top of page
  • Writer's pictureAkhi

Komunikasi Untuk Kecerdasan Spiritual 2: Tanda-Tanda Komunikasi Defensif


Mengevaluasi. Evaluasi artinya menghakimi, mengkritik, mencemoohkan, menyalahkan, memaki. Semuanya ini bisa disimpulkan dalam satu kalimat: membuat orang menilai dirinya lebih rendah. Pada suatu hari, rumah berguncang karena gempa. Seorang ibu dalam keadaan panik memanggil-manggil anaknya, "Bobby, where are you? Anaknya yang pendiam dengan sedih menyahut, "Mommy, I didn't do it." Kisah ini, yang dicontohkan Gibb, mengharukan saya. Bobby rupanya sering kali disalahkan, ditegur, atau dikritik. Saya membayangkan ketakutan Bobby ketika menyaksikan semua perabot rumah bergoyang. Ia tidak takut pada akibat gempa bumi. Ia belum pernah mengalami kejadian itu sebelumnya. Ia takut ibunya menyalahkan dia. Begitu ibunya. memanggil, ia langsung menyahut, "Bukan aku, Mah!"


Pada salah satu tulisan dalam buku ini, kita melihat dampak negatif dari kritik pada proses pembelajaran anak. Kritik menimbulkan learning shutdown. Anak Ibu yang semula bersemangat untuk melukis berhenti melakukannya segera setelah gurunya di sekolah mengkritik gambar bunganya. Anak Bapak yang semula rajin bertanya menjadi pendiam segera setelah kawan-kawannya sekelas menertawakan pertanyaannya. Bayangkan jutaan hati anak-anak yang terluka dalam sistem pendidikan kita. Kita menegakkan pembelajaran di atas dasar evaluasi. Anak yang lambat belajar kita beri nilai yang rendah. Tidak cukup itu, nilai rendah itu pun kita merahkan. Biar seluruh jin dan manusia tahu betapa bodohnya anak itu. Tidak cukup di situ, wali kelas menuliskan pesan untuk orangtuanya dalam buku laporan. Setiap akhir caturwulan, anak-anak Indonesia pulang ke rumah membawa buku laporan. Sebagian besar tiba dengan muka yang memelas. Telinga-telinga mereka akan segera dijejali pesan-pesan yang defensif---"Dasar bodoh!", "Kamu memang malas!", "Udah jorok, malas lagi" Biasanya, komunikasi yang evaluatif mengandung kata sifat, dan bukan kata kerja.


Mengendalikan. Anda berkomunikasi seperti Hermann Kafka dengan Franz Kafka. Anda mendominasi, memerintah, memaksa, mengancam. Anda memegang tali kendali dalam berkomunikasi dan Anda tidak mau mendengarkan. Anda merebut semua hak bicara anak Anda. Atau Anda melakukan "by-passing". Tanpa mendengarkan lebih lanjut perkataan anak, Anda sudah mengambil kesimpulan. Salah satu cara lain untuk mengontrol dalam komunikasi ialah menggunakan kata "harus","mesti", "seharusnya", "mestinya", "selayaknya", "sepatutnya", "seyogiyanya". "Aku tidak mau dengar alasan apa pun. Pokoknya, kamu harus, harus, HARUS BELAJAR. TITIK," kata seorang ibu kepada anaknya. "Kalau kamu tidak mau makan obat, aku ambil semua mainanmu!" kata ibu yang lain.


Memanipulasi. Bila mengancam termasuk teknik kontrol, menipu adalah bagian dari strategi. Dahulu saya tertarik dengan "resep" Dale Carnegie dalam How to Win Friends and Influence People. Pujilah dulu siapa pun. Setelah itu, sebutkan apa yang Anda inginkan. Jadi, setiap kali saya ingin menyuruh anak saya, saya berikan pujian kepadanya. "Aduh, kamu pinter banget sih. Tolong ambilkan teh di bawah," begitu cara saya menyuruh. Apa yang terjadi bertahun-tahun setelah itu? Ami, anak saya yang paling kecil, datang menemui saya pada suatu pagi. Saya takjub dengan kecantikannya. Saya berkata, "Ami, kamu kok cantik sekali." Ajaib. Ia menjawab dengan muka cemberut, "Sudah, Pak. Katakan apa mau Bapak!" Ami tidak lagi menghargai pujian saya karena ia berpengalaman bahwa selama ini pujian menjadi salah satu strategi bapaknya untuk mengendalikan dia.


Anak-anak, seperti juga orang dewasa, tidak senang dengan orang yang "menyembunyikan udang di balik baso". Dalam penelitiannya pada rekaman percakapan sejumlah orang, Gibb menemukan bahwa pendengar ternyata gampang sekali mengidentifikasi "tipuan" yang digunakan komunikator. Lebih lucunya lagi, karena mereka tahu ditipu, mereka juga berusaha membalasnya dengan tipuan lagi. Persis seperti cerita Ayam Jantan dengan Serigala dalam Les Fables, karya Jean de La Fontaine. Ayam jantan bertengger di atas ranting pohon. Serigala yang kelaparan bermaksud menariknya ke bawah. Ia merayu ayam dengan segala macam rayuan. Ayam tahu bahwa rayuan itu hanya jebakan. Ia membalas rayuan itu dengan rayuan lagi. Tapi sebetulnya ia mengulur waktu sampai pemiliknya datang. Serigala akhirnya terjebak. Kata La Fontaine, "C'est le double plaisir detromper le trompeur." Dua kali lipat bahagianya kalau kita bisa menipu penipu.


Apatis. Saya pernah diminta untuk memberikan ceramah di hadapan kru televisi. Tidak ada pendengar selain petugas kamera dan juru rias. Memang saya sedang mengumpulkan rekaman untuk acara bulan Ramadan. Ceramah itu hanya berlangsung 10 menit; tetapi saya selalu terhenti sebelum lima menit. Saya heran mengapa saya kehilangan bahan pembicaraan. Akhirnya, saya meminta para kru untuk duduk di depan saya. Saya berbicara dengan memandang mereka satu per satu seperti layaknya saya berbicara di mimbar. Inspirasi pun mengalir dengan deras.


Kita semua, termasuk anak-anak, tidak suka berbicara dengan orang yang "netral", tidak menunjukkan setuju atau tidak setuju, tidak tampak senang atau benci. Jika kita tidak menunjukkan reaksi-baik verbal mau-pun nonverbal-kepada kawan bicara kita, jika kita hanyalah setumpuk daging beku sama seperti kamera-kamera yang berdiri di depan kita tanpa emosi, kita adalah komunikator defensif. Kita akan memberi kesan sebagai orang yang membosankan, menyebalkan, dan tidak enak diajak bicara.


Netralitas tampak dalam contoh yang ekstrem pada psikoanalis yang bersikap dingin, membisu, ketika pasiennya berbicara. Ia tidak menangis ketika pasiennya menceritakan penderitaannya; tidak tertawa ketika ia menceritakan lelucon. Bayangkan Anda mengobrol dengan anak Anda seperti psikoanalis dengan pasiennya.


Superior. Superioritas berarti menonjolkan posisi kita di atas orang lain-baik karena status sosial, kekayaan, atau pendidikan dalam berkomunikasi. Kesan pertama ketika kita berkomunikasi dengan orang yang melakukan superioritas ialah keangkuhan. Ia menunjukkan superioritasnya bukan hanya dalam memilih kata-kata, tetapi juga dalam mengatur tempo, intonasi, atau gerak. Ia juga mengendalikan waktu bicara. Di hadapan dia, semua orang sulit untuk memasuki pembicaraan dan sulit juga keluar darinya.


Di hadapan anak-anak, superioritas ditunjukkan dengan menekankan posisi kita sebagai orangtua yang bijak. Anak-anak dipandang bodoh, belum sampai akalnya, dan tidak pantas diperhatikan pendapatnya. "Aku ini sudah banyak makan garam. Kamu ini anak kemarin sore. Kamu ini tahu apa," adalah contoh ungkapan superioritas. Seperti Kafka, banyak di antara kita mengalami kesulitan untuk mengungkapkan pikiran kita didepan orang yang lebih terhormat. Praktisnya, kita takut untuk mengekspresikan gagasan kita, karena pada waktu kecil kita sering kali dibungkam.


Dogmatis, Erat kaitannya dengan superior adalah dogmatis, keyakinan mutlak akan kebenaran pendapat kita. Coba simak lagi pandangan Franz tentang bapaknya:


Di samping itu, ada pula dominasi intelektualmu. Kau telah naik ke tempat tinggi dengan hanya energimu. Akibatnya, kau punya keyakinan tidak terbatas akan kebenaran pendapatmu. Itu tidak terlalu membingungkanku pada waktu kecil dan remaja. Dari singgasana kerajaanmu, kau memerintah dunia. Pendapatmu selalu benar, pendapat yang lain semuanya gila, liar, tidak normal. Kepercayaan dirimu sungguh besar sehingga kamu tidak perlu konsisten-kamu selalu benar. Kadang-kadang kau tidak punya pendapat tentang sesuatu. Sebagai akibatnya, kau anggap semua pendapat yang ada pasti salah, tanpa kecuali. Kau mampu menyalahkan orang Ceko, lalu orang Jerman, lalu Yahudi, dan lebih-lebih lagi, kau salahkan semua dalam segala hal. Semua orang salah kecuali kamu. Bagiku, kau ambil semua sifat keras para tiran yang hak-haknya didasarkan pada orang, bukan pada akal sehat. Paling tidak itulah yang tampak bagiku.


Anda melakukan komunikasi defensif jika Anda merasa pendapat Anda selalu benar, dan pendapat anak Anda selalu salah. Anda adalah tiran kecil di rumah. Pilihan Anda adalah pilihan terbaik. Mazhab Anda adalah mazhab yang paling benar. Anda sudah mencapai kedudukan sama seperti para nabi, maksum, terpelihara dari segala dosa. Seorang istri menceritakan suaminya, "Kelebihan suami saya, Dok, ialah mau meminta maaf kalau terbukti ia salah." Dokter bertanya, "Bagaimana kalau Ibu terbukti salah?" "Dokter, saya salah? Tidak mungkin itu terjadi!" Bagi komunikator defensif, kegagalan atau kecelakaan harus dinisbahkan pada kesalahan semua orang kecuali dirinya.


KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam)dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari, SMP Plus Muthahhari, SMP Bahtera, dan SMA Plus Muthahhari).

- www.scmbandung.sch.id

- www.smpbahtera.sch.id

- www.smpplusmuthahhari.sch.id

- www.smaplusmuthahhari.sch.id

113 views1 comment

Recent Posts

See All
bottom of page