Akhi
Kebahagiaan Menurut Hedonisme
Updated: Dec 18, 2022
"Keinginan untuk bahagia adalah salah satu dari sumber perbuatan manusia yang paling penting. Karena itu, setiap teori etika haruslah membahas kebahagiaan, menurut Encyclopedia of Ethics. Karena itu juga kebahagiaan telah menjadi topik sejak Socrates, "bidan" pertama yang melahirkan metode berfikir filsafat. Di pinggir jalan di Athena, pada suatu hari, ia berbicara pada Antiphon, mirip Budha pada para pengikutnya: "Tampaknya kamu berpikir bahwa kebahagiaan itu terletak pada kemewahan dan keberlimpahan; tetapi aku pikir untuk tidak menginginkan sesuatu sama dengan menyerupai para dewa, menginginkan sesedikit mungkin adalah menghampiri para dewa sedekat mungkin.”
Waktu itu, Socrates sudah membicarakan perbedaan antara kebahagiaan dan kesenangan. Para filusuf menghindari kesenangan, tetapi mengejar kebahagiaan. Masih di pinggir jalan, Socrates berdialog dengan Simmias tentang kesenangan:
Socrates : Kamu pikir filusuf harus memperhatikan kesenangan... makan dan minum?
Simmias : Tentu saja tidak.
Socrates : Dan bagaimana menurutmu tentang kesenangan cinta- perlukah ia memperhatikannya?
Simmias : Tidak sama sekali.
Socrates : Dan apakah ia akan banyak memikirkan cara-cara lainnya untuk tenggelam dalam kenikmatan jasmaniah seperti memakai baju bagus, sandal, atau perhiasan tubuh lainnya? Ketimbang memusatkan perhatian pada hal-hal ini, bukankah filusuf akan memandang rendah apa pun di luar yang dibutuhkannya secara alamiah?
Simmias : Aku berani mengatakan bahwa filusuf yang sejati haruslah memandang rendah itu semua.
Mungkin waktu itu ada Antisthenes, yang mendengarkan fatwa Socrates dengan seluruh hatinya. la menerjemahkan fatwa gurunya dengan keyakinan bahwa kita hanya bisa hidup bahagia dengan hidup sederhana. Kita harus meninggalkan kesenangan-kesenangan jasmaniah. Pernah ia datang ke majelis Socrates dengan pakaian compang-camping. Seperti mengritik orang yang sok sufi ribuan tahun sesudah itu, Socrates menyindir Antisthenes: "Aku dapat melihat kesombonganmu, Antisthenes, lewat lubang-lubang bajumu." Kelak, ia memberikan ceramah di sebuah gimnasium, yang didirikan khusus untuk orang miskin, rakyat kecil, orang asing, atau anak-anak haram. Gimnasium itu namanya Cynosarges. Dari situ lahir mazhab Cynis, yang mencoba mencapai kebahagiaan dengan membebaskan jiwa dari keterikatan pada "daging" la mengajar tanpa meminta upah dan lebih suka memilih muridnya dari kalangan orang miskin. Murid yang tidak mau menjalani kehidupan miskin dan keras diusir oleh hardikannya atau kalau juga tidak pergi, dengan tongkatnya. la berkata, "Aku tidak memiliki agar aku tidak dimiliki". Inilah kata kunci dari filsafat Cynis.
"Aku memiliki, tetapi aku tidak dimiliki," kata Aristipp Socrates yang lain. Kalau memiliki sesuatu itu mendatangkan kesenangan, mengapa kita harus merendahkannya. Tetapi kesenangan itu harus kita kendalikan secara rasional. Kita tidak boleh menjadi budak kesenangan. Kita bisa hidup mewah pada situasi yang relevan; tetapi bisa juga menerima kemiskinan pada situasi yang lain. Kebahagiaan kita tidak boleh ditentukan oleh pemilikan kekayaan. la punya wanita simpanan yang dibayarnya sangat mahal, Lais. Ia menyimpulkan filsafatnya dengan kalimat: "Lais kepunyaanku, tetapi aku bukan kepunyaan Lais."
la kemudian mendirikan mazhab filsafat yang menyatakan bahwa kebahagiaan adalah tujuan akhir dan universal dari segala perbuatan manusia. Kebahagiaan dapat dicapai dengan menghasilkan perasaan senang dan menghindari penderitaan. Karena itu, kesenangan menjadi tujuan hidup manusia. Manusia baik ialah manusia yang memaksimalkan kesenangan dan meminimalkan penderitaan.
Kesenangan dalam bahasa Yunani disebut hedone. Karena itu, mazhab filsafat yang diajarkan Aristippus disebut hedonisme. Karena Aristippus mengajarkannya di kota kelahirannya Cyrene, maka untuk membedakannya dengan aliran lain dalam hedonisme, ajaran Aristippus dikenal dengan cyrenaic school of philosophy. Bukan tempatnya kita membahas mazhab ini secara luas di sini. Kita akan menggambarkannya dengan kehidupan Aristippus sendiri. Saya tidak bisa menguraikannya sebagus Will Durant dalam The Story of Civilization:
Kalau kemuliaan diberikan kepada orang yang mempraktikkan apa yang ia khotbahkan, Aristippus pantas mendapat kehormatan itu. Ia menanggung kemiskinan dan kekayaan dengan keanggunan yang sama. Tetapi ia tidak berpura-pura menyamakan keduanya. Ia bersikukuh untuk memperoleh pembayaran untuk pengajarannya. Ia tidak ragu-ragu untuk menyanjung para tiran untuk mencapai tujuannya. Ia tersenyum sabar ketika Dyonisius meludahinya: "seorang nelayan", katanya "harus lebih banyak siap lebih basah dari keadaan ini untuk menangkap bahkan ikan yang lebih kecil". Ketika seorang kawan mengecamnya. karena membungkuk di hadapan Dyonisius ia menjawab bahwa bukan salahnya jika Raja "telinganya berada dalam kakinya"; dan ketika Dyonisius bertanya kepadanya mengapa filusuf mendatangi pintu orang kaya, sedangkan orang kaya tidak sering menghadiri para filusuf, ia menjawab, "karena yang pertama tahu apa yang mereka inginkan tetapi yang kedua tidak." Walaupun begitu ia mengecam orang yang hanya mengejar kekayaan demi kekayaan saja. Ketika Simus yang kaya dari Phrygia memamerkan kepadanya rumah mewah dengan lantai pualam, Aristippus meludahi mukanya; dan ketika Simus protes, ia memohon maaf dengan alasan bahwa ia tidak menemukan, di tengah-tengah batu pualam ini, "tempat yang paling layak untuk meludah." Setelah memperoleh banyak uang, Aristippus menghabiskannya untuk membeli makanan bagus, pakaian bagus, tempat tinggal bagus, dan tampaknya juga, perempuan-perempuan yang bagus.
Ketika ditegur orang karena hidup dengan seorang pelacur, ia. menjawab bahwa ia tidak keberatan tinggal di rumah, atau berlayar di atas kapal, yang sudah dipakai oleh banyak lelaki lain sebelumnya. Ketika gundiknya berkata kepadanya, "saya punya anak dari kamu," ia menjawab, "kamu tidak dapat memastikan itu dari aku karena kamu juga tidak dapat mengatakan setelah memasuki rumpun berduri, duri mana yang menggores kamu."
Orang menyenangi dia walaupun sikapnya yang ceplas-ceplos, karena ia orang yang berperilaku sopan, beradab tinggi, "kecuali pada Simus," dan berhati baik. Tidak syak lagi hedonismenya yang murni sebagian disebabkan karena kesenangannya untuk membongkar ulah para pendosa yang terhormat di kotanya. Ia membaktikan dirinya untuk menghormati Socrates, mencintai filsafat, dan menegaskan bahwa pemandangan yang paling. mengesankan dalam hidupnya adalah melihat orang baik yang dengan teguh menjalankan kebaikan di tengah-tengah bangsa yang jahat. Sebelum meninggal (356 SM) ia mengatakan bahwa warisan terbesar yang ia tinggalkan untuk anak perempuannya Arete adalah bahwa ia telah mengajarnya "untuk tidak" memberikan nilai kepada apapun yang ia bisa hidup tanpa itu."
Lima belas tahun setelah kematian Aristippus, di bagian Yunani yang lain, Samos, lahir Epicurus, orang yang ditakdirkan Tuhan untuk melanjutkan dan menyempurnakan hedonismenya Aristippus. Secara singkat, menurut Epicurus, fungsi filsafat yang sebenarnya bukanlah menjelaskan dunia, karena tidak mungkin bagian menjelaskan keseluruhan. Fungsi filsafat ialah membimbing kita untuk meraih kebahagiaan. Filsafat didefinisikan sebagai "seni membuat hidup bahagia" Tujuan hidup ialah kebahagiaan personal, yang berupa kesenangan jasmaniah semata. Kesenangan itulah yang bisa dicapai dalam kehidupan kita.
"Biasakan dirimu," kata Epicurus, "untuk berpikir bahwa kematian tidak ada artinya bagi kita. Karena yang baik dan yang buruk terletak pada perasaan kita. Kematian adalah hilangnya perasaan. Karena itu, pengetahuan yang benar bahwa kematian tidak berarti apa-apa bagi kita membuat kita menikmati apa yang ada dalam kehidupan ini, tidak menambahkan kepadanya masa yang tidak tertentu, menghilangkan keinginan untuk abadi"
Kita melanjutkan penuturan Will Durant tentang Epicurus-filsafat dan hidupnya. Pada pintu gerbang ke taman Epicurus, ada tulisan yang menarik: "Para tamu, Anda akan bahagia di sini, karena hanya di sini kebahagiaan dianggap sebagai kebaikan tertinggi." Kebajikan, dalam filsafatnya, bukanlah tujuan itu sendiri, tetapi hanya alat yang tidak bisa ditinggalkan untuk mencapai kehidupan bahagia. "Tidak mungkin hidup senang tanpa menjalankan kehidupan yang bijaksana, mulia, dan adil; serta tidak mungkin hidup bijaksana, mulia, dan adil tanpa hidup senang." Satu-satunya pernyataan yang pasti dalam filsafat adalah bahwa kesenangan itu baik, dan penderitaan itu buruk. Kesenangan jasmaniah itu sendiri absah saja, dan kearifan akan memberikan tempat kepadanya. Tetapi karena kesenangan jasmaniah itu dapat berakibat buruk, ia harus dipilih dengan menggunakan kecerdasan.
Karena itu ketika kita berkata bahwa kesenangan adalah kebaikan yang utama, kita tidak berbicara tentang kesenangan pemabuk di tengah-tengah pesta atau kesenangan orang yang tenggelam dalam kenikmatan seksual... tetapi yang kita maksudkan adalah kebebasan tubuh dari derita dan kebebasan jiwa dari kegelisahan. Karena bukanlah. terus menerus minum dan mabuk-mabukan atau bersenang-senang dengan perempuan, atau berpesta dengan makanan-makanan yang mahal, yang membuat hidup menyenangkan, tetapi pemikiran yang mendalam ketika menguji alasan untuk memilih dan menghindari, dan mengusir pandangan sia-sia yang membangkitkan kebingungan yang mengganggu jiwa.
Walhasil, pada akhirnya pemahaman bukan hanya kebajikan tertinggi, tetapi ia juga kebahagiaan tertinggi. Pemahaman lebih membantu kita untuk menghindari derita dan kepedihan ketimbang kemampuan lainnya. Kearifan adalah satu-satunya pembebas: ia membebaskan kita dari ikatan nafsu, dari ketakutan kepada dewa-dewa, dan dari ketakutan kepada kematian; ia mengajarkan kita bagaimana menanggung kemalangan dan bagaimana memperoleh kesenangan yang mendalam dan abadi dari produk-produk kehidupan yang sederhana dan kesenangan jiwa yang tentram.
Sungguh menakjubkan bahwa menurut Epicurus kebahagiaan bukan hanya diperoleh dari kehidupan yang menyenangkan tetapi juga dari penderitaan. Berbeda dengan para pengikutnya kemudian hari, Epicurus meletakkan kenikmatan jasmaniah di bawah kebahagiaan intelektual, kesenangan seksual di bawah kearifan. Will Durant melanjutkan kisah Epicurus:
Dari Aristippus ia belajar kearifan kesenangan dan dari Socrates, kesenangan kearifan; dari Pirrho ia mengambil ajaran ketentraman, dan kata yang indah tentang itu -ata-raxia la pasti menyaksikan dengan penuh minat nasib kawan sezamannya Theodorus dari Cyrene, yang mengkhotbahkan ateisme tanpa moral secara terbuka di Athena, sehingga Majelis menghukum dia karena kesesatannya -pelajaran yang tidak pernah dilupakan Epicurus.
Kemudian ia kembali ke Asia dan mengajarkan filsafat di Lampsacus. Orang Lampsacus begitu terkesan dengan gagasan dan perilakunya sehingga mereka merasa bersalah untuk menempatkan dia di kota yang sangat terpencil. Mereka mengumpulkan dana sebanyak 80 Mina, membeli rumah dan taman di pinggiran Athena, serta mempersembahkannya kepada Epicurus, sebagai rumah dan sekolahnya. Pada tahun 306 SM, pada usia 35 tahun Epicurus bertempat tinggal di sana dan mengajarkan kepada orang Athena filsafat yang hanya bersifat Epicurian pada namanya saja.
Sebagai tanda berkembangnya kebebasan perempuan, ia mengundang mereka untuk menghadiri kuliahnya, bahkan memasuki komunitas kecil yang tinggal bersamanya. Ia tidak membedakan orang karena status atau rasnya. Ia menerima para pelacur dan perempuan terhormat, budak dan orang merdeka. Murid favoritnya adalah budaknya sendiri, Mysis, pelacur Leontium menjadi wanita simpanannya dan sekaligus muridnya. la pun menjadi lelaki yang sama pencemburunya dengan orang yang memperoleh perempuan melalui perkawinan yang sah. Karena bimbingan dia, Leontium memiliki seorang anak dan menulis beberapa buku, yang keindahan gaya bahasanya tidak mengubah moralnya.
Sepanjang hidupnya Epicurus hidup dengan sederhana dan hati-hati. Motonya adalah lathe biosas -hiduplah dengan tidak mencolok. la ikut serta secara setia pada upacara-upacara agama di kotanya, tapi ia tidak mau terlibat dalam politik. Jiwanya tidak terikat dengan urusan dunia. Ia merasa cukup puas dengan air minum dan sedikit anggur, roti, dan sedikit keju. Musuh-musuhnya menuduh ia makan berlebihan kalau bisa, dan berpuasa ketika kelebihan makan telah merusak pencernaannya.
"Tetapi mereka yang berkata seperti itu keliru," Dyogenes Laertius meyakinkan kita dan ia menambahkan; "ada banyak saksi yang melihat kebaikannya yang tidak tertandingi kepada setiap orang-baik terhadap negerinya sendiri, yang menghormatinya dengan patung dan kawan-kawannya, yang begitu banyak sehingga tidak bisa ditampung di seluruh kota." Ia sangat berkhidmat kepada orangtuanya, dermawan kepada saudara-saudaranya, dan lemah lembut kepada para pelayannya yang mengikutinya dalam kuliah-kuliah filsafatnya. Murid-muridnya memandang dia, kata Seneca, seperti dewa di tengah-tengah manusia. Setelah ia mening. gal dunia, moto muridnya adalah: "hiduplah seakan-akan mata Epicurus terus menerus menatap kalian."
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari, SMP Plus Muthahhari, SMP Bahtera, dan SMA Plus Muthahhari).