Akhi
Kaifa Shabruk, Sanggupkah Kamu Bersabar Menanggungnya? (1)
Updated: Aug 2, 2022
Pada suatu dini hari di alam nasut, dalam perjalanan mi’raj di malam kudus, Al-Mushtafa sampai ke alam jabarut. Batas ruang dan waktu membaur menyabur. Pada alam “qaaba qawsaini aw adnaa”, pada jarak dua busur panah bahkan lebih dekat lagi, Al-Mushtafa bersimpuh dalam balutan Cahaya langit dan bumi. Ia tenggelam jauh menukik ke dasar samudra ketunggalan Ilahi. Ia hanya setetes embun yang bergabung dengan gelombang lautan kasih sayang rabbani.
Dari kemilau cahaya yang mengalir dari alam lahut bergetar suara penuh cinta:
“Allah yang Mahamulia dan Mahatinggi akan menguji kamu dengan tiga ujian. Bersediakah kamu bersabar menanggungnya. Kaifa Shabruk?” Kaifa Shabruk… Kaifa Shabruk… Kaifa Shabruk? Seluruh alam semesta, seluruh galaksi, seluruh gemintang, seluruh planet menggemakan firman Tuhan. Sejak butir-butir pasir yang terhampar di sahara yang tak terkira, sampai tata-tata surya yang menyebar di galaksi-galaksi yang tak terhingga, semua berkata yang sama:
Kaifa Shabruk… Kaifa Shabruk… Kaifa Shabruk? Seperti Musa yang jatuh tersungkur ketika tajalliat Tuhan membuat bukit hancur, satu tetes embun mencuat dari tengah- tengah gelombang dan jatuh melebur. Dialah Manusia Pilihan, yang diutus Tuhan untuk menjadi ungkapan kasih rahmani ke seluruh alam. Firman itu turun seperti sinar yang diterangkan, pada kitab yang dituliskan, untuk Nabi yang dibahagiakan. Anzalan nuur. Fi kitaabim masthuur ‘alan Nabiyim mahbuur. Dengan suara parau, dalam kerendahan diri penuh kepasrahan, al-Mushtafa berkata:
“Aku serahkan diriku sepenuhnya pada amar-Mu, duhai Tuhanku. Aku tidak akan sanggup bersabar kecuali dengan kekuatan-Mu. Gerangan apakah tiga ujian itu?”
Pertama, Kamu akan diuji dengan perasaan lapar, tapi kau dahulukan orang-orang yang dirundung kemalangan. Bersamaan dengan itu, Tuhan membukakan satu pintu di masa depan. Di padang rumput Madinah, Al-Mushtafa memilah-milah ratusan kambing sepenuh lapang. Dengan ceria dan senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya, ia bagikan seekor demi seekor kepada fakir miskin. Dalam keadaan kelelahan dan kelaparan, ia bertanya kepada istrinya, “Adakah makanan bagiku?” Ketika istrinya berkata tidak, Al-Mushtafa berkata: Kalau begitu, aku akan berpuasa. Fa inni Shaa-im! Berhari-hari dapurnya tidak menyala. Ketika hidangan makanan akhirnya datang, dengan tangannya sendiri ia hampiri kaum miskin pendatang, yang bernaung di bawah beranda masjidnya. Ia tidak lagi peduli dengan perutnya sendiri. Senyum kebahagiaan karena melihat sahabatnya kenyang menghilangkan semua keperihan perutnya. Di depan Ka’bah, ketika ia turun dari bukit, ia sampaikan amar Tuhan: “Mengapa ia tidak menaiki bukit yang terjal; tahukah kamu apa bukit yang terjal itu. Kamu bebaskan perbudakan, kamu bagikan makanan pada hari kelaparan, kepada anak yatim dari keluarga dekatmu, dan orang miskin yang bergelimang debu.” Maka hari itu, Sang Nabi mengumpulkan sahabatnya, menanamkan benih korma dengan tangannya sendiri, diikuti oleh sahabat-sahabatnya yang setia, membuka kebun kurma. Dari hasil perkebunan itu, seorang budak bertubuh tinggi melonjak gembira. Salman menjadi manusia merdeka, setelah berpuluh tahun dipasung sebagai hamba. Pada hari yang lain, serombongan orang Badawi datang dari sahara, dengan pakaian yang kumuh, muka yang lusuh , dan tubuh yang ringkih. Mereka tertatih-tatih dengan mata yang cekung, perut yang busung, dan kaki yang kembung. Jelas sekali, mereka menanggung kelaparan. Mata Sang Nabi yang penuh kasih menggelegak dengan tangisan. Ia ajak semua sahabatnya untuk membantu mereka semampunya. Seorang Anshar datang dengan membawa sekantung uang, disusul oleh sahabat yang membawa sekarung gandum. Susul-menyusul, para sahabat menyumbangkan apa yang mereka miliki. Di hadapan Al-Mushtafa bertumpuk bukan hanya makanan tetapi juga pakaian dan berbagai perbekalan. Wajah Sang Nabi bersinar bahagia. Ia bersabda, “Siapa pun yang memulai kebiasaan baik dalam Islam, baginya pahala perbuatan baik itu dan pahala orang yang melanjutkan kebiasaan itu sesudahnya, tanpa mengurangi pahalanya sedikit pun. Siapa pun yang memulai kebiasaan yang buruk, baginya dosa dan dosa orang yang melanjutkan kebiasaan buruk itu sesudahnya, tanpa mengurangi dosanya sedikit pun.” Kepada saudara sepupunya Ali, Al-Mushtafa berkata, “Hai Ali, Allah telah menjadikan kefakiran itu sebagai amanah kepada makhluknya. Siapa pun yang membahagiakan orang fakir, ia akan memperoleh pahala orang yang terus menerus melakukan puasa dan salat malam. Siapa yang menyerahkan kepada yang mampu menolongnya tapi orang itu tidak menolongnya, ia telah membunuhnya, bukan dengan pedang dan tombak, tetapi dengan kepedihan dalam hatinya.” Dalam keheningan malam, Al-Mushtafa berdoa: “Ya Allah, hidupkan aku sebagai orang miskin. Matikan aku sebagai orang Miskin. Dan himpunkan aku di tengah-tengah orang miskin.” Di hadapan sahabat-sahabatnya ia berkata, “Orang-orang miskin adalah raja-raja di surga. Semua orang merindukan surga, tetapi surga merindukan orang -orang miskin.” Dan hiduplah al-Mushtafa sebagai orang miskin. Ia hanya punya beberapa lembar pakaian. Seorang perempuan dengan merendah dan penuh hormat mempersembahkan burdah kepada Sang Nabi as. Dengan suara yang hampir hilang, dengan jantung yang berdetak kencang, dengan tangan yang berguncang, ia berkata, “Ya Rasul Allah, burdah ini aku rajut sendiri dengan tanganku. Kiranya engkau berkenan menerimanya dan mengenakannya.” Al-Mushtafa mengambilnya dengan suka cita, dengan senyuman yang menyebarkan kasih semesta, di hadapan mata yang berkaca-kaca, mata perempuan yang amat bahagia. Ia bangga. Lihat, al-Mushtafa mengenakan burdah, yang dijahitnya dengan tangannya sendiri. Lihat, Al-Mushtafa datang di tengah-tengah sahabatnya. Bukan burdah yang membuat Sang Nabi indah, tetapi Sang Nabi yang membuat burdah itu indah.
Balaghal ‘ulaa bikamaalih Kasyafad dujaa bijamaalihi Hasunat jamii’u hishaalihi Shallu ‘alaihi wa aalihi
Dia capai ketinggian dengan kesempurnaannya Dia singkap kegelapan dengan keindahannya Indah nian semua perilakunya Sampaikan salawat kepadanya dan keluarganya Para sahabat mengagumi keindahan Sang Nabi dengan burdahnya. Salah seorang di antara mereka nekad berkata, “Indah benar burdah ini, ya Rasulullah! … Ma ahsanahaa. Kiranya engkau berkenan memberikannya padaku.” Para sahabat menegur orang yang lancang itu, “Kamu lihat betapa indahnya burdah itu dipakai Nabi saw. Beliau pun memerlukannya. Tetapi kamu memintanya karena kamu tahu ia tidak akan menolak orang yang memintanya?” Ketika Al- Mushtafa memberikan pakaian itu kepadanya, masih dengan senyuman nabawi yang menyejukkan hati, sahabat yang beruntung itu berkata, “Demi Allah, aku memintanya bukan untuk aku pakai sekarang. Aku memintanya untuk kain kafanku nanti.” Kelak, ketika jasadnya dibaringkan di lubang lahatnya, orang melihat jenazahnya tersenyum, dikafani dengan burdah ayah fuqara dan masakin. Nun jauh di sana, seorang perempuan tersenyum. Kain kafan itu adalah burdah yang dijahit dengan tangannya sendiri dan pernah dikenakan dengan indah pada tubuh yang suci, kekasih ilahi dan kekasih dirinya. Saudara, waktu ini, jam ini, detik ini kita berkumpul di sini, untuk menjadi perempuan Anshar itu. Kita ingin membahagiakan hati sang Nabi saw. Kita ingin mempersembahkan kepadanya pakaian cinta yang sederhana, yang kita rajut sendiri dengan deraian air mata kita dalam kenangan kepada Imam Husain. Kita ingin membalas cintanya secara bersahaja. Kita kembali lagi ke alam jabarut. Al-Mushtafa telah menanggung kesabaran untuk menjalankan amanah al-Rahman, melayani orang miskin dan mendahulukannya daripada dirinya sendiri. Lalu, apa jawab kita kepada pertanyaan ilahi, kaifa shabruk, bagaimana kesabaranmu dalam melayani orang miskin? Sudahkah kita penuhi perutnya yang lapar, sudahkah kita sembuhkan sakitnya yang parah, sudahkah kita lepaskan kesulitannya, sudahkah kita hibur penderitaannya, sudahkah kita bahagiakan kehidupannya. Alangkah malangnya aku, duhai Tuhanku, sekiranya kau ambil imanku hanya karena aku tidur kenyang sementara tetanggaku kelaparan di sampingku. Hanya karena aku tidak sabar melayani mereka. Betapa celakanya aku, duhai Tuhanku, sekiranya Kaucampakkan aku dari hadiratmu, karena tidak kukunjungi orang yang sakit, tidak kuberi pakaian orang yang telanjang, tidak kukenyangkan orang yang lapar. Lalu Kau berfirman: Sekiranya kamu kunjungi yang sakit, yang sengsara, yang lapar, kamu akan menemui Aku di sana dan juga… di sini. Ampuni aku, duhai Tuhanku, aku tidak sabar melayani mereka!
***
Kaifa Shabruk…Kaifa Shabruk…Kaifa Shabruk? Firman itu turun seperti sinar yang diterangkan, pada kitab yang dituliskan, untuk Nabi yang dibahagiakan. Anzalan nuur. Fi kitaabim masthuur ‘alan Nabiyim mahbuur.
Kedua, Kaifa shabruk, sanggupkah kamu bersabar! Engkau akan didustakan dan diancam dengan ketakutan yang berat. Dalam menghadapi itu engkau persembahkan hatimu padaKu. Engkau perangi orang kafir dengan hartamu, dengan dirimu, dan kau bersabar atas kepedihan yang menimpamu, yang ditimpakan orang munafik terhadapmu; serta kesakitan ketika terluka dalam peperangan. Dengan suara parau, dalam kerendahan diri penuh kepasrahan, al-Mushtafa berkata: “Aku terima, duhai Tuhanku. Aku rido dan aku pasrah. Dari Engkau juga taufik dan kesabaranku.” Bersamaan dengan itu, Tuhan membuka lagi satu pintu di masa depan. Al-Amin, orang paling terpercaya di Makkah, bangsawan budi yang makruf karena kemuliaan akhlaknya, tiba-tiba dituding sebagai pembohong, difitnah sebagai tukang sihir, dituding sebagai orang gila, yang dibisiki setan pagi dan petang, siang dan malam. Ia dituduh telah meninggalkan agama nenek moyang, merusak ketertiban dan keamanan. Ia dianggap membawa ajaran sesat. Ia telah memisahkan anak dari orang- tuanya, kawan dari sahabatnya, saudara dari kerabatnya, budak dari tuannya, bawahan dari atasannya. Pada suatu hari, dengan kepala yang selalu tepekur ke bumi, dengan kaki yang langkahnya diayunkan dengan penuh kerendahan hati, Al-Mushtafa melewati kerumunan kaum elit Quraisy; kaum yang mengisi ibadat dan doanya dengan siulan dan tepuk tangan. Mereka berteriak mengejek Nabi saw, “Pembohong! Orang gila! Dukun keparat! Tukang sihir! Kemasukan setan!” Dengan langkah-langkah yang tetap tegar, ia mendekati Kabah. Di dekat Makam Ibrahim, ia berdiri, rukuk, dan sujud. Tiba-tiba dari kerumunan orang kafir itu meloncat seorang yang bertubuh besar dan kekar, OKBAH atau Uqbah bin Abi Mu’ith. Ia melemparkan sampah kotor ke atas kepala al-Mushtafa yang sedang sujud. Al-Amin tidak sanggup mengangkat kepalanya, sampai langkah-langkah kecil menghampirinya. Matanya yang bening memandang tajam manusia-manusia kasar di sekitarnya. Ia seret sampah kotor itu dengan segala kekuatannya. Al- Musthafa mengangkat kepalanya yang mulia. Suara pertama yang terdengar adalah panggilan mesra bagi putrinya yang tercinta, “Ya Umma Abiihaa!” Beberapa waktu sebelumnya, putri Nabi membersihkan duri-duri yang dilemparkan orang di depan pintu rumahnya dan di jalanan yang ditempuhnya. Dengan mata yang bening itu, ia memandang tajam manusia-manusia kasar di sekitarnya. Dengan suara yang jernih itu, ia menegur orang-orang yang mengelilinginya, “Beginikah kalian bertetangga, hai orang Quraisy.” Dan manusia paling mulia di alam semesta itu memanggilnya dengan mesra, “Ya Umma Abiihaa!” Okbah, manusia kasar, itu beberapa hari sebelumnya, didatangi kawan dagangnya, Ubayy bin Khalaf. Keduanya bersekutu dalam mengejar kekayaan, tanpa peduli halal dan haram. Mereka berpegang teguh pada agama nenek moyangnya juga karena kepentingan dunia mereka. Ubayy, tanpa mengetuk pintu, ia masuk rumah Okbah; tanpa basa basi, ia membentak Okbah, “Kamu sudah sesat, hai Okbah! Kamu sudah tinggalkan agama leluhur kita!”
“Demi Allah,” kata Okbah, “aku tidak pernah meninggalkan agamaku. Tapi ketika aku undang orang makan di rumahku, seorang lelaki menolak makan kecuali aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad utusannya. Aku malu kalau ia keluar dari rumahku dan ia tidak ikut makan. Kesaksianku Cuma basa-basi saja. Tidak lebih dari itu.” “Sejak ini aku tidak rido sama kamu. Aku tidak senang kepadamu; kecuali… kamu datangi dia kembali. Kamu ludahi mukanya, kamu injak lehernya.” Okbah hari itu juga mendatangi al-Mushtafa. Ia ludahi wajah yang agung, yang karena wajah itu, Abu Thalib menurunkan hujan dari sela-sela awan. Ia melemparkan jeroan unta ke pundak Nabi saw. Al-Mushtafa menerimanya dengan sabar dan bersabda, “Nanti ketika kamu keluar dari Mekah, aku akan datang dari arah bukit itu. Aku akan letakkan pedang di atas kudukmu. Hari itu kamu akan menyesali perbuatanmu.”
***
Sekali ini, kita melihat al-Mushtafa pulang dari Tabuk. Pulang setelah perjalanan panjang yang melelahkan. Bagi para sahabatnya, inilah perjalanan yang menguji iman dan kesabaran. Musim panen yang ditinggalkan, musuh yang ditakutkan, udara panas yang menyengat, dan alasan yang mereka buat- buat. Al-Mushtafa berkata, “Tempuhlah lembah ini. Tidak seorangpun boleh mengikutiku selain orang yang aku tunjuk. Aku akan mengambil jalan pintas melalui bukit yang terjal.” Maka dalam kegelapan malam, unta al-Mushtafa menaiki bukit perlahan-lahan. Tiba-tiba terdengar suara berisik. Nabi saw menyuruh Huzaifah menelisik. Huzaifah menyaksikan orang- orang yang bertopeng bergerak siap menyerang. Ia berteriak keras, “Siapa kalian?” Sekarang yang terdengar adalah suara gemertak langkah-langkah kaki yang makin lama makin pelan. Mereka mundur ketakutan. Mereka takut topengnya terbuka. “Wahai Huzaifah, mereka bermaksud membunuhku dan melemparkan aku ke jurang. Mereka adalah orang-orang munafik.” Lalu al-Mushtafa menyebut nama-nama mereka, membuka muka-muka yang sembunyi di balik cadarnya. Huzaifah diberinya amanat untuk menyimpan nama-nama itu sampai saatnya tiba. Huzaifah, Shahib sirr Rasulillah. Huzaifah pemilik rahasia Rasul Allah. في اصحابي إثنا عشر منافقاً ، فيهم ثمانية لا يدخلون الجنة حتي يلج الجمال في سم الخياط
“Di tengah-tengah sahabatku, ada dua belas orang munafik. Di antara mereka ada delapan orang yang mustahil masuk surga seperti tidak mungkinnya unta masuk ke lubang jarum.” Al-Mushtafa ternyata bukan hanya berduka karena ratusan sahabatnya yang setia meninggal dalam hampir delapan puluh peperangan melawan orang-orang kafir; tapi ia juga bersedih karena dilawan dan bahkan mau dibunuh oleh sahabat- sahabatnya yang munafik. “Jika engkau sudah mengetahuinya, mengapa tidak kau putuskan hukuman mati bagi mereka, “ tanya Ammar bi Yasir dan Huzaifah. “Aku tidak mau nanti orang-orang berkata: Muhammad membunuh sahabat-sahabatnya sendiri.” Betapa sabarnya al-Mushthafa. Ya Nabiyar Rahmah, wahai Nabi yang penuh kasih, bagikan setetes kesabaran darimu kepada kami. Kami tidak dilempari sampah kotor di atas kepala kami, tapi muka-muka kami sudah ditaburi ludah kebencian, sudah disiram muntah permusuhan. Di sekitar kami ada muka- muka bengis yang mengancam kami, ada suara-suara buruk yang menistakan kami, ada gerak-gerak kasar yang ingin mencelakakan kami. Ya Rasulullah, pasti kau dengar jeritan saudara-saudara kami yang dicaci-maki, dihinakan, diusir dari tempat tinggalnya, diceraiberaikan keluarganya, dibakar rumahnya, disiksa jasadnya, dan akhirnya dihabisi nyawanya. Ya Nabiyyar Rahmah, pasti kini engkau saksikan bagaimana bangsa yang terkenal ramah dan banyak tersenyum sekarang berubah menjadi bangsa yang kejam dan bermuka masam. Dosa kami hanya karena kami ingin menangis bersama tangisanmu, hanya karena kami ingin mengungkapkan cinta kami kepadamu dan orang-orang yang kau cintai. (Asyku ilaika faqda Nabiyyinaa…)
***
Kaifa Shabruk…Kaifa Shabruk…Kaifa Shabruk? Firman itu turun seperti sinar yang diterangkan, pada kitab yang dituliskan, untuk Nabi yang dibahagiakan. Anzalan nuur. Fi kitaabim masthuur ‘alan Nabiyim mahbuur.
Ketiga, Kaifa shabruk, sanggupkah kamu bersabar! Sanggupkah kamu bersabar menyaksikan apa yang akan dialami oleh ahli baitmu sepeninggalmu. Mereka akan dibantai. Saudara terkasihmu Ali akan dihujat, dicaci- maki, disumpah-serapahi, dijauhi, dikafirkan, dan dizalimi oleh umatmu. Dan akhirnya dibunuh. Dengan suara parau, dalam kerendahan diri penuh kepasrahan, al-Mushtafa berkata: “Aku terima, duhai Tuhanku. Aku rido dan aku pasrah. Dari Engkau juga taufik dan kesabaranku.” Bersamaan dengan itu, Tuhan membuka lagi satu pintu berikutnya di masa depan.
Kedua Kekasih Tuhan itu Berpelukan Kedua tangan sepasang kekasih itu bergandengan Menapaki lorong-lorong di luar kota Madinah Melewati kebun-kebun yang indah “Alangkah indah kebun ini, ya Rasul Allah” Itu suara Ali bin Abi Thalib "Kebun buatmu di surga lebih indah lagi” Itu suara Rasul Allah Dengarkan penuturan Ali Salah seorang dari sepasang sejoli “Setiap kali aku melewati kebun Kuucapkan betapa indahnya Rasulullah selalu menjawabnya Kebun di surga buatmu lebih indah lagi Sampailah aku melewati kebun yang ketujuh Tiba-tiba Nabi, kekasihku, memeluk tubuhku Ia meletakkan kepalanya yang mulia di pundakku Ia menangis keras membasahi leher dan pundakku "Apa gerangan yang menyebabkan tangisanmu Ya Rasul Allah’ “Aku melihat kedengkian pada berbagai kaum Yang akan mereka bukakan sepeninggalku” “Apa yang harus aku lakukan, ya Rasul Allah!” “Bersabarlah, sampai kau berjumpa denganku.” “Apakah itu untuk keselamatan agamaku, ya Rasulullah.” “Benar, untuk keselamatan agamamu.” Kedua kekasih Tuhan itu berpelukan Derai tangisan sebaik-baiknya insan Memulai tragedi keluarga Nabi Dari kebun di luar kata Madinah Sampai puncaknya di padang gersang Karbala Kedua kekasih Tuhan itu berpelukan Dalam derai tangisan Sejak itu sampai kini dan akhir zaman Tangisan untuk agama yang harus diselamatkan
الم أحسب الناس أن يتركوا أن يقولوا امنا وهم لا يفتنون
Alif. Laam. Miim. Adakah manusia mengira: Ia akan dibiarkan berkata, kami beriman padahal mereka tidak diterpa ujian! Ali, murid terkasih dari gurunya yang terkasih, bertanya dengan penuh santun, “Ya Rasul Allah, apakah ujian yang disampaikan Allah kepada kami dalam ayat ini” “Hai Ali, sepeninggalku, umatku akan diuji? Apakah iman mereka sejati?” “Ya Rasul Allah, bukankah engkau pernah berkata padaku usai perang Uhud, ketika para sahabat banyak berguguran sebagai syuhada, sementara kesyahidan dilepaskan dariku dan dukaku hampir tak tertahankan, “Berbahagialah hai Ali, karena kesyahidan menantimu sepeninggal aku.”
FA KAIFA SHABRUK! Sanggupkah kau bersabar! Inilah firman Tuhan yang didengar Nabi pada waktu Mi’raj. Kalimat ini sekarang disampaikan Nabi saw dari bibirnya yang “wa ma yanthiqu ‘anil hawa, in huwa illa wahyuy yuhaa”, dari lidahnya yang tidak berbicara berdasarkan hawanafsunya, selain wahyu yang diterimanya! “Ya Ali, fa kaifa shabruk? Sanggupkah kau bersabar!” Ya Rasul Allah, aku bukan hanya akan bersabar. Nubuat itu aku akan terima sebagai berita gembira dan aku akan mensyukurinya! “Hai Ali, nanti umat ini akan diuji dengan kekayaan. Mereka akan mengubah-ubah agama ini dan berharap Allah akan menerima agama mereka. Mereka menduga Allah akan menurunkan rahmat-Nya bagi mereka. Mereka merasa aman dari kemurkaan Tuhan. Lalu mereka halalkan yang haram dengan ajaran kebohongan dan nafsu yang kebablasan. Mereka halalkan khamar dan menyebutnya nabiz. Mereka halalkan korupsi dan menyebutnya hadiah. Mereka halalkan riba dan menamainya transaksi.” Ya Rasulullah, apakah aku harus memperlakukan mereka sebagai orang yang keluar dari agama atau sebagai orang yang tertipu dengan fitnah cobaan. “Sebagai orang yang tertipu dengan fitnah cobaan”. Alangkah sabarnya Ali bin Abi Thalib. Seperti Abul Fuqara dan Masakin, dengan sabar ia melayani fakir miskin dan orang-orang yang menderita. Kepada sesama kaum muslimin yang memeranginya, Ali tidak henti-hentinya menyebarkan pesan perdamaian. “Apakah orang-orang yang memerangimu itu kafir?” tanya sahabat-sahabatnya. “Bukan,” kata Ali, “Mereka adalah saudara-saudara kita yang berbeda faham dengan kita.” Bersambung...
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).