Akhi
Jihad yang Paling Utama
Seorang lelaki datang menemui Rasulullah Saw. la berkata, "Aku ingin berbaiat kepadamu untuk berhijrah dan berjihad. Aku mengharapkan pahala dari Allah." Rasulullah Saw. bertanya kepadanya, "Apakah salah seorang di antara kedua orangtuamu masih hidup?" Lelaki itu menjawab, "Bahkan keduanya masih hidup." Nabi Saw. bertanya lagi, "Dan kamu ingin mendapat pahala dari Allah?" la menjawab, "Benar." Rasulullah Saw. bersabda, "Kembalilah kamu kepada orangtuamu dan berkhidmatlah pada mereka sebaik-baiknya." (Hadis Shahih Muslim).
Dalam riwayat Abu Ya'la dan Al-Thabrani, dengan sanad yang kuat, Rasulullah Saw. menambahkan nasihatnya, "Mohonkan kepada Allah pahala berbakti kepada keduanya. Jika kamu melakukan itu, kamu memperoleh pahala yang sama dengan melakukan haji dan umrah." Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Ibn Majah, Al-Nasai, dan Al-Hakim, dikisahkan seorang lelaki yang menemui Nabi Saw. dan berkata, "Ya Rasulullah, aku bermaksud berperang. Aku datang untuk meminta pendapatmu." Nabi Saw. bertanya, "Apakah kamu masih punya ibu?" la menjawab, "Masih." Rasulullah Saw. menasihatinya, "Berkhidmatlah kamu kepadanya, karena surga ada di bawah kedua kakinya."
Dengan hadis-hadis di atas, Al-Ghazali memulai bab ke 24 dalam kitabnya, Mukåsyafat Al-Qulub, Menyingkapkan Tirai-Tirai Hati. Pada zaman Nabi Saw., untuk berjihad orang meminta izin Nabi. Seorang lelaki yang terpukau dengan besarnya pahala jihad ingin mencari surga di medan pertempuran, la datang kepada Nabi Saw., seorang pemimpin yang menghabiskan hampir seluruh usianya untuk berperang. Dalam dua puluh tahunan risalahnya, ia melakukan perang lebih dari delapan puluh kali. Rata-rata empat kali perang setiap tahun. Dalam situasi seperti itu, ia berpesan agar orang bukan saja mencari surga di bawah kilatan pedang. Carilah surga di bawah telapak kaki orangtuamu.
Nabi Saw. tidak melarang orang untuk berjihad dalam arti berperang di medan pertempuran. Ia memberikan contoh kepada kita tentang prioritas. Jika kita dapat memperoleh surga di rumah kita sendiri, kenapa harus berpayah-payah mencari surga di negeri orang. Jika di sekitar kita masih banyak orang yang harus kita penuhi haknya, mengapa kita harus melintasi samudra untuk memenuhi hak saudara jauh kita. Masalah jihad adalah masalah prioritas. Al-Quran dan Sunnah memerintahkan untuk mendahulukan jihad memenuhi hak keluarga kita lebih dahulu sebelum yang lain. Allah berfirman, Berikanlah hak pada keluarga yang dekat, lalu orang miskin, orang yang berada dalam perjalanan, dan janganlah kamu berbuat boros seboros-borosnya (QS Bani Israil [17]: 26).
Nabi Saw. mengecam orang yang mengabaikan prioritas, seperti orang yang menghabiskan waktunya di masjid dan menelantarkan kehidupan keluarganya. Sa'ad adalah seorang sahabat Nabi yang pertama kali meninggal setelah Nabi hijrah ke Madinah. Nabi Saw. mengantarkan jenazahnya dengan bertelanjang kaki. Ia dikuburkan di Baqi', tanah pekuburan yang berseberangan dengan masjid Nabi Saw. Sambil memuji Sa'ad yang banyak menghabiskan waktunya di masjid untuk beriktikaf, Rasulullah Saw. bersabda, "Kasihan Sa'ad. Tuhan menyempitkan kuburannya, karena selama hidupnya ia menyempitkan kehidupan keluarganya." Kepada seorang sahabat lain yang seperti Sa'ad, Rasulullah Saw. bersabda, "Jika kamu duduk meluangkan waktu untuk berkencan dengan keluargamu, itu lebih dicintai Allah Swt. daripada beriktikaf di masjidku ini."
Pada zaman Nabi Saw., ada seorang anak muda yang tinggal di Yaman. Ia tidak pernah berjumpa dengan Nabi Saw. Tetapi pada suatu hari Rasulullah Saw. bersabda kepada sahabat-sahabatnya, "Aku mencium napas Rahman dari Yaman. Aku mencium embusan Tuhan yang Maha Pengasih dari Yaman." la berpesan kepada para sahabatnya agar menyampaikan pesan dan salam beliau kepadanya, kelak sepeninggal beliau. Dalam riwayat para sufi bahkan dikisahkan bahwa Nabi berwasiat agar pakaian yang dikenakan pada akhir hayatnya dihadiahkan kepadanya. Pada zaman pemerintahan 'Umar, ia datang ke Madinah. Begitu ia mendengar salam Nabi, ia pingsan. Kelak, pada zaman 'Ali, ia berperang di pihak 'Ali. la dahulu tidak sempat ikut berperang bersama Nabi Saw. karena berkhidmat kepada orangtuanya yang sudah tua renta. Lelaki ini dikenal dalam dunia tasawuf sebagai Uwais Al-Qarni, salah seorang wali Allah yang besar. la baru sempat berjihad bersama 'Ali bin Abi Thalib setelah kedua orangtuanya meninggal dunia.
Uwais mencari surga di bawah telapak kaki ibunya, sebelum mencari surga di bawah kilatan pedang, la mencurahkan keringatnya untuk membahagiakan ibunya sebelum menumpahkan darahnya untuk memerangi musuhnya. Kedua-duanya jihad. Uwais melakukan kedua jihad itu dengan memerhatikan skala prioritas. la mulai berjihad dengan membahagiakan keluarganya yang terdekat. Baru setelah itu, ia berjihad untuk menghancurkan musuh-musuh kebenaran.
Bagaimana jika kita tidak mau melakukan perang melawan orang kafir karena takut bencana yang akan menimpa kita dan keluarga kita, karena kita ingin memelihara diri dan keluarga kita; karena kita ingin menyelamatkan diri dan keluarga kita dari gangguan mereka? Para ulama ahli fiqih sepakat untuk mendahulukan perlindungan bagi diri dan keluarga daripada melawan kezaliman. Kita diperbolehkan mengambil pemimpin yang zalim demi me lindungi diri kita dari kezaliman mereka. Para ulama itu berpegang pada Al-Quran, salah satu di antaranya "Janganlah orang-orang Mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang Mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah la dari pertolongan Allah, kecuali karena siasat memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu) (QS Ali Imran (3): 28).
Jadi, sebelum berjihad dengan berperang di medan pertempuran, kita harus mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, kita harus memilih berbagai macam alternatif jihad. Kita harus mendahulukan jihad untuk membela dan memenuhi hak keluarga, tetangga, dan orang-orang yang terdekat dengan kita. Kita harus memutuskan berdasarkan skala prioritas.
Kedua, jika dua macam jihad terjadi pada saat bersamaan, kita harus menggunakan prinsip istihsan. Pilih yang ada gantinya di atas yang tidak ada gantinya. Seperti ketika kita memilih air untuk minum, daripada menggunakannya untuk wudhu; karena wudhu bisa diganti dengan tayamum, tetapi air minum tidak bisa diganti dengan tanah. Jika untuk berperang ke Afghanistan, ada banyak orang yang akan menggantikan, sedangkan untuk memenuhi keperluan keluarga kita, tidak ada orang yang dapat menggantikan, kita harus memilih keluarga kita.
Gunakan juga prinsip mashâlih mursalah, kemaslahatan banyak orang. Jika "jihad" yang kita pilih itu akan menyengsarakan lebih banyak orang, kita harus meninggalkan jihad itu. Dengan berpihak pada Taliban di Afghanistan, kita mungkin dapat membela sekitar lima juta orang, tetapi pasti kita akan menyengsarakan ratusan juta saudara kita di Indonesia. Tanggung jawab kita pada keluarga jauh lebih besar dari tanggung jawab kita atas keluarga yang lain.
Ketiga, jihad di medan perang harus didahului, disertai, dan diikuti dengan jihad melawan hawa nafsu. Dalam Shahih Muslim, Nabi Saw. diceritakan pada kita tentang tiga orang yang dihadapkan kepada pengadilan Tuhan pada hari kiamat. Kepada yang pertama Tuhan bertanya tentang apa yang dilakukannya di dunia, ia berkata, "Aku membaca Al-Quran." Tuhan berfirman, "Kamu bohong. Kamu membaca Al-Quran supaya dikatakan orang bahwa kamu Qari, tukang baca Al-Quran." Orang itu diseret dan dilemparkan ke neraka. Kepada yang kedua Tuhan bertanya hal yang sama, dan ia menjawab, "Aku mendermakan hartaku di jalan Allah." Tuhan bersabda, "Kamu bohong. Kamu berderma supaya kamu disebut sebagai dermawan." la juga diseret dan dilemparkan ke neraka. Kepada yang ketiga, Tuhan menyampaikan pertanyaan yang sama. la berkata, "Aku berperang di jalan-Mu." Tuhan berfirman, "Kamu bohong. Kamu berperang karena ingin dipanggil orang pemberani." la juga diseret dan dilemparkan ke neraka.
Yang terakhir itu pergi berperang sebelum berhasil mengalahkan hawa nafsunya. Pada zaman Rasulullah Saw.. di kalangan para sahabat pernah terkenal dua gelar: Mujahid Ummu Oais dan Mujahid Himar. Yang pertama adalah seorang sahabat yang mati dalam peperangan karena dia ingin merebut seorang perempuan yang bernama Ummu Qais. Yang kedua pergi ke medan pertempuran untuk memperoleh keledai. Keduanya berperang tidak untuk Allah, tetapi untuk memenuhi keinginan keinginan dirinya. Keduanya kalah di medan perang setelah lebih dahulu kalah menghadapi dirinya sendiri.
Rasulullah Saw. bersabda, "Jihad yang paling utama adalah engkau perangi hawa nafsumu, karena Allah Swt."
Dari Abu Dzar, ia bertanya, "Ya Rasulullah, jihad apa yang paling utama?" Rasulullah menjawab, "Jihad yang paling utama adalah engkau perangi nafsu dan keinginan mu."
Imam 'Ali k.w. berkata, "Ketahuilah bahwa jihad yang paling agung adalah jihad melawan nafsumu. Maka sibukkanlah dengan jihad melawan dirimu, kamu akan memperoleh kebahagiaan." []
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).