Akhi
LEBARAN: TERAPI MODERNITIS

Idulfitri sama di seluruh Dunia Islam, tetapi Lebaran khas Indonesia. Lebaran adalah contoh manis tentang bagaimana idiom-idiom Islam diterjemahkan secara kreatif ke dalam budaya Indonesia. Gemuruh takbir terdengar di mana pun, tetapi irama takbir Indonesia sangat unik-irama gamelan dengan tempo lambat dan menyayat hati.
Adegan dalam pentas pun berbeda. Hanya di Indonesia, Anda akan menemukan arus balik --penumpang yang berdesakan, wajah- wajah yang terseok kelelahan, tentengan yang berat, dan mata yang berbinar-binar karena kembali ke kampung halaman. Pada hari H, orang-orang berbondong-bondong ke tanah lapang: sama saja seperti di negeri-negeri yang lain. Yang istimewa di negeri ini adalah banyaknya tanah lapang yang digunakan (dan barangkali termasuk banyaknya peserta shalat 'Id yang tidak terbiasa shalat wajib). Juga istimewa, banyaknya orang berziarah ke kuburan. Mereka datang dengan pakaian yang paling bagus dan warna menyala (bukan warna hitam), lalu menabur bunga sambil mengucapkan doa (sebisanya).
Barangkali hanya di Indonesia juga Lebaran dijadikan sebagai hari khusus untuk bersilaturahim-yang kita Indonesiakan dengan istilah yang mirip bahasa Arab, halal bihalal. Pejabat yang biasanya berbicara tentang keterbukaan sambil menutup rumahnya rapat-rapat, hari itu membuka rumahnya dan menutup pembicaraan tentang keterbukaan. Setiap rumah (juga setiap hati dan mulut) terbuka lebar. Orang-orang yang berpapasan mengobral senyum. Mereka bersalaman (baik yang satu jenis maupun yang berlainan). Yang dikunjungi bukan saja karib kerabat, tetangga, kenalan, tetapi bahkan hewan (betapa ramainya kebun binatang). Kita menjalin silaturahim dengan seluruh makhluk Tuhan. Luar biasa!
Bila kita menggunakan konsep untuk mengabstraksikan realitas, memang lebih baik kita menggunakan konsep Lebaran daripada Idulfitri. Karena Lebaran tidak persis sama dengan Idulfitri. Lebaran hanyalah sejenis Idulfitri, di antara berbagai Idulfitri di dunia. Ketika membahas makna Lebaran, sebaiknya kita tidak merujuk pada teks- teks yang universal (seperti ketika kita berbicara tentang Idulfitri). Sungguh tidak relevan untuk mengatakan bahwa tradisi mudik, nyadran (ziarah kubur), dan bersalaman khusus saat Lebaran tidak termaktub dalam Al-Quran dan Al-Sunnah. Ketiganya memang bukan amalan Idulfitri; ia hanyalah tradisi Lebaran. Untuk Lebaran, rujuklah budaya pribumi yang partikular. Yang kita perlukan bukan lagi tinjauan fiqih, tetapi analisis sosioantropologis. Dalam kerangka itulah, mari kita lihat makna Lebaran lewat tinjauan ini, terutama sekali dalam hubungannya dengan dampak modernisasi.
Diagnosis Modernitis
Modernitis tidak ada dalam kamus kedokteran (atau kamus apa pun). Ini hanyalah istilah yang saya gunakan untuk menunjuk sejumlah penyakit (sindrom) yang terdapat pada manusia modern. Penyakit- penyakit itu boleh jadi berasal dari biaya ekonomi, sosial, maupun psikologis yang harus dibayar untuk menebus modernitas.
W. Arthur Lewis menyebut beberapa penyakit akibat biaya ekonomi ketika masyarakat mengalami proses modernisasi. Semangat ekonomi akan membawa orang pada materialisme. Pertumbuhan ekonomi di samping menumbuhkan individualisme-juga meruntuhkan struktur sosial yang sudah mapan. Individu disibukkan dengan tanggung jawab terhadap dirinya dan melupakan tanggung jawab kepada keluarga, kaum, atau kampung halamannya. Masyarakat industri memerlukan keterampilan baru yang cocok dengan masyarakat yang berorientasi teknologi. Akibatnya, banyak keterampilan lama menghilang. Karena setiap teknologi membawa nilai-nilai yang khas, kehadiran teknologi baru juga menghilangkan nilai-nilai lama. Manusia modern tercerabut dari nilai-nilai lama, tetapi belum memahami nilai-nilai baru. Mereka meninggalkan dunia lama, sementara dunia baru belum lahir.
Mereka menjadi limbung, kehilangan pegangan, dan kebingungan. Mekanisasi melahirkan "manusia yang diperbudak jam" (a slave of clock) yang perilakunya diregimentasi, dipecah-pecah, dan dilepaskan dari keseluruhan makna. Theodore Roszak menyebut gejala ini sebagai otomatisasi kepribadian --automatization of personality.
Lewis Yablonsky menyebut manusia-manusia modern ini sebagai "robopaths" (yang menjadi judul bukunya sekaligus). Robopaths telah kehilangan spontanitas dan kreativitas. Mereka menjadi mesin yang secara ritual terikat pada kegiatan yang monoton. Pagi hari bangun, mandi, dan makan pagi. Setelah itu, pergi ke kantor untuk mengerjakan pekerjaan yang itu-itu juga. Sore hari pulang, melakukan yang sama. Kegiatan itu berulang kembali setiap hari. "Mereka," kata Yablonsky, "bukan lagi manusia." Pada hakikatnya, mereka robot-robot, yang digerakkan secara massal oleh para pemegang kebijakan baik pejabat maupun konglomerat.
Biaya psikologis memang berjalin-berkelindan dengan biaya ekonomis dan biaya sosial. Pembangunan yang berjalan cepat telah menyingkirkan sejumlah keterampilan, menghilangkan sejumlah besar lapangan kerja, bahkan telah menggusur rumah dan lingkungan. Sarana-sarana kehidupan kota-seperti pasar swalayan dan jalan layang-tumbuh sejalan dengan kehadiran perkampungan kumuh dan zona-zona kejahatan. Konglomerat bertambah, begitu pula orang melarat. Untuk sejumlah orang, modernisasi telah mengerdilkan manusia di hadapan tank-tank baja birokrasi dan industri. Mereka menjadi tidak berdaya (powerless) dan teralienasi.
Lalu, apa hubungannya pembicaraan tentang modernitis-yang sangat teoretis ini-dengan makna Lebaran?

Lebaran Sebuah Perjalanan Melintas Waktu
Secara singkat, dalam bahasa yang populer, kita menjadi modren dengan kehilangan rasa kemanusiaan kita. Kita sibuk dengan kegiatan sehari-hari kita sehingga hampir tidak sempat lagi memperhatikan keluarga kita. Kita kehilangan rasa sayang, bahkan semua emosi kita yang manusiawi. Sebagai gantinya kita mengembangkan sikap yang kasar, mementingkan diri sendiri dan agresif. Otot-otot kita setiap saat siap menerkam orang lain yang sudah kita pandang sebagai mangsa. Kita mengembangkan struktur sosial ayam yang besar berusaha mematuk yang lemah dan seterusnya.
Kita menjadi materialistis ! Kita siap mengorbankan perasaan kemanusiaan kita yang luhur sekalipun untuk memperoleh keuntungan material sebanyak-banyaknya. Pada tingkat penguasa atau penguasa, kita memandang rakyat untuk kita manipulasi dengan kepentingan kita. Kita tidak melihat lagi mereka sebagai sosok yang mempunyai perasaan, mempunyai sanak keluarga.
Pada tingkat orang yang kecil, kita menemukan orang-orang yang membunuh rasa kekeluargaannya hanya untuk memperoleh sesuap nasi. Kota-kota besar jantungnya modrenisasi telah menjadi Rumah Sakit Jiwa yang besar. Semua orang sakit, termasuk para dokter dan petugas rumah sakit.
Penyembuhan individual sangat sulit. Diperlukan penyembuhan massal. Terapi yang diberikan haruslah membuat orang manusiawai dan memperlakukan orang lain secara manusiawi pula. Mereka harus berangkat dari semangat memiliki material ke semangat kekeluargaan spritual. Dari mengambil ke memberi.
Itulah makna Mudik. Dengan mudik, orang-orang sudah kehilangan makna dirinya dalam hiruk pikuk kota ingin menemukan kembali masa lalunya di kampung. Mereka ingin meninggalkan sejenak kota-kota yang garang untuk menikmati kembali wajah-wajah kampung yang ramah.
Mereka ingin mengungkapkan kembali perasaan kekeluargaan yang menyejukan. Maka anda akan melihat anak yang hilang bersimpuh dihadapan orangtuanya, memohon maaf seraya menangis terisak-isak.
Suami istri menjalin kembali cinta kasih mereka, setelah setahun penuh menjadi orang-orang yang asing yang tidak saling mengenal. Para sahabat dan tetangga saling menegur dan saling memberi setelah selama setahun mereka saling bersaing dan saling memeras. Itu makna silaturahim atau halal bihalal? Istilah halal bihalal walaupun tidak akan pernah dipahami orang Arab, seakan-akan menunjukan lebaran sebagai tempat perilaku yang halal setelah pada hari-hari yang lain kita melakukan yang haram.
Silaturahim tidak hanya ditujukan kepada orang yang masih hidup tetapi juga yang sudah mati. Mereka mewakili masa lalu. Orang-orang modren yang sudah dicabut dari akar sejarahnya perlu sekali-kali kembali kepadanya. Mereka harus akrab lagi dengan dunia mereka yang karena modrenisasi telah diasingkan dari mereka. Karena itu, biarkanlah mereka mengarungi darat, laut dan angkasa, bersimbah keringat dalam kendaraan. Perjalanan mereka adalah perjalanan yang melintas waktu (perjalanan historis). Mereka telah membawa masa kini mereka ke masa lalu supaya memperoleh kekuatan buat menempuh masa depan. Mudik, Silaturahim, ziarah ke kuburan adalah kreasi bangsa yang menakjubkan. Ketiganya berfungsi sebagai terapi untuk manusia modren. Sayangnya kebanyakan yang mudik adalah orang-orang yang kecil.
Generasi kecil menurut Denis Goulet adalah generasi yang dikorbankan untuk masa depan pembangunan yang disajikan. Memang mereka yang tertindas, mereka yang hampir putus asa, mereka yang kehilangan jati diri memperoleh wujud mereka ketika mudik. Mudik bukan hanya semata-mata hiburan seperti kata Gus Dur tetapi juga terapi masal yang biayanya tidak membebani pemerintah. Alangkah baiknya para penguasa dan pengusaha pun mudik, silaturahim dan ziarah kubur karena kelak bila kedua kelas ini bertemu lagi di kota, mereka bukan lagi robot. JR
***
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).