Akhi
Kaifa Shabruk, Sanggupkah Kamu Bersabar Menanggungnya? (2)
Updated: Aug 4, 2022
Kaifa Shabruk…Kaifa Shabruk…Kaifa Shabruk?
Firman itu turun seperti sinar yang diterangkan, pada kitab yang dituliskan, untuk Nabi yang dibahagiakan. Anzalan nuur. Fi kitaabim masthuur ‘alan Nabiyim mahbuur. Firman itu turun kepada Nabi di alam jabarut. Sekarang kalimatullah hiyal ‘ulya menjadi kalimah al-Rasuul al-A’zham, disampaikan kepada Ali, sahabat yang paling dicintainya.
Bersamaan dengan itu, Tuhan membuka pintu duka ke arah kafilah derita, sepeninggal al-Mushtafa.
Di Kufah, dua puluhan tahun setelah wafat al-Mushtafa, serombongan orang saleh mengikuti singa sang penakluk… Ali bin Abi Thalib. Mereka memasuki kebun kurma dengan mayang-mayang yang berjuntai-juntai, seperti juntaian lampu-lampu di pinggir jalan. Ali meletakkan butir-butir ruthab, kurma basah dan segar, pada telapak tangan para sahabatnya, perkhidmatan Imam kepada para pecintanya.
Di bawah salah satu pohon kurma, di depan Ali, seorang lelaki mensyukuri lezatnya kurma, “Ya Amir al- Mukminin, maa athyaba hadzar ruthab! Enak betul rothab ini!”
Amirul Mukminin as sejenak menatapnya dengan tatapan penuh kasih. Ia menunjuk ke pohon korma yang masih muda di sampingnya.
“Ya Rusyaid, nanti kamu bakal disalibkan pada batang pohon ini. Ya Rusyaid, kayfa shabruk! Kelak akan datang aparat dari Ziyad bin Abih, penguasa kejam. Ia akan memanggilmu, menyuruh kamu berlepas diri dariku. Menyuruh kamu meninggalkan agamamu. Tapi kamu menolaknya. Mereka kemudian memotong kedua tanganmu, memotong kedua kakimu, dan memotong lidahmu. Akhirnya, mereka salibkan kamu di batang pohon kurma ini.
Kaifa shabruk!
Mampukahkamu menanggungnya ya Rusyaid? (Suara penuh cinta itu).
“Ya Amiral Mukminin, wa aakhira dzalika ilal jannah!”
يا رشيد أنت معي في الدنيا والآخرة
Ya Rusyaid, kamu bersamaku di dunia dan akhirat! (Masih suara yang yang penuh kasih itu) Mata Rusyaid berbinar-binar. Di pelupuk matanya bergelegak air mata cinta.
Sejak itu, Rusyaid mengunjungi pohon kurma itu, menyiraminya dengan tekun. Pohon kurma itu menjadi pengikat antara ia dengan kekasihnya, antara ia dengan Rasulullah saw, antara ia dengan Allah swt.
Tidak lama setelah kepala yang mulia dari kekasihnya ditebas di mihrab Masjid Kufah, Rusyaid melewati pohon kurma itu. Daun-daunnya sudah dipangkas. Ia bergumam: Sudah dekat ajalku. Sungguh benar kekasihku.
Tiba-tiba datang seorang aparat kerajaan: “Kamu dipanggil Amir!” Ia melewati pohon kurma itu. Pohonnya sudah ditebang, dibelah menjadi dua – sebelah teronggok di depan istana, dan sebelah lagi dijadikan saluran alir. Ia bergumam lagi: Sungguh benar kekasihku!
Ziyad membentak: Hai orang tua pembohong, budak dari si pembohong.
“Aku bukan pembohong dan kekasihku, mawlaku, juga bukan pembohong”
“Apa yang dikatakan kawan kamu itu?”
“Ia berkata: Aku akan dipanggil kamu untuk berlepas diri dari mawlaku Ali bin Abi Thalib as. Aku pasti menolak tawaranmu. Kemudian kamu memotong kedua tanganku, menebas kedua kakiku, dan menggunting lidahku.”
“Aku buktikan kawan kamu itu bohong. Tebas kedua tangannya, kedua kakinya, dan biarkan lidahnya.”
Rusyaid tersenyum ketika pedang itu mengoyak- ngoyakkan tubuhnya, memotong satu demi satu tangannya; memisahkan satu demi satu kakinya. Qanwa, anak perempuan Rusyaid yang sangat disayanginya mengumpulkan potongan-potongan tubuhnya, menumpukkannya dalam pelukannya, sementara linangan airmata mengalir bersama genangan darah yang tiada henti-hentinya.
“Abah, tidakkah engkau rasakan sakit karena musibah ini.”
“Tidak anakku, kecuali seperti kepenatan di tengah-tengah desakan orang banyak.”
Kecintaannya kepada Ali, keyakinannya akan kebenaran ucapan kekasihnya, menghilangkan semua sakit dalam tubuhnya. Ia masih juga tersenyum, sedang dalam benaknya terbayang pandangan kasih dari mawlanya di kebun kurma dulu.
Sepanjang jalan ke rumahnya, sebongkah tubuh merah di atas punggung sahabatnya itu terus juga berkata, “Bawa pena dan kertas, tuliskan semua ucapanku, catat dengan cermat.
Bukankah aku pernah berkata, ada tiga orang kekasih Amirul Mukminin yang akan menemui kematian karena cintanya kepada Mawlaku? Yang seorang akan dilempar dari tempat tinggi, yang seorang akan meninggal di tempat tidurnya karena racun yang diminumnya, dan yang seorang akan dimutilasi tubuhnya. Ya Allah, jangan jadikan aku yang paling malang di antara ketiganya.
Bukankah sudah kalian saksikan kebenaran ucapanku, yang aku terima dari kekasih kaum mustadh’afin, Amirul Mukminin.
Kalian dengar pemimpin Murad yang saleh, sahabat Nabi saw yang mulia, tokoh Yaman di Kufah, Hani bin Urwah dibawa ke hadapan Muawiyah. Ia dipukuli pada hidungnya, pipinya, dan pelipisnya. Kalian lihat muka putihnya berubah menjadi merah. Lalu ia ditarik ke pasar dan dijatuhkan dari atap rumah yang tinggi. Semuanya karena kecintaannya kepada Aqil, Husain, Ali, dan Rasulullah saw.
Kalian dengar seorang pejuang yang piawai memainkan pedang dan sekaligus piawai membuat puisi. Ia hidup sederhana, walaupun menjadi panglima pasukan Ali. Ia habiskan malamnya dalam rukuk dan sujud. Ia gunakan siang harinya untuk melayani kaum tertindas. Di perjalanan menuju Mesir, ia diracun. Duhai betapa beruntungnya Malik Asytar. Ia telah membuktikan bahwa sabda sang Mawla memang benar.
Apakah aku lebih malang dari mereka. Aku seperti kalian saksikan. Aku sudah kehilangan kedua tangan dan kedua kakiku. Tetapi lidahku belum digunting. Aku yakin Imamku pasti benar. Ketahuilah, aku, Urwah dan Malik menyaksikan Nabi saw mengangkat tangan Ali bin Abi Thalib dan berkata: Man kuntu mawlaah fahadza Aliyyun mawlaah. Catat: Siapa yang menjadikan aku pemimpinnya jadikan juga Ali ini sebagai pemimpinnya juga.”
Suaranya yang makin parau menghilang dalam suara hiruk pikuk. Utusan Ziyad bin Abih menyeruak, menerobos, menembus kerumunan orang. Ia membawa pedang. Di depan sebongkah tubuh tanpa tangan tanpa kaki ia berteriak: Patuhi Amir. Hentikan ocehanmu. Ulurkan lidahmu.
“Izinkan aku berbicara satu kalimat saja sebelum kau potong lidahku.”
Sambil melihat kepada pedang yang gemerlap di depan mulutnya, ia menarik nafas dan mengeluarkan kalimat terakhir:
والله جاء تصديق خبر أمير المؤمنين
Demi Allah, sekarang sudah datang bukti kebenaran hadis Amirul Mukminin.
Tangan anak buah Ziyad menarik keras lidah Rusyaid dan menyayatnya dengan pedang.
Malam itu, ruhnya yang suci dijemput kekasihnya, Imam Ali as. Meninggalkan sesungging senyum di wajahnya. Di ufuk alam malakut terdengarlagi suara sang Kekasih: Anta ma’i fid Dunyaa wa al-akhirah. Engkau bersamaku di dunia dan akhirat.
Saudara, setelah itu, ratusan, ribuan, bahkan jutaan Rusyaid al-Hajari jatuh tersungkur membasahi tanah di bawahnya dengan genangan darahnya. Beberapa hari yang lalu, di dusun Rwaisyin, di Yaman, bom dijatuhkan di tengah-tengah kumpulan orang-orang yang sedang menangisi cucunda Nabi saw. Tubuh-tubuh ratusan orang tercabik-cabik dalam teriakan pilu, “Labbaika ya Husain.”
Peristiwa seperti ini terjadi di Jazirah Arab, di Bahrain, di Pakistan, di Nigeria, dan di negeri-negeri lainnya. Yang paling mengerikan dari semuanya adalah pembantaian pecinta keluarga Nabi saw di Iraq. Acara long march pertama, setelah jatuhnya Saddam, diporak porandakan dengan bom-bom yang diledakkan di tengah-tengah manusia-manusia yang berdesak-desakan. Tangan- tangan, kaki-kaki, dan potongan-potongan tubuh beterbangan. Ada ribuan Rusyaid yang diakhiri hidupnya karena teriakan “Labbaika ya Husain.” Ada jutaan umat manusia, dalam barisan panjang menuju Karbala yang mengantar para Rusyaid dengan teriakan, “Labbaika ya Husain.” (sahabat)
***
Firman itu turun seperti sinar yang diterangkan, pada kitab yang dituliskan, untuk Nabi yang dibahagiakan. Anzalan nuur. Fi kitaabim masthuur ‘alan Nabiyim mahbuur.
Ketiga, Kaifa shabruk, sanggupkah kamu bersabar! Sanggupkah kamu bersabar menyaksikan apa yang akan dialami oleh ahli baitmu sepeninggalmu. Mereka akan dibantai. Kaifa Shabruk…Kaifa Shabruk…Kaifa Shabruk?
Bersamaan dengan itu, Tuhan membuka pintu duka ke arah kafilah derita, sepeninggal al-Mushtafa.
Setelah di penghujung malam Al-Husain merebahkan tubuhnya di atas kuburan kakeknya Rasulullah saw, setelah ia basahi pusara Nabi saw dengan genangan airmatanya, sama seperti apa yang dilakukan ibunya Fathimah al-Zahra, al-Husain meninggalkan Madinah .
Di celah bukit Wada’i, di tsaniyyatil wada’, al-Husain memandang balik ke kota suci, mengenang hari-hari ketika ia dan kakaknya al-Hasan dibesarkan kakeknya Rasul Allah saw. Nabi saw turun dari mimbarnya, memagut ia dan kakaknya, dan membawanya ke mimbarnya. Mereka merasakan kehangatan cinta kakek, yang tidak henti-hentinya menciumi kepala mereka.
Masih terngiang di telinga al-Husain doa kakeknya di mimbar itu, di hadapan para sahabat Nabi saw,
اللهم اني أحبهما فأحبهما واحب من أحبهما. من أحبني فليحب هذين ريحانتاي فى الدنيا. من أحب الحسن والحسين أحببته ومن أحببته أحبه الله ومن أحبه الله أدخله الجنة
“Yaa Allah, aku mencintai keduanya, maka cintailah keduanya, ya Allah. Aku mencintai siapa yang mencintai keduanya. Barang siapa yang mencintaiku maka cintailah keduanya. Kedua anakku itu adalah bunga-bunga merkahku di dunia. Siapa yang mencintai al-Hasan dan al-Husain, aku akan mencintainya. Siapa saja yang aku cintai, Allah akan mencintainya. Siapa yang Allah cintai, Allah masukkan ia ke surga”
Kini, gubernur Madinah bermaksud untuk membunuhnya. Ia memaksa al-Husain untuk berbaiat kepada Yazid peminum khamar, pezinah, pembunuhyang tidak bersalah, yang sahabat dekatnya anjing dan kera. “Bagaimana orang sepertiku harus berbaiat kepada orang seperti dia.” Kata Imam Husain.
Samar-samar di kejauhan, ia melihat Umm Salamah, Ibn Abbas, abdullah bin Umar, dan sahabat-sahabat lainnya. Kepada mereka al-Husain berkata:
“Aku tidak meninggalkan Madinah karena ingin merebut kekuasaan atau ingin menyombongkan diri. Aku tidak meninggalkan Madinah untuk menimbulkan kerusakan dan melakukan kezaliman. Aku berangkat untuk memperbaiki agama kakekku yang sudah disimpangkan orang. Aku ingin memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran.”
***
Saudara, sekarang saudara berada di Karbala, pada 10 Muharram 65 H.
Saudara, akhirnya sampailah kita pada ujung perjalanan kita, pada peristiwa targis dlam seluruh sejarah kemanusiaan. Saudara adalah saksi sejarah itu. Sekarang perhatikan baik-baik, arahkan pandanganmu pada silhuet cahaya yang sedang menengok kemah-kemah itu satu per satu. Ia mematung di depan kemahnya. Ia memandang ke medan peperangan. Ia melihat jenazah-jenazah berenang dengan tubuh-tubuh yang kaku dalam banjir darah. Kini ia menyendiri. Ia menengok kemah saudara-saudaranya, para putra Amirul Mukminin. Kemah itu kosong dan sepi. Ia menengok kemah Bani Aqil, saudara-saudara sepupunya. Ia menengok kemah-kemah para sahabatnya yang setia. Kemah-kemah itu juga kosong dan sepi.
Dari bibirnya yang suci itu kita mendengar ia mengulang zikir yang suci: La hawla wa la quwwata illa billah. Dari kemah Imam Husain, kita mendengar jeritan dan tangisan, perempuan-perempuan dan anak-anak.
Sesosok tubuh lemah keluar dari kemah. Ia bertelekan pada tongkat dan menarik pedangnya. Terseok-seok ia menyambut kedatangan ayahnya. Kita mendengar al-Husain berteriak: Ya ukhtaah, tahanlah dia. Supaya bumi ini tidak kosong dari keturunan Aali Muhammad! Zainab menariknya lagi ke tempat tidurnya. Disandarkannya tubuh Zainal Abidin ke dadanya. Dengan suara parau dan ternengah-engah ia bertanya: Ke manakah sahabat-sahabat kita dan sanak saudara kita.
Al-Husain tersentak. Kata-katanya terselak di tenggorokannya yang mulia: “Di seluruh kemah itu tidak ada laki-laki kecuali aku dan kamu. Semua sudah gugur tersungkur ke bumi.”
Tiba-tiba Ali Zainal Abidin yang sakit berkata. Kali ini dengan suara yang dikeras-keraskan: Bibi, berikan padaku pedang dan tongkat? Ayahnya berkata: “Untuk apa keduanya itu” “Tongkatku untuk aku bertelekan padanya. Dan pedangku untuk melindungi putra Rasulullah saw”
Al-Husain melarangnya. Ia peluk putranya untuk terakhir kalinya: “Aku tidak akan melepaskanmu untuk berperang. Engkau hujjahku untuk ahlibaitku dan syiahku. Engkau harus mengembalikan perempuan-perempuan ini ke Madinah!
Kemudian, sambil memegang tangan Ali Zainal Abidin, Imam berkata dengan suara keras: Ya Zainab, Ya Umma Kultsum, ya Sukaynah, ya Ruqayyah, ya Fathimah, dengarkan pembicaraanku. Ketahuilah bahwa anakku ini adalah penerusku dan Imam yang diwajibkan atas kalian mentaatinya. Ya Zainab, Ya Umma Kultsum, ya Sukaynah, ya Ruqayyah, ya Fathimah, ‘alaikunna minni salaam, fa hadza akhirul ijtimaa’ wa qad qaruba minkunnal iftijaa’. Salam terakhir dariku bagi kalian. Inilah akhir pertemuan. Sebentar lagi kalian akan dihempas gelombang derita.”
Kita mendengar tangisan, jeritan, raungan duka memenuhi kemah. Ketika al-Husain mau meninggalkan kemah, Zainab bergelantung pada tangannya yang mulia: Berhentilah sebentar, ya akhi, biar aku puaskan memandangmu. Ia menciumi tangannya dan kakinya. Semua perempuan mengikutinya, menciumi tangan dan kakinya. Imam al-Husain menyuruh mereka menghentikan tangisannya. Ia menyentuhkan jemarinya yang suci ke dada Zainab dan melantunkan doa-doa yang pilu. Sentuhan jemarinya memasukkan ketenangan dan kesabaran ke dalam hati sanubari Zainab.
“Tenanglah saudaraku, putra ibuku. Engkau pasti akan melihatku melakukan apa yang kausukai dan kauridoi”
Baru saja perempuan-perempuan itu masuk kemah, Zainab menyusul lagi kakaknya. Zainab teringat wasiat ibunya, az-Zahra: Jika nanti datang suatu hari, permata hatiku al-Husain mau maju ke medan perang, dan aku tidak bersama dia, sebagai penggantiku, ciumlah dia pada lehernya.
“Akhi tawaqqaf qaliilan hatta a’mala biwashiyyati ummi” “Kakak, berhentilah sebentar sampai aku laksanakan wasiat ibuku”
Saksikan, al-Husain menyerahkan lehernya untuk dicium ibunya, yang diwakili saudaranya. Leher itu pernah diciumi Rasulullah saw. Leher itu pernah diciumi Fathimah az-Zahra. Leher itu pernah diciumi Amirul Mukminin. Sebentar lagi kita akan menyaksikan leher yang sama ...leher yang sama...leher yang agung dan suci itu.. ditebas pedang.
La hawla wa la quwwata illa billahil azhim. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Menangislah saudara untuk dia yang menyerahkan lehernya pada ciuman Rasulillah dan al-Zahra. Menangislah saudara untuk dia yang mempersembahkan kepalanya untuk menegakkan agama Rasulullah saw. Menangislah untuk dia yang meneriakkan suara umat tertindas sepnjang zaman: Jika agama Muhammad ini tidak tegak kecuali dengan membunuh aku, hai pedang-pedang tebaslah aku!
Biarkan air mata kita mengalir. Biarkan darah kita mengalir. Biarkan air mata dan darah kita bergabung dengan darah al-Husain, dengan air mata dan darah para putra al-Husain, dengan air mata dan darah sahabat-sahabat al-Husain, dengan air mata dan darah para syuhada yang melepaskan arwahnya di halaman al-Husain.
Ya Aba Abdillah, ‘alaika minna salaamullah abadan ma baqiina wa baqiyal laylu wan nahaar!
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).