Akhi
ISRA MIKRAJ REFLEKSI PERJALANAN SUFISTIK
Ketika berbicara tentang Isra Mikraj, biasanya kita menyebut beberapa topik penting. Pertama, masalah shalat. Karena, menurut salah satu riwayat, shalat lima waktu ditetapkan pada waktu Rasulullah Saw mikraj. Kedua, Isra Mikraj juga dihubungkan dengan suasana tantangan yang dihadapi Nabi Saw pada saat itu. Allah ingin memperkuat batin dan memperkokoh keimanan Nabi Saw dalam menghadapi berbagai tantangan. Ketiga, Isra Mikraj juga dikaitkan dengan ukuran keimanan Peristiwa Isra Mikraj adalah peristiwa ketika iman kita diuji. Apakah keimanan kita tunduk pada akal, atau akal kita yang sepenuhnya tunduk pada wahyu.
Untuk menjelaskan hal ketiga ini, beberapa orang bercerita tentang adanya tiga kelompok yang berbeda berkenaan dengan sikap mereka ketika menerima berita tentang Isra Mikraj. Ketika dikabarkan bahwa Rasulullah melakukan Isra dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, lalu Mikraj sampai ke langit yang lebih tinggi kemudian kembali ke bumi dalam satu malam, kelompok pertama berkata, "Sami'na wa atha'na. Kami mendengar dan kami taat." Kelompok ini menerima berita itu semata karena Rasulullah Saw yang mengabarkannya. Tokoh seperti itu adalah Abu Bakar Al- Shiddiq ra. Karena itulah, ia disebut al-shiddiq, orang yang membenarkan. Kelompok kedua, begitu mendengar cerita Nabi Saw tentang Isra Mikraj, langsung mendustakannya. Tokohnya adalah Abu Jahal. Adapun kelompok ketiga, begitu mendengar kabar ini, mereka ragu-ragu; tokohnya adalah Abu Thalib. Abu Bakar mewakili orang mukmin, Abu Jahal mewakili orang kafir, dan Abu Thalib mewakili orang munafik. Begitu menurut pendapat sebagian orang, di antaranya Almarhum Bapak Endang Saefuddin Anshari dalam bukunya Wawasan Islam. Saya tidak sepenuhnya setuju dengan semua hal di atas.
Ada orang yang beranggapan bahwa peristiwa Isra Mikraj itu tidak boleh diterima oleh akal. Peristiwa itu ialah sesuatu yang harus diterima oleh iman, termasuk ke dalam masalah akidah. Saya ingin mempertanyakan, betulkah peristiwa Isra Mikraj itu tidak masuk akal? Saya berpendapat, agama itu harus diuji oleh akal; bahkan agama itu hanya khusus untuk orang-orang yang berakal. Banyak sekali ayat-ayat Al-Quran yang menyebutkan hal itu. Jadi, alangkah mengherankan kalau kemudian agama tidak boleh diterima oleh akal. Untuk menjawab apakah Isra Mikraj itu masuk akal atau tidak, kita harus menjernihkan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan masuk akal itu.
Sepanjang pengetahuan saya, umumnya orang menyebut sesuatu itu tidak masuk akal untuk tiga hal.
Pertama, orang beranggapan, yang dimaksud bahwa sesuatu itu tidak masuk akal adalah hal-hal yang tidak empiris. Yang diartikan dengan empiris itu adalah hal-hal yang bisa diukur, bisa dilihat dengan panca indra, bisa dilacak secara material, serta tidak gaib. Banyak orang yang mengatakan kalau hal-hal gaib itu tidak masuk akal. Menurut saya, itu tidaklah benar. Yang gaib ataupun lahir, sama-sama masuk akal. Kalau ada bisa yang menyembuhkan luka dengan mercurochrome atau obat merah, kemudian kita bisa melacak secara empiris mengapa obat merah bisa menyembuhkan luka, maka orang menyebutnya itu masuk akal. Tetapi, ada juga orang yang menyembuhkan luka dengan membaca Al-Fatihah. Ayah saya dapat melakukannya. Ia membaca Al-Fatihah; dia usap luka itu, dan luka itu tertutup kembali. Saya melihatnya sendiri. Itu bukan tidak masuk akal; hanya tidak bisa dilacak secara empiris. Itulah hal-hal yang gaib.
Kedua, orang menganggap sesuatu tidak masuk akal itu kepada hal-hal yang menyimpang dari rata-rata. Saya pernah membacakan sebuah hadis tentang kekuatan Sayyidina Ali kw dalam Perang Khaibar. Ali pernah mengangkat pintu benteng Khaibar sendiran. Setelah perang selesai, pintu benteng Khaibar itu bahkan dijadikan jembatan. Beberapa orang mencoba untuk mengangkat pintu benteng Khaibar itu. Mereka semua tidak sanggup mengangkatnya. Sesudah saya baca cerita itu, seorang hadirin berkata, "Heran, Bapak ini orang yang rasional tapi bisa menerima cerita-cerita yang tidak masuk akal seperti itu." Dia menganggap cerita Sayyidina Ali yang bisa mengangkat satu pintu, yang amat berat sehingga tidak bisa diangkat oleh puluhan orang lain, sebagai cerita yang tidak masuk akal. Padahal, ia sebetulnya bisa lebih cermat dengan mengatakan begini, "Peristiwa itu keluar dari rata-rata kebiasaan orang." Kalau Anda belajar ilmu Statistik, ada yang dinamakan dengan kurva bel. Di dalamnya selalu terdapat data yang menyimpang dari rata-rata. Yang menyimpang dari rata-rata itu tidak berarti bahwa data itu tidak masuk akal. Karena yang masuk akal itu bukan hanya yang rata-rata atau bertubuh seratus kilogram biasa saja. Misalnya, rata-rata orang bisa memikul sekian kilogram barang. Tapi ada juga orang yang luar biasa yang bisa menarik truk sendirian. Bahkan Guinnes Book of Records mencatat ada orang yang bisa menarik pesawat yang sedang lepas landas dengan kedua tangannya. Itu bukan tidak masuk akal; itu hanya menyimpang dari rata-rata.
Ketiga, ada orang yang menyebut sesuatu itu tidak masuk akal karena dia tidak memahaminya. Menurut inilah cara berpikir yang paling primitif di antara hal-hal sebelumnya. Jangan menggeneralisir bahwa sesuatu itu tidak masuk akal, tidak logis, atau tidak rasional. Mungkin Anda bertanya, untuk kita membicarakan hal seperti itu?" Saya ingin mengingatkan, hendaklah kita tidak mudah menyebut sesuatu itu tidak masuk akal hanya karena kita tidak memahaminya. Sehingga kita mengatakan bahwa Isra Mikraj itu peristiwa yang tidak masuk akal, dan, karena itu, tidak usah diterima oleh akal melainkan harus diterima dengan iman saja.
Menurut saya, peristiwa Isra Mikraj adalah peristiwa yang sangat masuk akal dan sangat logis. Hanya saja peristiwa ini memang tidak empiris, tidak tunduk pada hukum-hukum fisika biasa. Bagi saya, semua ajaran agama itu bisa kita renungkan lewat akal kita. Jangan gunakan alasan iman untuk mematikan akal dan untuk menghambat pikiran kita. Jangan sekali-kali katakan sesuatu itu tidak masuk akal karena Anda tidak memahaminya.
Banyak mubalig yang mengatakan bahwa peristiwa Isra Mikraj bukan peristiwa yang luar biasa. Abdul Gafur pernah menulis satu kolom kecil di Harian Pelita. la mau menjelaskan peristiwa Isra Mikraj itu secara logis, dan ia menjelaskannya secara analogis. Ia bercerita, seperti cerita Buya Hamka, tentang lalat di lapangan terbang. Lalat itu hinggap di atas susu yang diminum seorang penumpang yang menunggu pesawat terbang. Ketika orang itu akan naik pesawat (boarding), lalat itu ikut menempel pada pakaiannya dan ikut terbang ke Singapura. Ketika pesawat itu balik lagi ke Jakarta, lalat itu ikut lagi. Ketika datang yang masih ke Jakarta, lalat itu bercerita kepada lalat-lalat berkumpul di lapangan terbang itu bahwa ia baru saja kembali dari Singapura. Lalat yang lain mengatakan bahwa ini tidak masuk akal sambil mengatakan bahwa kemampuan terbang lalat sebetulnya hanya beberapa kilometer. Bagaimana mungkin ia terbang ke Singapura dan balik lagi ke Jakarta dalam waktu yang cepat.
Abdul Gafur menceritakan; ia mula-mula gelisah memikirkan peristiwa Isra Mikraj sebagai sesuatu yang tidak masuk akal. Begitu mendengar cerita lalat itu, kegelisahannya hilang. Hal ini menunjukkan berbagai macam cara orang menjelaskan Isra Mikraj, bergantung tingkat akal masing-masing.
Berdasarkan satu hadis, saya sangat percaya bahwa agama Islam itu sangat mudah diterima oleh akal. Walaupun banyak orang mengatakan hadis ini dha'if, tetapi hadis ini memiliki matan yang benar. Hadis ini berbunyi: "Addinu huwal 'aqlu la dinu liman la aglalah; Agama itu akal; tidak beragama buat orang yang tidak menggunakan akalnya." Jadi, dalam peristiwa Isra Mikraj, kita tidak usah ragu menggunakan akal kita.
Akan tetapi, akal saja tidak cukup. Kita percaya bahwa di dalam agama Islam, akal bukanlah satu-satunya cara untuk mengetahui sesuatu; paling tidak ada tiga cara. Cara yang pertama ialah dengan penginderaan, melihat sendiri, seeing is believing. Kita mengetahui sesuatu setelah kita melihatnya. Menurut Al-Quran, cara itu adalah cara yang paling elementer tingkatannya. Al-Quran mencontohkan hal ini dengan melukiskan kaum Nabi Musa as yang baru percaya kalau Allah itu ada jika mereka melihat Allah secara jahratan, kasat mata.
Cara yang kedua, kita bisa mengetahui adanya sesuatu lewat akal pikiran kita, walaupun indera kita tidak melihatnya. Cara yang ketiga, - kita belum punya nama untuk cara itu - sebagian orang menyebutnya mengetahui dengan rasa. Tetapi, perasaan itu, menurut saya, sangat rendah. Jadi, sebut saja itu mengetahui dengan kalbu.
Menurut ahli tasawuf, kita bisa mengetahui sesuatu tidak lewat akal, tidak pula lewat penginderaan, tetapi lewat riyadhah, dengan mendekatkan diri kita kepada Allah. Allah akan memberikan ilmu itu jika kita benar-benar taqarrub kepada-Nya.
Jadi, ada ilmu diberikan Allah secara langsung kepada seseorang setelah ia mendekati-Nya. Dengan kata lain, ada ilmu yang diperoleh hanya dengan menjalankan ibadah-ibadah tertentu. Kadang-kadang ilmu seperti itu boleh jadi bertentangan dengan ilmu yang diperoleh dengan kedua cara yang lain
tersebut.
Imam Al-Ghazali pernah bercerita, "Saya menemukan indera saya sering menipu saya. Tapi, karena saya mempunyai akal, saya yakin tidak mungkin air membengkokkan batang kayu itu. Boleh jadi suatu saat, akal saya itu salah. Mesti ada satu cara lain untuk membetulkan apa yang salah menurut akal ini." Imam Ghazali mencoba mencari cara yang ketiga ini sampai beliau jatuh sakit, malah hampir-hampir gila. Tapi kemudian dia sembuh dan menemukan cara yang lain, yang disebut kalbu, melalui riyadhah dan latihan-latihan ruhaniah.
Peristiwa Isra Mikraj bisa kita terima dengan akal. Tetapi, tentu saja menerima dengan akal saja tidak cukup. Untuk sampai bisa menghayati betul-betul peristiwa Isra Mikraj, kita harus menggunakan riyadhah. Di antara berbagai peristiwa penting dalam sejarah hidup Nabi Saw seperti peristiwa Isra Mikraj, Maulud Nabi, kemenangan Nabi di Badar dan Uhud, serta wafatnya Rasulullah Saw yang paling banyak dibicarakan oleh para ahli riyadhah adalah peristiwa Isra Mikraj. Mengapa peristiwa itu menjadi pembicaraan yang panjang di kalangan ahli tasawuf? Karena Mikraj mencerminkan perjalanan seorang sufi.
Seperti Anda ketahui, dalam tasawuf, seseorang yang sedang berusaha mendekati Allah Swt, sedang merintis jalan untuk mendekati Allah Swt, disebut murid (dalam bahasa Arab artinya sufi yang orang yang menghendaki). Dalam pandangan orang menjadi murid, perjalanan itu adalah perjalanan meninggalkan bumi yang rendah menuju langit yang tinggi. Itulah yang disebut Mikraj. Jadi, Mikraj adalah perjalanan Nabi meninggalkan bumi yang rendah menuju langit yang tinggi sampai pada satu tempat yang namanya Sidratul Muntaha. Dalam bahasa Arab, al-muntaha berarti tujuan akhir; maksudnya Allah Swt. Sedangkan sidrah, dalam kitab tafsir, disebut sebagai pohon. Kawan saya, yang sedang tenggelam dalam tasawuf, menyebutkan bahwa Sidratul Muntaha, terjemahannya dalam bahasa Jawa, adalah sangkan paraning dumadi.
Perjalanan Rasulullah yang berangkat dari bumi yang rendah menuju Al-Muntaha adalah cerminan perjalanan hidup kita sebenarnya. Kita meninggalkan bumi yang rendah menuju tempat yang tinggi untuk menghadap Allah Swt. Untuk menggambarkan dahsyatnya perjalanan ini, orang-orang sufi bercerita: Ketika Rasulullah sampai di satu tempat, malaikat Jibril berkata, "Saya tidak mau ikut lagi. Kalau saya ikut, sayap saya akan terbakar. Berangkatlah engkau sendirian." Lalu Rasulullah berangkat ke satu tempat. Di situ malaikat pun tidak ada; hanya ada Rasulullah Saw dan Allah Swt. Sebetulnya agak sulit melukiskannya itu, karena seakan-akan Allah berada di tempat itu. Kalau saya menunjukkan tempat, itu menunjuk hanya kepada Rasulullah Saw karena Allah tidak tunduk kepada ruang dan waktu. Tidak relevan menisbahkan ruang dan waktu pada Allah Swt.
Rasulullah Saw sampai pada suatu kedudukan yang malaikat muqarrabin pun tidak mencapai tempat itu. Menurut orang-orang sufi, itulah puncak perjalanan seorang murid ketika mendekati Allah Swt. Para sufi mengatakan, bila mereka bisa seperti Rasulullah Saw naik ke langit menuju Sidratul Muntaha, mereka tidak akan turun lagi ke bumi. Tetapi Rasulullah Saw, setelah mencapai maqam yang sangat tinggi, malah turun lagi ke bumi dan membawa satu amanah yang disampaikan kepada umatnya.
Masih menurut para sufi, sebelum sampai ke tempat itu, Rasulullah Saw menyaksikan kebesaran Allah Swt yang meliputi langit dan bumi. Dalam keadaan bergetar, Rasulullah hanya sanggup mengucapkan penghormatan kepada Allah Swt dengan berkata, "Attahiyyatul mubarakatush shalawatuth thayyibatu lillah. Segala penghormatan, kemuliaan, dan keagungan kepunyaan Allah saja." Allah Swt menjawab dengan mengatakan, "Assalamu 'alaika ayyuhan nabiyy warahmatullahi wabarakatuh." Bisa Anda bayangkan, betapa bahagianya Rasulullah mendapat salam dari Allah Swt. Tetapi karena Rasulullah Saw bukan sekadar seorang sufi, yang sesudah mikraj tidak ingin kembali lagi ke bumi, ia kemudian memohonkan salam itu bukan hanya untuk dirinya. Beliau ingin menyebarkan kesejahteraan itu kepada semua hamba-hamba Allah yang saleh. Ketika menyaksikan dialog yang mengagungkan antara seorang hamba dengan Tuhannya itu, para malaikat pemikul 'Arasy serentak mengucapkan bacaan: "Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allah."
Beberapa sufi menyatakan, sebetulnya Rasulullah Saw bermikraj tidak hanya satu kali, tetapi beberapa kali. Kita hanya mengenal Rasulullah Saw mikraj pada tanggal 27 Rajab, dua tahun sebelum hijrah. Dalam riwayat yang lain, malah tiga tahun setelah kenabian. Ada beberapa riwayat tentang kapan Rasulullah Saw mikraj. Tampaknya seluruh riwayat itu betul: bahwa Rasulullah Saw mikraj beberapa kali.
Kita pun bisa mikraj seperti Rasulullah Saw. Mikraj kita adalah shalat. Rasulullah Saw bersabda, "Shalatlah kamu seperti kamu mau meninggalkan dunia ini." Ketika kita shalat, kita sedang meninggalkan seluruh dunia ini. Kita tidak berada lagi di Bandung atau di Indonesia, di bumi, di Galaksi Milky Way. Kalau seseorang shalatnya sudah merasa seperti itu, dia telah melakukan mikraj. Seperti kata orang sufi, "Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat Allah, melihat seluruh kebesaran-Nya dengan seluruh mata batinmu."
Itulah mikraj seorang mukmin. Shalat seperti itulah yang akan sangat berbekas dalam kehidupan kita sehari-hari. Seperti halnya Rasulullah Saw yang setelah turun ke bumi lalu mendatangkan keselamatan dan rahmat kepada seluruh hamba-hamba Allah yang saleh, seorang mukmin - begitu selesai shalat - akan menjadi orang yang menyebarkan rahmatnya. Dia tidak akan tinggal di tempat mikrajnya; dia akan kembali ke bumi dan membentuk bumi dengan amanah yang dibawanya ketika mikraj, yaitu membawa keselamatan bagi seluruh alam.[]
****
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).