top of page
  • Writer's pictureAkhi

ISLAM PEMBEBAS KAUM MUSTADH'AFIN


Allah Swt. berfirman,

"Orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi, yang mereka dapatkan namanya tercantum di sisi mereka dalam Taurat dan Injil, yang memerintahkan yang ma'ruf, melarang hal yang mungkar, menghalalkan at-thayyibât, mengharamkan al-khabâits, melepaskan dari mereka beban dan belenggu- belenggu mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, yang mendukungnya, yang menolongnya, dan yang mengikuti cahaya yang diturunkan besertanya: orang-orang itulah yang berbahagia." (QS 7: 157)


Di dalam ayat di atas, disebutkan tiga tugas para rasul dan pengikut-pengikut mereka. Tugas pertama ialah menyuruh yang ma'ruf dan melarang yang mungkar. Hal ini berarti memperingatkan dan membetulkan orang yang berbuat mungkar, dan mengajak orang beramal saleh. Tugas kedua ialah menerangkan yang halal dan yang haram. Hal ini berarti menjelaskan syariat yang diturunkan oleh Allah Swt. Dan tugas ketiga - yang sering dilupakan orang, termasuk para ulama ialah melepaskan manusia dari beban penderitaan atau, menurut Al-Quran, melepaskan manusia dari belenggu yang menindih kuduk mereka.


Banyak orang mengira bahwa dakwah sudah berakhir setelah khutbah di masjid, setelah menyuruh orang berbuat baik, setelah melarang yang mungkar, dan setelah menerangkan hukum thaharah, junub, bab ruku' atau sujud. Selama ini, pengajian-pengajian dianggap sudah berhasil kalau masjid sudah penuh dengan pengunjung, kalau sudah banyak orang membaca Al-Quran, kalau musabaqah tilawatil Quran sudah bertebaran ke seluruh kampung dan penjuru desa (apalagi, kalau untuk musabaqah itu dikeluarkan biaya miliaran). Padahal pada saat yang sama, di gubuk-gubuk reyot, gelandangan merintih. Di tempat lain, banyak orang Islam tidak bisa melanjutkan sekolah karena tidak punya biaya. Sementara, tak sedikit juga wanita yang terpaksa mengorbankan kehormatannya untuk memelihara selembar nyawa yang dimilikinya. Dalam hubungan inilah kita berbicara tentang tugas pembebasan kaum mustadhafin.


Islam, oleh banyak penulis sejarah, bukan saja dianggap sebagai agama baru, melainkan juga liberating force - suatu kekuatan pembebas umat manusia. Segi inilah yang menyebabkan Islam, dahulu, begitu cepat menyebar di Indonesia, padahal pada waktu itu masyarakat Indonesia ditindas oleh sekelompok kaum raja dan feodal. Pada waktu itu, rakyat harus membayar upeti kepada raja-raja, bahkan harus membanting tulang bagi mereka. Islam datang, melalui daerah-daerah pantai, mengajarkan persamaan dan pembebasan. Lalu orang-orang pun berpaling kepada agama baru ini. Di India, karena alasan itu juga, diberitakan bahwa ribuan, bahkan jutaan, kelompok Harijan - suatu kelompok outcast yang terasing dari kasta-kasta lainnya - berbondong-bondong masuk Islam. Hal ini sempat memusingkan Indira Gandhi dan tokoh-tokoh politik di India, sehingga terjadilah di sana pembunuhan besar-besaran terhadap kelompok Islam.


Kaum Mustadh'afin Sang Pewaris Bumi

Orang yang membuat lemah disebut mustadh'if. Orang yang dibuat lemah, yang dibuat tidak berdaya, yang dibuat sengsara disebut mustadhaf. Istilah mustadh'af berasal dari akar kata dha'fun yang berarti lemah. Di dalam Al-Quran, selain istilah ini, dipergunakan istilah lain yang sejenis, yaitu dhuafa (bentuk tunggalnya, dha'if), berarti orang yang lemah, baik karena dilemahkan orang lain maupun karena dirinya sendiri memang lemah. Dalam terjemahan bahasa Inggris, mustadhafin kadang-kadang diterjemahkan sebagai the oppressed (yang tertindas). Sedang dhuafa biasa diterjemahkan dengan the weak (orang-orang yang lemah). Sebagai ilustrasi, orang-orang kaya tidak termasuk ke dalam kelompok dhuafa. Tapi mustadh'afin boleh jadi juga meliputi orang-orang kaya tertentu.


Di dalam Al-Quran, banyak sekali dikisahkan tentang perjuangan kelompok mustadhafin ini. Allah menjelaskan di dalam QS 28:1-4:


"Thâ Sîn Min. Inilah ayat-ayat Kitab Allah yang jelas. Akan Kami bacakan kepadamu kisah Musa dan Fir'aun dengan sebenar-benarnya. Supaya jadi pelajaran bagi kaum beriman. Sesungguhnya Fir'aun berlaku sebagai tiran di bumi. Dipecah- pecahnya penduduk menjadi berbagai golongan, lalu dibuatnya lemah segolongan di antara mereka. Dia sembelih laki-laki, dan dia hidupkan wanita-wanita mereka. Dia sesungguhnya termasuk orang-orang yang suka merusak, (bukan orang-orang yang suka membangun)."


Dalam QS 28: 5, Allah berfirman,


"Dan Kami bermaksud memberikan karunia kepada orang- orang yang ditindas di bumi. Akan Kami jadikan mereka pemimpin dan pewaris bumi ini."


Dr. Ali Syariati, seorang ahli sosiologi agama, membagi kelompok nabi menjadi dua. Pertama, nabi-nabi Ibrahimiah, dan kedua, nabi-nabi non-Ibrahimiah. Yang dimaksudkannya dengan nabi-nabi Ibrahimiah ialah nabi-nabi yang bermula dari Nabi Ibrahim, yakni nabi-nabi Islam. Sedang yang dimaksudkannya dengan nabi-nabi non-Ibrahimiah (non-Ibrahimic prophets), antara lain, ialah Siddharta Gautama, Konghucu, Lao Tse, Zarathustra, dan sebagainya. Dia menemukan adanya perbedaan yang nyata antara nabi-nabi Ibrahimiah, yang disebut-sebut di dalam Al-Quran, dan nabi-nabi non-Ibrahimiah. Pertama, nabi-nabi non-Ibrahimiah berasal dari lingkungan istana. Misalnya, Siddharta Gautama. Sejak semula ia memang anak raja, kemudian mengasingkan diri dan mendapat wahyu, dan belakangan kembali lagi ke istana. Konghucu juga anak seorang pembesar, dan akhirnya pun menjadi penasihat raja. Zarathustra (Zoroaster) juga berasal dari keluarga istana, kemudian mengajarkan agama baru, dengan pengikut pertama yang juga orang-orang istana. Nabi-nabi Ibrahimiah, sebaliknya, berasal dari rakyat jelata, berkhutbah di kalangan rakyat jelata, dan pengikut- pengikut pertama mereka juga berasal dari kelompok rakyat jelata. Nabi Ibrahim a.s. menentang Raja Namrudz. Nabi Musa a.s. lahir dari rakyat biasa, membela kelompok mustadh'afin - orang-orang Israel yang dianiaya dan ditindas - dan selalu menentang istana. Disebutkan dalam Al-Quran, Nabi Nuh a.s. diejek: "Pengikutmu hanyalah 'aradzi-luna (orang-orang gembel di antara kami)." Lalu, di dalam Al-Quran juga disebutkan, "Setiap Kami turunkan pemberi peringatan kepada satu kaum, maka yang paling dahulu menentangnya ialah orang-orang kaya (mutraf) yang berkata, 'Kami yang paling banyak punya kekayaan dan anak buah. Dan kami kafir terhadap apa yang diwahyukan kepadamu" (QS 34: 34-35).


Begitu pula Rasulullah Saw. Ketika beliau berada di Makkah, hanya dua puluh lima dari seluruh pengikutnya berasal dari kelompok kaya dan bangsawan. Selebihnya, puluhan berasal dari kelompok-kelompok miskin. Malahan, yang paling dahulu masuk Islam, kebanyakan adalah orang-orang miskin, orang-orang gembel, budak-budak belian, dan sebagainya.


Al-Quran menyebutkan:

"Apabila dikatakan kepada pembesar-pembesar Quraisy itu, 'Berimanlah kamu kepada Allah seperti manusia lain beriman, mereka menjawab, Apakah kami harus beriman seperti ber imannya kelompok sufaha? (QS 2: 13)


Al-Quran kemudian menyindir:

"Ketahuilah, sesungguhnya mereka sendirilah sufaha, tapi mereka tidak mengetahuinya." (QS 2:13)


Sepanjang hidupnya, Rasulullah selalu berpihak kepada kelompok-kelompok lemah. Rasulullah pun menasihatkan supaya para ulama melanjutkan para nabi - selalu berada di tengah-tengah kelompok dhuafa dan mustadhafin. Rasulullah bersabda, "Taatilah kaum ulama selama mereka belum mengikuti hawa nafsunya." Lalu para sahabat bertanya, "Apa tanda ulama yang mengikuti hawa nafsunya?" "Mereka senang mengikuti sultan." Dalam hadis lain dikatakan, "Mereka meninggalkan kelompok fuqara' dan masakin, dan mengetuk pintu-pintu para sultan."


Kelompok Dhuafa dan Mustadh'afin menurut Al-Quran

Ada beberapa golongan yang termasuk ke dalam kelompok dhuafa dan mustadh'afin. Sebagaimana terbukti dalam sejarah, termasuk kelompok mustadh'afin ialah kaum wanita. Dalam berbagai masyarakat, wanita selalu ditempatkan dalam posisi yang tersudut. Bahkan, hampir tidak satu pun masyarakat di dunia ini menempatkan kedudukan wanita lebih tinggi daripada pria. Kemudian Al-Quran menyebut kelompok yatama (orang-orang yatim), ibnu sabil (orang-orang yang kehabisan bekal di perjalanan). para tawanan, dan orang-orang yang mendapat musibah. Di dalam Al-Quran, memang wanita jarang disebut secara khusus. Tapi tak kurang banyak hadis Nabi yang menunjukkan kenyataan bahwa wanita sering dilemahkan. Tetapi fuqara', masâkîn, orang-orang yatim, ibnu sabil, para tawanan, dan orang-orang yang mendapatkan musibah, banyak sekali disebut di dalam Al-Quran. Bahkan terdapat enam ayat Al-Quran tentang shalat yang selalu dikaitkan dengan menyantuni kelompok-kelompok dhuafa ini. Misalnya, di dalam QS 2: 83:


"Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata baik kepada manusia, dirikanlah shalat, dan tunaikanlah zakat."


Kemudian, juga di dalam QS 2: 177:


"Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah kebaktian orang yang beriman kepada Allah, Hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi; memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta; (memerdekakan) hamba sahaya; mendirikan shalat; menunaikan zakat; orang-orang yang menepati janjinya apabila berjanji; dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa."


Berkenaan dengan ini, ada satu kisah teladan yang perlu kita renungkan. Suatu saat bertemulah dua malaikat. Keduanya bercakap-cakap di dekat Ka'bah pada musim haji. Salah satu malaikat itu bertanya, "Berapa jumlah orang yang naik haji tahun ini?" "Sekian ratus ribu." "Berapa orang yang diterima di antara mereka?" "Hanya dua orang, dan salah satunya bahkan tidak menunaikan haji itu sendiri." Lalu diceritakan bahwa ketika orang ini sudah berangkat untuk naik haji dengan perbekalan secukupnya, tiba-tiba di tengah perjalanan dia melihat seorang janda miskin dengan beberapa anak yatim yang amat membutuhkan bantuan. Maka dia serahkanlah seluruh bekalnya kepada janda dan anak-anak yatim itu, sehingga terpaksa urunglah niatnya naik haji. Justru karena itulah, Allah menerima hajinya.


Menurut Al-Quran, orang yang tidak menyantuni kelompok dhuafa atau mustadh'afin disebut sebagai orang yang mendustakan agama (yukadzdzibu bi ad-dîn). Kadang-kadang Al-Quran menyebut mereka sebagai pencemooh (al-humazah):


"Kecelakaanlah bagi setiap pencemooh, yang mengumpul- ngumpulkan kekayaan dan menghitung-hitungnya. Dia mengira bahwa hartanya itu akan mengekalkan dia. Tidak, dia akan dilemparkan ke Al-Huthamah. Tahukah engkau, apakah Al- Huthamah itu? Itulah api Allah yang dinyalakan, yang nyalanya membakar sampai ke ulu hati." (QS 104: 1-7)


Dalam surah lain disebutkan tentang kelompok yang pada hari kiamat menerima kitab di tangan kirinya:


"Orang-orang yang diberi kitab di tangan kirinya, lalu dia berkata, 'Duhai, alangkah baiknya kalau aku tidak diberi kitab saja, dan aku tidak mengalami Hari Pengadilan ini; alangkah baiknya kalau sesudah maut itu, berakhirlah semuanya. Tidak ada gunanya seluruh kekayaanku. Binasa seluruh kekuasaanku.' Lalu Allah berfirman, Ambillah orang itu, lalu belenggulah dia, dengan belenggu rantai yang panjangnya tujuh puluh dzira, lalu lemparkan dia; orang ini tidak beriman kepada Allah Yang Mahabesar, dan dia tidak mau memberi makan kepada orang miskin." (QS 69: 25-34)


Sebaliknya, Al-Quran melukiskan ahli surga sebagai orang-orang yang menyantuni kelompok mustadh'afin:


"Sesungguhnya, orang-orang yang berbuat baik, nanti pada hari kiamat, di surga, akan minum dari sebuah gelas yang kacanya terbuat dari kafura; mereka minum dari air-air yang dipancarkan sekehendak hati mereka, mereka suka memenuhi janji, dan mereka takut pada Hari Pembalasan. Orang-orang yang memberi makan, walaupun mereka senang makanan itu, kepada orang miskin, kepada orang yatim, dan kepada para tawanan atau budak-budak belian. Kemudian mereka berkata, 'Kami ini memberi makan kepada kamu karena Allah; aku tidak mengharapkan balasan dari kamu, dan tidak mengharapkan terima kasih." (QS 76: 5-9) JR


***

KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).

26 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page