top of page
  • Writer's pictureAkhi

Kembali kepada Tuhan

Updated: May 15, 2022


Saya tidak dapat melukiskan falsafah Ibn Arabi secara lebih baik dari William C Chittik. Karena itu, paragraf berikutnya merupakan terjemahan dari dia.


"Semua kembali kepada Tuhan, tetapi sebagian besar kembali kepadanya persis seperti ketika mereka datang. Ketika berbicara tentang malaikat, Jibril disebutkan berkata, Tidak seorang pun diantara kami mempunyai kedudukan tertentu." (QS Al-Shaffat (37): 164)


Menurut Ibn Arabi, kata-kata Jibril ini berlaku untuk setiap hal kecuali dua: jin dan manusia. Pohon pir datang ke dunia ini sebagai pohon pir dan tidak pernah meninggalkan dunia ini sebagai pohon labu. Badak tidak pernah menjadi monyet atau tikus. Tetapi manusia (dengan tidak membicarakan jin) datang ke alam ini sebagai potensi yang luar biasa untuk bukan saja tumbuh dan berkembang, tetapi juga menyimpang, mengalami degradasi dan deformasi. Di luar, selama di dunia ini mereka tampak sebagai manusia. Tetapi di dalam, mereka dapat menjadi apa saja. Mereka datang sebagai manusia, tetapi mungkin kembali sebagai monyet atau babi.


Pada satu segi, manusia kembali kepada Tuhan melalui jalan sama yang tidak tampak, tetapi juga dilewati makhluk lain. Mereka lahir, hidup, dan mati. Ketika mereka hilang, tidak seorang pun tahu ke mana mereka pergi. Hal yang sama terjadi pada lebah atau pohon beringin. Ini disebut Ibn Arabi dan yang lainnya sebagai "kembali yang terpaksa": (ruju'idhtirari) kepada Tuhan. Suka atau tidak suka, kita harus menjalani rute ini.


Pada segi lain, manusia memperoleh anugerah untuk memilih jalan kembali. Inilah jalan "kembali yang sukarela", ruju'ikhitiyari. Manusia dapat memilih jalan yang dibawa para nabi, atau mengikuti hawa nafsunya. Semua jalan ini kembali kepada Tuhan, tetapi Tuhan mempunyai banyak wajah, tidak semuanya menyenangkan kita. "Kemana pun kamu menghadap, di situ ada wajah Tuhan" (QS Al-Baqarah [2]:115), baik di dunia ini maupun di akhirat. Untuk mengetahui wajah-wajah Tuhan itu, renungkanlah nama-nama-Nya.


Tuhan memiliki sifat penyayang (rahmat), tetapi juga kemurkaan (ghadhbah). Dia Maha Pengampun, Pemberi Nikmat, tetapi juga Pembalas, dan Yang Mahakeras siksa-Nya… Surga, kata Ibn Arabi, adalah manifestasi rahmat Tuhan. Neraka adalah tempat manifestasi murka-Nya.


Manusia, dalam evolusi kesadarannya, lahir pertama sekali dalam bentuk bayangan yang paling gelap. Ketika kembali kepada Tuhan, ia harus melewati "gap" yang terentang panjang antara kegelapan mutlak dengan Cahaya Mutlak. Orang memilih jalan berbeda-beda. Ada yang memilih tetap bermain dalam bayangan, ada yang memilih mencari berbagai macam cahaya, ada yang memusatkan perhatian kepada Cahaya Mutlak dan tidak puas dengan yang bukan itu.


Tingkat intensitas cahaya itu tidak terbatas. Setiap tingkat menjadi stasiun (manzil). Stasiun ada supaya orang meneruskan perjalanan kepada stasiun berikut-nya. Perjalanan menuju Tuhan berlangsung terus abadi. Bagaimana mungkin yang terbatas meliputi yang tidak terbatas? How can the finite encompass the Infinite?


Bila kita memilih jalan menuju cahaya, kita menambah intensitas cahaya dengan mengaktualkan nama-nama Tuhan, Sang Cahaya Mutlak. Nama-nama itu sebetulnya sudah tersimpan secara laten dalam fitrah kita. Mewujudkan nama-nama Tuhan inilah yang disebut sebagai takhalluq bi akhlaaq Allah atau sebenarnya takhalluq di asma Allah.


Apa implikasi dari semua ini? Pendidikan adalah proses menuju kesempurnaan. Proses ini tidak ada batasnya. Dalam proses takamul, manusia mempunyai potensi yang tidak terbatas. Kita semua sedang bergerak menuju Allah. Pendidikan dan yang dididik adalah mitra dalam kafilah ruhani yang sedang menempuh perjalanan di sahara tak terhingga. Seperti yang disenandungkan anak-anak Muthahhari dalam Mars Sekolah mereka.


Di SMA Muthahhari

Kami berjanji suci

Demi Allah

Rabbul 'Izzah

Kami kafilah mulia


Berjalan menuju Dia

Sahara tak terhingga

Maju terus, maju terus!

Meraih cinta Dia


Sucikanlah jiwa

Serapkan asma Allah

Cerdaskanlah akal

Serapkan asma Allah!


Pendidikan adalah upaya untuk merealisasikan asma Allah dalam diri manusia. Setiap kali kita menyerap satu nama Allah, kita berubah menjadi wujud yang berbeda. Yang bergerak bukan hanya 'aradh kita, tetapi juga jauhar kita. Inilah al-harkat al-jauhariyyah yang dikemukakan oleh Mulla Shadra.


KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari, SMP Plus Muthahhari, SMP Bahtera, dan SMA Plus Muthahhari).

56 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page