Akhi
Kebahagiaan Bukan pada Kekayaan
Updated: Sep 1, 2022
Al-'Aysy sa atin tamurr, wa khuthúb ayylmin takurr
Igna' bi 'aysyika tardhahu, watruk hawak tasyu hurr
Wa larubba hatfin sâqahu, dzahabun wa fiddhatun wa durr
Al-Ghazali
Tom Stonehill telah mengendarai mobilnya selama beberapa jam ketika ia merasa ingin sekali buang air. Waktu itu sudah sangat malam dan semua pompa bensin yang dilewatinya sudah tutup. Lambat laun, la menjadi sangat putus asa. Akhirnya, Tom keluar dari jalan raya dan masuk ke kota pertama yang ditemuinya. Di sana, ia tahu ada tempat yang mempunyai fasilitas umum.
Kebutuhan itu semakin kuat dan ia mulai meningkatkan kecepatan. Tepat pada saat ia mulai mempercepat laju kendaraan, ia mendengar seseorang dengan pengeras suara menginstruksikannya untuk menepi. Di kota itu ada sherif yang bertugas. Sherif itu keluar dari mobil dan menghampiri Tom. "Menurut Anda, seberapa cepat Anda boleh mengemudi di sekitar sini?" tanyanya dengan nada berat.
"Pak," kata Tom meminta maaf, "Saya belum pernah mengendarai mobil secepat ini. Tapi Anda lihat, saya sedang sangat ingin ke kamar kecil."
Sherif itu memperhatikan nada jujur Tom dan kasihan padanya. "Saya percaya pasti ada tempat yang masih buka jika Anda terus menyusuri jalan ini," katanya sambil menunjuk ke depan. "Namun Anda harus memperhatikan batas kecepatan!" imbuhnya.
"Ya, pasti," jawab Tom. Ia merasa lega dan senang karena diperbolehkan pergi. Beberapa saat kemudian, Tom melihat cahaya lampu di kejauhan. La yakin sedang mendekati toko grosir 24 jam. Namun saat ia mendekati tempat itu, ia semakin yakin sedang menuju suatu tempat di mana sedang berlangsung upacara pemakaman. Tom merasa tidak enak hati menggunakan fasilitas mereka. Tetapi keinginannya terlalu kuat untuk diabaikan. Ia memarkir mobilnya, dan berjalan ke tempat itu.
Di dalam la disapa dengan hangat. "Selamat datang! Dapatkah Anda memberi tanda tangan di sini?" kata Mr. Gifford, direktur pemakaman.
"Oh...saya hanya ingin ke kamar kecil," kata Tom dengan nada menyesal. "Bolehkah?"
"Tentu saja boleh," jawab direktur itu, "tapi tolong tanda tangan dulu." Tom tidak paham mengapa ia harus menuliskan namanya. Tapi ia tetap melakukannya dengan harapan Hal itu akan menyelesaikan masalah. Tom baru ingin menanyakan di mana letak kamar kecil pria, ketika Mr. Gifford berkata, "Tolong tulis alamat lengkap Anda juga."
"Tapi kenapa perlu alamat saya juga?" tanya Tom kebingungan. "Saya hanya ingin menggunakan kamar kecil sebentar.
"Tolong Pak, isilah buku ini."
"Terserah, def!" Tom komat-kamit sambil menulis. Kemudian ia mengikuti Mr. Gifford menuju kamar kecil.
Sebelum meninggalkan pemakaman, Tom berhenti sebentar untuk menghormati si orang yang meninggal. Di jalan keluar, Tom melihat sherif tadi. "Terima kasih," katanya sambil menganggukkan kepala pada Mr. Gifford dan sherif itu. Kemudian Tom berlalu dan pulang.
Tiga minggu kemudian, Tom menerima telepon dari seorang pria tak dikenal, yang menyebut diri sebagai pengacara, "Saya mewakili rumah duka tempat Anda berhenti dan menggunakan kamar kecil beberapa minggu lalu," kata orang itu. "Anda harus datang ke kantor saya pada hari Kamis pukul 14.00."
Tom gemetar, dengan takut ia bertanya, "Tolong beritahu aku, apa aku melakukan sesuatu yang salah? Apa aku perlu pembela?"
"Tidak perlu," kata pengacara itu menenang kannya. "Hanya datang tepat waktu," katanya lagi. Pengacara itu memberikan alamatnya, dan menutup telepon.
Pada hari-hari berikutnya, Tom gelisah. "Apa yang kulakukan? Kenapa mereka memanggilku?" katanya bertanya-tanya dengan keras. Kamis itu, ia mengendarai mobilnya ke kantor si pengacara dengan takut.
Tom menemukan gedung itu sesuai ancar-ancar. Dengan menahan napas dan jantung berdebar, ia mengetuk pintu depan, "Silakan masuk," kata sekretaris. Pengacara itu keluar.
la memperkenalkan Tom pada sekretaris itu, lalu mengajaknya masuk. Di dalam, Tom terkejut melihat sherif dan Mr. Gifford.
"Silakan duduk," kata pengacara itu memulai. "Saya ditunjuk dengan sah oleh pengadilan untuk membaca warisan dan pernyataan Mr. Stanley Murrow." Pengacara itu mengambil buku tamu yang Tom tandatangani. la menoleh ke arah direktur pemakaman, menunjuk pada Tom, dan bertanya, "Inikah pria yang menandatangani buku itu?"
"Ya," kata direktur pemakaman itu. Kemudian si pengacara melihat Tom dan berkata, "Saya rasa Anda tidak mengenal Mr. Murrow. Ia seorang yang sangat kaya. Ia memiliki hampir seluruh tanah di kota ini. Akan tetapi, ia tidak punya banyak keluarga dan tidak disukai, serta dijauhi warga sekitar. Mr. Murrow telah menunjuk saya untuk menjadi pelaksananya." Pengacara itu mengambil secarik dokumen dan melanjutkan. "Ini surat warisan paling pendek yang pernah saya lihat. Bunyinya: "Orang sangat membenciku karena tidak pernah mendapat uang dariku selama aku hidup. Jadi, orang yang hadir ke pemakamanku pasti orang cukup berbelas kasih terhadap seorang tua yang bertingkah seperti aku. Dengan ini, aku mewariskan seluruh tanah dan sahamku untuk dibagi rata kepada mereka yang menghadiri pemakamanku."
Pengacara itu menatap langsung mata Tom. "Tanda tanganmu adalah satu-satunya tandatangan yang tertera di buku tamu," katanya. "Oleh sebab itu..."
Yitta Halderstam dan Judith Leventhal yang memasukkan cerita di atas dalam kumpulan kisah Gifts from the Heart, menambahkan komentar berikut ini sesudahnya:
"Ada banyak orang pelit yang menimbun kekayaan, untuk memastikan tidak ada orang yang mendapat kebahagiaan dari mereka selain diri mereka sendiri. Secara finansial, mereka. mungkin kaya, tapi secara spiritual mereka bangkrut. Sebaliknya, ada orang yang membutuhkan tapi masih memberikan apa yang ada pada dirinya dengan murah hati. Mereka itu diberkati dengan sejuta kedamaian. Siapa yang sesungguhnya kaya, dan siapa yang sesungguhnya miskin?"
Kisah ini juga mengajarkan kepada kita bahwa kekayaan belum tentu mendatangkan kebahagiaan sebagaimana kemiskinan tidak dengan sendirinya mendatangkan penderitaan. Tulisan ini akan mulai dengan memperbincangkan ada atau tidak adanya pengaruh kekayaan pada kebahagiaan. Kita akan menyampaikan hasil-hasil penelitian ilmiah berkenaan dengan pertanyaan-pertanyaan: Apakah kebahagiaan akan lebih meningkat bersamaan dengan kenaikan pendapatan? Untuk menjawab pertanyaan ini kita akan memusatkan perhatian pada Amerika, bukan karena kita memuja negara adikuasa itu, tetapi karena mereka memiliki data yang paling lengkap. Kita masuk ke pertanyaan kedua: Apakah orang yang pandangan hidupnya materialistis lebih bahagia dari orang yang nonmaterialistis? Apakah orang yang berpandangan hidup bahwa kebahagiaan hanya bisa dicapai dengan kekayaan lebih bahagia daripada orang yang punya pandangan yang lain? Materialisme adalah penyakit atau pandangan hidup yang sakit. Kita ingin mengakhiri dengan membahas apa yang harus kita lakukan sehubungan dengan kekayaan agar hidup kita bahagia?
Bersambung ke pembahasan Lebih Kaya Lebih Bahagia?
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).