top of page
  • Writer's pictureAkhi

Malu Kepada Allah


Ada sebuah hadis yang terdapat dalam Sunan At-Tirmidzi (hadis nomor ke-2.575, juz 4, halaman 54), yang diterima dari Abdulah bin Mas'ud. Mari kita simak hadis tersebut.


Diriwayatkan dari Yahya bin Musa, dari Muhammad bin Ubaid, dari Aban bin Ishaq, dari Ash-Shabah bin Muhammad, dari Murrah Al-Hamadani, dari Abdullah bin Mas'ud, yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda: "Malulah kamu sekalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu." Lalu kami mengatakan, "Wahai Nabiyullah, alhamdulillah kami telah malu." Kemudian Nabi bersabda kembali: "Bukan itu. Akan tetapi malu kepada Allah sebenar-benar malu adalah bila engkau menjaga kepala dan apa yang dikandungnya, engkau menjaga perut dengan segala isinya, engkau mengingat mati dan siksanya. Barang siapa menginginkan akhirat hendaknya ia meninggalkan perhiasan dunia. Siapa pun yang telah melakukan itu semuanya berarti ia telah memiliki rasa malu yang sebenarnya kepada Allah Swt."


Sebelum membahas hadis di atas, kita ingin mengisahkan kejadian yang menimpa Tirmidzi. Tirmidzi merupakan salah seorang yang sangat rajin mengumpulkan hadis tentang keutamaan Sayidina Ali ketika dia berada di Kufah. Ia pernah ditanya oleh sahabatnya, "Dari tadi Anda ini meriwayatkan keutamaan Sayidina Ali tetapi tidak meriwayatkan keutamaan Mu'awiyah bin Abi Sufyan." Tirmidzi menjawab, "Tidak apa-apa. Karena saya tidak menemukan satu hadis pun yang sahih yang meriwayatkan tentang keutamaan Mu'awiyah kecuali hanya satu." Lalu sahabat itu meminta, "Ya riwayatkan yang satu itu." Tirmidzi kemudian mengatakan, "Rasulullah pernah menyuruh Ibnu Abbas untuk memanggil Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Pada panggilan pertama, Ibnu Abbas melaporkan bahwa Mu'awiyah sedang makan dan tidak bisa memenuhi panggilan Rasulullah. Pada panggilan yang kedua kalinya, Mu'awiyah juga sedang makan. Kemudian waktu itu Rasulullah mendoakannya. Doa ini diriwayatkan oleh Bukhari sebagai berikut, 'Mudah-mudahan Allah tidak mengenyangkan perutnya.


Dan hanya itu, kata Tirmidzi, tentang keutamaan Mu'awiyah. Doa Nabi itu pun diijabah. Ketika Mu'awiyah menjadi penguasa, dia hampir tidak bisa berhenti makan. Bahkan ketika perutnya sudah besar dia masih terus ingin makan.


Pada waktu itu, marahlah orang-orang yang mendengar Tirmidzi menyatakan hal itu. Akhirnya Tirmidzi dipukuli, kemudian diangkut ke daerah Rayy dan meninggal di tengah perjalanan.


Dalam hadis tersebut, Rasulullah Saw. bersabda, "Istahyu minallah haqqal haya'i. "Istahyu berasal dari kata istahya yang artinya, "Hendaknya engkau malu". Dalam Al-Quran, misalnya, ada kalimat, "Inallah la yastahyi an yadhriba matsalan..." yang artinya "Allah tidak malu membuat perumpamaan." Ketika Allah bercerita tentang Fir'aun, Dia berfirman, "Yudzabbihuna abna'ahum wa yastahyuna nisa'ahum".


Berkenaan dengan ayat itu, ada sebagian orang yang menerjemahkan, "Menyembelih anak laki-laki mereka dan menghidupkan anak perempuan mereka." Ada juga yang menerjemahkan, "Menyembelih anak laki-laki mereka dan mempermalukan anak perempuan mereka."


Kata istahya di situ diterjemahkan dengan "menghidupkan" dan ada pula yang menerjemahkan dengan "memalukan".


Lalu apa hubungannya malu dalam kehidupan ini. Dalam kata-kata Arab selalu ada hubungannya antara satu kata dengan kata yang lain. Mengapa kata haya' sama dengan kata hayat (hidup)? Karena hidupnya kemanusiaan itu tergantung kapada rasa malu. Kalau malu itu sudah hilang, sebetulnya manusia itu telah kehilangan kemanusiaannya. Akhirnya, dia hidup sebagai binatang.


Jadi, kehidupan manusia ditandai dengan rasa malunya. Karena itu Rasulullah Saw. bersabda, "Kalau engkau sudah tidak punya malu berbuatlah sekehendak hati kamu." Maksudnya, kalau orang sudah tidak punya rasa malu, dia akan melakukan apa pun yang dia kehendaki. Dia akan berhenti sebagai manusia dan hidup sebagai binatang. Kalau sudah begitu, ia bukan hidup yang sebenarnya. Karena itu, kata haya'dan hayat berasal dari satu akar kata yang mempunyai kaitan sangat erat.


Dalam hadis selanjutnya dikatakan, "Hendaknya kamu malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu." Kemudian para sahabat bertanya, "Ya Rasulullah, sesungguhnya kami betul-betul punya rasa malu kepada Allah." Rasulullah Saw. bersabda, "Bukan demikian yang aku maksud, tetapi malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu ialah engkau jaga kepalamu ini dan apa yang disimpan di kepalamu itu."


Menyimpan dalam bahasa Arab disebut wa'a. Jadi kau -jaga kepalamu itu dengan apa-apa yang disimpan di dalamnya, apa yang diketahuinya, dan apa yang diinformasikannya. Kalau dalam bahasa Indonesia tempat menyimpan informasi itu bukan kepala tetapi hati. Akan tetapi orang Arab menyebut salah satu anggota badan yang digunakan untuk mengetahui itu adalah ra'su, kepala. Dan ini lebih dekat dengan pengetahuan modern.


Hadis selanjutnya menyebutkan, "Dan jaga perutmu serta apa yang disimpan di dalamnya, dan engkau ingat mati dan menghendaki akhirat dengan meninggalkan dunia. Dengan demikian dapat dikatakan dia sudah mempunyai rasa malu kepada Allah dengan sebenarnya malu."


Dalam hadis tersebut, Rasulullah mewasiatkan kepada sahabatnya untuk malu kepada Allah, yang bukan hanya sekadar malu tetapi ada tanda-tandanya.



Pertama, menjaga kepala dari pengetahuan atau informasi-informasi yang tidak layak. Karena informasi yang ada di kepala Anda itu akan menentukan sikap Anda. Pandangan Anda tentang dunia ditentukan oleh informasi yang Anda terima tentang dunia itu.


Oleh karena itu, Rasulullah mengatakan kepada kita agar kita menjaga informasi yang Anda terima itu dan jangan asal makan saja. Hadis itu menyuruh kita berpikir kritis terhadap pembicaraan dan sumber pembicaraan.


Kedua, kau jaga perut kamu dari apa yang dikandungnya. Ini menunjukkan bahwa perut itu melambangkan pola konsumtif. Secara khusus, janganlah Anda mengonsumsi barang haram di dalam perut Anda. Secara umum, karena konsumsi sekarang bukan hanya memasukkan ke perut saja tetapi mengambil apa saja untuk dimiliki, jagalah dirimu agar tidak memiliki sesuatu secara haram. Ini bukan berarti melarang kita untuk memiliki, tetapi yang dilarang adalah memiliki dengan cara yang haram.


Anda tahu ada hadis Nabi yang mengatakan, "Bila sekepal makanan haram masuk ke dalam perut, maka selama empat puluh hari doa Anda tidak diterima." Bayangkan, bila Anda "makan" rumah orang lain, tanah, kendaraan, bahkan gunung secara haram. Karena shalat itu adalah kumpulan doa, maka untuk sekepal barang haram empat puluh hari shalat kita tidak diterima. Untuk sebesar gunung, sampai kapan shalat kita tidak diterima?


Ketiga, ingatlah selalu akan kematian.

Ketika Rasulullah melihat orang menggali kubur, beliau menangis lalu bersabda, "Kalau engkau mau mengumpulkan bekal, maka untuk hal inilah seharusnya kamu harus mengambil bekal." Maksudnya, kalau kamu mau mengambil bekal, maka untuk alam sesudah mati inilah Anda seharusnya menyiapkan bekal.


Pernah suatu saat ada orang menceritakan kepada saya kesannya ketika ia berpiknik ke Bali. Banyak orang Bali yang menutup rumahnya dengan alang-lang. Bukan karena mereka tidak mempunyai cukup uang untuk membuat atap yang bagus. Mereka sebenarnya memiliki simpanan uang yang banyak, yang dipersiapkan untuk upacara ngaben (upacara pembakaran mayat).


Ternyata orang Bali itu hebat, menurut saya. Mereka mengumpulkan bekal yang banyak untuk mati walaupun hidupnya kelihatan menderita untuk beberapa saat. Kita pun seharusnya seperti itu. Kita kumpulkan bekal yang banyak untuk hari sesudah kematian. Depositokanlah uang Anda itu. Ke mana? Ke lembaga-lembaga Islam yang ada. Jadi, kalau Anda malu kepada Allah dengan sebenarnya malu, lakukanlah seperti apa yang dikatakan oleh Rasulullah Saw. JR


***

KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).

15 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page