Akhi
FILSAFAT ISLAM DAN TANTANGAN MODERNISASI

"Jika kita melihat zaman sekarang ini dari sudut agama dan mazhab khususnya yang terjadi di kalangan anak muda ̶ kita melihatnya sebagai zaman keguncangan, kebimbangan dan perubahan. Zaman kini telah melemparkan rangkaian masalah dan keraguan untuk dibahas, dan telah menghidupkan kembali masalah-masalah lama yang terlupakan, dan menjadikannya pokok pembicaraan. Apakah kita harus menghadapi keraguan dan pertanyaan ini ̶ yang terkadang mencapai tingkat yang ekstrem ̶ dengan perasaan putus asa, sesak napas, dan pesimisme? Tidak... Keraguan tidak membawa kepada kesedihan, sebab ragu membimbing orang kepada keyakinan. Pertanyaan membimbing orang untuk mencapai hasil, dan keguncangan adalah pendahulu ketetapan. Keraguan adalah jembatan yang menakjubkan, di samping tempat tinggal yang buruk. Ketika Islam membahas tafakur dan keyakinan sedemikian sering dan dalam, Islam memahami betul bahwa keadaan pertama manusia adalah keraguan dan kebimbangan. Dengan pemikiran yang jemnih kita sampai kepada keyakinan dan ketentraman.
"Berkata salah seorang pemikir, 'Faedah pembicaraan kami ialah membawa Anda kepada keraguan dan kebimbangan, supaya Anda sampai kepada keyakinan dengan pembahasan dan penelitian. Memang benar, dalam keraguan tidak ada ketetapan dan ketenangan. Tetapi benar juga, bahwa ketetapan dan ketenangan yang lain tidak lebih baik daripada 'ketaktetapan' dan 'ketaktenangan. Ada dua macam ketetapan (istiqrar): ketetapan yang lebih ringan dan yang lebih tinggi daripada keraguan. Ketika kita mengatakan bahwa binatang menikmati ketenangan, ketenangan ini adalah ketenangan yang lebih rendah daripada keraguan, karena ketenangan tersebut tidak akan membawanya kepada keyakinan. Tetapi kaum Mukminin, yang termasuk ahli yaqin, menikmati jenis keyakinan kedua, yang lebih tinggi daripada keraguan, karena sudah melintasi syak dan menuju keyakinan.
"Dengan mengecualikan orang-orang yang langsung diberi petunjuk oleh Allah, ahli-ahli yaqin lainnya telah melewati posisi ragu dan bimbang, kemudian berakhir pada taraf keyakinan dan keimanan. Karena itu, tidaklah layak bagi kita menuduh zaman ini sebagai zaman penyimpangan dan penyelewengan, hanya karena dipenuhi keraguan dan kebimbangan. Karena keraguan ini bukanlah hal yang lebih rendah daripada istiqrar yang naif. Sebenarnya, yang harus disesali ialah bila orang meragukan sesuatu tetapi tidak menelaah keraguan itu. Atau telah terjadi kebimbangan sosial, tetapi para pemikir tidak berusaha mengatasi kemusykilan sosial ini, yaitu mengatasi keraguan pada bidang tertentu."
Murtadha Mutahhari memulai buku filsafatnya, Al-'Adl al- Ilahi, dengan paragraf di atas. Banyak orang takut meragukan sesuatu, dan melaknat orang yang mempersoalkannya. Penerimaan tanpa bertanya dianggap sebagai kebajikan. Menyorot konvensi-konvensi yang baku dengan sejumlah pertanyaan dituduh sebagai kekufuran. Yang sering dilupakan orang ialah kenyataan bahwa keyakinan yang tidak didahului keraguan adalah keyakinan yang akan berakhir dengan keraguan, yaitu suatu keyakinan yang sangat rapuh. Berbicara tentang pengembangan filsafat Islam harus dimulai dengan kesediaan untuk mempersoalkan keyakinan kita, meragukan asumsi-asumsi kita, dan dengan sabar membedah pikiran-pikiran kita dengan pisau kebimbangan. Agama memang menuntut komitmen, tetapi justru di sinilah diperlukan filsafat, Ketika berbagai kepercayaan saling bertentangan, dan kita harus memutuskan kepercayaan mana yang berhak memperoleh komitmen kita, pada saat itu kita memerlukan filsafat. "Kebenaran," kata Trueblood, "tidak dapat dipastikan dengan saling membunuh, sebab yang timbul dengan cara itu bukanlah siapa yang benar, tetapi siapa yang kuat. Bila kekerasan bukan penyelesaian, maka begitu pula pengambilan suara. Karena, mayoritas boleh jadi salah, dan seringkali salah. Satu-satunya pemecahan yang memuaskan ialah tenggelam dalam permenungan, baik secara sendirian maupun bersama-sama, sampai dicapai satu pandangan yang secara intelektual memuaskan."
Filsafat menawarkan kepada kita metode untuk meragukan hal ini, suatu metode yang dapat dilacak kepada pemikir-pemikir-besar filsafat, terutama Plato dan Kant. Orang menyebutnya metode kritik, atau dialektik. Trueblood mendefinisikan bahwa "Dialektik adalah upaya berlaku adil terhadap pandangan yang berlawanan, bukan dengan menilainya dalam sistem yang kaku atau diterima, tetapi dengan mempertanyakan, dalam setiap hal, implikasi-implikasinya." Dengan dialektika, kita uji paham-paham yang bertentangan. Implikasi setiap paham diteliti sampai tampak kontradiksi-kontradiksi di dalamnya (self-contradictions) atau sampai lolos darinya. "Pemikiran komprehensif," ujar Plato, "selalu bersifat dialektis."
Banyak orang mungkin mempertanyakan apakah masyarakat kita sekarang siap untuk diajak berfilsafat, atau apakah kondisi sosial kita sudah sampai di satu titik ketika filsafat menjadi sangat urgen. Dengan kata lain, apakah gerakan tasykik akan menimbul kan upaya tahqiq?
Tantangan Modernisasi
Di sini saya hanya ingin menggarisbawahi beberapa ciri ̶ yang dikemukakan Magnis Suseno ̶ yang sangat relevan dengan masyarakat Islam di Indonesia.
Di samping memaparkan bahwa industrialisasi dan penemuan subyektivitas merupakan ciri masyarakat modern, Magnis Suseno juga memaparkan rasionalisme sebagai ciri masyarakat modern. Di sinilah sebetulnya letak tantangan yang dihadapi masyarakat Islam sekarang. Implikasi pertama rasionalisme ialah antitradisionalisme. Tradisi adalah sesuatu yang mengikat kita secara emosional, taken for granted. Banyak pemikiran Islam yang semula bersifat spekulatif (zhanni), dalam perkembangan kemudian difosilkan menjadi tradisi. Paham-paham pembaruan, yang semula merupakan reaksi terhadap kebekuan, berangsur-angsur membeku juga sebagai tradisi. Modernisasi akan mendorong orang untuk mempertanyakan keabsahan tradisi-tradisi ini. Industrialisasi mendorong komunikasi yang lebih luas secara geografikal dan sosial. Berbagai paham dan norma tumpang-tindih. Media massa mempertemukan manusia bukan saja secara fisik, tetapi juga secara ruhani. Hal ini berarti bahwa sejumlah alternatif tersedia bagi semua orang. Menunjukkan sebuah alternatif dengan argumentasi bahwa itu telah menjadi tradisi kita, atau karena ditopang oleh pemilik otoritas, tidak akan dapat bertahan dalam melawan rasionalisme.
Misal, penolakan terhadap westernisasi. Islam dinyatakan sebagai antitesis peradaban Barat. Segala yang berasal dari Barat ditolak. Filsafat Barat diharamkan. Tetapi, seperti kata Sayyid Husain Nasser, kita tidak dapat menolak filsafat Barat hanya dengan mengafirkannya. "Hal ini tak dapat dilakukan, sebab gagasan-gagasan falsafi Barat akan masuk melalui pintu belakang dengan berbagai macam cara, dan para peneliti akan sangat kurang siap menghadapi atau menolak gagasan-gagasan asing, jika mereka tidak dipersiapkan secara memadai untuk melawan mereka melalui telaah mendalam dan penolakan terhadap premis-premis palsu," ujar Nasser.
Berbeda dengan saudara-saudara kita yang beragama Nasrani, para ulama Islam seringkali tidak siap menghadapi penyelundup- penyelundup yang lewat jalan belakang ini. Pendekatan formalistis dan normatif boleh jadi menimbulkan ketentraman pada para pengikutnya, tetapi, sekali lagi, itu merupakan ketentraman yang sangat rapuh. Paham Asy'ariah, ditambah sikap antirasionalisme Ibnu Taimiyah (yang banyak dijadikan guru oleh kelompok pembaru), sangat menghambat studi-studi falsafi. Sudah saatnya kita sekarang membenturkan pandangan-pandangan keagamaan kita dengan filsafat Barat, dan menelaahnya dengan kesungguhan, seperti yang kita lakukan untuk menarik kesimpulan fikih. Sering para ulama Islam menghabiskan waktu dan energi untuk membahas hal-hal yang berkenaan dengan makanan dan pakaian, tetapi melupakan masalah-masalah yang mempengaruhi jiwa dan pikiran kita.
Implikasi kedua rasionalisme adalah sekularisasi. Tanpa bermaksud untuk terlibat dalam perdebatan tentang makna istilah ini, kita dapat menunjukkan ̶ dengan meminjam penjelasan Larry Shiner, profesor agama di Sangamon University ̶ bahwa sekularisasi, paling tidak, menunjukkan lima hal: mundurnya pengaruh agama, sekadar kompromi dengan dunia, demistifikasi atau desakralisasi dunia, ketidakterikatan (disengagement) kepada masyarakat, dan pemindahan kepercayaan/iman dan pola-pola perilaku dari suasana keagamaan ke suasana sekular. Yang paling tampak bagi masyarakat Islam adalah definisi terakhir. Masyarakat modern cenderung mengatur perilaku dan menerima keyakinannya tidak lagi lewat doktrin-doktrin agama, tetapi lewat pertimbangan-pertimbangan rasional dan praktis. Pragmatisme telah menyempitkan peranan agama sebagai pengatur perilaku. Seperti yang telah terjadi pada umat Nasrani, di kalangan masyarakat Islam pun telah timbul pemikiran bahwa agama Islam hanyalah ajaran moral. Al- Quran hanya merupakan kumpulan kaidah moral. Di luar itu, Islam harus menyerahkan pengaturan perilaku kepada lembaga sosial masyarakat modern. Di sini pun sekularisasi tidak bisa ditanggapi hanya dengan pendekatan emosional. Kritik terhadap paradigma sekular harus dikembangkan secara serius, dengan membongkar implikasi-implikasi kontradiktif di dalamnya (kalau ada). Di Barat, sekularisasi telah banyak dikritik. Di Inggris, David Martin membongkar premis-premis sekularisasi. Begitu pula Andrew Greeley dalam Unsecular Man, dan Harvey Cox dalam The Feast of Fools. Belakangan, kita boleh juga menunjuk orang-orang seperti Theodore Roszak, Martin Buber, Carl Rogers, Erich Fromm, Victor Frankl, Abraham Maslow, Teilhard de Chardin, dan lain-lain, yang lazim dikenal sebagai Konspirasi Aquarian. Di Indonesia, sekularisasi hanya sering menjadi isu temporer dan insidental, lebih bersifat politis daripada "pembangkit wawasan."
Implikasi terakhir rasionalisme yang patut disebut ialah positivisme dalam filsafat ilmu. Berbagai usaha telah dilakukan umat Islam untuk menolaknya, melalui proyek-proyek pengkajian yang disebut secara sloganistis sebagai Islamisasi ilmu pengetahuan. Sayang sekali, kebanyakan proyek ini dilaksanakan oleh orang- orang yang kurang memiliki latar belakang filsafat, dan tidak begitu menguasai ilmu-ilmu keislaman. Walaupun begitu, pada taraf rintisan, upaya-upaya mereka memberikan kontribusi yang berharga bagi pengembangan filsafat ilmu dalam perspektif Islam.
Dengan latar belakang tantangan modern di atas, masalah-masalah apakah yang kini harus menjadi sorotan kita. Kita dapat membuat daftar yang panjang. Mengingat betapa urgensinya hal itu, seperti yang akan saya paparkan nanti, saya mengusulkan empat pokok kajian: tauhid dan syirik, keadilan ilahi, kritik filsafat Barat lewat Barat, dan filsafat hukum Islam.
Masalah Tauhid dan Syirik
Tauhid adalah inti ajaran Islam. Kaum Muslimin tidak lagi dapat disebut sebagai kaum Muslimin kalau menolak tauhid atau meragukannya. Yang menjadi persoalan ialah dapatkah konsepsi kita tentang tauhid selama ini dibenarkan secara rasional. Tauhid memang satu, tetapi dalam perkembangan pemikiran Islam, tauhid telah dikonseptualisasikan dalam bermacam-macam paham. Aliran- aliran dalam ilmu kalam ̶ sejak Mu'tazilah, Asy'ariah, Zahiriah, Syi'ah, Khawarij ̶ menunjukkan perbedaan konseptualisasi Tauhid ini. Belakangan Wahabisme ̶ yang dapat dilacak sampai Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim, dan dilanjutkan dalam pemikir an orang-orang seperti Abul A'la al-Maududi ̶ mengemukakan paham tauhid yang berbeda dengan paham tauhidnya pemikir. pemikir Syi'ah, seperti Mutahhari, Ja'far Subhani, dan Sayid Baqir Shadr. Bila secara intelektual kita mau jujur, kita harus memper- temukan kedua paham ini dalam panggung dialektika. Dengan kecermatan falsafi, kita harus mengujinya dengan mencoba menemukan kontradiksi-diri di dalamnya.
Pembicaraan mengenai tauhid menjadi penting karena beberapa hal: (1) Tauhid mendasari seluruh pemikiran kita tentang dunia, tauhid adalah weltanschaung kita, (2) Secara otomatis, konseptualisasi tauhid menyiratkan konseptualisasi syirik, yang mempunyai implikasi-implikasi sosial, (3) Tauhid adalah konsepsi Islam yang dapat dipertentangkan dengan sekularisme, huma- nisme, atau eksistensialisme.
Keadilan Ilahi
Persoalan apakah Allah itu bersifat adil atau tidak, bukan melibatkan pembicaraan metafisis. Pertanyaan ini juga menggelitik, karena mempunyai implikasi sosial yang luas. Masalah keburukan di dunia ini (problems of evil) adalah masalah keadilan ilahi. Mengapa sekian juta manusia menderita kemiskinan, dan sebagaian kecil lainnya hidup dalam kemewahan? Adilkah Allah kalau la menakdirkan si A dengan mudah memperoleh kekayaannya secara halal, dan si B terus-menerus mengalami kegagalan, padahal ia berusaha secara halal juga? Problems of evil (masalah keburukan di dunia ini) bertalian dengan masalah qadha dan qadar, dan hal ini bertalian dengan sikap kita di dalam masyarakat. Bila kita berpendapat bahwa kejelekan itu sudah direncanakan Allah, atau hanya ilusi dalam persepsi kita, masih perlukah kita menolong orang yang menderita, masih perlukah perjuangan menegakkan keadilan sosial dan sebagainya.
Termasuk masalah keadilan ilahi ialah ketentuan tentang siapa saja yang mendapatkan ganjaran dari sisi Allah karena amal salehnya; apakah kriteria amal saleh, diterimakah amal orang non- Muslim, apakah diterimanya amal adalah karena pertimbangan akidah, atau karena pertimbangan lain; manakah yang lebih dapat diterima akal, mazhab i'tiqadi atau mazhab 'amali.
Contoh-contoh dari diskusi tentang persoalan ini dapat dikaji pada buku Al-'Adl al-Ilahi. Mutahhari memang belum seluruhnya meyakinkan kita. Hal itu berarti bahwa kita ditantang untuk memberikan jawaban yang lebih memuaskan kita.
Kritik Filsafat Barat lewat Barat
Harus diakui bahwa filsafat Barat amat dominan dalam pemikiran manusia modern. Sebagaimana kita memerlukan racun untuk menolak racun, kita perlu mengkaji kritik Barat sendiri terhadap Barat. Ini tentu memerlukan penguasaan akar-akar pemikiran Barat. Belakangan ini telah muncul banyak buku yang mengkritik Barat. The Aquarian Conspiracy, walaupun ditulis secara populer, dapat dijadikan entry points untuk telaah lebih lanjut. Begitu pula tulisan-tulisan Roszak, De Bono, Laing, Capra, Maslow, dan yang sebangsanya, dapat dijadikan rujukan yang berharga. Tentu saja, yang paling indah ialah kalau kritik-kritik itu kemudian dilengkapi dengan alternatif ̶ yang kita pandang ̶ Islami.
Filsafat Hukum Islam
Ushul fiqh ̶ seperti kata Nasser ̶ merupakan bagian dari filsafat Islam yang cukup produktif. Ushul fiqh telah membimbing para ulama dalam ijtihad mereka. Tetapi sayang sekali, upaya- upaya pemimpin mazhab, seperti Imam Syafi'i, telah dibekukan menjadi konvensi yang tidak boleh dibantah lagi. Selain itu, banyak kaidah ushul yang masih mengandung penafsiran yang berlainan. Setiap penafsiran biasanya diterima bila penafsiran itu paling cocok dengan selera kita, dan tidak pernah mempertentang kannya dengan penafsiran-penafsiran yang lain. Apakah implikasi kaidah "menolak mafsadat harus lebih didahulukan daripada mendatangkan maslahat"? Apakah implikasi al-jarh muqaddamun 'ala ta'dil itu? Mengapa jarh dan ta'dil hanya boleh sampai tabi'in dan tidak sampai sahabat? Dan seterusnya.
Masalah ushul fiqh hanyalah sebagian dari filsafat hukum Islam yang memerlukan perhatian kita. Di samping itu, masih terbuka persoalan yang lebih rumit, seperti tujuan hukum Islam, antinomi-antinomi dalam hukum Islam, as-siyasah syar'iyah, dan hal-hal lain. JR wa mā taufīqī illā billāh, 'alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb
Allâhumma shalli 'alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ'atahum
***
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).