top of page
  • Writer's pictureAkhi

Kejenuhan (Acedia)


Menurut para filusuf Kristen, kejenuhan (acedia) adalah dosa besar yang kedelapan. Acedia berasal dari kata Yunani akcdeia, yang berarti acuh tak acuh atau hilangnya perhatian. Acedia konon hilang dari daftar dosa pada abad keenam di tangan Paus Gregorius yang Agung. Acedia kini menjadi semacam gangguan jiwa (disorder) yang ditandai oleh gejala-gejala fisik maupun psikologis.


Stanford lyman, seorang sosiolog, memasukkan kembali acedia dalam tujuh dosa besar The Seven Deadly Sin. la menguraikan gejala acedia ini secara terinci dan menganggapnya sebagai kejahatan sosial yang merugikan masyarakat. Secara fisik, kata lyman, acedia menunjukkan kemalasan yang sangat: kelesuan, kelemahan, tidak menghiraukan pekerjaan. Secara psikologis, acedia ditandai oleh sejumlah gejala yang berpusat pada tumpulnya perasaan (faffectlessness), yang didefinisikan sebagai “hilangnya perasaan tentang diri atau yang lain, situasi jiwa yang menimbulkan rasa jenuh, bosan, apatis, dan pemikiran yang lambat atau pasif” Tanpa affect berarti tidak mengenal kasih sayang, tidak punya rasa simpati, tidak bisa menunjukkan loyalitas dan tidak merasa memikul kewajiban—kepada diri sendiri atau kepada yang lain. Korban acedia terkatung-katung secara mental dan sosial. Pikirannya mengembara tanpa arah, Salah satu ciri acedia yang paling merusak adalah kebosanan. Menurut lyman, “Kebosanan muncul dalam bentuk perasaan yang pedih karena seseorang merasakan kekosongan batin, yang disertai dengan kerinduan yang tidak jelas objeknya, dan merasa diubah dari keadaan kepada ketiadaan.”


Michael Selzer menemukan gejala acedia ini pada kelompok pengikut pop culture pada tahun 70-an. Mereka adalah orang-orang yang mengejar kesenangan indrawi dan berakhir dalam apa yang ia sebut sebagai anorexia of experience, yakni ketidakmampuan untuk menyerap pengalaman, menerima komitmen, atau mempertahankan hubungan manaisiawi di luar keperluan sekarang ini. Ketika mereka mengejar kesenangan, mereka terus menerus menerima rangsangan indrawi. Lama kelamaan rangsangan itu tidak lagi menimbulkan perasaan apa pun, Mereka menjadi kebal rasa. Semua hal jadi tampak tidak menarik. Semua beku dan bisu. Maka untuk mengaktifkan perasaan itu, tidak jarang mereka melakukan tindakan-tindakan kekerasan. Mereka harus menjerit, meloncat, meronta, menggelora atau melakukan tindakan-tindakan yang dramatis.


Selzer mewawancarai seorang fotografer yang sangat senang dengan “seni kekerasan." la mengungkapkan bahwa realitas yang biasa sudah tidak menyentuh perasaan apa pun, “Hal-hal yang biasa menumpulkan perasaanku. Aku ingin merasa hidup. Aku ingin punya pengalaman yang menusuk aku dan membuat aku merasa, seperti Christopher, bangun, kamu hidup!” Selzer melaporkan wawancara selanjutnya:


“Itukah sebabnya mengapa Anda terlibat dalam kekerasan?"


“Tahun 70-an adalah periode tindakan kekerasan yang besar, tetapi juga kekerasan emosional—di mana-mana terjadi kekerasan. Aku ingin terus menerus didesak oleh kawan-kawan, orang banyak, dan para pecinta untuk mengingatkan aku bahwa hidup benar-benar menarik dan bahwa tidak perlu kita menghindar dan bahwa hidup memang layak kita hidupi..."


"Tapi mengapa Anda harus masuk kepada arah yang seperti ini?”


"Karena cara ini membuatku bangun. Aku selalu berada dalam keadaan seperti zombie. Sulit bagiku untuk tetap bangun Karena perasaanku ditumpulken oleh TV, majalah dan apa saja. Aku terhipnotis, Aku terjebak membaca majalah People dan menghabiskan waktuku membaca sampah seperti itu. Aku menghabiskan waktu menonton acara televisi yang menyentakku. Tampaknya inilah cara aku menghindarkan diri dari gelombang Informasi yang datang kepadaku dari segala penjuru. Tetepi perbuatan ini juga menghipnotisku dengan caranya sendiri, yang sebenarnya jauh lebih buruk dari efek kehidupan nyata. Jadi, di antara kehidupan dunia nyata den dunia yang brengsek aku merasa diriku seperti zombie, Kadang-kadang aku biarkan diriku dipukuli, Aku sendiri tidak suka, tetapi pukulan itu membangunkanku dari keadaan zombie… aku memang tidak menyukainya karena sakit, tetapi sebenarnya itu bukan yang penting karena kadang- kadang aku melewati itu semua, dan aku sadar aku bangun, dan itulah yang penting.


Mungkin agak sulit bagi kebanyakan kita untuk mema- hai pembicaraan fotografer itu. Tetapi sekiranya diantara kita ada orang yang pernah menghabiskan usianya - atau sekarang pun masih - mengejar-ngejar kesenangan tubuh, ia akan merasa terwakili.


Kawan-kawanku yang berpendidikan tinggi mungkin lebih merasa terwakili oleh Leo Tolstoy dalam otobiografinya yang berjudul A Confession. Pada usia 50 tahun, Pangeran Tolstoy menderita perasaan kekosongan batin pada saat yang ta sebut sebagai complete good fortune —istri yang baik, anakeanak yang baik, dan tanah estat yang luas.


Mula-mula aku mengalami saat-saat kebingungan dan terpenjara kehidupan, seekan-akan aku tidak tahu apa yang harus kulakukan atau bagaimana aku harus hidup. Aku merasa tercampakkan dan kehilangan diriku. Tetapi ketika ini berialu, aku hidup lagi seperti sebelumnya. Lalu saat-saat kebingungan ini mulai muncul, makin lama makin sering dan selalu dalam bentuk yang sama. Saat-saat ini selalu diungkapkan dengan perntanyaan: Untuk apa ini semua? Mau kemana? Mula-mula tampak bagiku pertanyaan ini seperti tanpa arah dan tidak relevan. Aku pikir pertanyaan itu sudah sangat dikenal dan sekiranya aku ingin menjawab pertanyaan itu, aku tidak perlu berpikir berat; hanya saja sekarang ini aku tidak punya waktu. Kelau aku mau, aku akan sanggup memberikan jawaban. Tetapi pertanyaan-pertanyaan itu mulai muncul berulang-ulang dan meminta jawaban makin lama makin mendesak, dan seperti butir-butir tinta yang jatuh pada satu tempat, mereka mengalir bersama masuk ke dalam satu titik hitam.


Pada fotografer yang punya lakon dalam laporan Selzer, tumpulnya perasaan dibangkitkan dengan tindakan kekerasan. Saya pikir mungkin itulah sebabnya penguasa yang hidup berfoya-foya, menikmati kesenangan jasmaniah, sering kali juga menjadi penguasa yang kejam. Atau anak-anak yang dimanjakan oleh orang tuanya dengan kesenangan-kesenangan tubuh sering mudah bosan, Pada Pangeran Leo Tolstoy kejenuhan itu mendesakkan renungan falsafi yang tidak terselesaikan. Itulah sebabnya kita sering menemukan tema-tema kebosanan pada renungan para filusuf terutama kaum eksistensialis. Pada kebanyakan orang, tenggelam dalam kenikmatan sensual dapat menimbulkan perasaan sebaliknya: kesedihan!


KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).

48 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page