top of page
  • Writer's pictureAkhi

Iman dan Amal Sosial


Kata Islam berasal dari salima yang berarti bersih, selamat atau tidak mengandung hal-hal yang kurang baik. Sesuatu yang bersih dan selamat dari cacat dan kekurangan dinamakan salim. Orang yang selamat disebut salim, sehingga hati yang selamat dinamakan qalb salim.


Dalam Al-Quran, Islam juga berarti penyerahan diri. Bentuk penyerahan diri ini bisa jadi hanya dalam bentuk lahiriah saja tanpa disertai iman. Walaupun demikian, Islam dalam pengertian ini ̶ yang hanya lahiriah tanpa disertai iman ̶ sudah mengandung implikasi hukum. Yaitu bahwa darah dan kehormatannya sudah harus terpelihara. Dia harus diperhatikan sebagai seorang Muslim. Kalau meninggal dunia, dia harus dishalatkan. Dalam Surah Al-Hujurat ayat 14 disebutkan:


Orang-orang Arab Badui berkata: "Kami telah beriman." Katakanlah (kepada mereka): "Kamu belum beriman, tetapi katakanlah 'Kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu, dan jika kamu taat kepada Allah dan rasul-Nya, Dia tiada akan mengurangi sedikit pun (pahala) amalanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS 49:14)


Jadi, ada sejenis makna Islam yang berarti penyerahan diri, yang sifatnya hanya dalam bentuk luarnya saja. Tetapi ada juga Islam yang merupakan penyerahan diri secara total; berikut hati, pikiran dan berserah diri pada sesuatu yang disyariatkan oleh Allah Swt. Ini kita dapati dari ucapan Nabi Ibrahim, “Aku berserah diri kepada Tuhan semesta alam" (QS 2:131).


Nabi diberi sifat sebagai orang yang berserah diri (Islam) secara keseluruhan.


Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat yang di dalamnya ada petunjuk dan cahaya yang menerangi; yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang berserah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi ter- hadapnya. Karena itu, janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat- ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS 5:44)


Semua pengabdian diri kita kepada Allah dinamakan ibadah. Dan ibadah yang berupa amal saleh seseorang sangat bergantung kepada keimanan mereka. Oleh karena, itu dalam Al-Quran, sering kali disebutkan rangkaian kata antara iman dan amal saleh; untuk menunjukkan bahwa amal saleh merupakan manifestasi dari iman. Islam tidak memandang iman sebagai sesuatu yang terpisah dari amal saleh. Bahkan dalam Al-Quran amal saleh disebutkan sebagai tanda keimanan.


Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya. (QS 23: 1-2)


Dalam sebuah hadis juga disebutkan bahwa tanda iman adalah amal saleh, ketika Nabi menjelaskan siapa orang yang beriman itu.


Tidak beriman kamu sebelum kamu mencintai saudaramu seperti kamu mencintai dirimu sendiri.

Tidak beriman kamu kalau kamu tidur kenyang sementara tetangga kelaparan di samping kamu.

Siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, muliakanlah tetanggamu.

Siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, bicaralah yang baik atau diam saja.


Dari hadis-hadis ini, Nabi yang mulia mendefinisikan iman dengan sejumlah amal saleh. Ini bisa kita lihat dari hadis-hadis dalam bab iman. Malah saya berani mengatakan bahwa sering kali iman itu ditandai dengan bentuk amal sosial, daripada amal saleh yang bersifat ritual.


Memang, sebetulnya agak sulit kita membedakan ibadah ritual/mahdhah dengan ibadah sosial itu, karena setiap ibadah mahdhah mempunyai dimensi sosial. Tetapi untuk memudahkan pembicaraan kita, perlu dibedakan bahwa yang dimaksud ibadah mahdhah adalah ibadah ritual yang berupa upacara-upacara untuk menyembah Allah. Dan ibadah sosial adalah ibadah yang berupa amal saleh dalam bentuk sosial. Kesemuanya itu dilakukan dalam rangka mengabdi kepada Allah Swt.


Para ulama membedakan ini dari segi hukum. Misalnya ada ketentuan bahwa dalam urusan ibadah mahdhah tidak diperkenankan kita ikut serta memikirkan cara-caranya. Sementara ibadah sosial kita tidak terikat kepada cara yang sudah ditentukan. Misalnya, Rasulullah sering memberi makan fakir miskin, tentu kita tidak harus memberi makan mereka dengan makanan seperti yang dilakukan Rasulullah. Kita bisa mengganti dengan memberi uang untuk belanja mereka. Atau memberi mereka pekerjaan supaya dapat penghasilan.


Ibadah dalam arti mahdhah ini sebenarnya tidak banyak di dalam Islam. Misalnya, shalat, puasa, zakat, haji, aqiqah, dizikir, dan doa. Semua itu merupakan upacara ritual yang maksudkan untuk menyembah Allah Swt.


Semua agama mempunyai dimensi ritual ini. Bahkan seorang sosiolog menyebutkan bahwa dari semua agama itu ada dimensi intelektual, ritual, mistik, dan sosial. Dimensi intelektual berkenaan dengan pengetahuan dan kepercayaan kita tentang agama. Dimensi mistik berkenaan dengan tata cara mendekati Tuhan yang memberikan pengalaman kepada kita yang sangat spesifik. Dimensi ritual berkenaan dengan ritus-ritus untuk menyembah Allah Swt., sedangkan dimensi sosial merupakan aturan-aturan untuk hidup bermasyarakat.


Kita sering mengatakan bahwa Islam tidak hanya mengatur hubungan dengan Allah Swt., tetapi juga hubungan dengan manusia. Sebenarnya semua agama mencakup seluruh permasalahan itu. Hanya saja persoalannya adalah mana yang paling dominan di antara dimensi-dimensi itu. Ada agama yang sangat menonjol dalam dimensi mistik, misalnya agama Buddha. Ada pula yang lebih menonjol dimensi ritualnya. Dan saya kira agama Hindu sangat kaya dengan ritus itu.


Menurut saya, Islam menekankan ibadah dalam dimensi sosial jauh lebih besar daripada dimensi ritual. Tentu saja hal ini dengan beberapa alasan. Pertama, kalau kita kembali kepada ciri-ciri orang Mukmin atau orang takwa, maka ditemukan di situ bahwa ibadah ritualnya satu saja tetapi ibadah sosialnya banyak.


Misalnya ̶ "Berbahagialah orang-orang yang beriman, yaitu orang yang khusyuk dalam shalatnya (dimensi ritual); yang mengeluarkan zakat (dimensi ritual yang banyak mengandung unsur sosial); orang yang berpaling dari hal-hal yang tidak bermanfaat (dimensi sosial); dan mereka yang memelihara kehormatannya kecuali kepada istrinya (dimensi sosial)." Anehnya, kita sering mengukur orang takwa dari ritualnya ketimbang sosialnya.


Kedua, kalau ibadah itu ibadah ritual, dan kebetulan pekerjaan itu bersamaan dengan pekerjaan yang lain yang mengandung dimensi sosial di dalam Islam, kita diberi pel- ajaran mendahulukan yang sosial. Misalnya Nabi pernah melarang membaca surah yang panjang-panjang di dalam shalat berjamaah. Nabi pernah memperpanjang waktu sujudnya hanya karena di pundaknya ada cucunya di situ. Bahkan dalam sebuah riwayat, ketika Nabi sedang shalat sunnah beliau berhenti dan membukakan pintu untuk tamu yang datang. Itu semua karena pertimbangan sosial.


Ketiga, kalau ibadah ritual kita bercacat, kita dianjurkan untuk berbuat sesuatu yang bersifat sosial. Misalnya ritual puasa. Kalau kita melanggar larangan puasa, maka salah satu tebusannya adalah memberi makan kepada fakir miskin. Juga ritual haji, kalau terkena dam, kita harus menyembelih binatang dan dagingnya dibagikan kepada fakir miskin. Tentu ada tebusan yang bersifat ritual, tetapi itu dilakukan bila kita tidak mampu melaksanakan yang berdimensi sosial. Dan sebaliknya, kalau ada cacat dalam ibadah dimensi sosial, maka amal ibadah ritual tidak bisa dijadikan sebagai tebusan ibadah sosial itu. Misalnya, kalau kebetulan kita berbuat zalim terhadap tetangga, maka kezaliman itu tidak bisa dihapuskan dengan shalat malam selama sekian malam. Sepanjang pengetahuan saya tidak ada keterangan tentang itu.


Bahkan banyak keterangan malah mengatakan bahwa orang yang shalatnya baik atau ibadah mahdhah-nya baik tetapi kemudian amalnya jelek secara sosial, maka Allah tidak menerima seluruh amal ibadah mahdhah-nya itu. Seperti pernah seseorang datang kepada Rasulullah yang mengadukan ada seorang perempuan yang puasa tiap hari dan shalat malam dengan rajin tetapi dia menyakiti tetangga dengan lidahnya. Apa kata Rasulullah? "Perempuan itu di neraka," sabdanya.


Banyak hadis yang menjelaskan tentang terhapusnya amal ritual itu apabila seseorang tidak berhasil beramal baik secara sosial.


Sekarang apa yang dimaksud amal saleh itu? Sebagian ulama memberikan dua syarat untuk amal saleh. Pertama, bentuk amal saleh itu dianjurkan oleh syariat. Kedua, niat orang yang melakukan itu harus ikhlas. Ketika saya berbicara tentang amal-amal sosial di sini, maka yang dimaksud adalah amal saleh yang bersifat sosial. Dan dampak dari amal ritual itu tampaknya didesain oleh Allah untuk memberi dampak pada kehidupan sosialnya.


Misalnya, dalam shalat kita dilatih untuk disiplin waktu. Dalam berjamaah kita dilatih untuk berkomunitas dengan seorang pemimpin yang kita ikuti bersama. Shaum pun mempunyai unsur sosial; begitu pula haji. Apalagi zakat.


Mencari nafkah yang halal termasuk ibadah yang oleh Islam dipandang sebagai amal saleh. Bahkan ia termasuk amal saleh yang utama yang wajib dilakukan oleh seseorang; yaitu untuk menebus dosa. Karena ada beberapa cara menebus dosa yang harus dilakukan oleh orang itu sendiri, atau yang sering kita namakan kifarat. Rasulullah pernah bersabda bahwa ada dosa yang tidak bisa ditebus dengan seluruh amal saleh apa pun kecuali dengan kepayahannya mencari nafkah yang halal. Artinya ketika dia bekerja keras dan mengalami kesusahan, maka kepayahannya itu menjadi penebus dosa- dosa yang tidak bisa ditebus dengan amal lain, seperti zikir, istighfar, dan tahajud. Jadi kerja dalam Islam dipandang sebagai amal saleh. Karena itu, kalau bekerja, niatkanlah sebagai amal saleh.


Kedua, Islam tidak mengukur dari halus dan kasarnya jenis pekerjaan itu tetapi dilihat dari halal dan haramnya. Ketika Rasulullah pulang dari perang ̶ yang pada waktu itu tidak jadi perang karena musuhnya tidak datang ̶ di tengah perjalanan ada seseorang yang bernama Sa'ad Al-Anshari datang kepada Rasulullah. Dia mengeluh dan memperlihatkan telapak tangannya yang pecah-pecah. Ketika Rasulullah bertanya, "Mengapa?" Sa'ad menjawab, "Saya ini bekerja mencari nafkah yang halal buat keluarga dengan membelah batu. Kemudian batu itu kami jual. Setiap hari saya kerja begitu." Kemudian Rasulullah mengambil tangan yang kasar karena pecah itu dan menciumnya seraya berkata, "Tangan seperti inilah yang kelak akan dicintai Allah."


Dengan demikian, Islam mengukur suatu pekerjaan bukan karena halus dan kasarnya pekerjaan itu. Yang dilihat adalah haram dan halalnya pekerjaan itu. Pekerjaan yang sekalipun halus tetapi haram tidak mendapat penghargaan dalam Islam.


Ketiga, Islam memandang pekerjaan yang dapat menghasilkan uang yang kemudian dengan uang itu dapat mendatangkan manfaat kepada orang lain merupakan pekerjaan yang mulia. Dalam salah satu hadis (yang maknanya kira-kira demikian) disebutkan, "Siapa yang mempunyai tanggungan yang banyak dan dia mempunyai hati yang tulus terhadap kaum Muslim, dia akan bersamaku." Dalam mencontohkan kata "bersamaku", Nabi memberi isyarat dengan jari tengahnya yang didekatkan dengan kedua jari di sampingnya. Ini untuk membuktikan bahwa orang itu begitu dekat dengan beliau.


Jadi tidak ada pandangan jenis pekerjaan tertentu yang dianggap kotor hanya karena pekerjaan itu kasar. Islam memandang pekerjaan yang banyak mendatangkan manfaat kepada orang lain merupakan amal saleh yang utama.


Karena itu pula orang yang mempunyai tanggungan yang banyak kemudian dia tidak mengeluh dan mencari nafkah untuk membiayai yang ia tanggung, dia dianggap sebagai orang yang utama.JR


***

KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).

89 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page