Akhi
Haji: Akhir Khutbah Pertama Nahjul Balaghah

"Dan Allah sudah mewajibkan atas kamu untuk berkunjung ke rumah-Nya Yang Mulia. Yang Allah jadikan rumah-Nya itu sebagai kiblat umat" manusia. Mereka datang kepada-Nya seperti datangnya binatang-binatang ternak. Mereka merindukan-Nya untuk berkumpul di sekitarnya, seperti rindunya burung-burung merpati. Allah jadikan haji itu sebagai pertanda dari kerendahan manusia di hadapan kebesaran-Nya dan sebagai ketundukan mereka dihadapan keagungan-Nya. Allah telah memilih di antara hamba-hamba- Nya para pendengar yang menjawab seruan-Nya ketika Dia menjawab seruan-Nya. Membenarkan kalimat-Nya, berhenti di tepian para nabi-Nya, menyerupai para malaikat yang ber-thawaf di 'Arasy-Nya. Mengumpulkan keuntungan dalam niaga ibadahnya. Berlomba-lomba di hadapan-Nya untuk mencapai janji ampunan-Nya. Allah Swt. menjadikan Islam sebagai pertanda, Allah menjadikan haji ini sebagai tanda keislaman dan seb- agai tempat berlindung bagi orang-orang yang mencari perlindungan. Allah wajibkan haknya, Allah tetapkan hajinya, dan Allah tuliskan bagi mereka keberangkat- annya, maka berfirmanlah Dia, 'Dan bagi manusia haji ke Baitullah, orang-orang yang mampu memperoleh bekal di perjalanannya. Barangsiapa yang kafir, sesungguhnya Allah tidak membutuhkan alam semesta’."
Inilah khutbah pertama dalam Nahjul Balaghah. Terjemahan saya mungkin agak berbeda dengan terjemahannya Puncak Kefasihan. Yang menarik, khutbah ini diakhiri dengan masalah yang berkenaan dengan ibadah haji. Imam Ali berkata, "Allah wajibkan kepada kalian supaya pergi ke rumah-Nya yang mulia."
Dalam bahasa Arab, hajja artinya menuju atau bermaksud menuju sesuatu. Karena itu, dalam bahasa Arab, setelah hajja biasanya disusul dengan pertanyaan, "Ke mana?" Di sini disebut hajja bait al-haram, "Untuk pergi menuju rumah-Nya yang penuh kemuliaan." Kata "haram" dalam bahasa Arab berarti kemuliaan. Arti lainnya adalah haram. Haram berasal dari kata hurmah yang berarti kemuliaan. Dalam bahasa Indonesia, dari kata hurmah itu lahir kata hormat, kehormatan. Baitullah disebut Baitul Haram atau Masjidil Haram, artinya rumah yang sangat dimuliakan, rumah yang sangat terhormat. Mengapa terhormat? Karena di tempat ini diharamkan semua hal yang tercela.
Imam Ali Zainal Abidin ketika berkata kepada Asy-Syibli yang baru pulang dari berhaji, "Pernahkah engkau berkunjung ke Masjidil Haram, ke rumah Allah Al-Haram?" Asy-Syibli menjawab, "Tentu wahai putra Rasulullah." "Apakah ketika engkau berkunjung ke Masjidil Haram, engkau haramkan bagi dirimu untuk menjatuhkan kehormatan sesama kaum Muslim dengan lidahmu, tanganmu, dan perbuatanmu."
Iman Ali Zainal Abidin menghubungkan kata haram yang artinya hormat,mulia, dengan kehormatan kaum Muslimin. Yang juga di dalam bahasa Arab disebut haram karena dimuliakan Allah Swt. dan dihubungkan dengan kata, "Haramkan bagi dirimu." Tempat itu disebut tempat haram, tempat yang dimuliakan, karena di situ diharamkan mengganggu kaum Muslimin. Dalam ayat Al-Quran disebutkan, "Barangsiapa memasukinya (Baitullah) menjadi amanlah dia," (QS. Ali Imran [3]: 97). Dalam ayat lain disebutkan, "Bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman," (QS. Al-Fath [48]: 27).
Jadi, Masjidil Haram adalah masjid yang penuh dengan kemuliaan, penuh dengan kehormatan, karena di masjid itu diharamkan segala perbuatan yang menjatuhkan kehormatan kaum Muslimin. Imam Ali Zainal Abidin mengulangi pertanyaannya kepada Asy-Syibli, "Apakah saat masuk Masjidil Haram kamu berniat untuk memelihara kehormatan kaum Muslimin dan tidak akan menjatuhkan kehormatan mereka dengan lidah, tangan, dan perbuatan kamu?" Asy-Syibil berkata, "Tidak, wahai putra Rasulullah." Imam Zainal Abidin pun mengungkapkan, "Kalau begitu, engkau belum masuk ke Masjidil Haram."
Maksudnya, apabila ada orang yang berangkat haji kemudian pulang ke tanah airnya, akan tetapi dia masih menggunjingkan orang-orang beriman, masih juga mencemoohkan, mengejekatau menyakiti orang Islam dengan menjatuhkan kehormatannya, merendahkan kemuliannya, pada hakikatnya dia sama sekali belum berhaji. Dia belum pernah datang ke Masjidil Haram. Masjid ini disebut Masjidil Haram karena masjid ini dibangun untuk menegakkan kehormatan manusia. Rasulullah Saw. sendiri mengajarkan makna haram. Di dalam buku Tafsir bil Matsur disebutkan, "Ketika Rasulullah thawaf mengelilingi Kabah, beliau berhenti di Multazam, beliau bergantung di tirai Kabah kemudian beliau bersabda, "Duhai Kabah, betapa mulianya engkau, betapa agungnya engkau, betapa luhurnya engkau. Namun, demi Zat yang diriku ada di tangan-Nya, kehormatan seorang Muslim lebih tinggi dari kehormatan Kabah." Karena itu, dalam Islam, menjatuhkan kehormatan seorang Muslim termasuk dosa besar. Meruntuhkan kemuliaan. seorang Muslim dosanya lebih besar daripada meruntuhkan kemuliaan Kabah.
Belakangan, saya sering mengulang-ngulang pesan Al-Quran yang sangat agung ini karena saya menemukan kenyataan yang sangat menyedihkan, khususnya di kalangan aktivis masjid. Orang-orang yang sudah mulai mengaji, mungkin kalau perempuannya sudah memakai jilbab-jilbab, kadang- kadang merasa jilbabnya jauh lebih sempurna dari jilbabnya Ibu Theresa. Mungkin para aktivis laki-lakinya, ke mana pun pergi selalu membawa dan membaca Al-Quran. Mereka menjadi panitia untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan pengajian di berbagai tempat. Sayangnya, saya menemukan ada semacam kebiasaan untuk mempergunjingkan sesama kaum Muslim. Ada kebiasaan, bahkan kesenangan untuk menyebarkan kejelekkan sesama hamba Allah, membongkar aibnya, kemudian menyebarkannya. Padahal, hal itu menjatuhkan kehormatan kaum Muslimin.
Ketika sampai berita kepada Imam Muhammad Baqir, "Imam, dilaporkan kepada saya oleh orang yang saya percayai bahwa si Fulan menjelek-jelekkan saya di belakang. Dan orang yang melaporkan itu adalah orang yang saya percayai. Namun ketika saya cek kepadanya, dia tidak mengakuinya. Dia merasa tidak pernah menjelek-jelekkan saya. Apa yang harus saya lakukan?" Imam Baqir berkata, "Sekiranya orang yang kamu percayai itu membawa empat puluh orang lagi dan melaporkan kepada kamu pembicaraannya dan dia menolaknya, bohongkanlah yang empat puluh orang itu dan terimalah penolakan itu."
Jadi, bohongkanlah orang yang menuduh macam-macam kepada saudara kita dan benarkanlah penolakan dia. Karena sekiranya engkau membenarkan para pelapor keburukan itu, engkau akan termasuk orang yang dikutuk Allah karena menyebarkan aib kaum Muslimin di tengah-tengah umat manusia.
Mengapa menyebarkan aib termasuk dosa besar? Sebab, dia menjatuhkan kehormatan Muslim, dan menjatuhkan kehormatan Muslim itu, dosanya jauh lebih besar daripada menjatuhkan kehormatan Kabah yang disebut Baitul Haram. Nabi Saw. juga menjelaskan arti haram ini sebagai kehormatan ketika beliau berkhutbah pada khutbahnya yang terakhir saat Haji Wada. Menurut riwayat, khutbah Rasulullah Saw, itu disampaikan di Arafah. Ada juga yang menyebut kalau beliau khutbah sekali lagi di Mina.
Beliau memulai khutbahnya dengan bertanya, "Ini negeri apa menurut kalian?"
"Baladul Haram ya Rasulullah, Ini negeri haram."
"Bulan apa ini menurut kalian?"
"Syahrul Haram."
"Hari apa ini menurut kalian?"
"Yaumul Haram."
Rasulullah Saw. bersabda, "Ketahuilah oleh kalian, sebagaimana haramnya negeri ini, sebagaimana haramnya hari ini, maka haram jugalah kemuliaan kaum Muslimin." Maksudnya, sebagaimana mulianya bulan ini, tahun ini, tempat ini, dan ibadah yang mulai ini, begitu juga mulianya kehormatan kaum Muslimin. Rasulullah Saw, bersabda, "Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya, darah dan kehormatannya diharamkan atas kamu." Lalu, Rasulullah Saw. menghubungkan kata kehormatan ini dengan diharamkannya kehormatan seorang Muslim untuk dijatuhkan, dan diharamkan darahnya untuk ditumpahkan.
Ketika kita memuliakan Baitullah Al-Haram kita juga sekaligus memuliakan kaum Muslimin. Mengapa saya sering mengulang bagian ini? Ini terjadi karena kekecewaan saya menyaksikan betapa mudahnya kita menjatuhkan kehormatan orang lain, terutama yang seagama. Saya mendengar sebuah cerita menarik dan ini benar-benar terjadi. Ada seorang karyawati Muslimah di Jakarta. Biasanya, mereka tinggal di rumah-rumah kost-an. Awalnya, karyawati ini tinggal di asrama orang-orang Kristen. Di sana, ia diperlakukan dengan sangat terhormat. Kalau pulang ditegur, kalau ada acara dia diajak bergabung, kadang-kadang minum bersama walaupun mereka tahu kalau ia beragama Islam. Satu saat, seseorang bertanya, "Mengapa kamu tinggal di asrama Kristen? Mengapa tidak memilih asrama Muslimah yang ada juga di sekitar itu?" Akhirnya, dia pindah ke tempat kost yang hanya diisi oleh perempuan Muslimah. Karyawati ini belum memakai jilbab. Begitu dia masuk ke situ, dia menghadapi wajah-wajah yang garang dan begitu dia agak jauh, mereka mempergunjingkannya karena tidak mengenakan kerudung. Kalau perempuan yang pakai kerudung pulang, ia disambut dengan pelukan, cium pipi kiri, cium pipi kanan. Akan tetapi, kalau dia pulang, mau salam tangan saja, mereka memalingkan wajah, karena dia tidak pakai kerudung. Tersiksalah perempuan itu. Kalau ada acara minum-minum teh, dia tidak pernah diundang. Pokoknya kalau dia hadir di situ dia di-ignore oleh kawan-kawannya. Dosanya hanya karena dia tidak memakai kerudung. Hanya karena tidak memakai jilbab, dia dijatuhkan kehormatannya, dia dicemoohkan, dia diasingkan, dia diejek. Padahal, karena perbuatan seperti itu, semua pahala orang memakai kerudung terhapus karena menjatuhkan kehormatan saudaranya. Akhirnya, dia mengadu bahwa dia tidak betah, akan tetapi mau masuk lagi ke asrama Kristen dia juga tidak mau.
Jadi, kita mempunyai kecenderungan untuk menjatuhkan. kehormatan orang Islam hanya karena berbeda mazhab atau pendapat. Boleh jadi, sekarang pun berbeda cara memakai kerudung saja sudah saling melirik dengan lirikan permusuhan. Anak saya pernah ditegur karena kerudungnya berbeda dengan perempuan-perempuan yang "salehah". Tegurannya sangat kasar, "Apakah kamu tidak malu telanjang di hadapan orang banyak." Anak saya yang pakai jilbab saja masih dihitung sebagai telanjang. Di sini, salah seorang jamaah Al-Munawwarah ada yang bertanya kepada saya, "Ustadz, bagaimana sih hukumannya kerudung lontong?" Saya sendiri tidak mengerti seperti apa "kerudung lontong" itu. Dalam ilmu bahasa, menurut salah seorang ahli linguistik, ada kata-kata yang kita ciptakan "khusus" untuk membahagiakan orang lain. Namun, ada pula yang disebut kata-kata seringai, yaitu kata-kata yang diciptakan khusus untuk menyerang dan menjatuhkan kehormatan orang lain. "Bloon" misalnya, "sebel" dan sebagainya. Itu kata-kata yang diciptakan untuk menjatuhkan kehormatan orang lain, termasuk pula kerudung lontong. Kata "lontong" ini bukan berarti lontong yang kita makan, ia mengandung makna khusus yang bersifat serangan. Betapa mudahnya kita menjatuhkan kehormatan orang lain. Padahal, seharusnya kita memuliakan sesama manusia, sebagaimana kita memuliakan Kabah.
Saya teruskan lagi ucapkan Imam 'Ali, "Allah telah mewajibkan kepada kamu untuk pergi menuju rumah-Nya Al-Haram, rumah-Nya yang dimuliakan. Dia jadikan rumah bagi seluruh umat manusia." Mereka datang kepadanya seperti datangnya binatang-binatang ternak.
Penafsiran berikutnya adalah kata yaridûnahu wurudal anʼam. Yaridun berasal dari kata waroda. Arti dari kata itu adalah datangnya binatang ternak untuk minum. Biasanya binatang-binatang itu punya tempat minum lalu mereka datang ke sana untuk minum. Datangnya itu disebut waroda yaridu. Nah, Imam 'Ali mengibaratkan jamaah haji itu seperti hewan-hewan yang berkumpul di suatu tempat untuk minum minuman ruhaniah yang agung. Kata Imam, "Mereka merindukan Kabah seperti rindunya burung merpati." Itu adalah peribahasa Arab. Kita tahu, kalau burung itu suka berkumpul di satu tempat, yaitu tempat yang mereka senangi, tempat yang mereka sayangi.
Wa ya'lahûna ilayhi wula hal hamâm. Mereka merindukannya seperti kerinduannya burung-burung merpati. Ya'lahûna berasal dari walaha. Akar katanya adalah Ilah yang artinya Tuhan. Ilah itu artinya Tuhan tetapi juga mengandung arti "yang dirindukan". Karena itu, ada sebagian orang yang berpendapat kalau kata walaha di situ artinya 'abada, menyembah. Ilah artinya yang disembah. Memang, salah satu makna kata Ilah adalah yang disembah.
"Dan mereka merindukan Kabah itu seperti kerinduannya burung-burung merpati untuk berkumpul di sekitar tempat yang mereka senangi."
Biasanya, orang yang sudah menunaikan ibadah haji, tentu ada beberapa pengecualian tetapi pengecualiannya sedikit, setelah ibadah haji dia senantiasa merindukan untuk datang lagi ke sana. Bahkan, ketika diperlihatkan Kabah boleh jadi berurai air matanya. Ada kerinduan yang tidak terpuaskan untuk menjenguk kembali Baitullah Al-Haram; rumah Allah yang dimuliakan itu. Jadi, kata Imam 'Ali, kerinduan kepada Kabah itu seperti burung-burung merpati yang merindukan tempat berkumpulnya. Karena itu, burung merpati sering dijadikan burung pos. Sebabnya, karena dahulu, kalau orang mau pergi berperang, dia membawa merpati dari rumahnya, agar nantikalau berada di medan perang, dia bisa memberi kabar kepada keluarganya. Dia gantungkan surat itu di kaki sang merpati. Burung ini pun akan kembali lagi ke tempatnya. Ajaibnya, merpati selalu tahu jalan pulang walaupun ia telah dibawa pergi ke tempat yang sangat jauh, seolah-olah ia memiliki sistem navigasi supercanggih yang akan memandunya untuk kembali lagi ke rumah tuannya, di mana dia tinggal untuk berkumpul bersama rekan-rekannya yang lain. Imam 'Ali mengibaratkan jamaah haji itu sebagai burung-burung merpati. Kita ini, jamaah haji yang tersebar di seluruh dunia, sebetulnya adalah burung- burung merpati. Rumah kita yang hakiki adalah Kabah.
Bukankah menurut Al-Quran, rumah yang pertama yang diciptakan untuk manusia adalah bangunan suci di Makkah? Itulah rumah kita semua. Jadi, ketika kita menunaikan haji ke Makkah, hakikatnya kita bagaikan merpati-merpati yang kembali ke sarangnya.
Selanjutnya, Imam 'Ali mengatakan, "Allah jadikan ibadah haji itu sebagai 'alamah," sebagai tanda, sebagai indikator. Kata 'alamah dalam bahasa Indonesia menjadi alamat. Ia berasal dari kata "ilmu" yang artinya mengetahui. Jadi 'alamah berarti sesuatu yang dari situ diketahui sesuatu yang lain.
Allah Swt. menjadikan haji ini sebagai pertanda, sebagai alamat tentang kerendahan manusia di hadapan kebesaran- Nya. "Kemudian mereka tunduk karena keagungan-Nya. Allah telah memilih dari makhluknya." Orang yang bisa berangkat haji itu adalah manusia-manusia pilihan Allah Swt. Karena itu, kalau sudah terpilih menjadi peserta ibadah haji, termasuk dosa besar apabila kita menghindari pilihan itu. Allah sudah memilihnya tetapi kita malah menghindarinya, hanya karena urusan duniawi semata. Dalam sebuah hadits disebutkan, kalau orang sudah dipilih Tuhan untuk berangkat haji, kemudian dia tidak berangkat karena urusan dunia yang harus diselesaikannya, maka dia tidak akan menyelesaikan urusan dunianya itu sebelum seluruh jamaah haji pulang ke tanah air.
Ketika Rasulullah Saw. membaca ayat, "Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar)," (QS. Al- Isra' [17]: 72). Para sahabat bertanya, "Siapa itu ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Orang yang suka menangguh-nangguhkan ibadah haji." Sudah ada uangnya tetapi dia tangguhkan terus karena kesibukannya. Yang seperti itu adalah orang yang buta di dunia ini dan di akhirat juga akan buta dan termasuk orang- orang yang rugi. Dalam hadits lain, Rasulullah Saw. bersabda, "Barangsiapa yang tidak mau menunaikan haji dan menangguh-nangguhkan hajinya, padahal dia sudah mampu, dia boleh mati sebagai Yahudi atau Nasrani." Maka, dalam khutbahnya ini, Imam 'Ali menggunakan kata, "Allah sudah memilih di antara makhluk-Nya, orang-orang yang mau mendengar panggilan-Nya." Ada sebuah hadits juga, dulu Nabi Ibrahim itu memanggil manusia untuk datang ke Kabah. Setelah Nabi Ibrahim menitipkan anaknya di depan Kabah, meninggalkan istrinya di situ, ia pun naik ke puncak bukit, lalu berdoa, di antara doanya, "Ya Allah, jadikanlah hati manusia terpaut ke tempat ini.

Jadikanlah hati manusia selalu rindu ke tempat ini." Menurut riwayat, panggilan Nabi Ibrahim ini dijawab oleh calon-calon manusia yang masih berada di alam dzar (Primordial). Mereka inilah yang kemudian mendapat kesempatan untuk berangkat haji.
Sesungguhnya, jamaah haji itu mengikuti jejak para nabi sebelumnya. Di sekitar Kabah terdapat kuburan lebih dari tiga ratus nabi sepanjang sejarah. Para jamaah haji berhenti di tempat berhentinya para nabi. Para jamaah haji menyerupai para malaikat yang thawaf mengelilingi 'Arasy sebagaimana para malaikat berputar mengelilingi 'Arasy Allah. Katanya, putaran jamaah haji itu yang berlawanan dengan arah jarum jam— adalah putaran para malaikat di 'Arasy, juga putaran seluruh benda di alam semesta ini. Bumi kita mengelilingi matahari seperti gerakan thawaf, bertentangan dengan arah jarum jam. Bulan pun mengelilingi bumi seperti gerakan thawaf.
Itulah sebabnya, apabila sedang thawaf mengelilingi Kabah, saya selalu membayangkan para malaikat berkeliling di sekitar 'Arasy, lalu membayangkan seluruh alam semesta berkeliling dalam satu aturan yang sama. Dalam kondisi demikian, bulu kuduk saya biasanya langsung berdiri dan saya pun tidak kuasa lagi menahan jatuhnya butir-butir air mata. Seperti itulah, jamaah haji menggabungkan diri dengan seluruh alam semesta untuk tunduk dihadapan kebesaran Allah Swt. Sebagaimana digambarkan oleh Imam 'Ali, "Mereka mengumpulkan pahala keberuntungan dalam perniagaan ibadah mereka."
Dalam komentar Nahjul Balaghah, Ibnu Abi Al-Hadidi menceritakan tentang keutamaan Baitullah, Kabah, dan keutamaan ibadah haji, untuk menunjukkan berbagai pahala yang akan kita dapatkan di dalamnya. Pernah, kepada Rasulullah Saw. datang seseorang yang bernasib malang. la kehilangan kesempatan untuk ikut serta berhaji bersama Rasulullah, "Wahai Nabi, saya ini ketinggalan ibadah haji. Saya tidak jadi beribadah haji tahun ini. Sebutkan berapa ganti yang harus saya keluarkan untuk menebus dosa saya ini karena tidak bisa haji, sehingga saya bisa mendapatkan pahala yang sama seperti pahala ibadah haji? Berapa yang harus saya keluarkan untuk menebus itu?" Rasulullah Saw. menjawab, "Coba perhatikan oleh kamu bukit Abi Qubays itu ̶ yang hampir menutupi setengah kota Makkah. Andai bukit Abi Qubays itu terdiri dari emas merah yang sangat mahal harganya, kemudian kamu infaqkan senilai bukit emas Abi Qubays itu, kamu tidak akan bisa menandingi besarnya pahala ibadah haji."
Imam 'Ali kemudian melanjutkan, "Allah jadikan ibadah haji ini sebagai tanda keIslaman seseorang dan juga sebagai tempat bernaung bagi orang yang mencari perlindungan. Allah wajibkan hak-Nya lalu Allah tetapkan hajinya."
Karena itu, Allah Swt. berfirman, "Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), sesungguhnya Allah Mahakaya dari semesta alam," (QS. Ali Imran [3]:97).
Hal paling utama dari ibadah haji adalah, bahwa tujuannya satu, yaitu untuk Allah saja, bukan untuk tujuan-tujuan lain. Karena itu, kita tidak boleh berangkat haji sebagai sampingan, harus semata-mata karena Allah. Saya pernah mendengar cerita dari seorang Iran, Dr. Muwahidi. Dia bercerita tentang seorang ulama saleh. Ketika itu, ia akan berziarah ke Masyhad. Ia memberi tahu ibunya bahwa ia mau berziarah ke pusara Imam 'Ali Ridho. Ibunya mengatakan kalau di Masyhad itu ada sejenis alat kesenian tradisional, dan ia menginginkannya sebagai oleh-oleh dari Masyhad. "Tolong sambil berangkat ke sana, belikanlah satu sebagai hadiah." Akhirnya, ulama ini pergi. Ia membeli pesanan khusus itu, dan tidak lama kemudian pulang lagi. Ibunya bertanya, "Mengapa begitu cepatnya engkau kembali?' Dia menjawab, "Kepergian saya ke Masyhad itu hanya untuk membeli pesanan ibu. Saya tidak ingin berziarah ke Masyhad sambil membeli pesanan ibu." Lalu, dia pergi lagi ke Masyhad untuk berziarah saja bukan untuk hal yang lainnya.
Artinya, kalau orang mau beribadah haji, tujuan utamanya itu harus untuk Allah Swt. semata. Tidak boleh ada tujuan yang lain. Ketika saya dan istri berniat melaksanakan haji (pertama kali untuk istri saya), saya diundang ke London untuk menghadiri sebuah konferensi. Lalu saya pikir, sambil menghadiri konferensi itu, saya pun berniat untuk beribadah haji. Jadi, ibadah hajinya itu sampingan saja, tujuan utamanya adalah pergi ke London. Ternyata, di London saya tidak berhasil memperoleh visa. Kemudian, saya pergi ke Belanda. Anehnya, di sana pun saya tidak berhasil mendapatkan visa, hingga akhirnya saya pulang ke Indonesia. Rupanya Allah Swt. tidak menyukai orang yang menjadikan hajinya sebagai ibadah sambilan. JR wa mā taufīqī illā billāh, 'alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb
Allâhumma shalli 'alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ'atahum
***
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).