Akhi
Etika Dan Sains

Dalam sebuah kamar, seorang wanita sedang merenung sedih di atas ranjang. Tiba-tiba ia berdiri, menoleh seperti mencari sesuatu, dan meloncat marah dengan muka berang dan bengis. Sesaat kemudian wanita itu tenang kembali, wajahnya memancarkan kebahagiaan dan rasa puas yang luar biasa. Wanita ini tidak gila, tetapi perilakunya dikontrol dari jauh oleh seorang ilmuwan penggarap otak (brain prober). Dalam otaknya telah dimasukkan jarum-jarum mini elektris dalam posisi tertentu. Dengan suatu remote control, seorang ilmuwan dapat menentukan perilaku yang dikehendakinya, hanya dengan menekan tombol.
Ini bukan science fiction. Inilah yang disebut behavior engineering, dirintis oleh sarjana fisika Spanyol, José M.R. Delgado. Bertahun-tahun ia meneliti faal otak, dan berhasil menyusun peta otak. Ia menemukan pusat-pusat kesenangan (pleasure centre), kesedihan, kesakitan, agresi, kegelisahan, dan pusat gerak motoris. Dalam otak subjek, ia tanamkan alat yang disebutnya transdermal stimoceiver, dikontrol dengan perangkat radio penekan tombol dari jarak jauh. Bersama ilmuwan lainnya, Delgado juga mengembangkan apa yang disebut psychotropic drugs, zat-zat kimia yang dapat mengatur tingkah laku manusia, zat-zat yang dapat membuat manusia tenang, agresif, bahagia, tertawa, menangis, muntah, bingung, tidur, dan lain- lain. Lebih jauh Delgado meramalkan kemungkinan penggunaan teknologi untuk mengatur dan mengendalikan masyarakat manusia. Bukan tidak mungkin, suatu saat seorang manusia jahat, seorang diktator, seorang Frankenstein memanfaatkan pengetahuan ini untuk kepentingan dirinya. Ribuan manusia dapat diubahnya menjadi robot-robot yang mengerikan. Dikabarkan bahwa penguasa- penguasa komunis telah menggunakan cara-cara seperti itu dalam mencuci otak para pembangkangnya.
Banyak negara sudah memiliki senjata biokimia yang dahsyat; virus yang dapat mengubah kota yang ramai menjadi kumpulan bangkai, atau spesies baru yang dapat menghancurkan ribuan hektare padi dalam sehari. Untuk menaklukkan suatu negara atau kota, cukuplah orang memasukkan 500 gram LSD-25 ke dalam pusat air minum, dan seluruh penduduk kota menjadi gila.
Sampai di sini kita patut merenung, bolehkah ilmu pengetahuan jalan terus dengan mengesampingkan nilai-nilai luhur? Bolehkah sains tetap netral etika? Di sisi lain, para ilmuwan sosial telah mencapai pula teknik-teknik mengendalikan manusia melalui teori-teori motivasi, proses persuasi, dan ketaksadaran manusia (lazim disebut depth approach). Pengetahuan mereka telah dimanfaatkan oleh produsen untuk menyeret jutaan manusia kepada pola konsumtif yang irasional, kepada apa yang disebut oleh Reinhold Niebuhr sebagai "perbudakan proses produksi".
Di sini kita berhenti lagi. Dapatkah sains dengan polos cukup berkata seperti perkataan Nicholas Samstag dalam The Engineering of Consent: "Dapat dikatakan bahwa memanfaatkan kemudah- percayaan orang, mengeksploitasi ketidakmengertiannya, dan menekankan kebodohannya secara moral adalah tercela. Mungkin inilah yang terjadi.... Saya sepenuhnya tak tahu." Ataukah dengan rendah hati kita harus berkata bersama Emil Dovifat bahwa semua perkembangan ini akhirnya merupakan "Die vollige Vernichtung der geistigen Freiheit"? (Penghancurbinasaan kemerdekaan ruhaniah?)
Pada 1969, satu tim peneliti dari Harvard University, yang terdiri atas tiga orang ilmuwan muda, berhasil mengisolasi gen untuk pertama kalinya. Dunia memujinya, tetapi dalam konferensi pers mereka menyatakan, "Kami tidak merasa bahagia, karena dalam jangka panjang penemuan ini akan lebih banyak menimbulkan kejelekan ketimbang kebaikan." Ucapan ini tentu saja menggusarkan para ilmuwan senior. Mereka disuruh diam atau keluar. James A. Shapiro, salah seorang di antaranya, akhirnya meninggalkan karier cemerlang dalam biologi molekuler dan menjadi pekerja sosial. Ilmuwan lainnya, Leon R. Kass, meninggalkan biokimia dan mendalami bioetika. Kass kemudian menjadi kepala Committee on the Life Sciences and Social Policy of the National Academy of Sciences. Jon Beckwith, kepala tim peneliti ini, ketika menyampaikan pidato ilmiah dalam rangka penerimaan Eli Lily Awards dalam bidang genetika, mengejutkan American Society for Macrobiology. Ia mengatakan bahwa peneliti ilmiah dan para ilmuwan sendiri sudah memihak dan tidak objektif lagi, karena "sains ada di tangan orang, dan menindas orang di seluruh dunia dan di negara ini."
Pada 1975, 140 biolog dari 17 negara berkumpul di Asilomar, sebuah kota kecil yang indah di tepi Lautan Teduh, di negara bagian California. Mereka ingin membicarakan serangkaian peraturan untuk melindungi bahaya yang bakal timbul dari penelitian DNA rekombinan. Pada dua hari pertama, hampir tidak seorang pun memperhatikan bahaya-bahaya penelitian itu bagi masyarakat. Baru pada hari ketiga, Profesor Harold H. Greene, dari Fakultas Hukum George Washington University, mengingatkan peserta akan bahaya- bahaya sosial dari penelitian mereka yang dapat dituntut ganti rugi jutaan dolar. Para ilmuwan itu terkejut dan akhirnya merumuskan semacam kode etik untuk mengatur penelitian DNA rekombinan.
"Pengawal Moral" Sains
Di seluruh dunia, akhirnya timbul kesadaran betapa pentingnya memperhatikan etika dalam pengembangan sains. Di beberapa negara maju telah didirikan lembaga-lembaga "pengawal moral" untuk sains. Yang paling terkenal, misalnya, Institute of Society, Ethics and the Life Sciences di Hastings, New York. Kini telah disadari, seperti kata Sir Macfarlane Burnet, biolog Australia, bahwa "Sulit bagi seorang ilmuwan eksperimental mengetahui apa yang tidak boleh diketahui. Ternyata, sains tidak bisa dibiarkan lepas dari etika, kalau kita tidak ingin senjata makan tuan."
Sekarang kita tampaknya sepakat bahwa sains harus dilandasi etika, tapi etika macam apa? Sebelum hal itu kita jawab, persoalan pertama yang harus kita jawab ialah apakah etika itu?
Istilah etika berasal dari Aristoteles, ketika ia membagi antara kebajikan teoretis (dianoetika) dan kebajikan praktis (etika). Banyak definisi tentang etika. Sebagai keterangan yang paling sederhana, kita ambil saja tulisan Dr. W. Banning dalam Typen van zedeleer:
In de ethiek is dus de vraag: wat is het juiste levensgedrag, wat behoor ik te doen en te laten, wil dit gedrag zakelijk goed kunnen heten.
Jadi, dalam etika dipersoalkan tata tertib, cara hidup yang paling baik, apa yang harus dan jangan dilakukan, apa yang disebut baik dan jahat.
Sampai di sini kita memasuki filsafat moral. Untuk menjawab etika macam apa yang harus mendasari sains, kita dihadapkan pada banyak aliran filsafat. Sebanyak aliran, sebanyak itu pula ukuran. Akhirnya, sains terkatung-katung dalam relativisme. Lebih celaka lagi, karena sains dan penghayatan manusia tentang etika tidak berkembang serasi. Kita sudah meraksasa dalam sains dan teknologi, tetapi masih merayap dalam etika. Penemuan segi budaya bendawi timbul begitu cepat, sementara segi bukan bendawi berjalan begitu lambat. Ini yang disebut William F. Ogburn sebagai kesenjangan budaya (cultural lag). Masyarakat kehilangan keseimbangan. Akibatnya, manusia diantarkan ke situasi yang mencemaskan. Bukan saja terjadi peluruhan sosial, melainkan juga peluruhan kepribadian. Ironisnya, di negara yang bersains tinggi, terjadi kemunduran ruhani dan kehancuran mental. Porak-porandanya lembaga ke- luarga, hilangnya pegangan hidup (anomie), revolusi seksual, ke- jahatan, alkoholisme, eskapisme, sadisme, penyakit mental, adalah beberapa sisi nyata kehidupan modern. Tidak aneh bila kemudian timbul pesimisme di kalangan ilmuwan yang beberapa di antaranya telah menjurus pada sikap antisains sama sekali. Biolog Harvard, Everett Mendelsohn, misalnya, berkata, "Sains, sebagaimana kami ketahui, telah melewati masa gunanya." Sebetulnya, bukan saja sains sudah lewat masa gunanya, malah sudah memasuki masa bencananya. Ilmu-ilmu semacam neuropsychopharmacology dan psychoneurobiochemistry mengancam kemanusiaan dengan depersonalisasi dan dehumanisasi. Fisika nuklir tidak hanya akan menghantui kita dengan semacam "jamur Hiroshima", tetapi juga kepunahan lingkungan hidup. Biokimia telah sampai pada tahap penggunaan perang kuman (biochemical warfare) yang mengerikan. Genetika telah mengisyaratkan manipulasi gen, yang dapat menimbulkan bentuk-bentuk kehidupan yang membawa bencana. James Watson, seorang biolog, meramalkan "dunia, secara politis dan moral, akan mengalami bencana."
Etika Islam
Adakah jalan keluar? Mengembangkan penghayatan kita tentang etika? Telah kita sebutkan bahwa hal ini akan membawa kita pada relativisme. Banyak aliran etika, dan kita harus menetapkan pilihan. Etika mesti merupakan sesuatu yang mutlak supaya tidak membingungkan.
Sebagai orang Islam, tentu kita menjatuhkan pilihan pada etika Islam. Hal ini bukan karena konsekuensi iman saja, melainkan juga karena etika Islam sanggup menjawab tantangan kehidupan modern. Etika Islam bukan sekadar teori, melainkan juga pernah dipraktikkan oleh sejumlah manusia dalam suatu zaman, sehingga mereka muncul sebagai penyelamat dunia dan pelopor peradaban.
Etika Islam, berbeda dengan etika lain, mempunyai sosok dalam diri Nabi Muhammad Saw. Nabi telah menjadi contoh indah etika Islam. Etika Islam juga bersumber pada Al-Quran, wahyu Allah yang tidak diragukan keaslian dan kebenarannya, dengan Nabi Muhammad Saw. sebagai The Living Quran. Semua pengikut Muhammad Saw. juga harus dicelup dengan "celupan Al-Quran"; semua Muslim harus menjadi duplikat Muhammad Saw.
Betulkah ini jalan keluar? George Bernard Shaw, sastrawan Inggris terkenal, menulis dalam Getting Married: "Jika seorang seperti Muhammad menguasai dunia modern, ia akan berhasil membawa dunia pada perdamaian dan kebahagiaan yang sangat dibutuhkan itu."
Itu kata Shaw. Benar, dan itu pula yang diyakini jutaan umat Islam di dunia. Bila begitu, sedang dicari "seorang seperti Muhammad". Anda tidak usah mencarinya di sudut dunia lain. Carilah itu dalam diri Anda sendiri. JR wa mā taufīqī illā billāh, 'alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb
Allâhumma shalli 'alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ'atahum
***
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).