top of page
  • Writer's pictureAkhi

KEWAJIBAN TERHADAP RASULULLAH


Kitab Perjanjian

Al-Quran Al-Karim yang diturunkan kepada Rasulullah Saw untuk disampaikan kepada kita, sebetulnya adalah kitab perjanjian. Al-Quran sendiri sering menyebut kata perjanji­an itu. Hanya kita tidak menamai kitab suci kita, dengan nama perjanjian, kita menyebut kitab suci kita dengan “bacaan”, Al-Quran. Kitab suci terdahulu masih disebut oleh para peng-ikutnya dengan istilah perjanjian. Misalnya orang-orang Kristen menyebut Taurat sebagai Perjanjian Lama dan Injil mereka sebut sebagai Perjanjian Baru. Lepas dari persoalan apakah itu asli atau tidak, tapi mereka masih menyebut kitab sucinya itu kitab Perjanjian.


Al-Quran kita sebut Perjanjian juga, antara kita dengan Allah Swt, antara pencipta dengan makhluknya. Al-Quran juga sering menyebut kata perjanjian itu. Dalam bahasa Al-Quran per­janjian itu disebut ‘Ahd, misalnya dalam ayat awfû bi ‘ahdi, ûfi bi ‘ahdikum (Penuhilah oleh kamu perjanjian-Ku, nanti aku laksa­nakan perjanjianmu. Penuhilah janji, karena janji itu akan dimin­tai pertanggung- jawabannya) (Q.S. Al-Baqarah, 2:40). Bahkan Al-Quran men­ceritakan bahwa perjanjian ini pertama kali dirumuskan di alam Dzur. Jauh sebelum kita lahir ke dunia ini, ketika kita berada di alam arwah, kita mengikatkan perjanjian ini dengan Allah Swt. Karena Al-Quran ini Kitab Perjanjian, maka di dalam Al-Quran dijelaskan beberapa hal. Pertama, siapa yang berjanji, yaitu pihak kesatu dan pihak kedua. Pihak kesatu punya hak dan kewajiban, begitupun dengan pihak kedua.

Jadi, biasanya perjanjian itu dirinci, disebutkan siapa yang berjanji yaitu pihak kesatu dan pihak kedua. Kemudian hak-hak dan kewajiban-kewajiban masing-masing dan apa yang terjadi kalau perjanjian itu dilanggar. Al-Quran juga begitu, seluruh surat-surat dan ayat-ayat Al-Quran merupakan perjanjian, misalnya: kita lihat QS Ar-Rahman.

Ar-Rahman itu pihak pertama, yaitu Allah Swt yang membuat perjanjian dengan kita. Kemudian Allah menyebutkan kewajiban-kewajiban Allah kepada manusia yang menjadi pihak kedua, yaitu bahwa Allah menciptakan dia, mengajarkan Al-Quran, mengajarkannya kemampuan berbicara, berfikir, menjadikan matahari dan bulan yang semuanya tunduk kepada Tuhan, juga gemintang dan pepohonan. Setelah itu Tuhan menyebutkan, seakan-akan Aku sudah melaksanakan kewajiban-kewajiban-Ku, kemudian apa kewajiban kamu (manusia), Ala tatghau fil mizan (hendaknya kamu jangan melewati batas, jangan melewati perjanjian ini, jangan langgar perjanjian ini). Kemudian Tuhan menjelaskan lagi kewajiban-Nya Allah hamparkan bumi bagi seluruh makhluk, di dalam bumi itu Tuhan ciptakan buah-buahan dan kurma-kurma dengan ma­yangnya yang terurai, biji-bijian yang mempunyai rasa dan harum tertentu, maka nikmat Tuhan yang mana yang kalian dustakan?” (Q.S. Al-Rahman, 55:10-13)

Surat Ar-Rahman itu semua berisi, secara bersambung, hak dan kewajiban Allah serta hak dan kewajiban manusia. Semua surat begi­tu, bahkan surat yang paling pendek sekalipun, termasuk di antara­nya surat Al-Fatihah. Pada surat Al-Fatihah, seluruh perjanjian kita dengan Allah disingkatkan dalam Ummul Kitab, artinya induk dari seluruh Al-Quran, abstrak dari seluruh Al-Quran. Abstrak itu ialah singkatan yang menghimpun seluruhnya. Disebutkan dalam Al-Fatihah, pihak pertama yang membuat perjanjian dengan kita, yaitu Allah Swt dengan segala sifat-sifat-Nya dan dengan segala kewajibannya kepada kita. Bis­millahirahman dan seterusnya sampai maaliki yaumiddin, adalah kewajiban Allah pada kita. Pertama, nama yang membuat perjanjian pihak pertama adalah Allah. Kemudian di antara kewajiban Allah kepada kita adalah Ar-Rahman Ar-Rahim, Allah menyayangi kita, itu adalah kewajiban-Nya. Dalam Al-Quran disebutkan Kataba ala naf­sihi rahmah (Q.S. Al-An’am, 6:12)

Tuhan mewajibkan kepada diri-Nya menyayangi kamu. Jadi itu kewajiban Allah kepada kita. Kemudian, Tuhan menganu­grahkan kenikmatan kepada kita, dengan memelihara seluruh alam semesta ini, dan akan mengadili kita dengan adil pada hari pembalasan.

Lalu disebutkanlah kewajiban kita kepada Allah. Sing­katnya kewajiban kita pada Allah ada dua, yaitu Iyyakana budu wa iyya kanasta’in. Yang pertama ialah beribadah kepada-Nya, itu adalah hak Allah kepada kita dan kewajiban kita kepada Allah Swt. Termasuk kewajiban kita kepada Allah, yaitu meminta tolong kepada-Nya, meminta bantuan-Nya. Kata ibadah ini juga berarti kita taat. Ketaatan kepada Allah adalah kewajiban kita kepada-Nya. Ibadah dalam arti khusus adalah membaca do’a dan shalat, sedangkan ibadah dalam arti luas adalah ketaatan kepada Allah dan itu kewajiban utama kita kepada Allah. Bahkan Allah menciptakan kita untuk beribadah kepada-Nya, wamâ khalaqtul jinna wal insa illâ liyâbudûn.

Imam Ali bin Husayn as berkata: Adapun hak Allah yang agung adalah engkau itu beribadah kepada-Nya, janganlah kamu musyrik kepada-Nya sedikit pun. Kalau engkau telah melakukan ibadah itu dengan ikhlas, maka kewajiban Allah terhadap diri-Nya ialah Allah akan mengurus urusan kamu di dunia dan di akhirat. Allah akan cukupi keperluan kamu di dunia dan di Akhirat dan Allah akan menjaga kamu dengan apa yang kamu sukai. Jadi disebut­kan juga kewajiban kita dan Allah Swt. Hak Allah yang paling besar ialah kita menyembah-Nya dan hak kita ialah Allah mencukupi keperluan kita di dunia dan di akhirat, menjaga kita, dan memeli­hara kita seperti yang kita inginkan.

Ibadah adalah kewajiban pertama kita yang paling besar kepada Allah Swt. Allah dalam perjanjian-Nya tidak meminta apa-apa kepada kita, tidak meminta imbalan apa-apa. Allah hanya memer­intahkan kita beribadah kepada-Nya. QS Adz-Dzariyat 56-57, Allah Swt berfirman: “Aku tidak ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku, Aku tidak meminta dari mereka itu rizki, Aku juga tidak minta mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah adalah pemberi rizki yang memiliki kekuasaan yang perkasa” (Q.S. Al-Dzariyat, 51:56 dan 57)

Kewajiban kita yang kedua adalah bertawakal kepada-Nya, kita harus bergantung kepada-Nya. Kita harus melepaskan diri dari ketergantungan kepada siapa pun dan harus menggantungkan diri kita kepada Allah saja. Karena itu orang-orang sufi sering menga­takan supaya kita sampai kepada ketergantungan yang sempurna kepada Allah, maka setiap orang yang sedang merintis jalan mendekati Allah Swt di pertengahan jalan akan diuji Tuhan berkali-kali. Yaitu, akan dibuatnya mende­rita karena ketergantungan selain kepada Allah. Jadi kalau orang ini sangat cinta kepada anaknya, sangat tergantung hidupnya kepada anaknya, anak yang dicintainya itu akan diambil Tuhan supaya dia kembali bergantung kepada-Nya. Begitu pun jika ada orang yang sangat tergantung kepada suaminya, kalau Tuhan menghendaki dia sampai kepada puncak tawakal yang tinggi, Tuhan akan mengambil suaminya supaya putuslah ketergantungan dia kepadanya dan hanya bergantung kepada Allah Swt. Kalau orang itu kebahagiaan dan penderitaannya sangat bergantung kepada harta, sehingga harta itu yang menjadi kesibukannya saja setiap hari, jika Tuhan ingin mendekatkan orang itu kedekat-Nya dan kehari­baan-Nya, agar orang itu menjadi pencinta Allah yang sejati, maka diberinya kesulitan dalam urusan harta bendanya. Diberinya keku­rangan sehingga dia datang kepada Allah dan bergantung lagi kepada-Nya, lalu dia mengucapkan Iyyâ kana’ budu wa iyyâ kanas­ta’în, kepada-Mu kami beribadah dan kepada-Mu kami meminta tolong. Kemudian Allah jelaskan apa sanksinya kalau orang itu tidak menjalankan kewajibannya. Apa untungnya kalau kita mengikuti perjanjian itu? Disebutkan kalau kita men­gikuti perjanjian itu kita akan diberi petunjuk oleh Allah Swt, kita ditempatkan kepada golongan orang-orang yang diberi kenikma­tan. Apa yang terjadi kalau kita melanggar perjanjian itu? Kita akan dimurkai Allah Swt dan kita termasuk orang yang sesat. ghairil maghdubi alayhim Jadi sekali lagi Al-Quran adalah Kitab Perjanjian kita dengan Allah Swt, tetapi di dalam Al-Quran juga dijelaskan bukan hanya hak dan kewajiban kita terhadap Allah tapi hak dan kewajiban kita terha­dap sesama manusia, hak dan kewajiban kita terhadap para Nabi, hak dan kewajiban kita terhadap para Imam, dan terhadap makhluk Allah yang lainnya.

Saya ingin membicarakan selain hak-hak kepada Allah Swt yang tercantum dalam Iyyâ kana’ budu wa iyyâ kanasta’în, juga hak-hak Nabi kepada kita dan hak-hak kita kepada Nabi. Dengan kata lain apa kewajiban Nabi kepada kita dan apa kewajiban kita terhadap Nabi Saw. Mungkin kita akan banyak membicarakan kewajiban kita kepada Nabi. Kewajiban Nabi

Kewajiban Nabi yang pertama ialah menyampaikan risalah Allah Swt kepada kita, menyampaikan bimbingan Allah kepada kita. Ketika Nabi Adam dan Siti Hawa diusir dari surga, kemudian Iblis meminta tempo kepada Tuhan agar diizinkan untuk menyesatkan umat manusia, Tuhan berkata: “Kami akan kirim kepada kamu semua, Kami akan kirim para Rasul”. Dan sepanjang sejarah, Tuhan kirimkan para Rasul. Kewajiban Rasul Saw sama seperti kewajiban para nabi sebelum­nya, yaitu membawa manusia ke jalan Allah Swt dan membawa risalah.

Karena itu sebelum Nabi meninggal dunia, beliau kumpul­kan umatnya di sebuah tempat pada tanggal 18 Dzulhijah. Ketika pulang dari ibadah haji Rasul sampai kepada sebuah Oase yang bernama Ghadir Khum. Di situ Rasul mengumpulkan para sahabat, dan yang pertama kali Rasul tanyakan kepada seluruh sahabat, yang berjumlah ratusan ribu itu, ialah pertanyaan mengenai Hal ba­laghtu, kemudian kepada Allah Swt, Rasulullah Saw bersabda: “Ya Allah apakah aku sudah menyampaikan risalah yang Engkau perintah­kan kepadaku”. Semua sahabat berkata: “Betul engkau sudah menyam­paikan risalah itu”. Kalau kita ziarah ke makam Rasulullah Saw yang sangat dianjurkan di bulan Maulid, sambil mengenang Nabi kita melakukan ziarah, walaupun dari tempat yang sangat jauh. Di antara do’a dalam ziarah kepada Nabi Saw ialah: “Ya Rasulullah, engkau sudah menyampaikan risalah, aku bersaksi engkau sudah menyampaikan risalah, engkau bahkan sudah disakiti dalam menyam­paikan risalah itu”.

Rasulullah menderita karena menyampaikan risalah. Sama seperti menderitanya orang yang mau membantu orang lain, tapi orang yang mau kita bantu itu malah tidak mau dibantu, bukan saja tidak mau dibantu malah orang itu mau membunuh orang yang mau membantunya. Seperti itulah penderitaan Rasulullah Saw. Semua Nabi dalam Al-Quran berkata: “Sudah aku sampaikan kepada kalian risalah Tuhanku”.

Kewajiban Nabi, khususnya Rasulullah Saw adalah juga memberikan syafaat kepada umatnya, kepada yang dicintainya dan kepada yang mengikutinya. Dalam satu hadits Nabi Saw bersabda: “Syafaatku aku khususkan kepada umatku”. Jadi syafaat Rasulullah khusus diberikan kepada umat-nya, artinya yang mendapat syafaat mestilah umat Rasulullah Saw. Dengan kata lain yang mendapat sya­faat pastilah seorang mukmin. Orang kafir tidak akan mendapat syafaatnya. Ada hadits dalam Shahih Muslim dan Shahih Bukhari yang terkenal sebagai hadits Al-Dhahdhah, Nabi berkata: “Aku memberi syafaat kepada pamanku Abu Thalib, dia ditarik dari neraka yang paling bawah sampai ke atas, sehingga Abu Thalib hanya disiksa sampai ke mata kakinya saja, tapi otaknya bergolak karena panas­nya”. Ada orang yang berkata bahwa itu menunjukkan Abu Thalib kafir, karena dimasukan ke dalam neraka. Tapi itu juga dalil bahwa Abu Thalib muslim karena dia mendapat syafaat Rasulullah Saw, karena syafaat Rasulullah hanya diberikan kepada umatnya. Jadi itu dalil, bahwa sekiranya hadits itu betul, itu menunjukkan tentang keisla­man Abu Thalib, karena yang dimasukkan ke neraka bukan hanya orang kafir, orang Islam juga.

Jadi, kewajiban Nabi ialah memberikan syafaat kepada kita. Dan karena itu, kita dianjurkan memohon syafaat Rasulullah Saw. Bagaimana kita mengharapkan syafaat Rasulullah Saw, kalau kita tidak pernah meminta kepadanya. Walaupun Nabi itu penuh kasih sayangnya, sehingga mungkin saja ia memberi syafaat kepada orang-orang yang tidak mau meminta syafaat kepadanya, karena besarnya kasih sayang Nabi kepada kita.

Kewajiban Nabi juga adalah menyayangi kita: Sudah datang kepada kalian seorang Rasul, yang sedih hatinya melihat penderitaan kalian, yang sangat senang kalau kalian memperoleh kebahagiaan, yang sangat pengasih dan sangat penyayang kepada kaum mukminin (Al-Taubah, 9:128). Boleh jadi Rasulullah akan memberi syafaat kepada orang yang tidak pernah meminta syafaat karena kasih sayangnya. Hanya orang itu keterlaluan, dia tidak pernah merasa ingin meminta syafaat kepada Rasulullah Saw. Mungkin dia merasa dirinya paling shaleh, sehingga tidak memerlu­kan lagi syafaat Rasulullah atau dia merasa sudah pasti masuk surga, karena itu tidak memerlukan Rasulullah Saw.

Apa ada orang yang tidak pernah meminta syafaat Rasulullah di kalangan kaum muslimin? Ada, misalnya orang yang mengatakan bahwa Rasulullah tidak bisa memberikan syafaat. Yang bisa memberi syafaat itu hanya Allah saja. Juga orang-orang yang tidak mau membaca do’a tawasul, karena dalam do’a tawasul ada yang berbunyi ‘Wahai Rasulullah, wahai nabi yang membawa rahmat, kami ini memo­hon syafaat kepada-mu, kami tawasul kepadamu, wahai yang mulia di sisi Allah, berilah syafaat kepada kami di sisi Allah”. Saya kira Rasulullah Saw mendengar rintihan umatnya yang meminta syafaat, apalagi kalau diucapkan terus-menerus. Kewajiban Rasulullah Saw yang lain ialah meminta ampunan untuk kita. Kita minta juga Rasulullah untuk mendo’akan kita.


Kewajiban Kita

Kemudian kewajiban yang pertama kepada Rasulullah Saw adalah menaati Rasulullah Saw. Sebagaimana ibadah adalah kewaji­ban pertama kepada Allah, kewajiban pertama kita kepada Rasulul­lah Saw ialah menaatinya. QS Al-Hasyr : 7 “Apa yang dibawa oleh Rasulullah Saw, ambillah oleh kamu. Apa yang dilarang oleh Rasu­lullah Saw, tinggalkanlah. Bertakwalah kamu kepada Allah Swt, sesungguhnya Allah itu sangat berat siksanya”. Kita lihat apa sanksinya kalau kita tidak mentaaati Rasulullah Saw. Apa contoh­nya kita ini mentaati Rasulullah Saw itu, yaitu semua yang diper­intahkan Nabi, baik dalam urusan dunia dan urusan akhirat harus kita laksanakan.

Dahulu ada di antara sahabat yang berpendapat bahwa hanya perintah Nabi yang berkenaan dengan ibadah saja yang harus diikuti, kalau Nabi itu memerintahkan urusan keduniaan tidak harus diikuti. Jadi hal-hal yang berkenaan dengan dunia tidak harus diikuti, misalnya: Nabi mengangkat seorang pemimpin. Itu urusan dunia dan tidak harus diikuti. Pernah ada rombongan datang menemui Nabi Saw, meminta kepada Nabi agar menunjuk pemimpin untuk kelompok itu, tapi sebelum Nabi Saw menyampaikan siapa yang harus ditunjuk, Abu Bakar berkata: “sudah kita angkat saja Al-Aqra bin Hâbis”, Umar berkata: “Tidak, jangan dia yang diangkat, kita angkat saja Fulan Ibnul Fulan”. Kemudian mereka bertengkar di hadapan Nabi Saw sehingga turunlah ayat Al-Quran yang memperingatkan mereka. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya. Bertakwa-lah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengangkat suaramu di atas suara Nabi...” (Q.S. Al-Hujurat, 39:1-2) Sehingga katanya menurut riwayat, Umar bin Khatab setelah itu, kalau berbicara di hadapan Nabi ia berbicara seperti hampir berbisik, karena kuatir suaranya lebih tinggi dari suara Rasulul­lah Saw. Itu contoh bahwa ada sebagian di antara sahabat yang menduga bahwa hanya perintah Rasulullah yang berkenaan dengan ibadah saja yang harus diiikuti, perintah-perintah Rasulul­lah yang berkenaan dengan urusan keduniaan tidak usah diikuti. Pernah Nabi membuat perjanjian Hudaibiyah, sebagian sahabat protes tidak setuju dengan perjanjian yang dibuat oleh Nabi karena merasa terlalu mengalah kepada orang-orang kafir. Sampai ada salah seorang sahabat mengatakan: “Alaysa huwa Rasulullah?” Apa betul dia ini Rasulullah? Betul dia ini Rasulullah. Dia datang lagi kepada yang lain dan bertanya serupa, apa benar dia ini Rasulullah. Karena tidak yakin, dia datang sendiri kepada Rasulullah “Apakah benar engkau Rasulullah?” Benar, saya ini Rasulullah, kata Rasulullah. Tetapi orang itu tetap protes dengan pernyataan itu.

Bahkan pada waktu itu bukan saja urusan dunia yang ditolak oleh mereka, juga urusan ibadah. Waktu itu karena tidak jadi melakukan umrah, tidak jadi masuk ke kota suci Makkah, Rasulullah meminta para sahabat itu menggunting rambut mengakhiri ihram walaupun tidak sampai ke Makkah. Sahabat-sahabat tidak mau melaksanakan perintah nabi, mereka tinggal di kemahnya masing-masing. Tidak ada yang mau keluar untuk menggunting rambut. Akhirnya Ummu Salamah (istri Nabi) berkata: ”Ya Rasulullah, perlihatkan saja kepada mereka”, lalu Rasulullah menggunting rambutnya. Barulah kemudian semua meng­gunting rambut juga. Jadi kewajiban kita ialah mentaati Rasulul­lah Saw, dalam segala perintahnya, baik yang bersangkutan dengan urusan dunia maupun yang bersangkutan dengan urusan ibadah. Jadi, kalau Rasulullah mengangkat pemimpin buat kita sepeninggalnya, maka kita pun harus ikuti perintah itu, walaupun itu tidak terma­suk urusan ibadah. Salah satu tanda kita mengikuti Rasulullah Saw ialah kita tidak boleh bimbang kalau sudah diputuskan oleh Allah dan Rasul-Nya, kita tidak boleh ragu-ragu. QS Al Ahzab : 36 “Tidak boleh seorang muslim, laki-laki maupun perempuan, kalau Allah dan Rasul-Nya sudah memutuskan urusannya, lalu mereka punya pilihan mereka sendiri, siapa yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka dia sudah sesat, dengan sesat sebenar-benarnya” . Jadi artinya tidak ada hak kita untuk mengajukan pendapat sendiri kalau Rasulullah sudah memutuskan. Tidak boleh kita mengambil jalan yang lain kalau Rasulullah Saw sudah menunjukkan-nya dan jangan merasa bahwa pendapat kita lebih baik dari pada tuntu­nan Rasulullah Saw.

Dahulu, pada tanggal 18 Dzulhijjah itu, ketika Rasulullah berbicara di hadapan kaum muslimin waktu itu dan kemudian mengangkat Imam Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin sepening­galnya, dengan mengatakan: “Man kuntu maulahu, fa hadza ‘Aliyyun maulahu” siapa yang mengangkat aku sebagai pemimpinnya, maka inilah Ali diangkat juga sebagai pemimpinya. Sampai ke Madinah ada orang Islam mendatangi Rasulullah Saw dan berkata: “Muhammad, engkau ini sudah memperoleh kemenangan, engkau ini sudah jadi penguasa di seluruh Jazirah Arabiah. Engkau cantumkan namamu di dalam adzan. Rupanya engkau tidak puas juga, sekarang engkau angkat kemenakan­mu sebagai pemimpin sepeninggalmu, apa ini betul dari Allah? Kemudian Rasulullah berkata: ”Ini betul perintah dari Allah Swt”. “Kalau benar itu perintah dari Allah Swt, saya tan­tang adzab Tuhan”. Waktu itu juga, Halilintar menyambarnya dan membelah tubuhnya menjadi dua bagian. Kata sebagian ahli tafsir, itulah yang menjelaskan ayat Al-Quran, “Seseorang menantang untuk mendapatkan adzab dari Allah Swt. Bagi sang kafir adzab itu tidak bisa dihindarkan olehnya” (Q.S. Al-Ma’arij, 70:1). Itu berkenaan dengan orang-orang yang ragu-ragu menerima keputu­san Rasulullah Saw.

Kewajiban yang kedua adalah mencintai Rasulullah Saw. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda: “Tidak beriman kamu, sebelum aku lebih kamu cintai dari dirimu, keluargamu, dan seluruh umat manusia”. Kita mungkin mencintai Rasulullah walaupun mungkin kita lebih cinta diri kita, keluarga kita, harta kita. Tapi ada bukti-bukti bahwa kita masih cinta kepada Rasulullah Saw. Misalnya, kalau ada yang menghina Rasulullah Saw, mencemoohkannya, kita marah. Itu pertanda bahwa masih ada sinar kecitaan kita kepada Rasulullah Saw. Kalau ada orang yang mendengar Nabi dihina, tapi dia tidak tersinggung sedikitpun, itu pertanda sudah hilang seluruh unsur kecintaan dalam dirinya kepada Rasulullah Saw. Dulu ketika Salman Rusdhie menghina Rasul, seluruh dunia Islam marah (sebagian besar). Sehingga kata Annemarie Schimel yang menulis buku Dan Muhammad Utusan Allah , “ Di dunia Islam, anda boleh menghina Tuhan, orang-orang tidak akan marah kalau Tuhan dicemoohkan. Tapi orang Islam akan marah kalau Rasulullah dihinakan atau direndah­-kan”. Itu pertanda bahwa kita masih memiliki sinar kecintaan kepadanya.

Saya akan bacakan beberapa hadits tentang kecintaan sahabat-sahabat Nabi kepada Rasulullah. Dari Amirul Muminin Ali bin Abi Thalib as: “Seorang laki-laki Anshar datang menemui Rasulullah Saw, ia berkata: Ya Rasulullah, saya tidak berpisah dengan eng­kau. Kadang-kadang saya sudah masuk ke rumah, saya ingat engkau. Lalu saya tinggalkan barang-barang saya, saya datang menemuimu, saya pandang wajahmu dengan penuh kecintaan kepadamu, lalu aku ingat nanti pada hari kiamat engkau dimasukan ke surga yang tinggi dan aku ditempatkan di tempat yang lain”. Turunlah ayat ini, An-Nisa:69 “Barang siapa taat yang kepada Allah dan Rasul-Nya, maka dia akan digabungkan dengan orang-orang yang diberi nikmat, yaitu para Nabi, para shidiqin, para syuhada, para sholihin dan alangkah indahnya bergabung dengan mereka”. Kemudian Nabi membaca-kan ayat ini kepada orang itu, dan meng-gembirakannya, bahwa kalau kamu mencintai Nabi, kamu akan digabungkan beserta Nabi.

Dari Anas bin Malik RA: “Datang seorang penduduk kampung, kami keheranan karena penduduk kampung datang menemui Nabi, kemudian bertanya kepada Nabi Saw: “Ya Rasulullah kapan kiamat itu akan tiba?”. Karena waktu shalat sudah datang, maka Rasulullah tidak segera menjawabnya namun segera melakukan shalat. Setelah beliau shalat, beliau berkata: “Mana itu, orang yang bertanya tentang hari kiamat?” “Saya, Ya Rasulul­lah”, kemudian Rasulullah berkata: “Apa yang kamu siapkan untuk hari kiamat?”. Orang itu berkata, “Demi Allah, aku tidak memper­siapkan amal shalat atau shaum yang banyak, kecuali aku ini mencintai Allah dan Rasul-Nya”. Nabi bersabda: ”Orang itu akan digabungkan dengan orang yang dicintainya”. Kata Anas bin Malik: “Aku belum pernah melihat orang Islam begitu bahagia setelah masuk Islam, seperti ketika mendengar pernyataan Nabi, bahwa siapa yang mencintai Nabi, akan digabungkan bersama Nabi pada hari kiamat”. Diriwayatkan dari Abi Abdillah as. Dia berkata: “Ada seseorang di Madinah yang pekerjaannya menjual minyak. Dia sangat mencintai Rasulul­lah, dengan kecintaan yang luar biasa. Apabila dia bermaksud memenuhi keperluannya, dia belum pergi sebelum, memandang wajah Rasulullah. Dia dikenal di kalangan sahabat, sebagai tukang menatap Rasulullah, apabila dia datang dia mau berlama-lama dengan Rasulullah Saw dan memandangnya, sampai pada suatu hari masuk­lah dia menemui Rasulullah Saw, lalu Rasulullah pun bersamanya berlama-lama, sampai dia puas memandang wajah Rasulullah, setelah itu dia pergi. Tapi tidak lama kemudian, dia datang kembali menemui Rasulullah. Ketika Rasulullah melihatnya, buru-buru Rasulullah balik lagi. Rasulullah memberi isyarat dengan tangannya supaya dia duduk, lalu duduklah orang itu di hadapan Nabi, lalu Nabi bertanya: ”kenapa kamu lakukan hal ini yang tidak pernah kamu lakukan sebelumnya?”. Lalu dia berka­ta: ”Ya Rasulullah, demi yang mengutus engkau dengan membawa kebe­naran sebagai Nabi, ketika tadi aku pergi hatiku dipenuhi kenang-an kepadamu, sehingga aku tidak bisa melakukan pekerjaan apapun karena teringat kepadamu. Karena itu aku buru-buru kembali kepa­damu. Lalu dia minta izin kepada Rasulullah untuk memandang wajah­nya lagi. Rasulullah mendoakannya dan mengatakan yang baik-baik untuknya.

Setelah peristiwa itu Rasulullah Saw tidak melihat lagi orang itu. Ketika Rasulullah tidak melihatnya, Rasulullah bertanya: “Kemana dia?” dikatakan kepada Nabi “Ya Rasulullah kamipun tidak melihat dia sudah berhari-hari”. Rasulullah mengambil sandalnya diikuti oleh para sahabatnya. Rasulullah berangkat ke pasar ke tempat penjual minyak itu. Ternyata di toko orang itu tidak ada seorangpun. Beliau bertanya kepada tetangganya di situ. Orang itu berkata: “Ya Rasulallah, pedagang minyak itu telah meninggal dunia”. Orang-orang memberi komentar tentang dia “Ya Rasulullah orang ini terkenal di antara kami sebagai pedagang yang jujur, terpercaya, dan memelihara amanah, hanya ada satu saja”. Lalu Rasulullah berkata: ”Apa yang satu itu”. Mereka berkata: “dia ini senang perempuan (bukan melakukan maksiat)”. Lalu kata Rasulullah: “Sungguh dia ini sangat mencintaiku, sekiranya dia ini tidak jujur dalam dagangnya, Tuhan akan mengampuni-nya karena kecintaannya kepadaku”.


Minggu yang lalu kita berbicara tentang hak-hak Rasulullah Saw. kepada kita atau dengan perkataan lain, kewajib-an kita terhadap beliau, kalau kita menerima beliau sebagai junjungan kita. Saya ingin melanjutkannya dengan membacakan kisah, yang diceritakan Jalaluddin Rumi dalam Matsnawi, kitab yang kelima. Sebelumnya, saya ingin memperkenalkan siapa Jalaluddin Rumi dan apa Matsnawi ini. Jalaluddin Rumi adalah seorang penyair sufi yang terkenal. Dia lebih dikenal sebagai Maulana, sehingga dahulu ketika saya di Iran, banyak orang Iran memanggil saya Maulana, karena nama saya mengingatkan kepada Jalaluddin Rumi. Sama-sama berinisial JR. Dia mendirikan sebuah tarekat yang jejak-jejaknya sampai sekarang masih bisa kita ikuti.


Orang yang disebut Dar­wisy, mengikuti tarekat Jalaluddin Rumi dan biasanya mereka melakukan riyadhah-riyadhah mereka dengan membacakan puisi-puisi dan menari-nari berkeliling. Setiap setahun sekali, para pengikut Jalaluddin Rumi ini berkumpul di Konya, Turki. Mereka bisa me­nari-nari selama berjam-jam, berkeliling-keliling seperti gerakan seluruh alam semesta, atau seperti gerakan orang yang thawaf. Itu dilakukan berjam-jam tanpa rasa lelah.

Salah seorang di antara ahli koreografi Indonesia, Roy Julius Tobing pernah terpesona dengan keindahan mistik dari tarian kelompok Rumi ini. Ketika ia menonton itu, seperti sebuah sinar ruhaniah masuk ke dalam hatinya. Ketika ia pulang ke Indonesia, ia menjadi seorang muslim yang shaleh dan dia sampai sekarang sedang berusa­ha untuk mempersembahkan karya besarnya dalam koreografi untuk Allah Swt., terinspirasi oleh para penari dari tarekat Rumi.

Jalaluddin Rumi juga menulis banyak puisi di dalam bahasa Parsi, walaupun dianggap orang Turki oleh orang Turki, orang Iran oleh orang Iran, orang Kurdi oleh orang Kurdi. Orang-orang besar itu biasanya ketika hidup, diusir oleh semua bangsa. Setelah dia mati, semua bangsa ingin mengakuinya. Misalnya Jamaluddin Al-Afghani. Dia diusir dari tanah kelahirannya. Dia tidak disukai oleh beberapa orang penguasa di zamannya. Dia pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Setelah ia meninggal dunia di Turki, orang Afghan menganggap dia sebagai orang Afghan. Orang Iran menganggap dia sebagai orang Iran, sehingga sesudah namanya disebut Jamaluddin Astarabadi. Orang Turki juga menyebutnya orang Turki, karena kuburannya sampai sekarang ada di Turki.

Seperti itulah Jalaluddin Rumi. Salah satu keistimewaannya ini, dia menceritakan tentang perjalanan ruhaniah seorang sufi dengan puisi-puisinya. Yang paling terkenal di antara kumpulan puisinya adalah Matsnawi. Terdiri dari enam jilid. Rumi ini pernah terke­san dengan tulisan Fariduddin Al-Ahâr, yaitu Manthiq Al-Thayr, yang menceritakan perjalanan ruhani dengan cerita serombongan burung. Kemudian Rumi menulis puisi-puisinya di dalam bentuk cerita. Kata Nicholson, yang menghabiskan waktu­nya untuk berspesialisasi dalam karya-karya Rumi, dalam kumpulan Matsnawi ini (disebut Matsnawi karena satu baitnya itu ada dua baris) terkumpul nasihat ruhaniah, humor, ironi, sarkasme, dan metafora-metafora yang sangat tinggi. Ada seorang sufi perempuan dari Barat yang kebingungan ketika dia membaca Matsnawi pertama kalinya. Dia merasa tulisannya itu tidak sistematis. Dia tidak berhasil menangkap isi buku Matsnawi. Tapi setelah dia berulang-ulang membacanya, kemudian ia sudah mengikuti riyadhah-riyadhah Tashawuf, dia mulai memahaminya. Sekarang Matsnawi menjadi satu perbenda-haraan sumber hikmah yang luar biasa.

Matsnawi ini belum diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, kecuali kutipan-kutipannya saja. Yang saya pegang saat ini pun terjemahannya dalam Bahasa Inggris, dan saya jamin kalau TOEFL anda tidak mencapai 600, anda akan sulit memahami kata-kata Inggris yang dipergunakan untuk menerjemahkan karya Matsnawi ini. Saya juga heran kenapa dia harus mencari kata-kata sulit. Mungkin dia ingin memelihara aroma klasik dari Matsnawi pada teksnya yang asli dalam bahasa Persia.

Terjemahannya hampir literal, dan ketika dia tidak bisa menerjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dengan bagus, Nicholson menerjemahkannya ke dalam Bahasa Latin. Jadi, kalau nanti saya baca terjemahan ini kemudian sampai kepada Bahasa Latin, Bahasa Latinnya ini tidak saya terjemahkan. Perta­ma, karena saya tidak mengerti. Kedua, karena tampaknya Nicholson juga mau menyembunyikan ketidakmengertiannya di dalam bahasa klasik. Itulah Matsnawi.

Sekarang ini, ada jurnal Tashawuf internasional. Namanya Sufi Journal, yang dalam setiap terbitannya selalu mengutip kisah-kisah yang diceritakan Rumi dalam Matsnawi-nya, tapi diceri­takan dalam bahasa yang sederhana. Saya tidak akan mener-jemahkan­nya dalam bahasa yang sederhana. Saya percaya kepada anda untuk memahami cerita ini. Mudah-mudahan bisa, saya baca:

“Orang-orang kafir menjadi tamu Rasulullah. Mereka datang ke Mesjid ba’da Maghrib sambil berkata, “Kami datang ke sini sebagai tamu, mengharapkan keramah-tamahan yang punya rumah. Duhai Baginda yang menjadi penghibur semua penduduk dunia ini, kami ini orang yang kelaparan, datang dari tempat yang jauh. Sebarkan sebagian berkahmu dan sinarilah kami.”

Lalu Nabi Saw. berkata kepada sahabat-sahabatnya, “Para sahabatku, bagilah tamu-tamu ini di antara kalian, karena kalian dipenuhi aku dan dipenuhi dengan tabiatku, sebagaimana seluruh tentara dipenuhi dengan diri raja. Sehingga mereka mau menarik senjata atas nama raja melawan musuh-musuhnya. Karena kemarahan rajalah kamu menarik pedang, kalau bukan karena kemarahan raja, mengapa kamu mau melawan saudara kamu sendiri?. Dari bayangan kemarahan raja, kamu serang saudaramu yang tak bersalah dengan pedangmu. Raja adalah satu jiwa dan seluruh armada dipenuhi dengan dirinya. Ruh seperti air dan tubuh kita ini seperti hamparan dasar sungai. Jika air dari ruh raja itu manis, maka seluruh hamparan sungai dipenuhi dengan air yang manis, karena hanya hukum rajalah yang berlaku kepada para peng­ikutnya, seperti itulah kekuasaan ....

Setiap sahabat kemudian memilih seorang tamunya, di antara tamu-tamu itu ada seorang kafir yang tubuhnya sangat besar sehingga tak seorang sahabat pun mengambil-nya.

Jadi tingga­lah ia di Mesjid, seperti ampas tinggal di cangkir kopi. Ketika ia ditinggalkan oleh semua orang, Al-Musthafa mengambilnya. Di antara ternak milik Al-Musthafa, ada tujuh kambing yang selalu memberikan air susu dan kambing-kambing itu disediakan di dekat rumah untuk diambil air susunya sebagai persiapan menghadapi waktu makan.

Raksasa besar putra Gusy dari Turki itu memakan habis roti dan makanan yang lain, dan susu dari tujuh ekor kamb­ing itu. Seluruh penghuni rumah marah, karena mereka meng-inginkan susu kambing itu. Ia membuat perut-nya yang rakus seperti sebuah drum (tong). Ia memakan habis makanan untuk 18 orang. Pada waktu tidur ia pergi masuk ke kamarnya dan duduk di situ, kemudian pembantu dengan marah menutup pintunya.


Pembantu itu mengikatkan kunci pintu dari luar karena ia marah kepadanya. Menjelang subuh orang kafir ini didesak oleh kebutuhan alamiahnya dan perutnya sakit.

Ia meninggalkan tempat tidurnya menuju pintu, meletakan tangannya di atas gerendel pintu dan menemukan pintu itu terkunci. Orang yang cerdik ini menggu­nakan berbagai alat untuk membuka pintu, tetapi kunci pintu itu tetap tak terbuka. Dorongan alamiahnya makin mendesak dan kamar itu sangat sempit. Ia berada di dalam penderitaan yang tidak ada obatnya dan kebingungan. Ia membuat gerakan-gerakan kecil dan merangkak untuk bisa tertidur. Dalam ngantuk-nya ia bermimpi bahwa ia berada di sebuah tempat yang terasing, karena tempat asing itu ada dalam pikirannya, mulailah ia masuk ke dalam tidurnya. Tanpa terasa kemudian orang kafir itu mengeluarkan kotoran di rumah. Ketika terbangun ia menangis, “Celakalah daku”. Ia menangis seperti tangisan orang-orang kafir di dalam kuburan. Ia menunggu sampai malam berakhir dan suara pintu terbuka sampai kepada telinganya, supaya ia bisa lari seperti melesatnya anak panah yang lepas dari busurnya. Supaya orang tidak melihat kehina-an yang sedang dideritanya.

(Cerita ini panjang, tapi saya akan memendekkannya).

Pintu terbuka, kemudian ia bisa melepaskan dirinya dari kesedihan dan deritanya. Pada waktu subuh, Al-Musthafa datang dan membuka pintu. Menjelang fajar ia berikan jalan keluar kepada orang yang sudah kehilangan jalan. Musthafa membuka pintu, dalam keadaan tersembunyi, supaya orang menderita itu bisa keluar tanpa rasa malu, bisa berjalan dengan penuh keberanian dan tidak melihat punggung atau wajah sang pembuka pintu. Mungkin Al-Musthafa ber­sembunyi di balik sesuatu atau Jubah Tuhan menyembunyi-kan, menu­runkan tirainya dari orang-orang kafir. Shibghatullah, celupan Allah, kadang-kadang tertutup dan tirai yang misterius menghalangi para pemandangnya, sehingga ia tidak melihat musuh di sampingnya. Kekuatan Tuhan lebih dari itu. Al-Musthafa melihat apa yang terjadi pada orang kafir di malam hari itu, tetapi perintah Tuhan menahannya untuk tidak segera membuka pintu, sebelum derita itu dialami oleh orang kafir. Sebelum ia jatuh kepada kesusahan dan rasa malu, kalau bukan karena perintah Tuhan, Al Musthafa sudah lama membuka pintu itu.

Tetapi di balik kebijakan Tuhan dan perintah langit itulah, Al-Musthafa melakukan tindakannya, yang seakan-akan menunjukkan bahwa Al-Musthafa memusuhinya. Banyak sekali tindakan permusuhan itu sebe­tulnya persahabatan dan banyak sekali tindakan yang kelihatannya menghancurkan padahal menghidupkan.

Seorang sahabat yang suka men-campuri urusan orang, datang ke hadapan Nabi membawa kain yang sudah kotor, karena kotoran orang kafir itu, ia berkata: “Lihat, tamu anda sudah melakukan sesuatu yang buruk.” Tapi Nabi tersenyum dengan senyuman rahmatan lil ‘alamîn, beliau berkata: “Ambillah ember air ke sini, biarkan aku sendiri yang akan member­sihkannya dengan tanganku”.

Setiap sahabat meloncat dan berteriak: “Demi Tuhan, bukankah seluruh jiwa dan tubuh kami menjadi tebusan bagi engkau, biarlah kami yang akan membersihkan kotoran ini. Serahkan ini pada kami. Membersihkan kotoran ini adalah kerja tangan bukan kerja hati. Wahai La Amruk (panggilan Allah Swt kepada Nabi dalam QS 15:72, yang artinya demi kehidupanmu). Wahai zat yang Tuhan bersumpah dengan kehidupannya yang telah menjadikannya khalifah dan meletakannya di atas singgasana, kami ini hidup untuk berbakti kepada anda. Kalau anda sendiri melaku­kan kebaktian itu, lalu apa jadinya kami ini semua”.

Nabi berkata: “Saya tahu, ini peristiwa yang luar biasa dan saya punya alasan untuk mencucinya dengan tangan saya sendiri”.

Mereka menunggu seraya berkata: “Ini kata-kata Nabi, mesti ada misteri dan hikmah di baliknya”. Nabi Saw. sibuk membersihkan kotoran itu, dengan semata-mata memenuhi perintah Tuhan, bukan karena mengiku­ti secara taklid dan bukan mengharapkan pamrih, karena hatinya berkata: “Cucilah kotoran itu, karena di baliknya ada hikmah yang tersembunyi”. Orang kafir yang malang itu mem-punyai azimat sebagai kenang-kenangan. Ketika melihat bahwa azimatnya hilang, ia tertahan sebentar, berusaha untuk melarikan diri. Ia berkata: “Kamar tempat saya tinggal tadi malam mestilah menyimpan azimat saya”. Walaupun ia malu, kerakusannya akan azimat itu menghilangkan rasa malunya dan malu adalah sebuah Naga Perkasa yang bisa menyeret setiap orang.

Karena mencari azimat itu, berlarilah ia ke rumah Al-Musthafa dan tiba-tiba ia melihat Tangan Tuhan dengan penuh ceria membersih-kan kotoran itu dengan tangannya yang mulia, tidak jauh dari mata orang kafir yang jahat itu. Keinginan untuk mempe­roleh azimat hilang dari pikirannya, dan sebuah kegelisahan muncul dalam hatinya. Ia merobek-robek bajunya, ia memukul wajahnya dan dengan kedua tangannya. Ia membenturkan kepalanya ke dinding dan pintu. Dalam keadaan seperti itu darah mengalir dari hidung dan kepalanya.

Sang Pangeran Muhammad jatuh iba kepadanya. Ia berteriak pilu. Orang-orang berkumpul di sekitarnya, orang kafir itu menangis: “Hai Manusia dengarlah.” Ia pukul kepalanya sambil berkata: “Ah ... kepala yang tidak memiliki pemahaman.” Ia pukul dadanya seraya berkata: ”Ah ... dada yang tidak pernah mendapat cahaya.” Ia menghempaskan dirinya, ia berteriak: “Duhai Pangeran, yang memiliki seluruh bumi ini, bagian yang hina ini tak sanggup menahan rasa malu di hadapan-mu. Engkau yang karenamu diciptakan seluruh alam semesta ini, yang seluruh alam semes­ta pasrah di hadapannya. Aku ini hanya bagian kecil, seorang yang hina dina dan tidak mendapat petunjuk. Engkaulah sang keseluruhan, sekarang dengan penuh kerendahan hati, bergetar di hada­pan Tuhan. Sedangkan aku cuma noktah kecil, setiap hari menentang dan melawan Tuhan“.

Setiap saat ia menengadahkan wajah-nya ke langit, seraya berkata: “Saya tidak memilki wajah lagi untuk melihat kepada-Mu, wahai qiblah dunia ini.” Ketika ia bergetar gemetar, tak terpermanai di hadapan Al-Musthafa, Al-Musthafa menepukan tangannya, menenangkan dia, membujuknya, membuka mata­nya dan memberikan kepadanya pengetahuan.

***

Setelah itu Matsnawi bercerita bahwa kisah itu merupakan sebuah metafora. Pertama, bahwa Nabi Saw. datang untuk membersihkan kita dari kotoran-kotoran kita dengan tangannya yang mulia. Kedua, setelah kita mengeluarkan seluruh kotoran kita dan menyer­ahkan sepenuhnya kepada Rasulullah Saw. untuk membersihkannya, kita akan memperoleh kehidupan yang baru. Ketiga, bahwa setiap kehidupan rohaniah yang baru, harus disertai penderitaan dan tangisan.

Sekarang saya akan melanjutkan puisi Jalaluddin Rumi ini: “Kalau awan tidak menangis, mana mungkin taman-taman akan terseny­um. Kalau bayi tidak menangis mana mungkin air susu akan mengalir. Bayi yang berusia satu tahun tahu hal ini, nalurinya berkata: “Aku akan menangis supaya ibu yang penyayang segera datang”. Supaya sang perawat segera datang. Tidakkah kamu tahu bahwa Sang Perawat dari Segala Perawat tidak akan memberikan susu kepadamu sebelum tangisan kamu. Bukankah Tuhan berkata: ”Biarkan mereka menangis banyak“. Dengarkan karunia sang Khaliq akan mencurahkan kepadamu air susunya.

Tangisan awan dan sentuhan cahaya matahari adalah tonggak dunia ini, gabung-kanlah keduanya bersama di dalam dirimu. Jika tidak ada panas matahari dan air mata awan, bagaimana mungkin hakikat dan tabiat menjadi besar dan kuat. Bagaimana mungkin empat musim akan terjadi, kalau tidak ada sinar matahari dan tangisan awan. Karena panasnya cahaya matahari dan tangisan awan di dunia membuat dunia ini segar dan manis. Biarkan matahari akalmu menyala dan biarkan matamu berlinang dengan air mata seperti awan. Kamu perlu mata yang bisa menangis, seperti tangisan anak kecil. Jangan makan roti duniawi ini, karena roti itu akan membawa air ruhanimu. Jika tubuh akan menghasilkan dedaunan pada ranting-rantingnya, maka jiwa haruslah mencampakkan dedaunan itu dan mendatangkan musim gugurnya. Ketika tubuh subur dengan dedaunan, jiwa harus kehilang-an dedaunan itu sama sekali. Bersegeralah jangan ragu-ragu, pinjami Tuhan, berikan dedaunan. Campakkan dedaunan tubuhmu itu supaya engkau bisa memperoleh taman yang tumbuh dalam hatimu. Berikan pinjaman itu, hancurkan seluruh makanan tubuhmu, supaya wajah ini bisa melihat, apa yang tidak bisa dilihat mata. Ketika tubuh mengeluarkan seluruh isinya yang kotor, Tuhan akan memenuhi­nya dengan Kesturi dan Mutiara yang gemerlap. Ia orang kafir itu, mengeluarkan kotorannya supaya memperoleh kesucian dari tangan Rasulullah Saw. yang mulia.


PADA bagian yang terakhir ini sebetulnya dibahas mengenai nasihat-nasihat sufi dan tidak lagi berkenaan dengan Rasulullah saw Kita harus melihat setiap puisi sufi dari perspektif batiniah kita. Kedatangan Rasulullah saw ke dunia ini untuk mengeluar-kan kita dari kegelapan menuju cahaya. Kita hanya dapat sentuhan Rasulullah saw, apabila kita mengeluarkan kotoran-kotoran duniawi, kotoran-kotoran ragawi.

Dalam syair yang lain, Matsnawi menyebutkan: “Supaya dedaunan tubuh kita yang rimbun itu, kita campakkan, seperti apel tidak akan berbuah, sebelum dedaunannya itu berguguran di musim gugur.” Di Indonesia ada seorang penemu, yang tidak dikenal namanya, menanam apel. Karena di Indonesia tidak ada musim gugur, dia memangkas daun-daun apel itu. Ternyata apel itu kemudian berbuah. Jadi rupanya, kalau di negeri-negeri barat, apel itu menunggu musim gugur, di Indonesia dengan sengaja daun itu digugurkan di musim apa saja.

Seorang sufi yang ingin merintis jalan menuju Tuhan adalah seperti penanam apel di negeri kita. Dia tidak boleh menunggu musim gugur. Pangkaslah dedaunan hawa nafsumu itu dari tubuhmu supaya nanti taman Tuhan tumbuh dalam hatimu. Dari cerita raksasa Gusy tersebut ada satu hal yang sangat menyentuh, yaitu jangan malu datang menemui Rasulullah saw, walupun kita membawa seluruh dosa di punggung-pungung kita, walaupun kita penuh kotoran. Do’a yang dibaca orang ketika memasuki kota Madinah, berbunyi sangat bagus: “Ya Rasulullah, kami datang dari negeri yang jauh dengan memikul dosa di punggung kami. Salam bagimu Ya Rasulullah.”

Orang-orang berziarah ke makam Rasulullah saw itu seperti orang kafir, yang sebetulnya sudah malu, karena dia meninggalkan kotoran di rumah Nabi yang mulia, tapi dia datang juga ke situ. Orang kafir itu menangis luar biasa karena menyaksikan tangan yang mulia membersihkan kotoran-nya. Kita bisa membayangkan diri kita berada di alam malakut, lalu kita datang ziarah ke makam Rasulullah saw, sambil membawa dosa-dosa di punggung kita. Padahal kita ini bukan saja membawa kotoran, kita juga sudah mengotori rumah Rasulullah saw yang mulia. Islam ini rumah kita. Karena akhlak kita yang buruk, kita sudah mencemari rumah Al-Islam. Seperti kata Iqbal dalam do’a menjelang kematiannya. Ketika Iqbal sakit keras ia berdo’a, yang diceritakan Abu A’la Al-Maududi dalam Lawami’ Iqbal. Iqbal berdo’a begini: “Ya Tuhanku jika Engkau bangkitkan nanti aku di hari kiamat, janganlah damping-kan aku dengan Al-Musthafa. Aku malu mengaku sebagai umatnya, semen­tara hidup-ku bergelimang dosa”.

Iqbal malu, juga malu terhadap Rasulullah di hari kiamat nanti, malu karena sepanjang hidup kita ini mengotori rumah Rasulullah saw dengan akhlak kita yang buruk, dengan kejahatan yang kita lakukan, dengan maksiat, dengan fitnah, dengan kata-kata yang keluar dari mulut kita, kita kotori rumah Rasulullah saw. Tapi bayangkanlah ketika anda kembali menemui Rasulullah saw, ber­ziarah kepadanya, di alam sana tangan-tangan Rasulullah yang mulia membersihkan kotoran-kotoran itu.

Al-Quran mengatakan: “Sudah datang kepada kamu seorang Rasul dari antara kamu sendiri, berat hatinya melihat penderitaan kalian, yang sangat ingin kalian ini memperoleh kebahagiaan, yang sangat pengasih dan penyayang kepada kaum mukminin” (Al-Tawbah 128).

Tidak henti-hentinya Rasulullah saw memohon ampun kepada Allah Swt. untuk kita, sebagaimana kata Jalaluddin Rumi: “Tidak henti-hentinya tangan yang mulia itu membersihkan kotoran, yang kita lakukan di rumahnya yang mulia, karena kasih sayang Rasulullah saw kepada umatnya”. Lalu apa yang harus kita lakukan untuk mengucapkan terima kasih atas do’a Rasulullah kepada kita.

Yang pertama ialah mencintainya, beru­saha menanamkan kecintaan kita kepada Nabi yang Mulia itu, ketika kita mendengar hadits Nabi: “La yu’minu ahadukum hattâ akûna ahabba ilayhi minafsihi wawaladihi wannâsi ajma’in”. Yang artinya “Tidak beriman kamu sebelum aku lebih kamu cintai daripada diri­mu, daripada anak-anakmu, dan daripada seluruh umat manusia ini”.

Beberapa waktu yang lalu, di sebuah pengajian di Jakarta salah seorang ustadz berkata, “Ketika saya mendengar hadits itu, saya merasa tidak enak, kenapa Rasulullah egois betul, sampai dia ingin dicintai lebih daripada diri kita, daripada seluruh umat manusia.” Tapi kemudian saya ingat mencintai Nabi itu berarti menaati Nabi. Ketaatan kita kepada Nabi harus lebih daripada ketaatan kepada diri kita, anak kita, kepada seluruh umat manusia. Lalu saya berkata: “Saya teringat, dahulu saya punya orang yang sangat sederhana, tidak bisa bahasa Arab, tidak bisa baca kitab-kitab, tidak mesan­tren. Mungkin SD pun tidak tamat, dia tidak pernah membaca kisah Nabi saw, dan boleh jadi dia tidak mendengar hadits itu. Tetapi dia mencintai Rasulullah saw tanpa menafsirkan hadits itu, dengan penafsiran-penafsiran yang lain, tidak menafsirkan kecintaan dengan ketaatan. Dia ungkapkan kecintaannya itu dengan prila­kunya sendiri. Setiap bulan Maulid saya selalu mengenang orang ini. Kalau saya ditanya oleh wartawan, siapa saja orang yang mempengaruhi hidup saya di dunia ini, mungkin mereka akan terkejut bahwa yang di antara yang mem-pengaruhi saya di dunia ini orang kecil yang saya sebut itu, namanya Mas Darwan. Begitu hormatnya saya kepada beliau, karena beliau merubah hidup saya hingga saya meng-angkatnya ke panggung nasional dengan menulisnya di majalah Tempo. Saya ingin mengulanginya sedikit.

Mas Darwan tinggal di sebelah rel kereta api. Ia orang taat beribadah. Bunyi terompah kayunya membangunkan saya menjelang subuh. Dia selalu shalat ber-jama’ah di mesjid. Setelah pensiun dari PINDAD dia mengisi waktunya dengan berkhidmat kepada tetang­ganya, khususnya kepada guru ngajinya, yaitu saya. Dia sering memper­baiki genting saya yang bocor. Dia jarang bicara sehingga saya mengi­ra dia tidak punya dosa dari kata-kata yang dia ucapkan.

Kemudian dia mengisi waktu luangnya dengan berkebun. Dia membikin petak-petak ubi di antara rel kereta api. Telinganya kurang begitu baik sehingga saya kira dia tidak punya dosa-dosa dari telinga-nya. Begitu tidak baiknya pendengaran sehingga ketika dia keasyikan bekerja di situ dia tidak mendengar suara kereta api datang. Diapun tersenggol kereta api dan terluka parah sehingga dibawa ke ICU. Saya datang dan melihat Mas Darwan dipenuhi kabel-kabel infus. Sebagian masuk melalui hidungnya dan sebagian lagi masuk melalui mulutnya.

Ketika kami datang bersama istrinya, dia memberi isyarat agar kabel-kabel infus dicabut dari dirinya. Rupanya ia ingin mem-bisikkan sesuatu kepada istrinya. Sebelum ia menghembuskan nafasnya yang terakhir Mas Darwan membisikkan sesuatu kepada istrinya. Setelah itu saya tahu yang dibisikan-nya itu hanya dua kalimat saja, yaitu “Bulan ini bulan Maulid, jangan lupa melakukan selametan buat kanjeng Nabi saw”. Itulah ucapannya yang terakhir.

Ketika Mas Darwan masih hidup, saya ini termasuk orang yang membid’ahkan peringatan maulid Nabi. Banyak orang menentang saya dengan mengatakan bahwa peringatan maulid Nabi bukan bid’ah. Saya tidak bergeming. Saya berubah hanya dengan ucapan Mas Darwan yang dibisikkan pada istrinya. Sekarang kalau saya ditanya apa dalil peringatan Maulid Nabi itu, saya punya banyak. Tetapi sebetulnya saya mengemuka-kan dalil-dalil itu setelah saya takluk dulu terhadap pent­ingnya peringatan Maulid Nabi. Bukan karena dalil itu sebenarnya saya selenggarakan peringa­tan Maulid Nabi tetapi karena bisikan Mas Darwan kepada istrinya itu. Karena kecintaannya kepada Rasulullah, maka dia penuhi hak Rasulullah saw dengan mencintainya, dia tidak teringat kepada istrinya tapi yang dia ingat adalah selametan buat kanjeng Nabi.

Saya kira kecintaan orang-orang yang sederhana itu lebih tulus daripada kecintaan para intelektual. Karena kecintaan para intelektual itu langsung ngomong “rasanya Rasulullah itu egois kok mau kecintaan itu untuk dirinya.” Tapi lama-lama saya pikir orang sesederhana mereka mencurahkan kecintaanya kepada Rasulullah saw dengan kecintaan yang tulus seperti itu.

Ada cerita di kalan­gan sufi bahwa orang-orang bodoh yang mengisi surga, mungkin dengan kata lain sebenarnya orang-orang pintar banyak mengisi neraka. Orang-orang bodoh itu karena kesederhanaannya, mereka lebih tulus. Tapi sebenarnya itu mempunyai makna yang sangat dalam di kalangan orang-orang sufi. Bukan berarti kita semua harus menjadi bodoh. Tapi kalau kita ingin mencintai dengan tulus, bersihkan arogansi yang ada dalam diri kita; Kepongahan-keponga­han karena intelek-tualitas kita, sebab cinta tidak mengunakan bahasa intelektualitas. Cinta itu meng-gunakan bahasa hati. Hin­darkan berbagai penafsiran tentang hadits mengenai kecintaan kepada Rasulullah saw.

Hak berikutnya dari Nabi ialah membacakan shalawat dan salam kepadanya. Saya ingin menuliskan beberapa hadits tapi ijinkan saya kembali kepada Mas Darwan. Dia sangat suka sekali kepada shalawat-shalawat Nabi. Sebagai orang Jawa tradisional dia tahu betul; Setiap babakan hidup, momen-momen penting dalam hidupnya selalu ditandai dengan shalawat. Ketika anaknya baru lahir selu­ruh keluarga menyambut dengan shalawat. Marhaba kita menyebutnya, artinya selamat datang. Walaupun diucapkannya itu selamat datang untuk Rasulullah. Marhaban Jaddal Husaini, selamat datang untuk kakek Hasan dan Husen. Nanti kalau anak dikhitan dibacakan juga shala­wat kepada Nabi saw, Juga dalam menikah, mengantar pengantin laki-laki, juga kalau mati, dibacakan tahlil dan tahlil itu dimulai dengan shalawat juga. Jadi setiap kehidupan kita, pada momen-momen yang penting, ditandai dengan shalawat.

Saya tuliskan beberapa hadits itu: Aku bertanya kepada Aba Abdillah as tentang firman Allah Swt.: “Innallâha wa malâ’ikatahu ...” (Al-Ahzab 56). Lalu Aba Abdillah as berka­ta: “Shalawat dari Allah Swt kepada Nabi adalah rahmat-Nya, dari malaikat, adalah pensuciannya, dan dari manusia adalah do’anya”. Adapun firman Allah Swt. “wasallimu taslimâ”, yakni ucapkanlah salam kepadanya. Kemudian kami berkata kepadanya bagaimana kami mengucapkan shalawat kepada Nabi dan keluarganya, lalu Aba Abdilah as berkata, katakanlah: “Shalawatillahi wa shalawatu malaika­tihi waanbiyaihi warasulihi wajami’ khalqihi ala muhammadin wa ali muhammad wasalamu ‘alaihi wa’alaihim warahmatullahi wabarakatu”. Lalu kami berkata “apa balasan orang yang membacakan shalawat kepada Nabi”. “Dikeluarkan dari dosa-dosanya, demi Allah sama seperti keadaan ketika ibunya melahirkan dia”.

Dari Imam Ja’far As-Shadiq as “Barangsiapa membaca shalawat kepada Muhammad dan keluarganya sepuluh kali, Allah akan mengirimkan rahmat dan para malaikat akan mengucapkan do’a kepadanya seratus kali.

Barangsiapa membaca shalawat kepada Muhammad dan keluarga­nya seratus kali, Allah Swt. akan mengirimkan kesejah-teraan kepa­danya, para malaikat akan mendo’akannya seribu kali. Bukankah kamu mendengar perintah Allah Swt.: “Ialah Allah yang mengirimkan rahmat-Nya kepada kamu dan para malaikat-Nya untuk mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya, dan dia sangat penyayang kepada kaum mukminin” (Al-Ahzab 43).

Masih dari Imam Ja’far As-Shadiq as: “Semua do’a yang diba­cakan orang untuk menyeru Allah Swt. tertutup dari langit, sampai dia membaca shalawat kepada Muhammad dan keluarganya”. “Nanti pada hari kiamat, tidak ada yang lebih berat dalam timban­gan selain shalawat kepada Muhammad dan keluarganya”.

Dari Imam Ali Al-Ridha as: ”Barang siapa yang tidak mampu menghapuskan seluruh dosanya, perbanyaklah bacaan shalawat kepada Muhammad dan keluarga-nya, karena itu akan menghapuskan dosa”. “Orang yang paling dekat kedudukannya dengan Nabi pada hari kiamat nanti, adalah orang yang paling banyak membaca shalawat kepada Muhammad dan keluarganya”.

Jadi itu kewajiban kita, membaca shalawat. Pertama, shalawat itu adalah ungkapan kecintaan kita kepada Rasulullah. Kedua, kalau orang banyak membaca shalawat, Insya Allah kecintaan kita kepada Rasullullah akan bertambah. Karena kita orang intelektual, kita akan bertanya mengapa? Buat orang-orang bodoh, seeing is believ­ing. Shalawat itu membawa kecintaan pada Rasulullah. Mereka tidak mikir-mikir lagi, kerinduannya bangkit di dalam shalawat-shalawat itu. Memang terasa pada diri mereka. Tetapi orang intelektual tidak, believing is seeing. Percaya dulu baru bisa melihat. Apa betul shalawat itu bisa menambah kecintaan kita pada Rasul?

Di dalam teori komunikasi ada teori yang disebut mere exposure theo­ry. Teori semata-mata exposure saja, teori terpaan semata saja. Kepada mahasiswa diperlihatkan beberapa transparansi foto. Ada beberapa foto yang sering tampak di situ, dan ada beberapa foto yang jarang tampak. Jadi ada yang sepuluh kali ada yang delapan kali dan ada yang lima kali. Setelah itu kepada para mahasiswa diberikan seluruh foto yang tadi diperlihatkan di layar. Ada hal yang menarik. Mereka disuruh memilih mana foto yang paling mereka sukai. Mereka ternyata menyukai foto yang paling sering muncul. Tidak karena apa-apa itu hanya karena sering muncul saja, mere exposure. Sehingga kalau orang itu sering muncul di hadapan kita, lama-kelama-an kita akan suka juga. Sama dengan teori witing tresno jalaran soko kulino. Jadi dengan sering membaca shalawat kita sering menghadirkan namanya di dalam kehidupan sehari-hari. Dengan begitu, akan tumbuh dengan sendirinya kecintaan kepada orang-orang yang sering kita sebut. Itu juga termasuk teknik-teknik iklan, propaganda. Supaya orang suka sesuatu, maka laku­kanlah iklan itu berkali-kali, diulang berkali-kali. Sampai Hitler berkata: “Kebohongan pun akan dipercaya jadi keimanan, kalau kita mengulangnya terus-menerus. Wahrheit, kebenaran itu adalah kebohongan dikalikan seribu”. Jadi, bohong x seribu = kebenaran. Dan teori Hitler itu dipakai pemerintah sampai sekarang.

Jadi kalau kebohongan saja bisa menjadi kebenaran, apa lagi kata-kata suci seperti shalawat yang sering kita bacakan. insya Allah akan menumbuhkan kecintaan kepada Rasulullah saw. Lewat kecin­taan itulah insya Allah kita akan meniru perilaku orang yang kita cintai.

Yang ketiga, kecintaan kita kepada keluarga Rasulullah adalah ungkapan cinta kepada Rasulullah juga. Akan saya tuliskan hadits ahlul sunnah yang dikeluarkan oleh Al-Zamakhsary dalam Al-Kasyâf. Rasulullah saw bersabda, “Ketahuilah barang siapa yang mati dengan kecintaan kepada keluarga Muhammad saw dia mati syahid. Ketahuilah barang siapa yang mati dengan kecintaan kepada keluarga Muhammad saw dia mati dengan ampunan-Nya. Keta­huilah bahwa barang siapa yang mati dengan kecintaan kepada keluarga Muhammad saw dia mati sebagai orang mukmin yang sempurna imannya. Ketahuilah barang siapa yang mati dengan membawa kecin­taan kepada keluarga Muhammad saw, dia mati dalam keadaan Malai­kat Maut akan menggembirakannya dengan surga, kemudian Munkar dan Nakir akan menghiburnya. Ketahuilah barang siapa yang mati dengan membawa kecintaan kepada keluarga Muhammad saw, dia akan diiring­kan masuk ke surga seperti diiringkan-nya pengantin ke rumah suaminya. Ketahui-lah barang siapa yang mati dengan membawa kecin­taan kepada keluarga Muhammad saw, Allah akan bukakan dua pintu surga di kuburnya. Ketahuilah barang siapa yang mati dengan memba­wa kecintaan kepada keluarga Muhammad saw, Allah jadikan kuburan­nya tempat berkunjung Malaikat Rahmah. Ketahuilah barang siapa yang mati dengan membawa kecintaan kepada keluarga Muhammad saw ia akan mati sebagai sunnah wal jama’ah.

Siapa yang mati dalam kebencian kepada keluarga Muhammad saw, dia akan datang pada hari kiamat ditulis pada kedua mata­nya, inilah orang yang putus asa dari rahmat Allah Swt.

Kemudian di antara ungkapan kecintaan kepada Rasulullah saw juga ialah mencintai yang dicintai Rasulullah saw. Salah satu kelompok manusia yang sangat dicintai Rasulullah saw, sampai Nabi menye­butnya, para pewarisnya, adalah ulama, jadi mencintai Rasulullah juga harus diungkapkan dengan kecintaan kepada ulama. Saya ingin membacakan satu hadits lagi: “Memandang seorang alim dengan penuh kecintaan dihitung sebagai ibadah. Jadilah engkau seorang yang alim, atau seorang yang belajar. Cintailah ulama. Janganlah kamu termasuk orang yang keempat, nanti kamu binasa, karena kebencian kamu kepada ulama”. JR wa mā taufīqī illā billāh, 'alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb


Allâhumma shalli 'alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ'atahum


***

KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).

31 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page