top of page
  • Writer's pictureAkhi

Kematian Sebagai Penyucian


Saya ingin memulai dengan sebuah riwayat. Dahulu pada masa Ali Al-Hadi, cucu Rasulullah yang kesembilan. Suatu hari Ali Al-Hadi mengunjungi orang yang sakit parah. Orang yang sakit itu takut luar biasa menghadapi kematian. Wajahnya resah gelisah, sama sekali tak tampak kedamaian. "Wahai hamba Allah, kamu takut kematian karena kamu tidak memahami arti kematian. Sekarang katakan padaku, andaikan tubuhmu dilumuri kotoran, sehingga kamu merasa tidak enak dan merasakan kepedihan dalam seluruh tubuhmu. Lalu kamu membersihkannya di kamar mandi. sehingga kamu bebas dari kotoran dan rasa sakit itu. Dalam kondisi demikian, apa yang hendak kamu lakukan: Ingin membersihkan diri dari kotoran-kotoran itu atau kamu enggan mandi dan senang berada dalam keadaan kotor?" Orang yang sakit itu menjawab. "Wahai cucu Rasulullah, saya lebih baik memilih mandi membersihkan diri." Ali Al-Hadi berkata, "Ketahuilah, kematian sama dengan kamar mandi. Kematian adalah kesempatanmu yang terakhir untuk membersihkan kamu dari dosa-dosamu. Membersihkan kamu dari keburukan-keburukanmu. Jika kematian menjemputmu sekarang, tak meragukan lagi bahwa kematian itu akan membebaskanmu dari semua derita dan kepedihan serta akan memperoleh kebahagiaan yang abadi."


Setelah mendengar perkataan Imam Al-Hadi itu, orang yang sakit tadi berubah cerah ceria, kedamaian tampak pada wajahnya. Kemudian dengan cara yang sangat indah, ia menyerahkan dirinya kepada kematian, dengan penuh harapan akan kasih sayang Allah. Ia menutup matanya. karena telah melihat kebenaran dan segera menemui tempat tinggalnya yang abadi".


Di sini, ada satu makna kematian yang diajarkan oleh orang-orang suci sepanjang sejarah dan bersumber dari Rasulullah Saw. Yaitu kematian sebagai proses penyucian. Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyah dalam Madarij Al-Salikin, sebuah kitab yang terdiri dari 3 jilid dan khusus menafsirkan ayat lyyaka na'budu wa iyyaka nastain', pada bab tentang taubat, bercerita tentang at- tamhish (proses pembersihan atau pemutihan). yang mencerminkan kasih sayang Allah Swt. Jadi, dulu kita berasal dari Allah dalam keadaan suci, kemudian kembali kepada-Nya mestinya dalam keadaan suci pula. Sebagaimana anak-anak yang meninggalkan rumah setelah mandi, kita bermain-main di halaman dunia ini. Waktu mau balik ke rumah, kita sudah kotor dan carut marut penuh debu. Kotoran itu membuat gatal sekujur tubuh kita dan kuman-kuman melekat tak mau meninggalkan kita kecuali kalau kita mandi membersihkan diri. Allah Yang Maha kasih juga tidak mau menerima kita, sebelum kita kembali dalam keadaan suci. Dalam salah satu ayat Al-Quran, Allah menegaskan: "Aku akan hidupkan kamu sebagaimana dulu Aku hidupkan. Sebagaimana kita datang dari sisi Allah Swt dalam keadaan suci, kita seharusnya kembali ke hadirat-Nya dalam keadaan suci pula.


Proses at-tamhish (penyucian) itu terjadi tiga kali. Karena besarnya kasih sayang Allah Swt. kita diberi peluang oleh-Nya dalam tiga episode kehidupan. Pertama, di dunia ini, kedua di alam barzakh, dan ketiga di alam akhirat. Di dunia ini, kita melakukan penyucian diri kita dengan diri kita sendiri. Diri kita artinya tubuh dan ruh kita sekaligus. Nanti yang mendapat siksa tidak hanya ruh, tapi juga tubuh kita. Ketika kita berbuat dosa, yang kita cemari bukan ruh saja, tetapi juga jasad kita. Ruh kita menggunakan tubuh kita untuk berbuat dosa. Mungkin ruh itu disiksa karena niat-niat buruk dan getaran-getaran dosa yang selalu diukirnya setiap malam. Tapi tubuh itu yang meng aktualkan potensi ruh itu dalam perbuatan.


Jadi, kita bisa membersihkan diri kita itu secara sengaja dengan diri kita sendiri. Itulah. yang disebut dengan taubat. Saya ibaratkan. diri kita itu sebuah mobil. Mobil itu bisa kita bersihkan sendiri atau kita bisa menyewa orang lain untuk membersihkannya. Karena Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang. Dia menawarkan diri-Nya untuk membersihkan diri kita tanpa sewa. Inilah proses pembersihan yang langsung dari Allah Swt.


Sepanjang hidup ini. Tuhan tidak henti-hentinya berusaha membersihkan diri kita, yang tidak kita bersihkan dengan taubat. Al-Quran menyebut beberapa orang yang tidak diterima taubatnya. Ada dosa-dosa yang tidak kita taubati, misalnya dosa karena terus-menerus kita lakukan, akhirnya menjadi kebiasaan. Kemudian kita memberikan justifikasi terhadap dosa-dosa itu. Akhirnya, kita tidak menganggapnya lagi sebagai satu dosa. Konsekuensinya, tidak akan ada perasaan bersalah dan pada gilirannya tidak ada keinginan untuk bertaubat. Karena itulah, saat kita mati nanti dosa-dosa itu masih mengotori diri kita. Dosa- dosa itu belum dibersihkan dengan taubat.


Banyak sekali contohnya. Seperti kelompok umat yang memfitnah dan menjelek-jelekkan kelompok lain. Memfitnah orang lain itu dosa besar, yang mengundang laknat Allah di dunia dan di akhirat (Lihat Al-Ahzab 56-57). Mengapa orang berani melakukan dan biasa memfitnah? Mereka bukan saja tidak merasa berdosa bahkan memfitnah itu mereka anggap sebagai amal saleh. "Kami memfitnah untuk menjaga akidah umat," kata yang satu. "Kami memfitnahnya supaya orang tidak terpengaruh oleh kesesatannya," kata yang lain. Maka mereka. pun memfitnah tanpa merasa bersalah sedikit pun. Dosa-dosa seperti itu berlangsung dalam hidup kita tanpa kita taubati.


Beberapa waktu yang lalu, saya bertemu dengan salah seorang pejabat, kita menyebutnya oknum. Dia dulu santri dan kini meninggalkan shalat. Ia tidak merasa berdosa sama sekali. Mungkin pada awalnya ada perasaan gelisah karena meninggalkan shalat. Pada kedua, ketiga, dan seterusnya perasaan itu berangsur-angsur berkurang sampai akhirnya hilang sama sekali. Sama dengan seorang lelaki yang melamar perempuan, kemudian ia ditolaknya. Pertama kali ia sakit hati. Ditolak dua kali, sakit hatinya berkurang. Kalau selalu ditolak, ia tak pernah sakit hati lagi. Demikian pula orang yang berbuat maksiat. lalu maksiat itu menjadi kebiasaan. Tidak ada lagi perasaan berdosa sehingga merasa tak ada kewajiban untuk melakukan taubat.


Banyaklah dosa-dosa yang tidak kita sadari. Nabi Saw memberikan contoh sebuah doa:

"Ya Allah, aku mohonkan kepada-Mu ampunan untuk dosa-dosa yang aku sadari dan dosa-dosa yang tidak aku sadari. Dosa-dosa yang ku ketahui maupun yang tidak kuketahui."

Biasanya dosa yang tidak kita ketahui, tidak pernah kita bersihkan dengan taubat. Dari besarnya kasih sayang Allah. Dia melakukan penyucian diri kita. Penyucian yang datang dari Allah itu disebut at-tamhish. At-tamhish di dunia ini adalah musibah. Bencana-bencana yang menimpa kita itu menghapuskan dosa-dosa kita. Dalam hadis sahih Bukhari-Muslim disebutkan: "Kalau seorang mukmin ditimpa musibah, kelelahan atau keresahan atau duri yang melukainya, maka ia menjadi penghapus pada dosa-dosanya." Dan di dunia ini ada beberapa at-tamhish. Kata Nabi Saw. "Ada dosa yang tidak bisa dihapus dengan apa pun kecuali dengan sulitnya mencari nafkah yang halal." Dari musibah dan kesulitan mencari nafkah yang halal adalah proses penyucian yang Allah berikan kepada kita.


Ada seorang sahabat Nabi yang sebelum masuk Islam ia hidup serba berkecukupan. Setelah masuk Islam, dagangnya mengalami kerugian terus-menerus. Maka yang disalahkan adalah Islamnya. Lalu datanglah ia kepada Rasulullah Saw. "Ya Rasulullah, sudah hilang hartaku, sakit pula tubuhku." Nabi menjawab. "Tidak ada baiknya seorang manusia yang tak pernah sakit dan tak pernah hilang hartanya. Karena kalau Allah mencintai seorang hamba. maka diberi-Nya ujian dan kesabaran menghadapinya." Kesabaran menghadapi musibah itulah at-tamhish. Musibahnya datang dari Allah.


Selain taubat, yang datang dari kita dan dapat membersihkan dosa. adalah perbuatan baik seperti bersedekah, mendatangkan kebahagiaan pada orang lain, berkhidmat memenuhi keperluan manusia, melakukan berbagai ibadah seperti haji, puasa, dan zikir.


Namun tidak semua dosa bisa dihapuskan dengan ibadah-ibadah di atas. Malah yang paling malang banyak ibadah terhapus karena. dosa-dosa yang dilakukan. Dosa-dosa yang menghapuskan ibadah adalah dosa-dosa sosial. Misalnya, zikir itu bisa menghapus dosa, tetapi riya akan membatalkan seluruh amal zikir itu. Menggerutu dan memaki-maki dapat menghapuskan pahala sedekah (Al-Baqarah [2]: 264): berkata kotor, menyakiti hati, dan berdusta menghapuskan ibadah haji (Al-Baqarah [2]: 197): mengeraskan suara di depan Rasulullah Saw (atau ketika sabdanya disampaikan) menghapus seluruh amal kita (Al-Hujurat [49]: 2). "Kedengkian menghapuskan amal seperti api menghabiskan kayu bakar". Menyakiti tetangga dengan lidah menghapuskan pahala puasa dan shalat malam - menurut beberapa hadis yang kita kenal.


Ada orang yang ketika maut menjemputnya, masih banyak dosa-dosa yang belum terhapus, baik oleh taubat maupun musibah.


Umumnya orang yang ahli maksiat itu sehat-sehat. Mereka tidak mendapat musibah. Dagangnya untung terus. Kalau berbuat salah. pengadilan pun tak sanggup menuntutnya. Musibah-musibah jarang menimpanya. Sakit yang menghapuskan dosa, juga tak dialaminya. Haji pun jarang dilakukannya dan seterusnya. Maka saat kembali, di pintu kerajaan Tuhan itu, seperti anak kecil tadi, masih penuh kotoran dan debu. Pendeknya mereka membutuhkan proses penyucian lagi. Maka kematian itu termasuk juga proses penyucian. Imam Al-Hadi mengibaratkan kematian dengan kamar mandi. Saat menghadapi orang yang takut kematian, ia berkata. "Apakah kamu enggan masuk ke kamar mandi untuk membersihkan kotoran-kotoran yang menempel di tubuhmu?"



KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).

76 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page