Akhi
Kebahagiaan Menurut Utilitarianisme
Pada zaman modern, Epicurus masih menatap kita lewat pemikiran hedonisme yang dilanjutkan dalam wajah baru, utilitarianisme (dari bahasa latin utilis, berguna). Salah seorang tokoh utilitarianisme paling terkemuka, John Stuart Mill, menjelaskan utilitarianisme seperti Epicurus menerangkan pandangan hidupnya:
Aliran, yang menerima kegunaan atau prinsip kebahagiaan terbesar sebagai landasan moral, berpendapat bahwa tindakan benar sebanding dengan apakah tindakan itu meningkatkan kebahagiaan, dan salah selama tindakan itu menghasilkan lawan kebahagiaan. Yang dimaksud dengan kebahagiaan adalah kesenangan dan hilangnya derita; yang dimaksud dengan ketakbahagiaan adalah derita dan hilangnya kesenangan.
Jeremy Bentham dalam pembukaannya pada Principles of Morals and Legislation menjelaskan lebih lanjut:
Alam telah menempatkan manusia di bawah pemerintahan dua penguasa yang berdaulat - derita dan kesenangan. Merekalah yang menunjukkan apa yang harus kita lakukan dan juga apa yang akan kita lakukan. Pada satu sisi, ukuran benar dan salah, pada sisi lain, rantai sebab akibat terkait dengan singgasananya. Mereka menguasai kita dalam semua yang kita lakukan. Setiap upaya untuk melepaskan penyerahan kepada mereka hanya akan menunjukkan dan memperkuatnya. Dengan kata lain, orang boleh berpura-pura menolak kekuasaannya, tetapi sebenarnya ia selamanya tunduk kepadanya.
Tunduk kepada tuntutan kebahagiaan mengundang pertanyaan berikutnya: kebahagiaan siapa? Sebagian utilitarianis menjawab kebahagiaan kita sendiri, the agent's own happiness. Sebagian lain berpendapat, kebahagiaan semua orang yang bersangkutan, the happiness of all concerned. Yang pertama disebut utilitarianisme egoistik dan kedua altruistik.
Menurut kaum egoistik manusia hanya berusaha mencapai kebahagiaan dirinya. Sekiranya ia berbuat baik dengan berkorban bagi orang lain, ia hanya melayani kebutuhannya sendiri. "Kalau tidak mengada-ada, masakan tempua bersarang rendah" Semua pengorbanan, amal saleh, cinta dilacak pada kepentingan pribadi. Menurut Bentham:
Janganlah kamu bermimpi orang akan menggerakkan kelingkingnya untuk berkhidmat kepadamu, kecuali kalau ia melihat keuntungan nyata di dalam melakukannya. Manusia tidak bakalan berbuat begitu selama-lamanya selama manusia terbuat dari bahan materi yang sekarang ini. Mereka akan mau berkhidmat kepadamu jika dengan melakukannya mereka dapat berkhidmat untuk dirinya. Kesempatan untuk itu, di mana mereka melayani dirinya dengan melayani orang lain, sangat banyak.
Mazhab utilitarianisme egoistik ini menampakkan wajahnya yang menakutkan pada prinsip kesenangan yang merupakan fungsi ego dalam psikoanalisis dan peranan ganjaran dan hukuman pada behaviorisme. Bukan tempatnya di untuk mengritik utilitarianisme egoistik dengan mengemukakan utilitarianisme altruistik; yang juga sukar dipertahankan secara konsisten. Sebagai orang awam, kita akan berkata bahwa kita harus memilih di antara dua tujuan hidup: kebahagiaan diri kita atau kebahagiaan orang lain. Para filusuf pusing tujuh keliling untuk menjustifikasi setiap pilihan itu. Tetapi mazhab psikologi positif membuktikan bahwa kita tidak perlu pusing untuk memilih salah satu. Kita dapat memilih keduanya. Kini terbukti bahwa dengan membahagiakan orang lain, kita juga membahagiakan diri kita sendiri. Atau dari jihat yang lain, kita akan sulit membahagiakan orang lain jika kita sendiri tidak bahagia. Seperti kata Peyton Conway March pada permulaan tulisan ini:
Ada satu hukum alam yang sangat menakjubkan: tiga hal yang paling kita inginkan dalam kehidupan -kebahagiaan, kebebasan, dan kedamaian jiwa-selalu diperoleh dengan memberikannya kepada orang lain.
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari, SMP Plus Muthahhari, SMP Bahtera, dan SMA Plus Muthahhari).