top of page
  • Writer's pictureAkhi

Jemputlah Dia yang Menggumamkan Namamu

Updated: Oct 10, 2022




Pada pertengahan tahun enam puluhan, saya membentuk keluarga sederhana di tengah tetangga-tetangga yang sederhana dan di perumahan sangat sederhana. Pendapat saya tentang agama juga sederhana. Pegangan saya al Quran dan hadis, titik. Saya tidak suka pada peringatan maulid, karena tidak diperintahkan dalam al Quran dan hadis. Saya tidak suka salawat yang bermacam-macam selain salawat yang memang tercantum dalam hadis-hadis sahih. Saya senang berdebat mempertahankan paham saya. Saya selalu menang, sampai saya bertemu dengan Mas Darwan.

Mas Darwan adalah orang yang jauh lebih sederhana dari saya. Mungkin pendidikannya tidak melebihi sekolah dasar. Ia pensiunan PJKA. Usianya boleh jadi sekitar enam puluhan. Tetapi penderitaan hidup membuatnya tampak lebih tua. Pendengarannya sudah rusak. Karena itu, ia sedikit bicara, banyak bekerja. Ia sering memperbaiki rumahku tanpa saya minta. Ia sangat menghormati saya, yang dianggapnya seorang kiai muda di kampung itu. Padahal ia tahu bahwa saya selalu datang terlambat ke mesjid untuk salat subuh.


Untuk mengisi waktunya, ia mencangkul petak-petak kosong yang terletak di antara rel kereta api di dekat stasiun Kiaracondong. Ia menanaminya dengan ubi. Pada suatu hari, ketika ia asyik mencangkul, kereta api cepat dari Yogya menyenggol belakangnya. Ia jatuh terkapar berlumuran darah. Ketika saya mengunjunginya di kamar gawat darurat, saya mendapatkan tubuh Mas Darwan sudah dipenuhi dengan selang-selang transfusi. Saya melihat matanya mengedip padaku dan pada isterinya. Istrinya mendekatkan telinganya ke mulut Mas Darwan. Saya tidak mendengar apa-apa. Sesaat kemudian, ia menghembuskan nafas terakhir.


Saya pulang dengan sedih dan rasa ingin tahu. Apa gerangan yang dibisikkan oleh Mas Darwan pada detik-detik terakhir kehidupannya? Pada hari berikutnya, isterinya mengantarkan nasi tumpeng ke rumahku. Saya hampir menolaknya, karena saya tidak suka selamatan kematian yang biasa disebut sebagai tahlilan. Isterinya bertutur, “Pak Kiai ingat ketika Masku berbisik padaku? Ia berpesan: Bulan ini bulan maulid. Jangan lupa slametan buat Kanjeng Nabi saw.”


Pada saat-saat terakhir, Mas Darwan tidak ingat petak-petak ubinya. Ia lupa isteri dan anak-anaknya. Ia lupa dunia dan segala isinya. Yang diingatnya pada waktu itu hanyalah Rasulullah saw. Kepongahan saya sebagai orang yang mengerti agama runtuh. Mas Darwan tidak banyak membaca hadis atau tarikh Nabi saw. Ia memang buta huruf. Ia hanya mendengar tentang Nabi dari guru-gurunya. Ia tidak mengerti apa bedanya sunah dan bid’ah. Ia hanya tahu bahwa Kanjeng Nabi adalah sosok manusia suci yang menjadi rahmat bagi alam semesta. Tak terasa airmata menghangatkan pipiku. Saya hanya bisa menyimpulkan apa yang terjadi pada Mas Darwan dengan dua patah kata: Cinta Nabi.


Mas Darwan memiliki kecintaan kepada Rasulullah saw yang jauh lebih tulus dariku. Kemampuanku berdebat habis dibakar oleh api cintanya. Pesan terakhir Mas Darwan adalah definisi cinta yang paling tepat. “Tidak mungkin cinta didefinisikan secara lebih jelas kecuali dengan cinta lagi. Definisi cinta dalah wujud cinta itu sendiri. Cinta tidak dapat digambarkan lebih jelas daripada apa yang digambarkan oleh cinta lagi,” kata Ibn Qayyim al Jawziyyah dalam Madarij al Salikin.


Cinta tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Tetapi menurut Ibn Qayyim, cinta dapat dirumuskan dengan memperhatikan turunan kata cinta, mahabbah, dalam bahasa Arab. Mahabbah berasal dari kata hubb. Ada lima makna untuk akar kata hubb.


Pertama, al shafâ wa al bayâdh, putih bersih. Bagian gigi yang putih bersih disebut habab al asnân. Kedua, al ‘uluww wa al zhuhûr, tinggi dan tampak. Bagian tertinggi dari air hujan yang deras disebut habab al mâi. Puncak gelas atau cawan disebut habab juga. Ketiga, al luzûm wa al tsubût, terus menerus dan menetap. Unta yang menelungkup dan tidak bangkit-bangkit dikatakan habb al ba’îr. Keempat, lubb, inti atau saripati sesuatu. Biji disebut habbah karena itulah benih, asal, dan inti tanaman. Jantung hati, kekasih, orang yang tercinta disebut habbat al qalb. Kelima, al hifzh wal imsâk, menjaga dan menahan. Wadah untuk menyimpan dan menahan air agar tidak tumpah disebut hibb al mâi.


Marilah kita ukur kecintaan kita kepada Rasulullah saw dengan lima hal di atas. Pertama, cinta ditandai dengan ketulusan, kejujuran, dan kesetiaan. Anda tidak akan mengkhianati orang yang Anda cintai. Jika Anda mencintai Rasulullah saw, Anda akan tetap setia kepadanya. Anda tidak akan mencampurkan kecintaan Anda kepadanya dengan motif-motif duniawi. Anda akan memberikan seluruh komitmen Anda.


Rasulullah saw pernah menguji kecintaan sahabat sebelum perang Badar. Kepada para sahabat dihadapkan dua pilihan: Menyerang kafilah dagang yang dipimpin Abu Sufyan atau menyerang pasukan Quraisy. Kebanyakan sahabat menghendaki kafilah dagang karena menyerang mereka lebih mudah dan lebih menguntungkan. Nabi saw menghendaki musuh yang akan menyerang Madinah dan berada pada jarak perjalanan tiga hari dari Madinah. Tuhan berfirman, “Dan ingatlah ketika Allah menjanjikan kepadamu dari kedua kelompok, yang satu untuk kamu, tetapi kamu menginginkan yang tidak mempunyai senjata untuk kamu. Allah menghendaki untuk membenarkan yang benar dengan kalimat-Nya dan menghancurkan pusat kekuatan orang-orang kafir.” (QS Al Anfal: 7).


Rasulullah saw bersabda: “Tuhan menjanjikan kepada kalian dua pilihan–menyerang kafilah dagang atau menyerang pasukan Quraisy.” Abubakar berdiri, “Ya Rasulallah, itu pasukan Quraisy dengan bala tentaranya. Mereka tidak beriman setelah kafir dan tidak akan merendah setelah perkasa.” Beliau menyuruh Abu Bakar duduk, seraya berkata, “Kemukakan pendapatmu kepadaku.” Umar berdiri dan mengucapkan pendapat sama seperti pendapat Abu Bakar. Rasulullah saw pun menyuruhnya duduk kembali.


Kemudian Miqdad berdiri, “Ya Rasul Allah, memang itulah Quraisy dan bala tentaranya. Kami sudah beriman kepadamu, sudah membenarkanmu, dan kami bersaksi bahwa yang engkau bawa itu adalah kebenaran dari sisi Allah. Demi Allah, jika engkau memerintahkan kami agar kami menerjang pohon yang keras dan duri yang tajam, kami akan bergabung bersamamu. Kami tidak akan berkata seperti Bani Israil kepada Musa–Pergilah kamu bersama Tuhanmu, beperanglah kalian berdua, kami akan duduk di sini saja. Tetapi kami akan berkata: Pergilah engkau bersama Tuhanmu, berperanglah dan kami akan berperang bersamamu.”


Wajah Nabi saw bersinar gembira. Beliau mendoakan Miqdad. Beliau juga meminta pendapat Anshar, kelompok mayoritas yang hadir di situ. Berdirilah Sa’ad bin Mu’adz: “Demi ayah dan ibuku, ya Rasul Allah, sungguh kami sudah beriman kepadamu, membenarkanmu, dan menyaksikan bahwa apa yang engkau bawa itu adalah kebenaran dari Allah. Perintahkan kepada kami apa yang engkau kehendaki…. Demi Allah, sekiranya engkau perintahkan kami untuk terjun ke dalam lautan, kami akan terjun ke dalamnya bersamamu. Mudah-mudahan Allah memperlihatkan kepadamu yang menentramkan hatimu. Berangkatlah bersama kami dalam keberkahan dari Allah.”


Berangkatlah Rasulullah saw bersama sahabatnya meninggalkan kota Madinah untuk menyongsong musuh yang bersenjata lengkap. Pada waktu itulah turun ayat, “Sebagaimana Tuhanmu mengeluarkan kamu dari rumahmu dengan kebenaran, walaupun sebagian dari kaum mukminin membencinya.” (QS Al Anfal: 5).


Sikap Miqdad dan Mu’adz menunjukkan cinta setia mereka kepada Rasulullah saw. Mereka segera menangkap kehendak kekasihnya–Rasulullah saw–dan mereka mengesampingkan tujuan-tujuan duniawi demi membahagiakan Nabi saw yang dicintainya. Di dalamnya juga ada tanda kedua dari cinta, yakni pengutamaan kehendak Rasulullah saw di atas kehendak dan keinginan mereka.


Abdullah bin Hisyam bercerita, “Kami sedang bersama Nabi saw. Ia memegang tangan Umar bin Khaththab. Umar berkata: Ya Rasul Allah, engkau lebih aku cintai dari apa pun kecuali dari diriku sendiri. Nabi saw berkata: Tidak. Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya, belum sempurna iman kamu sebelum aku lebih kamu cintai dari dirimu sendiri. Umar berkata lagi: Sekarang memang begitu demi Allah. Sungguh engkau lebih aku cintai dari diriku sendiri. Nabi saw bersabda: Sekaranglah, hai Umar.”


Ali bin Abi Thalib ditanya: Bagaimana kecintaan kalian kepada Rasulullah saw? Ia menjawab: Demi Allah, ia lebih kami cintai dari harta kami, anak-anak kami, orangtua kami dan bahkan lebih kami cintai daripada air sejuk bagi orang yang kehausan. Kebenaran ucapan Ali itu dibuktikan dalam peristiwa Uhud. Kepada seorang sahabat perempuan Anshar diperlihatkan anggota keluarganya yang syahid di situ–ayahnya, saudaranya, dan suaminya.


Ia bertanya: “Bagaimana keadaan Rasulullah saw?” Orang-orang menjawab: “Ia baik-baik saja, seperti yang engkau sukai.” Ia berkata lagi: “Tunjukkan beliau kepadaku supaya aku pandangi beliau.” Ketika ia melihatnya, ia berkata: “Sesudah berjumpa denganmu, ya Rasul Allah, semua musibah kecil saja!”


Atau ketika Zaid bin Al-Datsanah ditangkap oleh kaum musyrikin. Sambil tidak henti-hentinya menerima penganiayaan dan siksaan, ia diseret dari Masjidil Haram ke padang pasir untuk dibunuh. Abu Sofyan berkata kepadanya: “Hai Zaid, maukah Muhammad kami ambil dan kami pukul kuduknya, sedangkan engkau berada di tengah keluargamu?”


Zaid melonjak, seakan-akan seluruh kekuatannya pulih kembali. Ia membentak: “Tidak, demi Allah. Aku tidak suka duduk bersama keluargaku sementara sebuah duri menusuk Muhammad.” Kata Abu Sufyan: “Aku belum pernah melihat manusia mencintai seseorang seperti sahabat-sahabat Muhammad mencintai Muhammad.”


Kecintaan kepada Rasulullah saw seperti ditampakkan oleh Zaid adalah tanda puncak keimanan. Nabi saw bersabda, “Tidak beriman salah seorang di antara kamu sebelum aku lebih dicintainya daripada anaknya, orangtuanya dan semua manusia.” Beliau hanya menegaskan apa yang difirmankan Tuhan: “Katakanlah, jika orang tua orang tua kalian, anak-anak kalian, saudara-saudara kalian, isteri-isteri kalian, kaum kerabat kalian dan kekayaan yang kalian usahakan, perdagangan yang kalian takutkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang kalian senangi lebih kalian cintai dari Allah dan rasul-Nya dan dari jihad di jalan-Nya, tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya dan Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang yang fasik.” (QS. Al Tawbah: 24).


Jika pencinta telah mendahulukan Rasulullah saw ketimbang siapa pun dan apa pun, hatinya akan selalu terpaut kepadanya. Secara jasmaniah ia ingin selalu berdekatan dengan Nabi saw, memandang wajahnya, dan menikmati kehadirannya. Secara ruhaniah, hatinya tidak dapat melepaskan diri dari kenangan kepadanya. Inilah tanda cinta yang ketiga–tidak mau berpisah atau jauh dari kekasih, al luzûm wa al tsubût.


Di Madinah pernah tinggal seorang pedagang minyak. Setiap pagi, sebelum berangkat ke warungnya, ia singgah dulu di halaman rumah Nabi saw. Ia menunggu sampai junjungannya muncul. Dengan penuh cinta ia memandang wajah Nabi saw yang mulia. Pada suatu hari, ia datang. Seperti biasa ia memuaskan hatinya dengan memandang wajah Rasulullah saw. Setelah itu, ia pergi ke tempat kerjanya. Tidak lama kemudian ia balik lagi. Ia mohon izin untuk memandang beliau sekali lagi. Setelah puas, ia berangkat ke pasar. Selama seminggu setelah itu, Rasulullah saw tidak pernah melihatnya lagi. Ketika beliau menanyakan perihal dia kepada para sahabatnya, beliau mendapatkan jawaban bahwa ia sudah meninggal seminggu sebelumnya. Rupanya itulah pertemuan terakhir antara dia dengan Nabi saw. Untuk orang itu, Rasulullah saw bersabda, “Karena kecintaannya kepadaku, Allah mengampuni dosa-dosanya.”


Seorang laki-laki Anshar datang menemui Nabi saw. Ia mengadu, “Ya Rasul Allah, aku tidak tahan berpisah darimu. Jika aku masuk ke rumahku, lalu aku ingat dikau, aku tinggalkan harta dan keluargaku. Aku lepaskan kerinduanku dengan memandangmu. Lalu, aku ingat pada hari kiamat. Pada hari itu, engkau dimasukkan ke surga dan ditempatkan di tempat yang paling tinggi. Bagaimana aku, ya Nabi Allah?” Beliau tidak menjawab. Tidak lama setelah itu, turun ayat: “Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugrahi nikmat oleh Allah, yaitu: nabi-nabi, para shidiqin, orang-orang yang syahid dan orang-orang saleh, dan alangkah baiknya berteman dengan mereka.” (QS Al Nisa: 69).


Begitu ayat ini turun, Nabi saw memanggil lelaki itu, membacakan kepadanya ayat itu dan memberikan kabar gembira kepadanya. Ia dijanjikan bahwa ia akan digabungkan dengan Rasulullah saw. Di sana, ia tidak akan berpisah lagi dari Nabi saw.


Buat penyinta, perpisahan dengan kekasih adalah musibat yang sangat besar. Karena itulah, Fathimah merintih ketika ayahnya, panutannya, junjungannya, dan kekasihnya meninggal dunia. Setiap hari ia mengunjungi pusara Rasulullah saw dan melantunkan puisinya yang menyayat hati:


Nafasku tersekat dalam tangisan Duhai, mengapa nafas tak lepas bersama jeritan Sesudahmu tiada lagi kebaikan dalam kehidupan Aku menangis karena aku takut hidupku akan kepanjangan


Kala rinduku memuncak, kujenguk pusaramu dengan tangisan Aku menjerit meronta tanpa mendapatkan jawaban Duhai yang tinggal di bawah tumpukan debu, tangisan memelukku Kenangan padamu melupakan daku dari segala musibat yang lain Jika engkau menghilang dari mataku ke dalam tanah, engkau tidak hilang dari hatiku yang pedih


Berkurang sabarku bertambah dukaku setelah kehilangan Khatamul Anbiya Duhai mataku, cucurkan air mata sederas derasnya jangan kautahan bahkan linangan darah Ya Rasul Allah, wahai kekasih Tuhan pelindung anak yatim dan dhuafa Setelah mengucur air mata langit bebukitan, hutan, dan burung dan seluruh bumi menangis


Duhai junjunganku, untukmu menangis tiang-tiang Ka’bah bukit-bukit dan lembah Makkah Telah menangisimu mihrab tempat belajar Al-Quran di kala pagi dan senja Telah menangisimu Islam sehingga Islam kini terasing di tengah manusia Sekiranya kau lihat mimbar yang pernah kau duduki akan kau lihat kegelapan setelah cahaya


Kepedihan yang sama diderita Ali bin Abi Thalib, putra paman dan menantu Rasulullah saw. Lama ia berdiri di hadapan pusara Nabi saw yang mulia. Dalam deraian air mata yang tak kunjung berhenti, ia mengungkapkan deritanya:


Bi Abi Anta wa Ummi Biarlah ayah bundaku jadi tebusanmu, ya Rasul Allah Terhenti karena ketiadaanmu apa yang tak terhenti karena ketiadaan yang lain terhenti sudah nubuwwah, wahyu, dan berita dari langit Kau begitu khusus bagi kami sehingga jadilah kau penghibur kami dari selainmu Kau juga begitu terbuka bagi semua sehingga semua berbagi derita atas kepergianmu


Sekiranya tidak kau perintahkan kami bersabar jika tak kau larang kami berduka cita akan kami alirkan gelombang air mata Tapi walau begitu, sakit kami tak kunjung sembuh, derita kami takkan berakhir


Sakit dan derita kami terlalu kecil ketimbang kepedihan karenamu Kepergianmu tak mungkin dikembalikan kematianmu tak bisa dihindarkan Bi Abi Anta wa Ummi Kenanglah kami di sisi Tuhanmu dan simpan kami dalam hatimu


Apakah kerinduan kepada Rasul seperti itu hanya ada pada sahabat yang pernah berjumpa dengan Nabi saw? Tidak. Rasulullah saw bersabda, “Manusia yang paling bersangatan dalam kerinduannya kepadaku adalah orang-orang sepeninggalku. Mereka ingin mengorbankan hartanya dan keluarganya hanya untuk dapat melihatku.” Simaklah sajak Taufiq Ismail dan dengarkan bagaimana Sam Bimbo melagukannya:


Rindu kami padamu, ya Rasul rindu tiada terperi


Berabad jarak darimu, ya Rasul serasa engkau di sini


Cinta ikhlasmu pada manusia bagai cahaya suarga


Dapatkah aku membalas cintamu secara bersahaja



Hadis ini membawa kita kepada tanda cinta yang keempat: kesediaan untuk memberikan lubb, apa yang paling berharga yang dimilikinya untuk Rasulullah saw. Ia akan sangat bahagia bila ia dapat mempersembahkan yang paling mulia bagi Junjungannya. Di antara manusia yang paling mencintai Rasulullah saw adalah kemenakannya, Ali bin Abi Thalib kw. Kecintaannya menjadi tonggak sejarah Islam. Dalam perjalanan perjuangannya, Nabi saw sampai pada saat yang paling kritis. “Ingatlah ketika orang-orang kafir membuat tipu daya untuk memenjarakanmu, atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka membuat tipu daya. Allah pun membuat tipu daya. Dan Allah adalah sebaik-baiknya Pembalas tipu daya.” (QS Al Anfal; 30).


Musuh-musuh Nabi saw bersepakat untuk menyerbu rumah Nabi saw di malam hari. Semua kabilah mengirimkan wakil-wakilnya. Mereka punya misi yang sama: Menghabisi Nabi yang mulia. Pada malam itu, Rasulullah saw menawarkan kepada Ali apakah ia bersedia untuk berbaring di tempat tidur beliau. Ali balik bertanya, “Apakah dengan begitu engkau selamat, ya Rasulallah?” Nabi berkata, “Betul!” Mendengar itu Ali melonjak gembira. Ia merebahkan diri, bersujud syukur kepada Yang Mahakasih. Ia diberi kesempatan untuk mempersembahkan nyawanya buat keselamatan Rasulullah saw yang dicintainya. Baginya, peluang untuk berkorban bagi Nabi saw adalah anugrah yang agung. Ia segera mengambil selimut hijau dari Yaman. Ke dalam selimut Nabi saw itu, dengan bahagia Ali memasukkan tubuhnya. Ia tidur dengan tentram.


Menjelang subuh, para pembunuh dari berbagai kabilah datang dengan menghunus pedang-pedang mereka. Mereka yakin bahwa yang tidur itu adalah Muhammad saw. “Bangunkan dia lebih dahulu, supaya ia merasakan pedihnya tebasan pedang,” teriak mereka. Ketika mereka melihat Ali bangun, dengan kecewa mereka segera meninggalkan tempat untuk mencari Nabi saw. Malaikat Jibril turun di dekat kepala Ali dan Mikail di dekat kakinya. Jibril berkata, “Luar biasa. Siapa yang seperti engkau, hai putra Abu Thalib?” Allah membanggakan dia di hadapan para malaikatnya. Lalu turunlah Al-Baqarah 207: “Di antara manusia ada orang yang menjual dirinya untuk mencari keridaan Allah. Dan Allah Maha Penyantun terhadap hamba-hamba-Nya.”


Ayat ini turun untuk mendefinisikan cinta sebagai kesediaan untuk “menjual diri”, memberikan yang paling berharga buat sang kekasih. Inilah kecintaan yang sejati, yang dibanggakan oleh para malaikat. Dengan cinta seperti itu, makna cinta berikutnya muncul dengan sendirinya; yakni, berusaha memelihara dan mempertahankan kecintaannya. Cinta direkamkan dalam-dalam di lubuk hatinya. Bahkan pada saat sakratul maut sekali pun, nama Rasulullah saw tidak pernah lepas dari mulut dan jantungnya. 


Thalhah bin Al-Barra adalah seorang pemuda Anshar. Ketika ia berjumpa dengan Nabi saw, ia memeluknya dan menciumi telapak kakinya. “Ya Rasulallah, perintahkan aku untuk melakukan apa saja yang engkau sukai. Aku tidak akan membantah perintahmu.” Nabi saw sangat takjub mendengar ucapan seperti itu keluar dari seorang muda yang sangat belia. Ia bersabda, “Pergilah, bunuh ayahmu!” Pemuda itu segera keluar untuk melaksanakan perintah Nabi saw. Rasulullah saw memanggilnya kembali, “Hai Thalhah, bukan ajaran kami untuk memutuskan kekeluargaan. Aku hanya ingin menguji keimanan kamu supaya kamu tidak ragu lagi pada agamamu.”


Tidak lama setelah itu Thalhah sakit. Pada musim dingin, dalam udara yang sangat sejuk, Nabi berkenan menjenguknya. Ketika mau meninggalkan rumahnya ia berpesan kepada keluarganya, “Aku melihat Thalhah sudah dijemput maut. Nanti bila ia sudah meninggal, beritahu aku. Aku akan menghadirinya, berdoa baginya. Segeralah sampaikan berita itu kepadaku.” Ketika Nabi saw sampai ke perkampungan Bani Salim bin ‘Auf, wafatlah Thalhah, dan malam sudah larut. Sebelum meninggal, ketika Thalhah siuman dari pingsannya, ia bertanya: “Adakah Rasulullah saw mengunjungiku?” Keluarganya berkata, “Betul. Bahkan beliau berpesan agar bila engkau bangun kami beritahu beliau.” Thalhah berkata, “Jangan, jangan panggil Nabi saw. Aku kuatir kalau kalian memanggil beliau pada malam seperti ini, beliau diganggu Yahudi atau binatang buas, Aku tidak ingin beliau terganggu karenaku.”


Usai salat Subuh, Nabi pergi ke pusara Thalhah. Ia berdiri di situ. Para sahabat berbaris bersamanya. Ia mengangkat tangan seraya berdoa, “Ya Allah, sambutlah Thalhah. Ia tersenyum kepada-Mu dan Engkau tersenyum kepadanya!” Sekiranya Rasulullah saw berkunjung ke kuburan Mas Darwan pastilah ia akan berdoa, “Tuhan, sambutlah Mas Darwan. Ia tersenyum kepadamu dan Engkau tersenyum kepadanya!” Seperti Thalhah, pada bibir Mas Darwan menempel erat nama yang mulia itu sampai akhir hayatnya.


Ya Rasul Allah, jemputlah siapa pun yang menghadap Kekasihmu dengan menggumamkan namamu. Bukankah di sana, di ‘Arasy yang agung, namamu berdampingan dengan nama Allah yang Mahakasih Mahasayang? Bukankah Tuhan menyebutmu dengan nama-Nya, al raûf al rahîm, Yang sangat santun dan sangat sayang! []



KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).

36 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page