Akhi
ISLAM MASA KINI
Kebangkitan Islam adalah “istilah ajaib" yang muncul pada abad kelima belas Hijriah. Banyak orang yang terilhami dan tidak sedikit pula yang salah mengerti. Apa yang sesungguhnya terjadi dengan Islam dalam usianya yang panjang ini? Sudah sampai di manakah umat Islam membawa warisan Nabi Muhammad Saw. di tengah gejolak perubahan sosial yang begitu cepat? Adakah evolusi aktualisasi nilai-nilai Islam oleh umatnya yang dapat didata dan diproyeksikan ke masa depan?
Kita akan membuka buku ini dengan persoalan penting yang patut kita renungkan sungguh-sungguh pada zaman sekarang, sebelum menginjak pada pembahasan problem-problem kontemporer yang dihadapi umat Islam di Indonesia.
Perlu Keterbukaan
Pada tahun 399 sebelum kelahiran Nabi Isa a.s., di sebuah penjara kuno seorang laki-laki tua meminum racun dengan tenang. Kawan-kawannya tidak sanggup menahan tangisan. Ruang penjara yang pengap itu segera dipenuhi oleh tangisan. "Raungan aneh apa ini?" kata lelaki bercambang lebat itu. "Aku suruh perempuan keluar supaya mereka tidak mengganggu aku seperti ini. Bukankah orang harus mati dengan damai? Tenanglah, bersabarlah." Yang menangis menghentikan tangisan mereka. Malu. Perlahan-lahan robohlah orang tua itu.
Ketika muridnya menuliskan peristiwa kematiannya, dia masih juga terharu, "Itulah akhir hidup sahabat kami. Aku dapat menyebutnya sebagai orang yang paling bijak, paling adil, paling baik dari semua orang yang pernah aku kenal. Orang tua itu bernama Socrates. Murid yang setia dan menceritakan peristiwa itu adalah Plato, Mengapa orang bijak ini mesti mati? Dosa apa yang dia lakukan?
Socrates bukan penjahat. bukan pula koruptor. Dia hidup sangat sederhana, sehingga Xantippe, istrinya sering mengomel.
"Aku ini dukun beranak yang membantu orang untuk melahirkan. Bukan melahirkan anak, tetapi melahirkan gagasan," kata Socrates. Dia memang disenangi anak-anak muda. Setiap kali dia memberikan ceramah, ratusan anak muda Yunani yang cerdas berkumpul di sekitarnya. Dia mengajak mereka berpikir kritis. Dia mendorong mereka untuk membuka diri terhadap gagasan-gagasan baru. Jiwa-jiwa muda yang bersih terpesona. Mata mereka terbuka melihat dunia, persis seperti bayi yang baru lahir.
Socrates memang dukun beranak Untuk “profesi"-nya itu, dia harus mati. Dia pun rela mati, demi sebuah keterbukaan!
"Socrates meresahkan masyarakat," kata para pemuka masyarakat. Dia dipanggil ke pengadilan. Tetapi, Orakel di Delphi. Juga Plato dan para pemikir sepanjang sejarah, menyebutnya orang yang paling bijak. Dia memengaruhi orang ribuan tahun sesudah dia mati.
Lewat Plato, kira-kira seribu lima ratus kemudian, ada anak muda Islam yang memilih hidup seperti Socrates. Dia menjelajahi sudut-sudut negeri Persia dan menyauk hikmah Persia yang ditinggalkan orang. Dia menelusuri pelosok pelosok Anatolia dan Suriah, dan berguru kepada orang-orang sufi dan arif. Dia pun mendatangi kota-kota besar wilayah Islam waktu itu; berbincang dengan para filosof pencinta hikmah Yunani.
Akhirnya anak muda itu “terdampar” di istana Malik Zhahir, putra Shalahuddin Al-Ayyubi. Dia dicintai Malik karena kecerdasannya, kearifannya, dan terutama sekali karena keterbukaannya. Dia menyuruh orang untuk belajar filsafat, dan pada saat yang sama mendorong orang untuk menyucikan dirinya lewat tasawuf. Dia mengajak orang Islam untuk memperkaya dirinya dengan berbagai hikmah yang datang dari mana pun -Yunani, India, atau Persia. Anak-anak muda menyukainya, tetapi tidak para ulama. Mereka menuduh pemuda itu meresahkan masyarakat, merusak akidah, dan menyesatkan umat. Mereka mendesak Malik Zhahir untuk menangkapnya. Sang Pangeran yang sudah tercerahkan tidak ingin menangkap sahabatnya. Para ulama pergi “ke atas". Shalahuddin AlAyyubi, yang tengah memerlukan ulama, didesak untuk menghukum pemuda itu. Pada 587 Hijriah, seperti Socrates, anak muda ini mati di penjara karena dicekik atau karena kelaparan.
Delapan ratus tahun kemudian, Henry Corbin, filosof Prancis, menemukan peninggalannya. Syihabuddin Suhrawardi, anak muda yang mati terbunuh pada usia tiga puluh sembilan tahun itu, ternyata orang yang luar biasa. Bila Al-Farabi adalah Magister Secundus (Guru Kedua) yang menghidupkan ajaran Aristoteles yang rasional, maka Suhrawardi adalah Magister Secundus yang menghidupkan ajaran Plato yang ideal.
Suhrawardi adalah pendiri aliran Isyniqiyyah (iluminasionisme) dalam filsafat Islam. Dalam hidupnya yang singkat, dia telah menulis puluhan buku yang tebal. Dia filosof yang dikaruniai Allah kemampuan menulis seorang novelis. Salah satu bukunya, Al-Ghurbah Al-Gharbiyyah (Keterasingan Barat), adalah novel filsafat yang lebih memesonakan daripada Also Sprach Zarathustra karya Nietszche.
Genius besar ini mati dalam usia muda. Dosanya sama dengan dosa Socrates. Dia menganjurkan keterbukaan. Dia mengajak orang melepaskan diri dari sekat-sekat mazhab yang sempit. Dia berwawasan nonsektarian. Socrates mati, Suhrawardi mati, dan boleh jadi ratusan pemikir nonsektarian mati atau dimatikan. Namun, keterbukaan akan selalu dirindukan orang-khususnya oleh anak muda yang cerdas.
Islam adalah agama yang mengajarkan keterbukaan, terutama sekali dalam mengambil hikmah. Salah seorang anak muda yang tumbuh besar bersama wahyu adalah Ali bin Abi Thalib ra. Sejak kecil, dia diasuh bersama Rasulullah Saw. Kepada muridnya, Ali berkata, "Hikmah itu barang berharga yang hilang dari seorang mukmin. Karena itu, di mana pun seorang mukmin menemukan hikmah, maka akan memungutnya. Ambillah hikmah itu, walaupun dari orang munafik!"
Ali, menggemakan ajaran guru dan sahabatnya, Muhammad Saw. Nabi yang mulia ini berkata, "Ambillah hikmah, dan jangan merisaukan kamu dari mana hikmah itu keluar (khudz al-hikmah wala yadhuruka min ayyi wi d'in kharajat)." Anjuran inilah yang menyebabkan umat Islam terdahulu tidak ragu-ragu menghirup ilmu dari Yunani, Persia, dan India. "Carilah ilmu walaupun ke Negeri Cina," kata Rasulullah Saw. Maka, ketika orang-orang Eropa mengejar-ngejar nenek tua sebagai sumber wabah penyakit, laboratorium-laboratorium kedokteran di Cordoba Islam sibuk mencari penyebab penyakit dengan percobaan-percobaan mereka. Ketika Abad Pertengahan menafikan filsafat Yunani, orang-orang Islam menggalinya dengan sikap kritis.
Lalu datanglah abad kegelapan Islam. Umat Islam terperosok ke dalam kotak-kotak mazhab yang sempit. Pikiran kritis dibungkam. Paham baru dianggap bid'ah. Perbedaan paham dianggap tabu. Yang pahamnya tidak sama dianggap sesat. Orang Islam tidak lagi belajar dari seluruh pelosok bumi. Mereka bahkan tidak mau belajar dari saudara-saudara mereka sendiri yang bermazhab lain. Yang benar adalah mazhab saya. Semua masuk neraka, kecuali mazhab saya. Maka, tirai ketertutupan jatuh menutup jendela dunia umat. Posisi mereka pun makin lama makin terkucilkan. Di bagian dunia lain, setelah Renaisans, orang Barat membuka mata mereka dan sebagian belajar dari hikmah yang ditinggalkan kaum Muslim.
Kini sudah muncul kesadaran baru di kalangan kaum Muslim. Sebuah gelombang peradaban baru telah lahir, yaitu peradaban Islam yang terbuka, yang mau belajar dari mana pun, yang tidak fanatik mazhab, yang nonsektarian, dan yang mencintai dialog. Anak-anak muda seperti Suhrawardi mulai bermunculan, khususnya di perguruan-perguruan tinggi. Islam mulai semarak kembali. Buku-buku keislaman dari berbagai mazhab pemikiran mulai dikaji. Fajar keterbukaan mulai terbit. Matahari kekuatan-logika sebentar lagi muncul.
Yang kita takutkan adalah justru logika-kekuatan. Kaum yang sudah mapan dalam sistem yang lama akan merasa terancam. Untuk mata yang terbiasa dalam kegelapan, sinar matahari itu menyakitkan. Lewat kekuatan, dia akan membungkam jiwa-jiwa muda yang mulai terbuka ini. Mestikah mereka mati dalam usia muda seperti Suhrawardi? Tentu saja kita akan menjawab: tidak. Abad kebangkitan Islam adalah abad Suhrawardi. Tetapi, bukankah masih kita dengar orang yang masih mempertahankan ketertutupan, yang mengafirkan atau memusyrikkan orang yang berbeda paham, yang mengisi pengajian mereka dengan kecaman kepada golongan Islam yang lain? Benar, tetapi ketahuilah: Mereka adalah sisa-sisa dari peradaban yang sedang sekarat-"Smells of a dying civilization," kata Toffler.
Perlu Aktualisasi Nilai-Nilai Islam
Februari 1989, Iran menetapkan hukuman mati bagi Salman Rushdie. Crescent International, edisi Januari 1990, mingguan yang terbit di Ontario, Kanada, dalam tajuk editorialnya mengomentari peristiwa tersebut demikian:
"Jelaslah, tujuan pemerintah Iran adalah mengubah setiap orang Islam di mana pun menjadi prajurit Islam dan supaya tidak ada tempat yang aman bagi Rushdie. Memang itulah dampaknya. Gerakan kaum Muslim sedunia yang menentang buku ini, berikut pengarang dan penerbitnya, luar biasa. Tetapi, segera kaum moderat pro-Saudi berhasil mengalihkan dan menenggelamkan kemarahan orang Islam menjadi protes pasif. Dalam beberapa bulan saja tampaknya orang orang Islam di mana-mana telah dibungkam dan dengan tidak enak menerima Satanic Verses. Sementara itu, Satanic Verses telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan diterbitkan dalam edisi murah. Tetapi, ada satu masyarakat kecil yang terus-menerus melancarkan perang melawan kekuatan gabungan Pemerintah Inggris, kaum establishment Inggris, media massa Barat, dan para pendukung Rushdie lainnya. Mereka adalah orang-orang Islam yang tinggal di Inggris. Jumlah mereka sedikit, hanya sekitar dua juta orang."
Memang, saat isu Satanic Verses memudar di negara-negara lain, di Inggris ia malah menjadi isu orang Islam yang sangat penting. Mula-mula BBC menyiarkan hasil penelitian-hanya 28 persen orang Islam di Inggris yang mendukung hukuman mati bagi Rushdie. Esoknya, Dr. Kalim Siddiqui, Direktur Muslim Research Institute, berbicara di hadapan kaum Muslim di Manchester. Dia meminta hadirin untuk mengangkat tangan bila setuju dengan fatwa hukum mati. Mengejutkan, dan disaksikan puluhan kamera media massa, seluruh yang hadir mengangkat tangan Pada hari berikutnya, media massa di Inggris menuntut agar Dr. Siddiqui diadili atau diusir dari Inggris, karena menghasut orang untuk membunuh. Jamaat Ahle Sunnat, organisasi yang menguasai masjid masjid di Inggris, mendukung Siddiqui. Mereka mengumumkan "The Day of Muslim Solidarity". Hampir 1.000 masjid berpartisipasi. Lebih dari 300.000 orang Islam berdemonstrasi mengangkat tangan sebagai simbol dukungan kepada hukuman mati Rushdie. Pemerintah Inggris terkejut Dengan halus mereka mendekati kaum "moderat di kalangan Muslim. Kata mereka, tidak perlu ada aksi angkat tangan untuk mendukung hukuman mati bagi penghina Islam. Bukankah Al-Quran sudah menetapkannya?
Isu Rushdie sudah selesai. Marilah kita mengalihkan perhatian pada dakwah yang positif. Bacalah Al-Quran. Dr. Siddiqui menjawab bahwa kaum kafir tidak mengenal Al-Quran. Satu-satunya bahasa yang mereka pahami adalah aksi politik dan persatuan berdasarkan Al-Quran. Hanya membaca Al-Quran tidak menyelesaikan persoalan. Al-Quran harus diaktualisasikan dalam kekuatan politik Muslim lewat partisipasi massa dalam gerakan Islam.
Ada dua macam Islam: konseptual dan aktual Islam konseptual terdapat dalam Al-Quran, Al-Sunnah, dan buku-buku atau ceramah ceramah tentang keislaman. Islam aktual terdapat pada perilaku pemeluknya. Islam konseptual boleh menunjukkan kebencian Islam pada kezaliman dan dukungan kepada pihak yang dizalimi. Tetapi, Islam konseptual tidak akan dapat menghilangkan sistem yang zalim. Hanya Islam aktual yang mengubah sejarah. Al-Quran dan Al-Sunnah menunjukkan pentingnya keluarga sakinah. Kongres umat Islam dapat membicarakan keluarga sejahtera, tetapi hanya perilaku umat Islam yang dapat mewujudkannya. Al-Quran boleh jadi sudah menetapkan hukuman mati bagi penghina Islam, tetapi hukuman mati itu tidak akan pernah terwujud tanpa aksi politik orang Islam. Peristiwa Salman Rushdie akan selalu mengingatkan kita, seperti kata Dr. Siddiqui, bahwa kekuatan kaum Muslim terletak pada tindakan mereka, bukan pada teks-teks suci yang mereka yakini. []
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).