top of page
  • Writer's pictureAkhi

Kepemimpinan Politik dan Cita Keadilan: Perspektif Sejarah Islam


Abdullah bin Umar mendatangi Abdullah bin Muthi', pada peristiwa Harrah pada zaman Yazid bin Muawiyyah. Abdullah bin Muthi' berkata, "Sediakan bantal buat Abu Abd al-Rahman", Ia berkata, "Aku tidak datang untuk duduk. Aku datang untuk menyampaikan kepada kamu hadis yang aku dengar Rasulullah mengatakannya. Aku mendengar Rasulullah saw. berkata, "Siapa yang melepaskan tangan dari ketaatan (kepada pemimpin pemerintahan) ia akan berjumpa dengan Allah pada hari kiamat tanpa pembelaan. Siapa yang mati dan pada tengkuknya tidak ada baiat ia mati dengan kematian jahiliah". (Shahih Muslim, 13:1851)


Berkenaan dengan hadis ini, seorang ulama memberikan komentar: Berkata Al-Sanusi: Dalam hadis ini ada dalil bahwa mazhab Abdullah bin Umar sama seperti mazhab mayoritas yang melarang orang untuk menentang imam dan melepaskan (baiat) bila terjadi kefasikan pada dirinya. Bila ia sudah fasik sebelum menjadi imam maka mereka sepakat untuk tidak disahkan (imamahnya). Tetapi jika ia sudah diterima sebagai imam karena kekuatan atau konsensus dan terjadi seperti terhadap Yazid, maka posisinya sama seperti imam yang fasik setelah disahkan keimamannya. Terlarang menentangnya. Sebagai dalil untuk itu ialah penyebutan hadis oleh Ibnu Umar yang melarang Ibn Muthi' untuk menentang Yazid. Orang membolehkan penentangan berhujah dengan khuruj-nya Husain. Ibn Zubair, dan penduduk Madinah melawan Bani Umayyah. Kebanyakan berhujah untuk melarang karena penentangan mungkin menimbulkan fitnah, pembunuhan, dan perkosaan. Seperti yang terjadi pada peristiwa hijrah.


Peristiwa Harrah adalah peristiwa yang sangat tragis, terjadi pada akhir tahun 73H. Ketika Ibn Muthi' berontak melawan kezaliman Yazid. Ibn Umar melarangnya dengan mengemukakan hadis tersebut. Bagi Ibn Umar, menentang penguasa yang sah, betapapun zalimnya, sama dengan meninggalkan baiat. Orang yang melepaskan baiat akan mati jahiliah.


Alasan yang dikemukakan untuk membenarkan tindakan Ibnu Umar adalah kemungkinan timbulnya fitnah, pembunuhan, dan pencemaran kehormatan. Jadi, dengan bersikap diam, kezaliman yang lebih besar dapat dihindari. Sikap ini kelak berkembang menjadi apa yang lazimnya dirumuskan dengan pernyataan "lebih baik mempunyai pemerintahan yang zalim daripada kekacauan yang ditimbulkan karena tidak adanya pemerintahan".


Keteguhan Ibnu Umar untuk melaksanakan sikapnya itu juga tampak ketika ia datang untuk berbaiat kepada Abdul Malik bin Marwan. Untuk menegakkan kekuasaannya, Abdul Malik menugaskan Al- Hajaj untuk memaksa rakyat berbaiat kepadanya. Para ahli tarikh mencatat kekejaman Al-Hajaj dan kecintaannya dalam menumpahkan darah umat Islam. Ia pernah datang ke Madinah dan membelenggu sahabat-sahabat Nabi saw. yang masih hidup dengan timah dan mempermalukan mereka. (Tarikh Ibn al-Atsir, 4:26) Tentang dia Umar bin Abd al-Aziz yang adil berkata, "Seandainya semua umat mendatangkan orang jahatnya, lalu kita mendatangkan Al-Hajaj, kita akan mengalahkan mereka". Mungkin untuk menghindari fitnah Al-Hajaj, malam-malam ia mengetuk pintu Al-Hajaj. Ia datang untuk berbaiat buat Abdul Malik. Al-Hajaj tidak turun dari tempat tidurnya. Ia menjulurkan kakinya kepada Ibnu Umar, "Pegang kakiku". Dengan cara itulah, ia berbaiat. Lebih baik dihinakan daripada di atas kuduk tidak ada baiat.


Namun, sejarah juga menceritakan hal yang sangat mengherankan. Ibnu Umar termasuk di antara 17 atau 20 orang sahabat yang tidak mau membaiat Ali bin Abi Thalib. Apa yang menyebabkan Ibnu Umar mewajibkan baiat khalifah rasyidah? Bagaimana kita bisa menerima hadis-hadis yang melarang menentang penguasa yang zalim, padahal hadits-hadis itu bertentangan dengan Al-Qur'an dan hadis-hadis yang lain? Mengapa timbul perbedaan paham di antara para imam mazhab berkenaan dengan perlawanan terhadap penguasa yang zalim; bahkan ada riwayat yang bertentangan dari mazhab yang sama (sebagian menganjurkan perlawanan, sebagian lagi memerintahkan ketaatan)?


Makalah ini berusaha menjawab kemusykilan-kemusykilan itu dengan melihat latar-belakang sejarah. Pertama, kita akan melihat konflik antara sistem politik yang adil (yang merupakan ideal Islam, das Sollen, dengan sistem politik yang terjadi, das Sein. Kedua, kita akan melihat apa respon kaum Muslim terhadap konflik ini. Kita berharap memperoleh pelajaran dari sejarah untuk menegakkan kepemimpinan politik yang committed dengan cita keadilan.


Kepemimpinan Politik Islam dalam Sejarah

Tidak diragukan lagi bahwa Nabi saw.datang bukan hanya untuk mengajarkan ibadah dan akhlak. Ia telah berjuang untuk menegakkan sistem Islam yang berasaskan keadilan. Ia menjadi imam yang adil. Tidak perlu dikemukakan di sini bukti-bukti yang berkenaan dengan concern Islam pada keadilan. Cukuplah di sini disebutkan bahwa para ahli figh siyasiy yang klasikꟷberdasarkan Al-Qur'an dan Sunnahꟷmenunjuk keadilan sebagai salah satu syarat imam yang sah.


Tetapi segera setelah Rasulullah saw. meninggal dunia, yang memegang kepemimpinan politik bukan lagi tokoh ideal seperti Nabi. Abu Bakar r.a.ꟷseperti dinyatakan Umar (Shahih Bukhari)ꟷ dipilih secara tergesa-gesa, tetapi Allah menyelamatkan umat dari kejelekannya. Abu Bakar mengakui bahwa ia bukan orang yang paling baik untuk menduduki jabatan khalifah. (Al-Thaburi 3:203)


Ia tidak dipilih secara ijmak, seperti yang diyakini kebanyakan orang. Para sejarahwan menyebutkan sejumlah orang yang berlindung di rumah Fathimah r.a. dan tidak berbaiat kepada Abu Bakar r.a.: Abbas, Salman, Ammar bin Yasir, Al-Bara bin Azib, Sa'ad bin Abi Waqqash, 'Utbah bin Abi Lahab, Abu Dzar, Miqdad bin al-Aswad, Ubayy bin Ka'b, Thalhah bin 'Ubaidullah, kelompok Bani Hasyim, sekelompok Muhajir dan Anshar.


Mereka menganggap Ali bin Abi Thalib k.w. lebih berhak untuk menjadi khalifah. Ia dipandang lebih adil, lebih faqih, dan lebih dekat dengan Rasulullah saw. Tetapi setelah Fathimah r.a. wafat, Ali berbaiat, diikuti oleh kelompoknya.


Dalam menghadapi kesenjangan antara das Sollen dengan das Sein (yang tidak terlalu besar), umat terpecah kepada kelompok pendukung das Sollen dan kelompok das Sein. Pada zaman Abu Bakar dan Umar, kedua kelompok iniꟷsetelah konflik yang juga tidak besarꟷbergabung mendukung keduanya. Seperti dikatakan Mawdudi, Abu Bakar dan Umar berhasil menegakkan sistem politik yang adil: pemerintahan berdasarkan musyawarah, amanah, kekuasaan hukum, jiwa demokrasi, dan anti ashabiyah.


Sa'ad bin 'Ubadah, calon pemimpin dari kalangan Anshar yang tidak terpilih, tidak melakukan perlawanan. Ali bin Abi Thalib memberikan dukungan intelektual terhadap keduanya. Ia sering membantu mereka dalam mengatasi masalah-masalah hukum, walaupun ia tidak menduduki jabatan apa pun.


Ketika Ali ditanya mengapa ia tidak merebut haknya, bila betul khilafah itu haknya, ia menjawab, "Demi Allah, aku tidak melakukannya bukan karena pengecut, juga bukan karena takut mati. Tetapi perjanjian dengan saudaraku Rasulullah saw. mencegahku. Nabi berkata: Hai Abul Hasan, sesungguhnya umat akan mengkhianatimu dan memutuskan perjanjianku. Padahal kedudukanmu terhadapku sama seperti kedudukan Harun terhadap Musa. Aku berkata, apa yang kaupesankan padaku, ya Rasul Allah, jika itu terjadi. Rasul berkata: Jika kamu mendapatkan pembelamu, segeralah kepada mereka, memperjuangkan hakmu dari mereka. Jika tidak kamu dapatkan pendukungmu, tahanlah tanganmu, peliharalah darahmu, sehingga engkau menyusulku dalam keadaan teraniaya. Kemudian Ali berkata: Aku mengambil teladan pada tujuh orang Nabi. Pertama Nuh, ketika berkata: 'Aku dikalahkan. Tolonglah daku' (Q.S. 54:10). Kedua, Ibrahim al-Khalil ketika berkata: "Aku akan meninggalkan kalian dan apa yang kalian seru selain Allah" (Q.S. 19:48). Ketiga, kemenakannya Luth ketika berkata kapda kaumnya: "Seandainya aku mempunyai kekuatan untuk melawan kamu atau berlindung pada tiang yang kokoh" (Q.S. 12:33). Kelima, Musa ketika berkata: "Maka aku berlari dari kamu karena aku takut kepada kamu" (Q.S. 26:21). Keenam, Harun ketika berkata: "Sesungguhnya kaumku menin- das aku dan hampir-hampir membunuh aku" (Q.S. 7:150). Ketujuh, Muhammad ketika lari dari kaum musyrik ke gua.


Ali berpendapat ia berhak akan jabatan khilafah, tetapi ia tetap memberikan dukungannya kpada pilihan kaum muslim, sampai sampai datang zaman Utsman. Menurut Mawdudi, "Namun Utsman bin Affan r.a. ketika menggantikan kedudukan Umar, mulai menyimpang dari kebijaksanaan ini. Sedikit demi sedikit, ia mulai menunjuk sanak kerabatnya untuk menduduki jabatan-jabatan penting dan memberikan kepada mereka keistimewaan-keistimewaan lain yang menyebabkan timbulnya protes-protes dan kritikan- kritikan rakyat secara umum". (Khilafah dan Kerajaan, 137)


Ketika Utsman mulai meninggalkan prinsip keadilan, para sahabat yang saleh menyampaikan protes dengan berbagai cara. Ketika Sa'ad bin Abi Waqqash, sahabat yang termasuk al-sabiqun al- awwalun, digantikan oleh Walid bin Uqbah, Abdullah bin Mas'ud keberatan. Ia tahu Walid sama sekali tidak layak untuk menjadi gubernur. Ibnu Mas'ud kemudian mengundurkan diri dari jabatannya sebagai bendahara. Ia menyerahkan kunci Baitul Mal kepada Walid sambil berkata, "Siapa yang mengubah, Allah akan mengubah apa yang ada padanya. Siapa yang mengganti, Allah murka kepadanya. Aku melihat sahabatmu (Utsman) telah mengubah dan mengganti. Mengapa ia memakzulkan orang seperti Sa'ad bin Abi Waqqash dan mengangkat Walid?"


Walid mengadu kepada Utsman. Utsman menyuruh agar Abdullah bin Mas'ud dibawa kepadanya. Orang- orang berkumpul dan berkata kepada Ibnu Mas'ud, "Tinggallah di sini, kami akan membela Anda dari hal-hal yang tidak Anda senangi. Ibnu Mas'ud berkata, "Ia mempunyai hak kepadaku untuk dita'ati. Aku tidak ingin menjadi orang yang pertama membuka pintu fitnah." (Al-Isthi'ab, 1:373)


Ibnu Mas'ud mematuhi perintah khalifah. Ia melakukan protes dengan mengundurkan diri. Berbeda dengan cara dia adalah cara yang dilakukan Abu Dzar. Ia berpidato di jalan-jalan, di pasar, mengingatkan orang akan penyimpangan para pejabat yang diangkat Utsman. Ia mengkritik distribusi kekayaan yang berputar hanya pada elit keluarga Utsman. Ia berkata: Berilah kabar kepada orang-orang yang menumpuk kekayaan bahwa mereka akan mendapat azab yang pedih. Lalu ia membaca Surat Al-Taubah: 34. Marwan bin Hakam mengadukan Abu Dzar kepada Utsman. Ia dianggap meresahkan masyarakat. Utsman mengutus orang untuk melarangnya bicara. Abu Dzar berkata, "Apakah Utsman melarang aku membaca Kitap Allah dan mencela orang yang meninggalkan perintah Allah. Sekiranya aku membuat Allah rido dengan kemarahan Utsman, lebih aku cintai dan lebih baik daripada membuat Utsman rido dengan kemurkaan Allah".


Utsman kemudian mengirim Abu Dzar ke Syam. di sini ia mengkritik gaya hidup mewah Muawiyah. Ia menegurnya, "Demi Allah, engkau sudah melakukan perbuatan yang tidak aku kenal. Demi Al- lah, tidak ada dalam Kitab Allah juga tidak ada dalam Sunnah Nabi-Nya. Demi Allah, aku melihat kebenaran dipadamkan, kebatilan dihidupkan, orang jujur didustakan. Orang diistimewakan bukan karena takwa. Orang saleh disingkirkan".


Muawiyah mengirim Abu Dzar kembali ke ibukota. Utsman mengusir Abu Dzar ke Rabadzah sehingga ia meninggal di sana. Ketika Marwan mengawal pengusirannya, Ali menemui Abu Dzar. Ali berkata, "Sesungguhnya engkau marah karena Allah. Harapkanlah rido Dia, yang karena-Nya engkau marah. Sesunguhnya orang takut kepadamu demi dunia mereka, sedangkan engkau takut kepada mereka demi agamamu. Tinggalkan apa yang ada pada mereka demi apa yang kamu takuti.... Tidak menyertaimu kecuali kebenaran, dan tidak meninggalkanmu kecuali kebatilan. Seandainya engkau menerima dunia mereka, mereka akan mencintaimu".


Walaupun Abu Dzar melakukan kontrol sosial yang sangat keras, ia tidak mau melakukan tindakan kekerasan. Abu Dzar mengemukakan alasan mengapa ia tidak melakukan perlawanan fisik. Suatu hari, katanya, Rasulullah saw. berkata: Hai Abu Dzar, apa yang kamu lakukan jika kamu dikeluarkan dari Madinah? Kataku: Aku akan berangkat mencari keluasan dan kedamaian sehingga aku menjadi seekor merpati Makkah. Kata Nabi saw.: Bagaimana kalau engkau diusir dari Makkah. Kataku: Aku mencari keluasan dan kedamaian di Syam atau di bumi yang disucikan. Kata Nabi saw.: Bagaimana kalau engkau diusir dari Syam. Aku berkata: Kalau begitu, demi yang mengutusmu dengan kebenaran, aku akan menggunakan pedangku. Rasulullah saw. berkata: Maukah kamu aku tunjukkan yang lebih baik dari itu? Dengar dan taatilah (pemimpinmu), walaupun ia seorang budak dari Habsyi.


Jadi, baik Ibnu Mas'ud maupun Abu Dzar melakukan protes, tetapi tidak mau melakukan perlawanan. Keduanya tunduk pada keputusan Khalifah. Ibnu Mas'ud mengundurkan diri dari jabatannya sebagai bendahara dan meninggalkan Kufah. Ia patuh kepada panggilan Khalifah. Begitu pula, Abu Dzar dengan taat pergi meninggalkan Madinah. Pergi ke tanah buangan, dan meninggal di sana.


Ammar bin Yasir bersama teman-teman sekelompoknya mempunyai cara protes yang lain. Mereka menulis surat petisi mengecam kebijakan politik Khalifah. Ammar ditugaskan menyampaikan surat itu, mewakili rekan-rekannya. Setelah dialog singkat, Utsman memerintahkan Ammar dihukum. Orang-orang memukuli Ammar sampai pingsan dan melemparkannya keluar rumah. Ketika sadar kem- bali, Ammar berkata: Ini bukan yang pertama aku disakiti dalam membela agama Allah. Aisyah keluar membawa rambut, sandal, dan pakaian Rasulullah saw. dan berkata: Betapa cepatnya kalian meninggalkan sunnah Nabimu. Diriwayatkan Utsman menyesali tindakannya. Ia menyuruh Thalhah dan Zubair untuk berkata kepada Ammar: Pilihlah salah satu di antara tiga: Memberi maaf, mengambil tebusan, atau qishash. Ammar menjawab: Demi Allah, aku tidak akan menerima satu pun, sampai aku berjumpa dengan Allah.


Walaupun Ammar tidak menerima satupun usulan Utsman, ia tidak juga mengerahkan rekan-rekannya untuk melakukan pemberontakan. Perlawanan bersenjata, yang kemudian membunuh Utsman lebih banyak dilakukan oleh dua ribu penduduk Basrah, Kufah, dan Mesir. Boleh jadi sebagian sahabat terlibat, tetapi kebanyakan sahabat tetap menganggap Utsman sebagai khalifah yang sah. Dan karena itu, ia masih wajib ditaati. Protes-protes yang mereka lakukan, apa pun bentuknya, hanyalah pelaksanaan kewajiban amar makruf nahi munkar.


Perlawanan bersenjata sebagai upaya menegakkan pemerintahan adil baru dilakukan pada pemerintahan Bani Umayyah dan Abbasiyah. Yang pertama melakukannya, walaupun dalam keadaan yang sangat tidak seimbang, adalah cucu Rasulullah saw. sendiri, Husain bin Ali. Terkenal ucapannya menjelang kepergiannya ke Kufah: Aku tidak keluar karena ambisi atau riya. Aku hanya keluar untuk memperbaiki umat kakekku Muhammad saw. dan aku bermaksud melakukan amar makruf nahi munkar. Kemudian Abdullah bin Zubair memberontak bersama penduduk Madinah. Zaid bin Ali, bersama para fuqaha, berontak menentang kezaliman Hisyam bin abd al-Malik. Muhammad bin abdullah, terkenal sebagai Al-Nafs al-Zakiyyah, dan saudaranya Ibrahim bin Abdullah berontak pada awal pemerintahan Al-Mansur, salah seorang pendiri daulat Bani Abbas.


Kedua cucu Rasulullah saw. yang revolusioner ini hidup sezaman dengan Abu Hanifah. Dan kepada keduanya, Abu Hanifah memberikan dukungan.


Pola-Pola Penegakkan Kepemimpinan yang Adil

Apa yang dilakukan Abu Hanifah, ketika mendukung pemberontakan, dapat kita sebut sebagai salah satu upaya untuk menegakkan pemerintahan yang adil. Untuk memudahkan kita sebut pola ini sebagai al-muqawamah al-ijabiyah. Apa yang dilakukan para sahabat di zaman Abu Bakar, Umar, dan terutama sekali Utsman kita sebut sebagai al-muqawamah al-salbiyah.


Ada beberapa bentuk al-muqawamah al-salbiyah. Pertama, tidak melakukan tindakan penentangan dalam bentuk apa pun, tetapi tetap menunjukkan apa yang kita yakini kebenarannya. Pola ini ditunjukkan dalam perilaku Ali bin Abi Thalib k.w. Syarat utama pola ini ialah adanya kepemimpinan politik yang secara keseluruhan relatif adil, walaupun terdapat beberapa penyimpangan dari prinsip keadilan. Syarat kedua ialah pertimbangan kemaslahatan dan persatuan kaum muslim yang sangat diperlukan, karena umat dalam keadaan terancam.


Kedua, perlawanan pasif seperti yang dilakukan Abdullah bin Mas'ud. Menurut pola ini, kita melepaskan keterikatan kita dengan sistem yang ada. Kita 'mengundurkan diri'. Kita memutuskan untuk tidak bekerjasama dengan sistem yang terbukti tidak adil.


Ketiga, penyadaran umat melalui kampanye penegakkan keadilan seperti yang dilakukan Abu Dzar. Kita menyampaikan kritik terhadap sistem secara terbuka. Kita berusaha melakukan kontrol sosial melalui media komunikasi yang tersedia. Pola inilah yang dilakukan oleh Ali bin Ali bin Husain ketika ia mengirim surat kepada Al-Zuhri, Imam Ghazali, ketika mengirim surat kepada para sultan, atau Abu Hanifah ketika memberikan fatwa untuk mendukung para pejuang keadilan. Pola ketiga ini hanya berhasil dalam suatu sistem sosial yang menjamin kebebasan menyampaikan pendapat.


Keempat, pernyataan sikap bersama dalam bentuk petisi seperti yang dilakukan oleh Ammar bin Yasir dan kawan-kawannya. Petisi ini akan memiliki kekuatan politis apabila para penandatangan- nya merupakan tokoh-tokoh umat yang berpengaruh. Kelima, bekerja sama dengan sistem yang zalim (al-dukhul fi a'mal salathin al-jawr), tetapi dengan syarat-syarat tertentu; misalnya, menggunakan setiap peluang untuk paling tidak mencegah terjadinya kezaliman. Kita melihat pola ini pada perjuangan beberapa imam mazhab seperti Ja'far al-Shadiq, Abu Hanifah, Malik. Kita dapat memberikan contoh dengan salah satu peristiwa yang dialami Abu Hanifah.


Barangkali tindakan Abu Hanifah yang terpenting dan paling berbahaya dalam perjuangan ini ialah tindakannya melarang Hasan bin Abi Qurthubah, panglima tertinggi tentara al-Mansur dan penasihat serta orang kepercayaannya yang terbesar, agar ia tidak pergi memerangi Al-Nafs al-Zakiyah dan saudaranya. Pedang ayah Hasan ini, yakni Abi Qurthubah dan kepahlawanannya di medang perang, di samping kecerdikan Abu Muslim al-Khurasani dan pengalaman politiknya, telah menegakkan tiang-tiang kerajaan Bani Abbas dan mengukuhkannya, sehingga Hasan sepeninggal ayahnya diangkat menjadi panglima sebagai penggantinya, dan al-Mansur amat menggantungkan diri padanya lebih dari komandan-komandan pasukannya yang lain. Hasan hidup di kota Kufah dan sangat mencintai Abu Hanifah. Hubungan antara keduanya erat sekali. Pernah ia berkata kepada Abu Hanifah: "Perbuatanku bukan rahasia bagi Anda (yakni, kezaliman yang kulakukan selama bekerja pada al- Mansur). Apakah kira-kira aku dapat diampuni?" Abu Hanifah menjawab: "Ya, apabila Allah mengetahui bahwa Anda benar-benar menyesali apa yang Anda lakukan dan sekiranya sekarang Anda diharuskan memilih antara membunuh seorang Muslim atau Anda sendiri yang akan dibunuh, Anda akan memilih lebih baik Anda yang dibunuh daripada membunuh orang itu dan berjanji kepada Allah tidak mengulangi lagi perbuatan masa lalu. Jika anda memenuhi hal ini, maka itulah tobat Anda yang paling baik". Ketika mendengar hal ini dari Abu Hanifah, ia pun berjanji pada Allah untuk melakukannya dan bertobat kepadanya. Tidak lama setelah peristiwa ini, tercetuslah pemberontakan al-Nafs al-Zakiyah dan saudaranya, Ibrahim. Al-Mansur segera memerintahkannya agar menghadapi dan memerangi keduanya.


Ketika hal ini disampaikannya kepada Abu Hanifah, ia langsung berkata kepadanya: "Kini masa pembuktian tobatmu. Bila Anda memenuhinya sesuai dengan janji Anda kepada Allah, maka Anda benar-benar telah bertobat. Jika tidak maka Anda akan dituntut karena dosa yang pertama dan terakhir". Maka Hasan segera memperbaharui tobatnya dan berkata kepada Abu Hanifah: "Aku tidak akan sekali-kali pergi untuk melakukan hal itu, meskipun akan menyebabkan diriku terbunuh karenanya". Setelah itu, ia pergi menghadap al-Mansur dan "Aku berkata kepadanya secara terang-terangan: tidak dapat melakukan apa yang Anda perintahkan. Jika apa yang telah kulakukan di masa lalu merupakan ketaatan kepada Allah dalam mendukung ke- kuasaan Anda, maka aku telah mengambil bagianku yang sebesar-besarnya. Tetapi bila hal itu merupakan maksiat, maka cukupkanlah bagiku apa yang telah kulakukan". Mendengar itu, al-Mansur menjadi amat marah dan memerintahkan agar ia dipenjarakan.


Seperti abu Hanifah, Malik juga pernah memberikan fatwa agar orang mendukung Al-Nafs al-Zakiyah. Ia dihukum oleh walikota Madinah, Ja'far bin Sulaiman. Ia menderanya dengan menarik tangannya sehingga tulangnya patah. Tetapi kelak, ia mendapat perlakuan istimewa dari al-Mansur. Perlakuan istimewa ini dimanfaatkannya untuk menghindarkan kezaliman pada umat Islam.


Ja'far al-Shadiq tidak pernah bekerja sama dengan penguasa yang zalim. Tetapi, ia membolehkan pengikut-pengikutnya dengan syarat-syarat yang ketat. Ketika ia ditanya tentang seorang pengikutnya yang menjadi pejabat, ia bertanya lagi: Apa yang dilakukannya untuk saudara-saudaranya? Abu Bashir berkata: Tidak ada sama sekali. Imam Ja'far berkata: Celakalah orang yang memasuki sesuatu yang tidak layak, kemudian tidak mendatangkan kebaikan bagi saudara-saudaranya.


Khulashah

Sejarah Islam adalah sejarah pertentangan abadi antara das Sollen, yakni kepemimpinan politik yang adil, dengan das Sein, yakni pelaksanaan kepemimpinan yang adil ini. Zaman sesudah Rasulullah saw. memberikan contoh para sahabat berkenaan dengan pola-pola penegakkan kepemimpinan yang adil ini. Paling tidak ada lima pola: dukungan aktual dengan perlawanan konseptual, perlawanan pasif, kontrol sosial lewat aksi penyadaran, pernyataan sikap, dan kerja sama yang konstruktif. JR wa mā taufīqī illā billāh, 'alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb


Allâhumma shalli 'alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ'atahum

***

KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).

76 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page