Akhi
ILMU LEBIH UTAMA DARIPADA IBADAH

Saya diingatkan oleh sebuah hadis yang bunyinya, kurang lebih, begini: 2 rakaat shalat orang alim adalah lebih baik daripada 1.000 rakaat shalat orang bodoh." Hadis ini saya perkuat dengan hadis lain: "Tidur seorang alim lebih baik daripada ibadah seorang jahil." Jadi, sekiranya pada tengah malam seorang alim terlelap tidur, sementara seorang jahil bangun melakukan shalat, maka tidurnya orang alim itu lebih baik daripada ibadahnya orang yang tidak berilmu.
Mungkin ada yang berpikir, "Tidak adil rasanya keistimewaan yang diberikan kepada orang alim, sampai-sampai tidurnya saja menandingi ibadahnya orang jahil." Ada orang yang mempersoalkan, menggugat hadis ini; terutama orang-orang jahil. Malah, kalau sempat, mereka ingin membuka-buka, mencari keterangan bahwa hadis Nabi di atas adalah dha'if, supaya mereka puas dalam ketidaktahuannya. Imam Ali kw pernah berkata, "Ada kelompok orang yang membuat punggungku patah. Pertama, orang bodoh yang puas dengan kebodohannya; dan kedua orang alim yang tidak mengamalkan ilmunya."
Dengan demikian, sebetulnya orang-orang berilmu juga akan menghadapi siksaan yang lebih besar daripada orang bodoh. Ketika seorang alim berbuat dosa, maka dosanya dilipatgandakan. Sebab, seorang jahil berbuat dosa karena ketidaktahuannya; sedangkan orang alim berbuat dosa karena ketahuannya. Dalam sebuah ayat Al-Quran disebutkan, Allah mengampuni orang-orang yang bodoh karena kebodohannya. Orang berilmu juga menggugat keterangan yang menyebutkan bahwa siksaan orang pintar - ketika ia berbuat dosa - dilipatgandakan, sementara orang-orang jahil tidak. Di situlah letak keadilan Ilahi.
Kita harus memahami hadis di atas untuk menunjukkan betapa berharganya ilmu; bahkan, usaha untuk mencari ilmu jauh lebih dihargai daripada berzikir. Jika dibandingkan dengan berzikir, mencari ilmu itu lebih utama. Rasulullah pernah masuk ke sebuah majelis. Di majelis itu, tampak ada 2 kelompok; yang pertama sedang berzikir, dan yang kedua sedang mempelajari ilmu. Rasulullah Saw bersabda, "Kelompok pertama adalah kelompok yang baik. Mudah-mudahan Allah mengampuni mereka. Sedangkan kelompok kedua sedang mempelajari ilmu; mudah-mudahan Allah membimbing mereka ke jalan yang lurus."
Maksud Rasulullah Saw, barangkali, merujuk ayat Al-Quran yang menyatakan bahwa salah satu tugas dibangkitkannya beliau sebagai rasul ialah mengajarkan ilmu: Huwa al-ladzi ba'atsa fi al- ummiyyin rasulan yatlu ayatih. Dialah yang telah mengutus di kalangan orang-orang ummi seorang rasul untuk membacakan ayat-ayat-Nya (QS Al-Jumu'ah [62]: 2). Rasulullah Saw bersabda, "Innama buitstu mu'alliman. Sesungguhnya aku diutus sebagai seorang yang mengajarkan ilmu." Beliau juga bersabda, “Jika kamu bangun pagi hari dan membuka satu bab ilmu pengetahuan, itu lebih baik bagi kamu daripada ibadah semalam suntuk." Jadi, orang yang shalat tahajud, tidak tidur satu saat pun, pahalanya kalah besar dari orang yang mempelajari satu bab ilmu. Yang paling baik adalah orang yang banyak berzikir, sekaligus banyak mempelajari ilmu.
Pada perkembangan mutakhir, ternyata banyak orang yang merasa nikmat dengan menghadiri majelis zikir daripada majelis ilmu. Inilah yang menyebabkan orang Islam ketinggalan dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dari bangsa-bangsa lain. Syaikh Syaqib Arsalan menulis dalam bukunya : Limadza Taakhara Al-Muslimun wa Taqaddama Ghairahum? (Mengapa Umat Islam Terbelakang sedangkan Umat Non-Muslim maju?). Salah satu di antara jawabannya adalah karena pernah, dalam perkembangan umat Islam, kita lebih mengutamakan majelis zikir daripada majelis ilmu. Sekarang tampaknya kita harus menggeser lagi perhatian seperti itu supaya kita memerhatikan majelis ilmu, untuk menutupi kekurangan ibadah, bukan mengganti ibadah. Betapapun banyaknya ibadah-ibadah yang kita lakukan, masih banyak kekurangannya dibandingkan dengan anugerah Allah kepada kita. Untuk menutupi kekurangan itulah, kita menghadirkan majelis-majelis ilmu, membaca buku, mempelajari satu bab dari buku; bukan buku agama saja, tetapi juga berbagai buku ilmu pengetahuan.
Orang sering mengatakan bahwa Islam adalah agama egalitarian, agama yang menekankan persamaan. Meskipun demikian, dalam Islam, ada yang harus dibedakan. Al-Quran menegaskan bahwa dalam hal itu kita harus "diskriminatif”. Dalam hal ilmu, kita tidak boleh memperlakukan sama. Kita tidak boleh membedakan orang karena kekayaannya, keturunannya, jabatannya, atau asal-usulnya. Kita hanya membedakan orang dari ilmunya. Dalam hal ilmu, kita harus membedakan orang. Bahkan, Allah Swt menegaskan beberapa kali: "Apakah sama orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu?" (QS Al-Zumar [39]: 9). Pertanyaan dalam ayat itu adalah pertanyaan retoris; artinya, jawabannya sudah pasti, yaitu "tidak sama." "Apakah sama orang- orang yang buta dengan orang yang melihat?" (QS Al-An'am [6]: 50; Al-Ra'd [13]: 16); "Apakah sama kegelapan dengan cahaya?" (Al- Ra'd [13]: 16).
Berulang kali Al-Quran menyebutkan bahwa tidak sama antara kebodohan dan ilmu. Kemuliaan dalam Islam terletak dalam ilmu. Karena itulah, Islam menunjukkan keutamaan majelis ilmu dibandingkan majelis zikir. JR
***
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).