ucapan yang ditulis dalam syair Ibnu Farid:
Bila aku mati karena cintanya, aku hidup karena dia.
Lewat penyangkalan diri dan melimpahnya kemiskinanku.
Inilah cinta, nafsuku bukan benda nyata.
Dan ia yang fana mesti memilihnya jika sedang tergila-gila.
Hidup adalah lamunan bebas, bagi cinta adalah duka.
Mula-mula terasa sakit, lalu mati, namun maut adalah milik nafsu cinta.
la hidup dimana kekasihku melimpahkan berkah sebagai rahmat.
Jika perpisahan adalah upah yang kuperoleh darimu.
Dan tiada jarak lagi antara kita, kau sebut perpisahan sebagai persatuan.
Tiada penolakan selain cinta, selama kau tak membencinya.
Dan rasa enggan, kesukaran apa pun akan mudah dipikul.
Derita yang menyiksa kita terasa nikmat.
Ketakadilan yang diperbuat cinta adalah keadilan dan kesabaranku,
tanpa kau dan denganmu akan menjadikan yang pahit terasa manis bagiku.
Melihat tingkatan jenis doa di atas kita akan tahu di mana posisi kita. Karena dengan indikasi doa di atas, kita akan mengenal di mana tingkatan ruhani kita yang sedang kita pijak. Doa menunjukkan tingkat seseorang dalam mengembangkan potensi ruhani mendekati Allah. Jika seseorang sudah dapat mengembangkan potensi ruhaniahnya dengan baik, dengan menempatkan doa kita sebagai curahan kerendahan diri serta pengakuan akan keagungan Allah, maka cinta Allah akan mudah kita capai karena tingkat ruhani kita mengarah kepada-Nya lebih dekat. Dengan kata lain, perlakukanlah Allah dengan doa-doa yang akan menebarkan cinta-Nya kepada kita.[]
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari, SMP Plus Muthahhari, SMP Bahtera, dan SMA Plus Muthahhari).