top of page
  • Writer's pictureAkhi

Kang Jalal: Intelektual Islam, Pembela Kaum Marginal


Indonesia berduka. Negeri ini kehilangan seorang guru bangsa, Kang Jalal: Intelektual Islam, Pembela Kaum Marginal.


“Islam adalah agama yang mengajarkan keterbukaan, terutama sekali dalam mengambil hikmah. Kini sudah muncul kesadaran baru di kalangan kaum Muslim. Sebuah gelombang peradaban baru tengah lahir, yaitu peradaban Islam yang terbuka. Yang baru belajar dari mana pun tanpa terkotak-kotak mazhab, yang non sekretarian, dan yang mencintai dialog,”.


Itu sepenggal kalimat yang ditulis KH. Jalaluddin Rakhmat dalam buku Islam Aktual; Refleksi Sosial Cendikiawan Muslim. Kang Jalal—panggilan akrabnya—, merupakan cendikiawan muslim Indonesia. Lahir dari tradisi NU. Sempat masuk Persatuan Islam. Ia awalnya mengagumi sosok karismatik, A. Hassan. Pada suatu waktu lain ia juga ikut Muhammadiyah. Tetapi pada akhirnya mantap memilih Syiah sebagai pelabuhan terakhir.


Ia mulai tampil dalam gelanggang dunia intelektual Islam Indonesia pada era 1980-an. Kemunculannya ditandai dengan gelombang apa yang disebut “Kebangkitan Islam di abad 15 Hijrah”.


Ketika mengenang Kang Jalal, ada keunikan tersendiri bagi aktivis dan jurnalis, Hamid Basyaib. Dalam tulisan Rahmat Jalaluddin Rakhmat, ia membagikan memoar tentang pakar komunikasi itu. Baginya, posisi intelektual Kang Jalal sangat unik; Ia berbasis di Bandung, tetapi bukan bagian dari Masjid Salman yang legendaris itu.


Ia juga tak tergabung dalam Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI)—tempat berkumpulnya para cendikiawan pada era orde baru itu—. Kang Jalal memilih jalur intelektualnya sendiri.

Kang Jalal tumbuh dalam gelombang baru pemikiran Islam. Ia membuka cakrawala pemikiran Islam yang luas. Ia tak ingin terhalang sekat. Sebagaimana yang pernah ia tulis; umat Islam terlalu lama terkungkung oleh pemikiran yang sempit. Dan itu hanya akan membawa kepada perpecahan.

Ia menulis; “Muhammad Maududi menulis, Khawarijisme sebagai biang kerok pecahnya ukhuwah islamiyah. Sebagai golongan, memang ia sudah lama punah; tetapi sebagai aliran pemikiran, khawarijisme masih ada,”

Kutipan di atas merupakan ungkapan kegundahan isi hatinya. Ia menjerit melihat realitas cara beragama umat Islam di Indonesia. Dengan mengutip tulisan Muhammad maududi, ia berusaha meraba-raba musabab perpecahan dalam Islam. “Perpecahan tak sama dengan perbedaan pendapat. Orang dapat berbeda pendapat tanpa terpecah belah,” tulisnya.


Lantas, ia mencoba mengulik ciri khas dari kelompok yang ia Khawarijisme modern itu. Kang Jalal berkata; adakah orang yang patuh menjalankan salat? tidak mau disentuh makan haram? Tetapi ternyata dengan dingin tangan membunuh saudaranya sesama muslim. Adakah di antara kita yang dengan kaku berpegang kepada Alquran dan hadis hanya dalam kerangka pemikiran kelompok kita dan tidak menghormati pemahaman kelompok lain? Adakah di antara kita yang dengan mudah mengkafirkan sesama muslim hanya karena berbeda pendapat? Lalu menghalalkan darahnya.


Realitas beragama Indonesia memang demikian adanya. Bahkan setelah reformasi bergulir, kelompok sempalan—istilah Buya Syafi’i Maa’rif—, masih eksis. Mereka ada di antara kita. Aktif mengisi keriuhan percakapan ruang publik. Dengan diskursus keagamaan yang sempit dan kaku.


Pejuang Pluralisme

Kiprah Kang Jalal tak hanya dalam ranah intelektual Islam, ia pun merambah dunia gelap kaum termajinalkan. Sepak terjangnya dalam membela kaum minoritas tak bisa dipandang sebelah mata. Ia adalah aktor utama di balik berdirinya Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) pada Juli 2002 silam. Ia juga aktif mengadvokasi pelbagai diskriminasi yang dialami oleh kelompok marjinal Syiah. Kang Jalal banyak melakukan advokasi Syiah di Indonesia. Termaasuk pengusiran 600-an rakyat Syiah di Sampang, Madura


Kang Jalal menngambil benang antara Sunni dan Syiah. Ia memncoba mendamaikan kesalahpahaman yang sudah berumur lebih dari 1000 tahun. Ia menyuarakan taqrib mazhabat fil Islam. Ia sempat mendirikan Majelis Ukhuwah Sunni-Syiah Indonesia pada 2011 lalu. Ia ingin menjembatani dua aliran kepercayan itu.


Kang Jalal mengajarkan kepada kita tentang pentingnya ukhuwah islamiyah, tanpa terikat oleh belengu doktrin apa pun. Ia dengan vokal berteriak kepada mereka kaum yang terpingkirkan. Ia pembela bagi mereka yang minoritas di negeri mayoritas. Ia pembela bagi mereka yang menjadi korban tirani kekuasaan dan tirani ketidakadilan.


Ia abadikan makna pluralisme dalam bukunya yang berjudul Islam dan Pluralism; Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan. Ia adalah orang yang mampu berdamai dengan ego. Kang Jalal adalah manusia yang mengerti secara mendalam hakikat manusia. Ia akan selalu begitu, menyadari fitrah sejati manusia. Perbedaan baginya suatu keniscayaan. Tak ada sesuatu yang perlu diperdebatkan.


Pembela Sejati Kaum Miskin

Kang Jalal juga orang yang vokal membela orang-orang yang secara ekonomi lemah. Ia pernah bercerita: “Waktu itu saya jengkel. Para Profesor itu mengutip nash-nash agama untuk melestarikan kemiskinan. Mereka mewakili elit yang diuntungkan dengan adanya orang miskin ini,”.

Kekesalan Kang Jalal itu bukan tanpa alasan. Dalam tulisan yang berjudul, Jasa-Jasa orang Miskin ia menuliskan pada suatu waktu ia diundang menjadi pemateri dalam sebuah seminar yang bertema kemiskinan. Para narasumbernya pun dari pelbagai disiplin ilmu. Terdiri dari para guru besar lintas perguruan tinggi.


“Kemiskinan tidak dapat kita atasi, karena Allah yang memberikan rezeki,” begitu celetuk seorang profesor, sembari mengutip ayat Alquran. Di kesempatan lain, seorang Guru Besar, Psikologi, dan juga mubalig, berseloroh, “Kita harus mendidik orang miskin untuk mengembangkan ego, agar dia memiliki pertahanan mental dalam mental,” begitu paparnya.


Kang Jalal pantas saja berang. Ia menilai para kaum terdidik ini hanya berpihak kepada kaum elit yang diuntungkan dengan adanya para kaum miskin ini. Dengan mengutip teori Herbert J. Gans dalam the Uses of poverty, ia memandang kaum miskin hanya dijadikan tumbal pembangunan. Konon monumen-monumen besar di dunia dibangun dengan darah dan air mata orang miskin. Kaum miskin adalah kaum tertindas. Keajaiban dunia yang ada di Mesir, Piramida dibangun dari jerih payah kaum budak.


Menurut Kang Jalal kelas elit dan pejabat negara telah salah memandang kaum miskin. Para kelas elit di Republik ini dengan kacamata determinisme- retrospektif—memandang kemiskinan sebuah tragedi yang tak terhindarkan. Mitos ini kemudian dibungkus dengan argumen yang otoritatif. Inilah yang membuat penderitaan kaum pakir di negeri ini semakin menderita.


Membela Kaum Wanita

Kaum perempuan pun tak lepas dari sorotan Kang Jalal. Untuk apa perempuan dicipta? Tanya Kang Jalal suatu waktu. Pelbagai jawaban pun disodorkan audiens. Ada yang menganggap perempuan diciptakan untuk menyenangkan kaum lelaki. Ada juga yang berkelakar, para kaum Hawa tercipta dan dijual untuk memuaskan birahi lelaki yang sedang memuncah. Lihat saja, tempat pelacuran, para kaum perempuan diekploitasi.


Kata Kang Jalal, eksploitasi perempuan bukan cerita baru. Ia adalah kisah kusam yang telah terjadi sejak jutaan tahun lalu. “Dalam sejarah manusia, tak ada ceritanya kaum perempuannya lebih dominan” katanya, sembari mengutip Peter Farb dalam Humankind.


Pada pra Islam di semenanjung Arab, harga diri perempuan tak berarti. Anak perempaun yang lahir, wajib dibunuh. Kita menyebutnya dengan wa’dul banat. Pun manusia modern, masih saja bertingkah yang sama, kita mengenal istilah abortus provocatus.


Tentu ini kontras dengan ajaran Islam. Nabi Muhammad adalah sosok yang sangat menghormati wanita. Dalam satu waktu Rasul ditanya oleh seseorang, siapa orang yang layak mendapatkan pelayanan terbaik kita? Rasul seketika menjawab; ibu mu. Perkataan itu beliau ulang sebanyak tiga kali. Ini membuktikan betapa mulia seorang perempuan.


Sayang sekali, dunia yang kita huni sekarang bukanlah dunia yang dihuni Rasul tempo lalu. Dunia kita telah bertransformasi. Meskipun begitu, persoalan tentang wanita tak juga selesai. Problem tentang ketimpangan gender masih menjadi wacana tersendiri di negeri ini. Persoalan klasik yang tak jua reda.


Pada era modern ini pun wanita belum mendapat tempat yang layak. Di era industri, kata kang Jalal, wanita Indonesia masih saja menghadapi persoalan. Emansipasi yang digaungkan, alih-alih membebaskan wanita dari perbudakan, justru di sistem ekonomi kafitalis ini, wanita Indonesia banyak yang diperjual belikan.


Mereka dijadikan sumber tenaga kerja yang murah. Media massa pun turut ambil bagian dalam eksploitasi itu, media menampilkan wanita sebagai citra yang glamor, sensual, dan fisikal. Pada masyarakat industri, wanita disuruh menanggalkan segala ikatan normatifnya, kecuali yang bersangkutan dengan kepentingan industri. Tubuh mereka dijadikan ajang pertunjukan. Dieksploitasi sedemikian rupa.


Lantas apa saran Kang Jalal terhadap wanita modern? Ia menyebut wanita modern menghadapi krisis identitas. Meskipun perempuan bekerja, mengurus keluarga, mereka memiliki pekerjaan, namun dalam pandangan mereka menghadpi dilema besar. Yang ia sebut krisis identitas.

Untuk itu, wanita memerlukan suatu acuan yang benar untuk mendefinisikan peran sentral mereka. Sosok Khadijah binti Khuwalid adalah sosok ideal yang bisa menjadi acuan wanita modern. Perempuan yang dinikahi Nabi ini merupakan pengusaha multinasional. Masa mudanya ia pergunakan untuk membina karier. Kemudian ia persembahkan itu semua untuk perjuangan suaminya dalam menegakkan agama.


Pelbagai persoalan dihadapi sang suami, sosok Khadijah selalu setia mendampingi. Nabi dikucilkan kaumnya, sosok Khadijah tempat ia kembali. Bertahun-tahun ia mendampingi sang Nabi dalam misi menjalankan syiar Islam. Ia dengan setia membagikan makanan kepada sang pengikut Nabi, meskipun mereka berdua dililit kelaparan. Itulah Khadijah; punya karier tinggi, sekaligus sosok wanita parenting.


Menempuh Jalan Sufi

Setelah malang-melintang, Kang Jalal pun menepi. Ia merambah dunia sufi. Meraih Cinta Ilahi : Pencerahan Sufistik merupakan buku yang ia tulis. “Dalam Tasawuf, bukan hanya seluruh mazhab, tetapi seluruh agama di dunia bertemu, aku Jalaluddin yang mengaku Syiah melalui jalan tasawuf,” begitu katanya kepada wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan di Jakarta pada tahun 2013 silam.


Kang Jalal pula berjasa besar dalam membentuk kajian tasawuf kota (urban sufism). Tasawuf yang digemari oleh kalangan menengah-atas perkotaan. Kajian yang menyasar para politisi, pengusaha, pejabat publik, dan selebriti, yang rata-rata memiliki pendidikan yang tinggi (hight educated). Keriusannnya dalam kajian urban sufism, terlihat ketika ia mendirikan Pusat Kajian Tasawuf; Tazkia Sejati, OASE-Bayt Aqila, ICAS-Paramadina, PKT Misykat di Bandung.


Kini Kang Jalal telah pergi untuk selamanya. Ia wafat di RS Santosa Bandung pada Senin sore (15/2). Tutup usia dalam usia 71 tahun. Ia mudik—istilah yang ia sebut ketika seseorang wafat—, ke robbul alamin. Ia mudik ke kampung halaman yang sejatinya.

Meski demikian, hingga kini jasa dan karya intelektualnya masih bisa kita nikmati. Kang Jalal mungkin saja fana, tetapi Jasa dan peninggalannya abadi. Ia adalah sosok tauladan bagi Indonesia.


Selamat Jalan Kang Jalal: Intelektual Islam, Pembela Kaum Marginal.

2 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page