Akhi
Malâmatiyyah

Dia dikenal sebagai kiai yang sudah mencapai makrifat, tapi orang sering menemukannya di tempat maksiat. Dia berkumpul dengan para pezina dan peminum minuman keras. Suara musik yang hingar-bingar dan cahaya lampu disko yang menyilaukan tampaknya lebih dia sukai daripada gemuruh zikir dan cahaya remang di masjid.
Kawan-kawan saya, pejuang Islam muda, mengecamnya. Seorang di antaranya bahkan menyilangkan telunjuk di dahinya (yang menghitam karena sujud) sembari berkata, "Dia gila. Perilakunya bertentangan dengan Alquran dan Sunnah. Kita dilarang duduk di tempat anggur dihidangkan, sementara dia sendiri nongkrong di situ. Kita tak boleh mendengarkan musik yang merangsang nafsu, tapi dia menikmatinya. Dia merusak bukan saja citra kiai, bahkan citra Islam."
Guru saya, seorang kiai yang belum sepuh tapi suka tirakat, memujinya. "Saya sudah lama mengenalnya. Sebaiknya kita berprasangka baik saja. Kita tak mungkin menilainya. Ia lebih tinggi dari kita. Dia termasuk kelompok yang suka memperlihatkan keburukan dirinya pada orang banyak, sedangkan kita adalah orang-orang yang suka mempertontonkan kebaikan kita," kata beliau panjang lebar.
Beliau juga pernah menceritakan kisah aneh lain. Seorang aktivis organisasi Muslim mendengar bahwa tokoh panutannya jarang melakukan salat. Pada salah satu acara di kotanya, sang aktivis sengaja mengikuti tokoh itu sehari semalam. Selama lebih dari dua puluh empat jam bersama tokoh itu, dia tak menemukan tokoh panutannya itu salat satu kali pun. Ia kecewa, marah, dan jengkel. Tapi guru saya dengan kalem berkata, "Habis, yang melihat itu sampeyan." Maksudnya, bukan tokoh itu yang tidak salat, tapi "mata" penilai itu yang tak sampai.
Betulkah begitu? Ketika membaca literatur tasawuf, saya pun menemukan kisah-kisah semacam itu. Seorang arif menghinakan dirinya di masjid hingga habis diejek orang, layaknya seekor keledai menyeret tubuhnya dan ditertawakan. Pada kisah yang lain, ada pula sang arif yang dipermainkan dan dihina oleh anak-anak muda, lalu dilemparkan ke laut. Tindakan penghinaan diri inilah yang disebut oleh para sufi sebagai malamatiyyah.
Murtadha Muthahhari menegaskan, malâmatiyyah bertentangan dengan ajaran Islam. Menurutnya, seorang Muslim tidak boleh menghinakan dirinya. Ia bahkan harus selalu menampakkan kemuliaan. Padahal, kemuliaan itu hanyalah kepunyaan Allah, rasul-Nya, dan kaum Mukmin, tetapi orang-orang munafik tidak mengetahuinya. (QS 63:8).
Bila seseorang kaya, tetapi menyembunyikan kekayaannya dan menampakkan kemiskinan, bukankah dia tidak mensyukuri nikmat Allah? Bila dia ahli ibadat, tetapi menampakkan kemaksiatan, tidakkah itu berarti mendakwahkan keburukan? Bukankah setiap Muslim harus menjadi saksi di hadapan manusia tentang kebenaran Islam? (QS 2:143).
Muthahhari betul. Begitu juga kawan saya yang sudah hitam jidatnya itu. Tetapi itu baru setengah cerita. Aturan umumnya jelas: tidak boleh menghinakan diri. Kita harus menjadi teladan tentang kebenaran Islam. Kita harus menghias Islam, bukan mempermalukannya. Tetapi, di samping aturan umum untuk orang awam, selalu ada aturan khusus untuk orang khawwash (orang khusus di antara orang-orang khusus).
Pada suatu hari berkumpullah para guru sufi menghadap Hamdun al-Qashshår (si Rendah), pendiri mazhab Malâmatiyyah. Di situ mereka memperbincangkan kawan-kawannya. "Ia banyak berzikir," kata salah seorang yang hadir. "Tapi, ia selalu lalai," kata Hamdun. "Bukankah ia wajib bersyukur karena Allah telah memberinya nikmat untuk dapat berzikir dengan lidahnya," ujar sebagian yang hadir. "Bukankah ia wajib melihat kekurangannya ketika lalai dari berzikir," kata Hamdun lagi.
Dalam perjalanan menuju Allah, ada orang-orang yang sudah jauh berjalan. Karena kedekatannya dengan Allah, batinnya telah terhias oleh berbagai karamat. Hakikat telah tersingkap kepadanya. Ia tenggelam dalam lautan ahadiyyah-Nya. Orang awam pun melihat kelebihannya. Lalu mereka memuliakannya, menjadikannya panutan, dan menyebarkan kemuliaannya.
Tapi, bila keadaan sudah begitu, seringkali muncul ancaman besar di dalam dirinya. Ia akan terpengaruh oleh penilaian orang banyak. Ia akan merasa termasuk golongan orang-orang yang dekat dengan Allah (al-muqarrabin). Ia bisa lupa pada aib-aib dirinya. Lalu, untuk menghindarkan ancaman itu dari dirinya, maka ia pertontonkanlah aibnya. Ia ingin meluruskan pandangan orang lain tentang dirinya. Kelebihan yang dilihat orang lain itu jauh lebih kecil daripada kekurangan yang ada di dalam dirinya. Sikap inilah yang disebut malâmatiyyah.
Ketika ditanya tentang kaum Malåmatiyyah, Suhrawardi mengatakan, "Mereka itu orang-orang yang tegak bersama Allah dengan menjaga waktu mereka dan memelihara rahasia mereka. Mereka mengecam diri mereka pada semua yang tampak dari kedekatan mereka dan ibadat mereka. Mereka pertunjukkan kepada makhluk kejelekan diri mereka. Mereka sembunyikan kebaikan mereka. Makhluk mengecam lahir mereka, sementara mereka mengecam apa yang diketahui di batin mereka sendiri."
Apakah Anda ingin sekali diminta berbicara di tempat yang tidak mengenal kelebihan ilmu Anda? Apakah hati Anda tidak enak karena orang-orang di sekitar Anda tidak mengetahui bahwa Anda ahli makrifat? Apakah Anda senang membicarakan berbagai pertolongan Allah kepada Anda, saat-saat ketika Tuhan mengabulkan doa-doa Anda, atau malam-malam ketika Anda mimpi berjumpa dengan Rasulullah saw. dan orang-orang suci? Apakah Anda melihat orang sudah banyak menyebarkan kebaikan Anda dan mengabaikan keburukan Anda? Apakah Anda sudah disebut sebagai orang salih, kiai, panutan, ahli makrifat, atau apa saja?
Bila salah satu saja dari pertanyaan itu Anda jawab "ya," Anda perlu berlatih malâmatiyyah. Latihlah begitu rupa sehingga Anda tak terpengaruh penilaian manusia dan hati Anda tercurah kepada Dia saja. Tetapi, janganlah Anda melakukan malamatiyyah supaya semua orang tahu bahwa Anda ahli makrifat. Dan, bagi kiai yang sering ke bar dan tokoh yang tak kelihatan salatnya itu, malâmatiyyah manakah yang dilakukannya? Tak usah dijawab. Itu berkenaan dengan aib orang lain. Lebih baik kita menyibukkan diri memperhatikan aib kita sendiri. Kepada mereka, seperti kata guru saya, kita berprasangka baik (husnuzhann) saja. JR wa mā taufīqī illā billāh, 'alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb
Allâhumma shalli 'alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ'atahum
***
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).