top of page
  • Writer's pictureAkhi

Kenanglah Peristiwa Karbala!


Allah Swt berfirman dalam Al-Quran, "Katakanlah (olehmu Muhammad): Aku tidak meminta upah dari kalian kecuali kecintaan kalian kepada keluargaku." (QS. 42:23).


Rasulullah Saw bersabda, "Cintailah Allah atas limpahan nikmat-Nya kepadamu, cintailah aku karena kecintaanmu kepada Allah dan cintailah Ahlulbaitku karena kecintaanmu kepadaku.” (Biharul al-Anwar, 70:14).


Tentang Ahlulbaitnya, Rasulullah Saw bersabda, "Aku tinggalkan bagi kalian dua pusaka yang kalian tidak akan sesat selama kalian berpegang teguh kepadanya, Al-Quran dan keluargaku."


Adapun mengenai Al-Hasan dan Al-Husain, kedua cucunya yang tercinta, Nabi bersabda, "Ya Allah aku mencintai keduanya, cintailah orang yang mencintai keduanya (Mustadrak al-Hakim, Shahih Muslim).


Beberapa kutipan di atas, mengantarkan kami untuk mengenali lebih jauh tentang Ahlulbait Nabi. Merekalah pusaka Nabi Muhammad Saw bagi umatnya. Di antara Ahlulbait Nabi itu adalah Imam Husain as. Pada usia yang masih sangat muda beliau menyaksikan bagaimana jasad Rasulullah Saw dibaringkan di Mesjid Nabawi. Beliau melihat dunia Islam menguasai separuh bumi. Beliau pandangi istana megah yang berdiri atas nama Islam. Beliau kritik sikap pongah yang ditampakkan oleh para penguasa yang memeras keringat rakyatnya. Bahkan ketika para penguasa itu melaknat dan mengkhianati Ahlulbait Rasulallah Saw yang suci, Imam Husain Tetap gigih menegakan kalimat Allah Swt dan meneruskan perjuangan kakeknya, Rasulullah Saw untuk mencintai mustadh’afin. Beliau relakan dirinya dianiaya oleh para penguasa yang zalim demi tegaknya kebenaran.


***


Kala itu suara kebenaran nyaris tak terdengar. Musuh telah terlalu kuat mengusung kebatilan, hingga semangat jihad hampir mati. Adalah Al-Husain cucu Rasulullah Saw yang mewarisi semangat jihad ayah dan kakeknya. Beliau berdiri tegak diantara orang yang takut melawan kebatilan. Beliau percaya bahwa diam melihat kezaliman adalah termasuk kezaliman itu sendiri. Maka berangkatlah cucu Rasulullah ini beserta rombongan yang tidak lebih dari 72 orang menuju Kafah. Di tengah perjalanan, pada tanggal 10 Muharram (Asyura tahun 61 H. di padang Karbala, rombongan suci ini dihadapkan puluhan ribu pengikut Yazid dan pasukan Ibnu Ziyad, penguasa Bani Umayyah waktu itu. Maka terjadilah apa yang telah terjadi, rombongan suci ini dianugerahi "bingkisan" syahid dan inilah pilihan Imam Husain bersama para pecintanya demi tegaknya kalimat Allah. Rasulullah Saw bersabda, "Engkau akan bersama orang-orang yang engkau cintai" (Biharul Anwar, 17: 13). Rombongan suci ini telah memilih syahid sebagai bukti kecintaan mereka pada Ahlulbait Nabi.


***

Mari kenang peristiwa itu dan masuklah diri kita dalam tragedi tersebut…


Kafilah kita sekarang berada di padang Karbala. Pagi hari matahari terbit cerah di ufuk timur; sinarnya menyapu padang Karbala yang tandus. Kita melihat Al-Husain mengatur pasukannya. 32 orang berkuda, 40 orang pejalan kaki, dan selebihnya anak-anak beserta perempuan. Sementara itu di hadapan Imam Husayn, ada Umar bin Sa’ad dengan 5000 anggota tentaranya, dilengkapi persenjataan yang jauh lebih lengkap. Bila matahari itu sanggup berbicara, ia akan mengatakan, “Ini bukan peperangan, ini pembantaian besar-besaran.”


Kita melihat musuh mulai mendekat. Zainab melihat kakaknya maju ke depan. Kita melihat Imam Husayn menyongsong musuh-musuh itu sambil mengangkat tangannya seraya berdoa: “Ya Allah, Engkaulah sandaranku dalam kesulitan. Tumpuan harapan dalam kesusahan. Engkau sajalah kepercayaan dan kekuatanku, apa pun yang menimpa diriku; betapa pun lemah hatiku; betapa pun tipu daya telah menghilangkan harapanku; betapa pun kawan-kawan telah menjauhiku dan musuh-musuh bergembira pada deritaku. Aku sampaikan doaku pada-Mu. Aku mengadu kepada-Mu, dengan mengharapkan-Mu sendiri. Engkau telah menghiburku. Engkau telah membukakan nikmat bagiku. Engkaulah pemilik segala kebaikan, Tujuan akhir segala pengharapan.”


Kita melihat Al-Husain meloncat menaiki kudanya. Ia melarang pengikutnya menyerang terlebih dahulu. Untuk terakhir kalinya, ia memperingatkan orang-orang Kufah yang menyerangnya. Ia mengingatkan mereka bahwa ialah Al-Husain yang di pundak Rasulullah pernah berdiri dan menyebabkan Rasulullah menahan sujudnya dalam waktu yang lama. Ialah Al-Husain yang ditangisi Rasulullah saw ketika beberapa saat sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir. Ia menasehati musuh-musuhnya untuk kembali ke jalan Rasul yang suci. Tetapi seluruh ucapannya tidak mempengaruhi tentara-tentara kezaliman itu. Tiba-tiba seekor kuda mendongak, dan penunggangnya dengan cepat mengarahkan kuda itu ke arah Al-Husain. Kita menarik nafas panjang. Semua mata memandang ke arah penunggang kuda itu. Setelah dekat, jelaslah siapa penunggang kuda itu -Al-Hurr bin Yazid, yang menggiring rombongan Al-Husain ke arah Kufah. Itulah Al-Hurr bin Yazid yang membawa rombongan Al-Husain ke padang pasir Karbala dengan puluhan pedang di belakang mereka. Al-Husain berdiri tegak, siap menyambut serangan Al-Hurr. Tapi dengarkan kata Al-Hurr: “Wahai putra Rasulullah! Inilah orang yang telah menzalimi engkau. Inilah orang yang telah menggiringmu ke tempat ini dan menyebabkan begitu banyak penderitaan kepadamu. Sudilah engkau, wahai putra Rasulullah, memaafkan orang durhaka seperti aku? Demi Allah, aku tidak menduga orang-orang ini akan bergerak sampai menumpahkan darah keluarga Rasulullah. Sekarang jalan damai sudah tertutup. Aku tidak mau membeli neraka dengan kesenangan dunia. Maafkan kesalah-anku, wahai cucu Rasulullah. Izinkanlah aku berkorban sebagai tebusan atas dosa-dosaku yang telah aku lakukan kepadamu.”


Al-Hurr menaiki kudanya, meng-hentakkan kendalinya, dan meloncat menyerbu orang-orang Kufah, yang pernah menjadi anak buahnya. “Hai, orang-orang Kufah, kalian biarkan orang-orang Yahudi, Nasrani, anjing, dan babi meminum air sungai Eufrat, tapi kalian biarkan keluarga Rasulullah kehausan. Semoga Allah tidak melepaskan dahaga kalian pada Hari Pembalasan nanti.


Ratusan orang mengepungnya. Kuda Al-Hurr roboh diserang anak panah. Tanpa kendaraan, Al-Hurr masih mengamuk seperti singa yang terluka. Akhirnya ia gugur juga. Tubuhnya dicincang ratusan pedang. Ia telah memilih surga dengan darahnya.


Pertempuran pun kemudian ber-kecamuk. Tujuh puluh dua orang pengikut Al-Husain satu demi satu tersungkur dan darahnya menggenangi padang Karbala. Kita lihat, pasir-pasir yang semula kemuning sekarang memerah. Tinggallah Al-Husain beserta beberapa orang keluarganya. Ali Akbar, putra Al-Husain yang berusia sembilan belas tahun, maju menjaga ayahnya. Ia menghantamkan pedangnya ke kiri dan ke kanan, menyeruak ke tengah-tengah musuh. Luka-luka telah mengoyak tubuhnya, sementara kerongkong-annya kering karena kehausan. Al-Husain menghiburnya, “Sabarlah wahai anakku, sebentar lagi kakekmu Rasulullah akan memberimu minum dengan air surga.”


Sebuah anak panah melesat dan menembus jantung Ali Akbar. Ia jatuh tersungkur. Sambil tetap melihat musuh-musuhnya, Al-Husain membelai kepala putranya, “Semoga Allah membunuh orang yang membunuhmu.” Ali Akbar gugur, disaksikan ayahnya sendiri. Zainab, yang terus mengawasi pertempuran itu, meloncat dari kemahnya. Tanpa meng-hiraukan bahaya ia menuju ke tempat Ali Akbar. Teriakannya menggema di seluruh Karbala, “Ya Allah, anakku sayang.” Ia mengangkat kepala Ali Akbar yang berlumuran darah, membelai-belainya, menciumnya, dan tidak henti-hentinya meratap dan menangis. Ia sudah tidak memperhatikan suasana sekitarnya. Menyadari bahaya yang mengancam adiknya, Al-Husain menarik tangan Zainab, mem-bawanya kembali masuk ke dalam kemah.


Di dalam kemah itu, kita mendengar rintihan anak-anak yang kehausan. Kita melihat Al-Husain memandang putranya. Ali Asghar menggelepar karena haus yang mencekik lehernya. Ia tidak dapat menahan perasaan ibanya. Diangkatnya bayi kecil itu ke luar kemah. Ia mengacungkan bayi itu supaya jelas kelihatan oleh lawan-lawannya. “Hai orang-orang Kufah, apakah kalian tidak takut kepada Allah? Adakah padamu setetes air minum untuk bayi kecil ini? Tidakkah kalian merasakan derita anak kecil yang tidak berdosa ini?”


“Inilah air minumnya!”, kata seorang pasukan ‘Umar bin Sa’ad. Ia merentang busur dan anak panah melesat tepat menembus perut bayi yang berada di tangan Al-Husain. Alangkah terkejutnya Al-Husain. Ia tidak mengira musuhnya akan sekejam itu. Sejenak ia terpaku, menyaksikan bayi kecil itu menggelepar-gelepar di ujung jarinya, dan darah yang suci membasahi tangan dan pakaiannya. Kita mendengar lagi jeritan Zainab dari dalam kemah. Al-Husain perlahan-lahan meletakkan jenazah putranya di samping jenazah-jenazah syuhada lainnya.


Seorang demi seorang keluarga Imam Husain gugur. Putra-putra Aqil berjatuhan. Begitu pula Awn dan Muhammad. Dua orang putra Zainab, dibunuh di hadapan ibunya. Pasukan musuh mengepung Imam Husain dengan ketat. Pikiran Zainab kalut. Ia hampir tidak dapat menahan prahara yang bertubi-tubi menghantamnya. Tanpa diketahuinya, Al-Qasim, putra Al-Hasan, sudah keluar dari kemah. Ia masih sangat muda. Wajahnya molek, jernih, dan menampakkan kesegaran anak remaja. Ia memakai sarung dan sepasang sandal yang sebuah talinya sudah putus. Dengan berani ia menentang orang-orang yang haus darah itu. Tapi, apa artinya perlawanan anak kecil itu? Sebentar kemudian sebuah pedang mengenai kepalanya. Anak itu menjerit, “Aduh Paman....” Zainab terkejut, ia mendekati Al-Qasim.


Di situ Al-Husain sudah tegak berdiri sambil bergumam, “Kau panggil pamanmu. Tetapi aku tidak sempat menjawab panggilan-mu. Semoga pembunuhmu akan berhadapan dengan kakekmu, Rasulullah, pada hari pembalasan nanti.” Ia mengangkat tubuh Al-Qasim dengan kedua tangannya, dan membaringkannya di samping jenazah-jenazah syuhada yang lain.


Segera sesudah itu, Abdullah, saudara Al-Qasim, juga berlari dari tenda. Zainab tidak dapat menahannya. Ia jauh lebih muda dari Al-Qasim. Dengan gagah dan polos, ia berdiri di samping pamannya. Abjar, dari pasukan orang Kufah, menyerbu untuk menyerang Al-Husain. Remaja itu dengan berani menghalanginya. Abjar menebaskan pedangnya. Abdullah berusaha menangkisnya dengan tangan kanannya. Pedang memutuskan tangan kecil itu, sehingga sebelah tangannya bergelantung, berayun-ayun karena tertahan kulit yang masih menyambungkannya dengan bahu anak itu. “Aduh Ibu...!” jerit Abdullah. Al-Husain segera memeluknya. Abdullah akhirnya gugur dalam pelukan pamannya.


Walaupun hampir seluruh anggota keluarga-nya sudah gugur, Al-Husain masih memberikan perlawanan, seperti singa yang tangguh. Tubuhnya yang penuh debu bermandikan keringat dan darah. Ketika kehausan dirasakan begitu berat, kita lihat Al-Husain merangkak berusaha mendekati sungai Eufrat. Tapi dari jauh Umar bin Sa’ad membidikkan anak panahnya, tepat mengenai bahu kiri Al-Husain. Zar’ah bin Syarik segera mendekatinya, mengayunkan pedang ke arah kepalanya. Al-Husain berusaha menangkisnya,tapi ia harus kehilangan tangan kanannya. Ketika Al-Husain dalam keadaan luka parah, Sinan bin Anas menusuknya. Cucu Rasulullah, yang digelari penghulu para syuhada itu, akhirnya tersungkur. Syamir Zul Tawisyan Laknatullahi Alaih memenggal kepalanya yang mulia.


Hari itu, 10 Muharram 61 Hijriah, peperangan dramatis itu berakhir. Musuh yang tidak berperikemanusiaan mengakhiri perang dan mengerahkan pasukan berkuda untuk menginjak-injak tubuh Al-Husain, kekasih Rasulullah saw. Kita mendengar Zainab meraung keras. Kita mendengar keluarga Al-Husain menangis memenuhi Karbala dengan tangisan yang memilukan. Pandangan mata Zainab gelap, tertutup air mata yang deras mengalir.


“Duhai Muhammad, duhai Muhammad. Ya Rasulullah, mudah-mudahan malaikat di langit menurunkan rahmat bagimu. Tapi lihatlah ini, Al-Husain, begitu terhina dan teraniaya, penuh darah dan terpotong-potong. Duhai Muhammad, putrimu kini sudah menjadi tawanan. Keluargamu yang dibantai sekarang akan tertutup debu angin Timur.”


Kita dengar Zainab terus merintih. Kita lihat Ali Zainal Abidin dan sisa-sisa keluarganya yang masih hidup dibelenggu dan diseret sebagai tawanan. Zainab belum mati. Tugasnya belum berakhir. Ia masih harus mengawal Ali Zainal Abidin, salahseorang keturunan Rasul yang akan melanjutkan kepemimpinan Ahli Bait.


Kita meninggalkan tanah Karbala dan kembali ke tempat kita saat ini. Mereka sudah menumpahkan darahnya untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Para cucu Rasulullah saw, para keluarga suci sudah mengorbankan kehidupannya untuk menegakkan Islam yang sejati, Islam Muhammadiy. Marilah kita bertekad sekarang ini untuk melanjutkan perjuangan mereka. Menegakkan kebenaran dan keadilan. Marilah kita bertekad berbai’at kepada Rasulullah saw dan keluarganya yang suci, untuk menegak-kan ajaran agama Islam yang ditegakkan di atas Kitabullah dan sunnah Rasulullah yang dibawa oleh keluarganya yang suci.


Marilah kita membawa sebuah tekad yang suci untuk melanjutkan perjuangan suci ini sampai akhir zaman!



***

KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).

10 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page