Akhi
Hadis-Hadis tentang Cinta Allah
Al-Ghazali berkata," Cinta adalah inti keberagamaan. Ia adalah awal dan juga akhir dari perjalanan kita. Kalaupun ada maqam yang harus dilewati seorang sufi sebelum cinta, maqam itu hanyalah pengantar ke arah cinta; dan bila ada maqam-maqam sesudah cinta, maqam itu hanyalah akibat dari cinta saja."
Suatu hari Nabi Saw ditanya, "Ya Rasulullah, apakah iman itu?" Rasulullah bersabda, "Hendaklah Allah dan Rasul-Nya lebih engkau cintai dari pada selain keduanya."
Ada orang bertanya, "Bukankah mencintai Rasulullah berarti mencintai selain Allah?" Orang itu bingung dengan sifat Rabi'ah Al-Adawiyah yang tidak mempunyai suami lagi setelah mencintai Allah. Menurut Al-Ghazali, cinta kepada Allah itu ibarat wadah yang berisi air. Kalau kita mau mengisinya dengan madu atau sirup, itu tidak bisa dilakukan sebelum air itu di keluarkan. Atau, kalau air itu masih ada juga, hanya sebagian saja dari madu yang bisa diisikan ke wadah itu.
Kecintaan kepada Allah Swt hanya bisa dicapai dengan menghilangkan kecintaan kepada selain-Nya. Itu pula yang terjadi pada Rabi'ah. Setelah mencintai Allah, ia tidak mencintai siapa pun. Hasan Al-Bashri datang melamar Rabi'ah, tetapi Rabi'ah menolaknya dengan sangat halus. Seakan ia mengatakan, "Dalam hatiku sudah ada cinta kepada Allah; tak tersisa lagi untuk mencintai manusia."
Waktu itu Rabi'ah menolak dengan mengajukan sebuah tes. la bertanya kepada Hasan Al-Bashri, "Menurut Anda, berapa persenkah nafsu perempuan dibandingkan nafsu lelaki?" Hasan menjawab, "Sembilan puluh persen nafsu perempuan dan sepuluh persen nafsu lelaki." Rabi'ah melanjutkan, "Berapa perbandingan akal perempuan dan akal lelaki?" Hasan menjawab, "Sepuluh persen akal perempuan dan sembilan puluh persen akal lelaki." Lalu, Rabi'ah berkata, "Mengapa saya yang memiliki akal sepuluh persen dapat mengendalikan sembilan puluh persen nafsuku, sementara sembilan puluh persen akalmu tidak bisa mengendalikan sepuluh persen nafsumu?" Dengan sedih, Hasan Al Bashri meninggalkan Rabi'ah.
Seorang bertanya kepada Rabi'ah, "Mengapa kau tolak Hasan Al Bashri?" ia menjawab, "Karena di dalam hatiku hanya ada kecintaan kepada Tuhan; Tidak ada tempat untuk mencintai sesama manusia." Orang itu bertanya lagi, "Apakah kau mencintai Rasulullah yang juga manusia?" Rabi'ah menjawab, "Kecintaanku kepada Allah tidak menyisakan tempat untuk mencintai manusia." Orang-orang kemudian salah memahaminya dengan menganggap bahwa Rabi'ah tidak mencintai Rasulullah. Mereka berusaha menjatuhkan orang-orang saleh dengan permainan kata-kata. Padahal, kecintaan kepada Rasulullah pada dasarnya 'ainul hubb lillah', kecintaan kepada Allah yang sebenarnya. Rasulullah adalah tajalliyat (pengejawantahan-ed) Allah sendiri. Sebab, Rasulullah adalah insan kamil; pada dirinyalah, Allah menampakkan diri-Nya. Bahkan, ada sebuah riwayat yang menceritakan bahwa Rasulullah bersabda: "Barang siapa ingin melihat Tuhan, lihatlah aku."
Kecintaan kepada Allah diwujudkan dengan kecintaan pada Rasulullah Saw. Karena itu, sebetulnya tidak boleh ada pertanyaan begini; "Kalau kau mencintai Allah, apakah kau juga mencintai Rasulullah?" karena, sebenarnya di dalam cinta kita kepada Allah itu mengandung cinta kepada Rasulullah. Perkataan Rabi'ah di atas dapat pula ditafsirkan bahwa Rasulullah Saw bukanlah manusia biasa.
Dalam Shahih Bukhari-Muslim, sebuah hadis yang diriwayatkan Anas bin Malik menyatakan bahwa Rasulullah bersabda, "Kamu belum beriman sebelum Allah dan Rasul-Nya lebih kamu cintai daripada selain keduanya." Turmudzi pun meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, "Cintailah Allah karena nikmat dianugerahkan-Nya kepadamu, cintailah aku karena kecintaanmu kepada Allah. Dan cintailah keluargaku karena kecintaanmu kepadaku"
Dalam kitab Hilayah, Al-Auliya disebutkan, satu saat Mash'ab bin Umar lewat di depan Rasulullah dengan berpakaian dari kulit kambing pakaian orang yang paling miskin pada saat itu. (Mash'ab semula adalah putra orang kaya yang selalu berpakaian bagus. Namun, kemudian ia diusir orang tuanya karena memeluk agama Islam). Ketika melihatnya Rasulullah bersabda, "Lihatlah orang ini, Allah sudah menyinari hatinya. Dulu aku melihat di antara kedua orang tuanya, yang memanjakannya dengan makanan dan minuman yang enak. Kemudian kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya membawa kepadanya yang kalian saksikan sekarang ini." Mash'ab mengorbankan kecintaannya kepada ayah, ibu dan pakaian yang bagus, demi kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Suatu saat Nabi bercerita tentang Nabi Ibrahim ketika nyawanya mau diambil. Ibrahim bertanya kepada Malaikat maut. Apakah seorang kekasih akan mematikan kekasihnya?" Lalu, Tuhan menjawab melalui Malaikat maut, "Apakah Engkau berpikir seorang pecinta tak ingin berjumpa dengan kekasihnya?" Ibrahim kemudian berkata "Kalau begitu, sekarang ambillah nyawaku!" Karena itulah, dalam Al-Quran surah Al-Jumu'ah ayat 6 disebutkan, "Maka harapkanlah kematian jika kalian betul-betul cinta." Kematian adalah tanda cinta sejati. Kalau orang sudah mencintai kematian, artinya ia sudah memiliki kecintaan kepada Allah Swt.
Dalam Shahih Bukhari-Muslim diriwayatkan dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw bersabda, "Kalau Allah sudah mencintai seorang hamba, Dia memanggil Jibril dan berkata, ‘Aku mencintai Fulan, cintailah dia. Jibril pun mencintainya, kemudian Jibril berseru di tengah penduduk langit, 'Diumumkan bahwa Allah mencintai Fulan, karena itu cintailah ia." Maka seluruh penduduk langit mencintainya. Lalu disampaikan kepada penduduk bumi; dan seluruh penduduk bumi mencintainya."
***
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).